Sabtu, 18 Mei 2013


HADITS MUTTASHIL

Berkata nadzim (Al-Baiquni rahimahullah):
وَمَا بِسمعِ كُلِّ راو يتصل                                إسنادُهُ للمصطَفى فالمُتَّصلْ  


“Dan hadits yang didengar oleh setiap perawi, dengan bersambung sanadnya kepada Al-Musthofa (Nabi shallallahu’alaihi wasallam) itulah yang disebut dengan hadits muttasil.”



Beberapa Penggunaan kata yang Satu Sinonim Dengan Hadits Muttashil

   Disebut juga dengan hadits muttashil, Al-Maushul, Al-Mu’tashil, Al-Muutashil. Seluruh dari kata-kata tadi adalah ungkapan yang digunakan oleh imam syafi’i dalam mengibaratkan hadits muttashil, sebagaimana terdapat di dalam kitab beliau Al-Umm.[1]

Definisi Hadits Muttashil Menurut imam Al-Baiquni

    Berdasarkan bait sya’ir diatas maka Al-Baiquni mendefinisikan hadits muttashil adalah: (Hadits yang bersambung sanadnya, yang mana setiap perawi haruslah mendengar dari syaikhnya, sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam). Definisi yang beliau bawakan diatas adalah definisi yang dibawakan juga oleh imam Ibnu Abdil Barr di dalam kitab beliau At-Tamhid[2], Ibnu Shalah[3], An-Nawawi[4] dll.

Hanya saja definisi tersebut tidak lepas dari kritikan ditinjau dari dua sisi:

Pertama:  dari sisi penggunaan sama’ (mendengar). Ketersambungan sanad tidak hanya disahkan oleh cara penerimaan hadis dengan sama’ saja, melainkan juga dengan cara penerimaan hadis yang lain (wujuh tahammul), seperti ard’ (membaca di depan syaikh), ijazah, dan yang lainnya yang terdapat dalam kitab-kitab musthalah.

Kedua: dari sisi penggunaan kata mushthafa (Nabi)[5]. Hadis muttashil tidak disyaratkan matnnya hanya sampai kepada Nabi saja (marfu’), melainkan juga yang sampai kepada sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’).[6]

Dari sini definisi yang kuat tentang hadits muttashil adalah: ((ماتصل سنده إلى منتهاه))

Hadits yang bersambung sanadnya sampai kepada akhirnya.”

Maksud dari  ((ماتصل سنده))bersambung sanadnya yaitu: Sanad haditsnya tidak terputus (inqitha’) baik dalam bentuk yang jelas atau pun tersembunyi. Demikian juga adakalanya hadits tersebut bersambung melalui sama’(mendengar langsung dari syaikhnya), ‘ard (membaca dihadapan syaikhnya) ataupun ijazah.

Adapun maksud dari ((منتهاه)) “Sampai kepada akhir” adalah: mencakup di dalamnya hadits marfu’maupun hadits mauquf.

Intinya di sini, bahwa hadits muttashil hanyalah disyaratkan satu syarat padanya, yaitu bersambungnya sanad tanpa melihat dari segi matannya (apakah marfu’, maqthu’ dst).[7]

Apakah Setiap hadits yang bersambung matannya berarti shahih?

Perlu diketahui, bahwa bersambungnya sanad sebuah hadits hanyalah satu dari lima syarat yang disebutkan oleh ulama hadits tentang syarat-syarat hadits shahih. Oleh karena itu, apabila ada suatu hadits yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak sekaligus bahwa hadits tersebut adalah hadits yang shahih. Bisa jadi hadits muttasil (yang bersambungsanadnya) tersebut adalah hadits shahih dengan ketentuan syarat yang lain, bisa jadi hasan, atau bahkan bisa jadi dho’if dan maudhu’ (palsu).[8]

 Macam-macam Hadits Muttasil

1.  Hadits muttashil marfu’. Contoh: ((Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdillah dari bapaknya (Abdullah bin Umar) dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda demikian.....))

2. Hadits muttashil mauquf (kepada shahabat). Contoh: ((Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa ia berkata....))

Apakah perkataan Tabi’in Masuk Kedalam Kategori Muttashil?

Berkata imam Al-Iraqi rahimahullah, “Adapun perkataan tabi’in, apabila sanadnya bersambung kepada mereka, maka tidaklah dikatakan sebagai hadits muttashil secara muthlaq, kecuali dengan ketentuan (taqyid). Misalnya seorang mengatakan sanad hadits ini bersambung (muttashil) kepada (tabi’in) semisal Sa’id bin Al-Musayyib, atau Az-Zuhri, atau Malik dan yang selain mereka.”[9]






HADITS MUSALSAL

Berkata Nadzim (Al-Baiquni) rahimahullah:


مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى          مِثْلُ  أَمَا وَاللهِ  أَنْبَانِي الْفَتَى

كَـذَاكَ قـَدْ حَدَّثَنِيهِ قَـائِمَا          أَوْ بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِيْ تَبَسّـَمَا

Musalsal –katakanlah- adalah hadis yang datang dengan sifat tertentu

Seperti telah mengabarkan kepadaku seorang yang adil

Begitu juga “ia telah menyampaikan kepadaku dalam keadaan berdiri”

Atau “setelah menyampaikan kepadaku ia tersenyum”



 Syarah:

Definisi hadits Musalsal

Musalsal secara bahasa bermakna bersambung. Sebagaimana orang Arab mengatakan سلسلة حديد yang maknanya: “Rangkaian sambungan rantai.”

Adapun makna hadits musalsal yang dijelaskan oleh penulis menurut bait sya’ir Al-Baiquni di atas adalah:((الحديث الَّذي جاء على وصف واحد))  “Hadits yang datang dengan satu sifat.”

Disana ada definisi lain tentang hadits musalsal yang dibawakan oleh para ulama, antara lain:

  • Berkata imam An-Nawawi rahimahullah (tentang hadits musalsal):

((هو ما تتابع رجال إسناده على صفة أو حالة للرواة تارة، وللرواية تارة أخرى))

“Adanya kesamaan pada para perawi hadits, baik dalam hal sifat perawi, atau terkadang kesamaan dalam (redaksi) riwayat itu sendiri.”[10]

  • Berkata imam As-Shan’ani rahimahullah:


((هو الحديث الذي اتفقت رجاله ، وتتابعوا على صفة واحدة ، او حال واحدة؛ سواء أكانت قولية او كانت فعلية ، أو مركبة منهما جميعا))

“Hadits yang di dalamnya terdapat kecocokan pada para perawi-perawinya, adanya kecocokan pula pada sifat, atau kesamaan dalam satu kondisi. Baik itu diungkapkan dengan perkataan, perbuatan, atau dua hal sekaligus (perkataan dan perbuatan).” [11]



  •   Berkata imam Ibnu Daqieq Al-‘Ied rahimahullah, “Yaitu hadits yang memiliki kesamaan satu sifat, yang terkadang terdapat dalam seluruh thabaqah (tingkatan) periwayatannya. Sebagaimana ucapan ((سمعت فلانا يقول)) “Aku mendengar Fulan berkata demikian...” hal itu berlanjut hingga akhir sanad atau pada kebanyakan sanad. Contoh lain dari hadits musalsal adalah perkataan para perawi ((هو أول حديث سمعته منه...)) “Itu adalah hadits pertama yang aku dengar darinya...”[12]

Macam-macam Hadits Musalsal

     Secara umum hadits musalsal dibagi menjadi dua macam:

  1. Hadits musalsal berkaitan dengan sifat perawi.

  2. Hadits musalsal berkaitan dengan sifat suatu riwayat.[13]





  • Adapun hadits musalsal berkaitan dengan sifat perawi, maka memiliki beberapa bentuk, diantaranya:

1) Musalsal yang terjadi diantara para huffadz (penghafal hadits): seperti periwayatan dari seorang hafidz dari hafidz yang lainnya sampai penghujung.

2) Musalsal yang terjadi diantara para fuqaha’ (ahli Fiqih): seperti periwayatan dari seorang faqih (ahli fiqih) dari faqih yang lain sampai penghujung.

3) Musalsal yang terjadi diantara kumpulan para perawi yang bernama Muhammad: seperti riwayat dari Muhammad dari Muhammad yang lainnya sampai penghujung hadits.

4) Musalsal yang terjadi diantara para perawi yang berasal dari satu negeri, misalnya seperti negeri Hijaz.

5) Musalsal yang nama perawinya diawali dengan huruh ‘ain (ع) sebagai misal. Seperti periwayatan dari ‘Ali (عليّ) dari ‘Abdullah (عبد الله) dari ‘Umar (عمر) dst...

6) Musalsal dari para perawi yang mengaalami cacat. Contoh: Riwayat (الأعْرَجُ) “Seorang yang pincang” dari (الأعمَى) “Seorang yang buta” dari (الأصَمُّ) “Seorang yang bisu”.

7) Musalsal dengan penggambaran sebuah kondisi (الهيئة), hal ini sebagai mana digambarkan oleh Nadzim (Al-Baiquni) dalam ucapannya -sebagaimana dalam bait sya’ir diatas-,
كَـذَاكَ قـَدْ حَدَّثَنِيهِ قَـائِمَا          أَوْ بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِيْ تَبَسّـَمَا

Begitu juga “ia telah menyampaikan kepadaku dalam keadaan berdiri”

Atau “setelah menyampaikan kepadaku ia tersenyum”[14]



  • Adapun musalsal yang berkaitan dengan sifat periwayatan memiliki beberapa gambaran sebagai berikut:

1) Musalsal dengan satu redaksi yaitu redaksi, misalnya dengan redaksi (عَنْ) “Dari”. Hal ini sebagaimana perkataan nadzim–pada bait sya’ir diatas-,
مِثْلُ  أَمَا وَاللهِ  أَنْبَانِي الْفَتَى

“Seperti telah menghabarkan kepadaku seorang yang adil”

Yang semisal dengan ini adalah perkataan seorang perawi:
صُمَّتْ أُذنايا إنْ لَمْ أكُنْ سَمِعْتُهُ من فلان))

 “(Allah akan membuat) tuli telingaku, bila aku tidak mendengarnya dari Fulan.”

2) Hadits musalsal dengan penyebutan zaman tertentu. Seperti perkataan seorang perawi (حدّثني فلان يوم العيد) “Fulan telah menceritakan kepadaku pada saat hari ‘ied”.

3) Hadits musalsal dengan penyebutan tempat tertentu. Contohnya seperti perkataan salah seorang perawi (حدّثني فلان بين الركن والمقام) “Fulan telah menceritakannya kepadaku diantara rukun (Yamani) dan maqam (Ibrahim)”.[15]

 Adapun hadits musalsal ditinjau dari perkataan dan perbuatan, maka dibagi menjadi tiga macam:

1) Musalsal dengan ucapan. Seperti hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya,
يَا مُعَاذُ إِنِّي َأُحِبُّكَ فِي اللَّهِ فَلَا تَدَعَنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ تقول: اللهمَّ أَعِنِّي عَلَى ذَكَرِكَ وَشُكْرِكَ وَحَسَنِ عِبَادَتِكَ

“Wahai Mu’adz, sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah; oleh karena itu janganlah engkau tinggalkan pada setiap pnghujung shalat untuk mengucapkan: “Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan memperbagus ibadah kepada-Mu.” Para perawi yang meriwayatkan hadits tersebut sama-sama menggunakan lafadz ((إني أحبك في الله))  “Seungguhnya aku mencintaimu karena Allah”.

2) Musalsal dengan perbuatan. Contoh: perkataan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
شبك أبو القاسم بيده وقال: ((خلق الله التربة يوم السبت....))

“Abul Qasim (Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam) pernah mengapit jari-jemarinya dengan tangannya, kemudian beliau bersabda, “Allah menciptakan tanah pada hari sabtu...” kemudian para perawi yang meriwayatkan hadits tersebut sama-sama mengapit jari-jemarinya dengan tangannya setiap menyampaikan hadits tersebut.

3) Musalsal dengan perkataan dan perbuatan. Sebagaimana terdapat dalam hadits Anas secara marfu’, bahwa Nabi shallallahu’alihi wasallam bersabda,
لا يجد العبد حلاوة الإيمان حتى يؤمن بالقدر خيره وشره

“Seorang hamba tidak akan merasakan manisnya iman sampa ia beriman kepada takdir yang baik dan buruk, seta yang manis maupun yang pahit.” Kemudian Anas bin Malik berkata, “Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memegang jenggotnya seraya bersabda, “Aku beriman dengan takdir.”

Kemudian para perawi yang meriwayatkan hadits tersebut mereka memegang jenggotnya seraya berkata, “Aku beriman dengan takdir.”[16]
Faedah Keberadaan Hadits Musalsal



  1. Keberadaan hadits musalsal menunjukan akan kekuatan (hafalan) dan kemantapan para perawi hadits. Hal itu dikarenakan keseragaman penyampaian para perawi dari syaikhnya sampai kepada para murid-muridnya. Serta bersambungnya sanad tersebut diantara para perawinya yang menerima dari syaikhnya.

  2. Keberadaan hadits musalsal dapat menghilangkan keterputusan dalam suatu sanad atau kemungkinan adanya tadlis (penyamaran) yang dilakukan oleh seorang perawi. Karena terkadang dalam hadits musalsal terdapat lafadz (حدّثني) “Telah menceritakan kepadaku” atau terdapat lafadz (أخبرني) “Telah menghabarkan kepadaku”. Selama tidak ada keraguan sama sekali pada perawi tersebut. Wallahu a’lam.

  3. Keberadaan hadits musalsal yang diriwayatkan oleh para huffadz (pakar hadits) adalah keistimewaan tersendiri dalam kekuatan dan keabsahan hadits tersebut dibandingkan hadits yang selainnya.[17]

  4. Keberadaan hadits musalsal menggambarkan keseriusan para perawi dalam meneladani Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam seluruh tindak tanduk beliau. Sebagai mana disebutkan oleh imam Ibnu Daqi’eq Al-‘Ied rahimahullah.[18]

Apakah Seluruh Hadits Musalsal Shahih?

Jawab: Tidak mengharuskan keberadaan suatu hadits dengan bentuk musalsal berarti hadits tersebut adalah hadits shahih. Terkadang terdapat hadits musalsal yang shahih, hasan, dho’if ataupun maudhu’ (palsu). Bahkan, banyak sekali para ulama hadits hadits yang menyatakan bahwa kebanyakan hadits musalsal adalah hadits yang lemah.[19] Berkata imam Adz Dzahabi rahimahullah, “Kebanyakan dari hadits musalsal adalah lemah. Kebanyakan juga bathil dikarenakan kedustaan yang dilakukan oleh para perawinya...”[20]

Namun jika ada yang bertanya: Bila kebanyakan hadits musalsal adalah hadits yang lemah, lalu apa fungsinya kita menyebutkan faedah hadits musalsal? Jawabannya, faedah yang dikemukakan diatas tentang hadits musalsal adalah faedah yang terdapat dalam hadits musalsal yang shahih bukan hadits musalsal yang lemah atau yang semisalnya. Wallahu a’lam.

Apakah Hadits Musalsal Harus Dimulai Dari Awal Matan (redaksi) Sampai Akhir Matan?

Sebagian para ahli ‘ilmi menyatakan bahwa hadits musalsal tidak harus dimulai dari awal matan sampai akhirnya. Karena terkadang terdapat hadits musalsal yang ada disebagian sanad, namun tidak ada pada sebagian yang lain. Hanya saja, kebanyakan hadits musalsal dimulai dari awal sanad sampai akhir sanad. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah.[21]














HADITS ‘AZIZ



Berkata nadzim (Al-Baiquni) rahimahullah,
عَزِيْزٌ مرويّ اثنين أو ثلاثةٌ                              ...........................................

“Aziz adalah yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi................................”

Syarah:

Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi hadits ‘Aziz menurut Al-Baiquni adalah: Setiap hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi. Maksudnya, dalam thabaqah (tingkatan) sanad tersebut minimalnya yang meriwayatkan hadits adalah dua atau tiga.

Definisi yang dibawakan oleh penulis adalah definisi yang telah dibawakan oleh para ulama sebelumnya, antara lain: Ibnu Mandah, Ibnu Thahir Al-Maqdisi, Ibnus Shalah, Ibnu Daqieq Al-‘Ied, An-Nawawi, Al-‘Iraqi, dan Ibnul Jazri.[22]

Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dan juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu di dalam Shahih Bukhari, bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,



“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga aku lebih ia cintai dari pada bapaknya, anaknya, dan manusia seluruhnya.”

Jalan periwatan hadits ini adalah: Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, yang menerima darinya Abdul Aziz bin Shuhaib dan Qatadah, kemudian meriwayatkan dari Qatadah adalah Syu’bah dan Sa’id. Telah meriwayatkan dari Abdul ‘Aziz bin Shuhaib adalah Isma’il bin ‘Ulayyah dan ‘Abdul Waris.

Mengapa Dinamakan Dengan ‘Aziz?

  Dianamakan dengan ‘Aziz karena berasal dari kata (عَزَّ- يَعِزُّ)  yang artnya: sedikit. Diaktakan sedikit, dikarenakan sedikitnya jalan periwayatannya.[23]

Apakah Setiap Hadits ‘Aziz Itu Shahih?

Pensifatan suatu hadits dengan ‘Aziz bukanlah jaminan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang shahih. Bisa jadi hadits ‘Aziz tersebut adalah hadits yang shahih, hasan ataupun dho’if. Dikarenakan untuk menilai suatu hadits shahih atau tidak, semuanya dikembalikan kepada syarat-syarat hadits shahih yang telah lalu pembahasannya. Wallahua’lam.

Faedah: Terkadang para ulama dalam bidang jarh wat ta’dil menggunakan istilah ‘Aziz bukan pada makna yang kita  bahasa. Seperti perkataan mereka ‘Fulan ‘Azizul Hadits’, maka maknanya: Fulan adalah seorang perawi yang sedikit riwayatnya. Contoh dalam hal ini adalah perkataan imam Al-Hakim rahimahullah, “Uqbah bin Khalid Asy-Syanni adalah perawi yang tsiqat (terpercaya) dari kalangan penduduk Basrah dan ahli ibadahnya mereka. Sedangkan dia adalah seorang yang ‘Azizul Hadits’(sedikit periwayatan haditsnya), apabila hadits-hadits yang diriwayatkannya dikumpulkan tidaklah mencapai sepuluh hadits.[24]

Buku Khusus Yang Membahas Hadits ‘Aziz

Berkata syaikh Mahmud Ath-Thahhan, “Para ulama tidak menyusun secara tersendiri kitab tertentu untuk hadits-hadits ‘aziz. Tampaknya hal itu disebabkan sedikit atau tidak ada manfaatnya menyusun kitab tersebut.”[25]



























 












[1]  An-Nukat: 1/510.




[2]  1/24.




[3]  At- Taqyid: hal.65.




[4]  Al-Irsyad: 1/156.




[5]  Apakah Al-Musthofa’ (yang terpilih) termasuk nama dari nama-nama Nabi shallallahu’alaihi wasallam?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan, bahwa musthofa’ adalah sifat dari sifat-sifat Nabi shallallahu’alaihi wasallam, bukan bagian dari nama-nama Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Para shahabat adalah orang-orang yang paling mengagungkan terhadap Nabi shallallahu’alaihi wasallam, meskipun demikian, tidak didapati dari mereka seorang pun yang memanggil Nabi shallallahu’alaihi wasallam dengan nama musthofa’. (Syarah Al-Aqidah As-Safariniyah: hal. 55)




[6]  Al-Jawahir: hal. 151-152.




[7]  Al-Jawahir: hal. 152-153.




[8]   Dikutip secara ringkas dari Al-Jawahir: hal 153.




[9]  Taisir Musthalahul Hadits: hal 135-136.




[10]  At-Tadrib: 2/187.




[11]  Taudhihul Afkar: 2/414.




[12]  Al-Iqtirah: hal. 214.




[13]  Al-Irsyad: 2/554. karya An-Nawawi,  At-Taqyid: hal. 276.




[14]  Lihat Fathul Mughits: 4/40 dan Al-Jawahir: hal. 156.




[15]  Ibid: 4/40-41.




[16]  Nuzhatun Nadzar: hal. 167.




[17]  Lihat penjelasan Al-Hafidz tentang masalah ini di dalam An-Nuzhah: hal. 168.




[18]  Al-Iqtirah: hal. 215.




[19]  Diantara para ulama tersebut adalah imam Ibnu Shalah (At-Taqyid: 2/77), imam An Nawawi (Al-Irsyad: 2/558), imam Ibnu Katsir (Mukhtashar Ulumul Hadits sekaligus syarahnya Al-Ba’its: 2/456), dan imam Ibnul Mulaqqin (Al-Muqni’: 2/448).




[20]  Al-Muqidzah: hal. 44.




[21]  Al-Jawahir: hal. 160.




[22]  Al-Jawahir:  hal, 161.




[23]  Ibid: hal, 165.




[24]  Al-Mustadrak: 1/110




[25]  Taisirul Musthalahil Hadits: hal, 26.


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts