Jumat, 30 Agustus 2013



 

BAB III


JENIS-JENIS HOMOSEKS


Para ahli di bidang kesehatan telah melakukan penelitian dan peninjauan tentang jenis-jenis homoseks berdasarkan penyebabnya ada tiga, yaitu:


Yang pertama: Biogenik yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kelainan di otak atau kelainan genetik. Jenis ini yang paling sulit untuk disembuhkan karena sudah melekat dengan eksistensi hidup bagi yang melakukannya. Mereka sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk menyukai orang lain yang sejenis, sehingga benar-benar ini di luar kontrol dan keinginan sadar mereka.


Kedua: Psikogenetik yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kesalahan dalam pola asuh atau mereka mengalami pengalaman dalam hidupnya yang mempengaruhi orientasi seksualnya di kemudian hari. Kesalahan pola asuh yang dimaksud adalah ketidak tegasan dalam mengorientasikan sejak dini kecenderungan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Pengalaman yang dapat membentuk perilaku homoseks diantaranya adalah pengalaman pernah disodomi atau waktu kecil orang itu mencoba-coba melakukan hubungan seks dengan temannya yang sejenis. Pengalaman-pengalaman seperti ini berpengaruh cukup besar terhadap orientasi seksual tersebut di kemudian hari.


Ketiga: Sosiogenetik yaitu orientasi seksual yang dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. Kaum Nabi Luth yang melakuan homoseks adalah contoh dalam sejarah umat manusia bagaimana faktor sosial-budaya homosexual oriented mempengaruhi orang yang ada dalam lingkungan tersebut untuk berperilaku yang sama.


 


BAB IV


EFEK BERBUAT HOMOSEKS


 


Di dalam “Qawa’idul Fiqhiyah Lisyaikh Abdurrahman As-Si’di –Rahimahullah-” disebutkan bahwa setiap apa yang diperintahkan oleh syari’at itu pasti berakibat kemaslahatan dan apa yang dilarang oleh syari’at itu pasti berakibat kemafsadatan.


Syariat Islam telah mengharamkan homoseks, dikarenakan homoseks itu pasti terdapat mafsadah yang mengerikan yang akan menimbulkan dampak yang buruk dan kerusakan yang besar kepada pribadi dan masyarakat.


 


Diantara efek-efeknya adalah:


 




  • Tidak Memiliki Hasrat untuk Menikahi Selain Jenis


Kaum nabi Luth –‘Alaihis salam- berpaling dari isteri-istri mereka dan bahkan nabi Luth –‘Alaihis salam- menawarkan putri-putrinya untuk mereka nikahi namun mereka enggan sebagaimana Allah Ta’ala kisahkan dalam surat Huud ayat 78:


وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ.


“Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antara kalian seorang yang berakal?”


Dengan keadan seperti ini maka pasti akan lenyaplah arti sebuah pernikahan yang memiliki tujuan untuk memperbanyak keturunan. Seandainya pun mereka menikah, maka istrinya akan menjadi korban, ia tidak akan mendapatkan kepuasan, ketenangan dan cinta kasih.


 




  • Efek Terhadap Syaraf


Kebiasaan melakukan homoseks akan memberikan efek yang dahsyat terhadap kejiwaan dan memberikan efek yang sangat terhadap syaraf. Yang akibatnya dia cenderung untuk melakukan penyelewengan. Apabila telah terukir kembali penyakit ini dalam benaknya, dan ia tidak mendapatkan yang ia hasratkan, maka ia akan cemas, gelisah dan tidak berpendirian.


 




  • Nafsunya Akan Bergejolak


Ia tidak akan pernah merasa puas dengan pelampiasan hawa nafsunya yang sebelumnya, ia akan selalu ketagihan dan akan selalu berupaya untuk bisa memenuhi hasratnya terhadap orang yang ia hasratkan.


 




  • Perubahan Bermuamalahnya dengan Sesama akan Bertambah Drastis


Ia akan tampil beda dihadapan orang lain dengan akhlak yang kelihatannya terpuji namun hakekatnya ia memiliki penyakit yang terselubung yang ia pendam, jika ketika ia memiliki peluang untuk melampiaskannya ia akan bergegas tanpa berpikir panjang, dan ini terjadi pada para homoseks yang terkategori pada jenis pertama (biogenic).


 




  • Pengaruh homoseks Terhadap Kesehatan.


Diantara penyakit yang akan diderita oleh orang-orang yang melakukan homoseks adalah:


v     Organ-organ tubuhnya akan melemah, merasa lemah mental dan depresi


v     Gandrung dengan penyakit seks, dan homoseks adalah termasuk salah satu dari kategori free sex (seks bebas) dan ia merupakan transmisi utama HIV/AIDS. Para ahli peneliti dibidang kesehatan mengatakan bahwa 95% pengidap penyakit HIV/AIDS adalah kaum homoseks


v     Menyebabkan penyakit spilis, penyakit ini tidak muncul kecuali dikarenakan penyimpangan hubungan seks.


v     Menyebabkan kencing nanah.


Dengan melihat betapa besarnya efek atau pengaruh dari berbuat homoseks terhadap jiwa khususnya, maka sebaiknya bagi kita untuk lebih mengetahui tentang efek, bahaya dan pengaruh menurut tinjauan Islam secara umum.


Jauh-jauh hari sebelumnya kita telah diperingatkan dengan untaian kata yang sangat berharga yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi –Rahimahullah- dengan sanad hasan dari hadits Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya-:


إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء فإذا هو نزع واستغفر وتاب سقل قلبه وإن عاد زيد فيها حتى تعلو قلبه وهو الران الذي ذكر الله {كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون}


“Seorang mukmin jika berbuat satu dosa, maka ternodalah hatinya dengan senoktah warna hitam. Jika dia bertaubat dan beristighfar, hatinya akan kembali putih bersih. Jika ditambah dengan dosa lain, noktah itu pun bertambah hingga menutupi hatinya. Itulah karat yang disebut-sebut Allah dalam ayat: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” Berkata At-Tirmidzi: Ini adalah hadits hasan shahih.


Allah ‘azza wa jalla menciptakan manusia dengan tujuan untuk mentaati-Nya dan tidak memaksiati-Nya dengan sesuatu apapun, Allah ‘Azza wa Jalla berkata surat Adz-Dzariyat ayat 56:


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ.


“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu”.


Pada ayat tersebut Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan bahwa maksud dari penciptaan manusia dan jin adalah hanya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla semata. Dalam rangka menunaikan tugas ibadah tersebut, manusia diperintahkan untuk taat dan tunduk kepada semua perintah Allah ‘Azza wa Jalla, baik yang langsung Allah ‘Azza wa Jalla katakan dalam Al-Qur’an, maupun yang disampaikan melalui perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Oleh sebab itulah di dunia ini hanya terdapat dua golongan manusia. Golongan pertama adalah mereka yang selalu taat pada segala perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan golongan kedua adalah mereka yang ingkar kepada dua hal tersebut. Perbuatan ingkar itulah yang disebut dengan maksiat dan setiap perbuatan maksiat itu adalah dosa.


Al-Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menyatakan: “Bahwa kebanyakan orang-orang tolol mengandalkan rahmat dan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla sehingga mereka mengabaikan perintah dan larangan-Nya serta lupa dengan azab-Nya yang pedih dan bahwa Dia tidak akan segan-segan untuk menyiksa orang-orang yang berdosa. Barangsiapa yang mengandalkan ampunan-Nya tetapi tetap berbuat dosa, dia sama dengan orang-orang yang membangkang”.


 


Nasib Para Pelaku Homoseks di Zaman Dahulu


Al-Qur’an dalam beberapa ayat telah banyak menceritakan kejadian dan bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan homoseks. Cerita tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau dongeng, apalagi cerita bohong untuk sekadar menakut-nakuti manusia, namun ia benar-benar terjadi dan menjadi tragedi bagi umat manusia.


Lihatlah apa yang menyebabkan terjungkir baliknya kampung kaum Luth ‘Alaihis salam kemudian dihujani dengan batu? Sekali lagi, kisah tersebut benar terjadi. Dan penyebab turunnya azab Allah ‘azza wa jalla tersebut tidak lain adalah karena perbuatan maksiat sehingga semua menjadi pelajaran bagi umat manusia hingga hari kiamat.


Diantara pengaruh homoseks adalah:


Homoseks Menghalangi Ilmu


Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun ia bisa lenyap dari hati manakala di dalam hati sudah terdapat noda-noda hitam homoseks. Ketika Al-Imam Malik melihat kecerdasan dan kekuatan hafalan muridnya yakni Al-Imam Syafi’y yang begitu luar biasa, beliau (Al-Imam Malik) berkata, “Aku melihat kalau Allah telah menyiratkan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat”.


Maksiat secara umum telah mempengaruhi hati dengan terpadamnya cahayanya, bagaimana jikalau maksiat semisal homoseks yang ikut mewarnai hati tentu akan lebih padam dan bahkan bisa hati akan mati dan gelap bagaikan semut hitam di atas batu yang sangat hitam pada waktu malam yang gelap gulita.


Homoseks Menghalangi Rezki


Ketaqwaan adalah penyebab datangnya rizki. Maka meninggalkannya berarti menimbulkan kefakiran. Allah Ta’ala berkata dalam surat Ath-Thalaq ayat 2 sampai 3:


وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا, وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ.


“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah maka Allah akan menjadikan (memberi) jalan keluar baginya dan memberinya rezki dari arah yang tidak dia sangka-sangka’.


Realita telah konkrit bahwa setiap pelaku homoseks pasti ia akan terusir dari kalangan orang-orang yang masih memiliki fitroh kejiwaan, dengan keterusiran tersebut bukankah itu sebab utama sebagai penghambat datangnya rezki dan manjauhnya ilmu dan kebaikan?.


Homoseks Menjauhkan Pelakunya dengan Orang Lain


Homoseks menjauhkan pelakunya dari orang lain, terutama dari golongan yang orang-orang yang masih memiliki fitroh yang jernih mereka akan jijik ketika berkumpul dengan pelaku homoseks. Sehingga semakin berat tekanannya, maka semakin jauh pula jaraknya hingga berbagai manfaat dari orang yang baik terhalangi. Kesunyian dan kegersangan ini semakin menguat hingga berpengaruh pada hubungan dengan keluarga, anak-anak dan hati nuraninya sendiri.


Seorang Salaf berkata: “Sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka aku merasakan pengaruhnya pada perilaku kenderaan dan isteriku.”


Homoseks Menyulitkan Urusan


Homoseks akan mengundang kegundahan dan kegelisahan pada pelakunya, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan kecerahan pada wajah dan cahaya pada hati, kekuatan badan dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengundang ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di dalam kubur dan di hati, kelemahan badan, merosotnya rizki dan kebencian makhluk”.


Homoseks Melemahkan Hati dan Badan


Kekuatan seorang mukmin terpancar dari kekuatan hatinya. Jika hatinya kuat maka kuatlah badannya. Di dalam “Ash-Shahihain” dari hadits An-Nu’man bin Basyir –Radhiyallahu ‘anhu- beliau berkata: Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:


«أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ».


“Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal darah, jika dia bagus maka bagus pula semuanya (yang ada di jasad), jika dia rusak maka rusak pula semuanya. Ketahuilah bahwa dia itu adalah hati”.


Tapi bagi pelaku homoseks meskipun badannya kuat, sesungguhnya dia sangat lemah jika kekuatan itu sedang dia tunjukkan, hingga kekuatan pada dirinya sering menipu dirinya sendiri. Lihatlah bagaimana kekuatan fisik kaum Luth yang Allah binasakan dengan diputar balikkan pemukiman mereka kemudian dihujani dengan batu!


Homoseks Menghalangi untuk Berbuat Ketaatan


Orang yang melakukan homoseks akan cenderung untuk memutuskan ketaatan. Seperti selayaknya orang yang sekali makan tetapi mengalami sakit berkepanjangan dan menghalanginya dari memakan makanan lain yang lebih baik.


Homoseks Memperpendek Umur dan Menghapus Keberkahan


Pada dasarnya, umur manusia dihitung dari masa hidupnya. Sementara itu tidak ada yang namanya hidup kecuali jika kehidupan itu dihabiskan dengan ketaatan, ibadah, cinta dan dzikir kepada Allah Ta’ala serta mementingkan keridhaan-Nya. Lihatlah pelaku homoseks umur mereka terbatasi dengan disegerakannya azab atau kalau tidak disegerakan azab Allah Ta’ala mengulur-ulurnya dengan kenikmatan sesaat yang ujung-ujungnya malah melumpuhkan dan membinasakan mereka di dunia dan di akhirat.


Homoseks Menumbuhkan Maksiat Lain


Seorang ulama Salaf berkata bahwa jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka hal tersebut akan mendorong dia untuk melakukan kebaikan yang lain dan seterusnya. Dan jika seorang hamba melakukan keburukan, maka dia pun akan cenderung untuk melakukan keburukan yang lain sehingga keburukan itu menjadi kebiasaan bagi si pelaku.


Tidak heran jika kita dapati para homoseks khususnya waria mereka pun berani bunuh diri karena melihat diri mereka benar-benar di atas kehinaan di dunia ini.


Homoseks Menghilangkan Kebaikan dan Mendatangkan Dosa


Jika seseorang sudah terbiasa berbuat homoseks, maka ia tidak lagi memandang buruk perbuatan itu, sehingga homoseks itu menjadi figur dan pendidikan jasmaninya. Ia pun tidak lagi mempunyai rasa malu melakukannya, bahkan memberitakannya kepada orang lain tentang perbuatannya itu. Dosa yang dilakukannya dianggapnya ringan dan kecil. Padahal dosa itu adalah paling  besar di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.


Homoseks Menimbulkan Kehinaan dan Mewariskan Kehinadinaan


Kehinaan itu tidak lain adalah akibat perbuatan maksiatnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla sehingga Allah ‘Azza wa Jalla pun menghinakannya, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Hajj ayat 18:


وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ


“…dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”.


Sedangkan kemaksiatan itu akan melahirkan kehinadinaan, karena kemuliaan itu hanya akan muncul dari ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat Fathir ayat 10:


مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا


“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah lah kemuliaan itu …”.


Seorang Salaf pernah berdoa: “Ya Allah, anugerahilah aku kemuliaan melalui ketaatan kepada-Mu, dan janganlah Engkau hina dinakan aku karena aku bermaksiat kepada Mu.”


Homoseks Merusak Akal


Seandainya seseorang itu masih berakal sehat, maka akal sehatnya itulah yang akan mencegahnya dari berbuat homoseks yang menjijikan itu. Kalaupun ada orang yang pernah melakukan homoseks terlihat cerdas, pandai dalam bertutur kata atau pandai merangkul pengikut maka jangan tertipu sewaktu-waktu akan tampak kehinaan dan kerendahannya baik tampaknya itu dengan sebab karena dia memaksa-maksakan diri dalam membuat hukum, baik dia itu mendakwahkan kepada bid’ah baik bid’ah hizbiyyah atau bid’ah jam’iyyah atau menghalalkan yang haram semisal menghalalkan minta-minta atau menghalalkan wasilah kepada kesesatan atau memaksa-maksakan diri seakan-akan sebagai seorang mujtahid mutlak.


 


Homoseks Menutup Hati


Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Al-Muthaffifin ayat 14:


كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ.


“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka”.


Al-Imam Hasan –Rahimahullah- mengatakan hal itu sebagai dosa yang berlapis dosa. Ketika dosa dan maksiat telah menumpuk maka hatinya pun telah tertutup.


Homoseks Dilaknat Oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melaknat perbuatan maksiat secara umum diantaranya melakukan perbuatan homoseksual. (Lihat pembahasan yang telah lewat).


Homoseks Menghalangi Syafaat Rasul dan Malaikat


Kecuali bagi mereka yang benar-benar bertaubat dan kembali ke pada jalan yang lurus, Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Ghafir ayat 7-9:


الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ (7) رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (8) وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (9).


“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyla-nyala. Ya Rabb kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang sholeh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa) lagi Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana). Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu Maka Sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan Itulah kemenangan yang besar”.


Homoseks Melenyapkan Malu


Bila seseorang sudah kecanduan dengan perbuatan homoseks maka tentu perasaan malunya pasti telah sirna, kalau pun dia masih ada sedikit perasaan malunya kalau kejijikannya itu dituduhkan kepadany dia pun akan mengingkari baik pengingkarannya itu dengan bersumpah palsu. Dan bila seseorang itu sudah kecanduan dengan perbuatan homoseks maka dia pun tidak malu-malu lagi berbuat homoseks walaun di keramaian manusia mereka tetap akan melampiaskan nafsu birahinya.


Homoseks Meremehkan Allah


Jika seseorang berbuat homoseks, disadari atau tidak, rasa untuk mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla perlahan-lahan lenyap dari hati. Jika perasaan itu masih ada, tentulah ia akan mencegahnya dari berlaku homoseks. Awalnya dia menganggap remeh dosa kemudian berani meremehkan Allah ‘Azza wa Jalla.


Homoseks Memalingkan Perhatian Allah


Allah ‘Azza wa Jalla akan membiarkan orang yang terus-menerus berbuat homoseks berteman dengan syaithan-syaithannya. Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Al-Hasyr ayat 19:


وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ


“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.


Homoseks Melenyapkan Nikmat dan Mendatangkan Azab


Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Asy-Syuraa ayat 30:


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ.


“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.


Amirul Mu’minin Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tidaklah turun bencana malainkan karena dosa. Dan tidaklah bencana lenyap melainkan karena taubat.”


Homoseks Memalingkan untuk Istiqamah


Orang yang hidup di dunia ini bagaikan seorang pedagang. Pedagang yang cerdik tentu akan menjual barangnya kepada pembeli yang sanggup membayar dengan harga tinggi. Allah ‘Azza wa Jalla yang akan membeli barang itu dan dibayarnya dengan kehidupan yang abadi dan penuh kenikmatan. Jika seseorang menjualnya dengan imbalan kehidupan dunia yang fana, ketika itulah ia tertipu.


 


Homoseks akan menggiring pelakunya untuk tidak lagi berbuat ketaatan dan bahkan menggiringnya pada perbuatan kufur.


 


BAB V


HUKUM-HUKUM SEPUTAR HOMOSEKS


5.1 Orang yang setelah selesai melakukan perbuatan homoseks dan maninya keluar apakah wajib mandi ketika akan sholat?


 


Keluarnya mani dengan unsur disengaja (dengan syahwat) seperti berbuat homoseks, onani, free seks dan yang semisalnya adalah harom dan wajib baginya untuk mandi sebagaimana mandi junub, dan ini adalah kesepakatan ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah di dalam “Al-Mughni” (Juz 1/Hal. 197): “Aku tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu (tentang wajibnya mandi bagi orang yang keluar maninya karena syahwat)”, dengan dalil hadits Ali bin Abi Tholib: “Jika engkau mengeluarkan air (mani), maka mandilah”. (Hadits ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam “Irwa’ul Gholil” (Juz 1/Hal. 162).


 


 


5.2 Apakah kafir bagi orang yang melakukan homoseks?


 


Untuk mengatakan kafir tidaknya orang yang melakukan homoseks maka perlu adanya rincian. Apabila orang yang melakukan perbuatan tersebut karena syahwat semata (dengan tanpa diyakini sebagai suatu yang boleh) atau orang yang memang bodoh (tidah tahu sama sekali hukumnya) maka mereka tidak bisa dikafirkan, namun mereka hanya terjatuh pada perbuatan dari dosa-dosa yang besar. Namun apabila mereka yang melakukan homoseks berkeyakinan bahwa homoseks adalah boleh dan hujjah telah sampai kepada mereka maka tidak diragukan lagi atas kekafirannya. Dan telah ada ijma’ para ulama tentang kafirnya orang-orang yang membolehkan perkara yang telah jelas-jelas keharomannya. (Lihat “Nawaqidul Islam”).


 


5.3 Apakah orang yang sudah kecanduan liwath (gay) boleh menemui atau ber-ikhtilath dengan wanita yang non mahrom?


 


Sebagaimana telah kita ketahui bahwa apabila seseorang telah kecanduan dengan liwath maka ia tidak akan memiliki daya ketertarikan terhadap wanita dan bahkan tidak lagi bersyahwat terhadap wanita dan ini mayoritasnya terjadi pada “waria”. Dan masalah ini ahli ilmu berbeda pendapat tentang boleh tidaknya waria menemui, memandang atau berikhtilath dengan wanita yang bukan mahrom. Namun pendapat yang kuat adalah pendapat tidak bolehnya mereka memandang, bertemu atau berikhtilath dengan wanita yang bukan mahrom mereka, dengan hujjah  hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya tidak melarang waria untuk masuk menemui istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah Radhiallahu ‘anha: “Ada seorang mukhannats yang biasa masuk menemui istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang (istri-istri Nabi membiarkannya karena disangka) termasuk laki-laki yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita. Maka suatu ketikai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah, sementara mukhannats ini berada di sisi sebagian istri beliau dalam keadaan ia sedang menceritakan sifat seorang wanita. “Wanita itu bila menghadap, ia menghadap dengan empat (lekukan pada bagian perutnya) dan bila membelakang, ia membelakang dengan delapan (setiap masing-masing bagian pinggang terdiri empat dan dari belakang tanpak seperti delapan)”, katanya. Mendengar ucapannya yang demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku telah menyangka orang ini tidak mengetahui perkara wanita sedeteil seperti itu. Jangan (sekali-kali terulang) ia masuk menemui kalian”. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: “(Setelah kejadian itu) Istri-istri Nabi berhijab darinya”. (HR. Muslim no. 2181).


Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai wanita dalam tingkah laku, ucapan, dan gerakannya [“Syarhu Shahih Muslim” (Juz 14/Hal. 163), “Fathul Bari” (Juz 9/Hal. 404)]. Para mukhannats yang ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidaklah tertuduh melakukan perbuatan keji yang besar, hanya saja kewanita-wanitaan mereka tampak dari ucapan mereka yang merdu, mereka memacari tangan dan kaki mereka seperti halnya wanita, dan berlagak seperti lagaknya wanita. [“‘Aunul Ma’bud” (Juz 13/Hal. 189)].


Disini kami bukan berarti menyapakan sama persis mukhannats yang disebutkan dalam hadits dengan waria atau penggemar liwath, hanya saja di sini kami mengambil hukum, bagaimana tidak, mukhannats di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa dikatakan masih ringan (kecil) sudah dilarang menemui wanita yang bukan mahrom, lalu bagaimana dengan waria atau penggemar (pecandu) liwath yang begitu mengerikan? Tentu lebih utama lagi untuk di larang. Wallahu a’lam.


Kisah yang serupa dengan kisah di atas juga telah diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhori (no. 4324) dan Muslim (14/163) dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha, tentang dilarangnya mukhannats menemui wanita yang bukan mahrom.


Faedah dari hadits tersebut, diantaranya:




  • Dilarangnya mukhannats masuk ke tempat kaum wanita dan kaum wanita dilarang menampakkan perhiasan mereka di hadapannya.

  • Mukhannats hukumnya sama dengan laki-laki (yang normal) yang masih tertarik dengan wanita, demikian juga laki-laki yang terpotong dzakarnya”. [“Syarhu Shahih Muslim” (14/163)].

  • Perintah supaya kaum wanita berhijab dari laki-laki yang mengerti keindahan-keindahan mereka”. [“Fathul Bariy” (9/406)].


Adapun bagi orang yang berpenampilan dan berperilaku seperti lawan jenis seperti waria atau yang semisalnya maka telah Allah dan Rasul-Nya haromkan, berkata Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma:


لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”. (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834).


Al-Imam Ath-Thabari Rahimahullah mendefenisikan perktaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan ucapan: “Tidak boleh laki-laki menyerupai wanita dalam hal pakaian dan perhiasan yang khusus bagi wanita. Dan tidak boleh pula sebaliknya (wanita menyerupai laki-laki).”


Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah juga menjelaskan: “Demikian pula meniru cara bicara dan berjalan. Adapun dalam bentuk pakaian maka ini berbeda-beda dengan adanya perbedaan adat kebiasaan pada setiap negeri. Karena terkadang suatu kaum tidak membedakan model pakaian laki-laki dengan model pakaian wanita, namun untuk wanita ditambah dengan hijab. Tercelanya laki-laki atau wanita yang menyerupai lawan jenisnya dalam berbicara dan berjalan ini, khusus bagi yang sengaja. Sementara bila hal itu merupakan pembawaannya dari kecilnya (asal penciptaannya) maka ia diperintahkan untuk memaksa dirinya agar meninggalkan hal tersebut secara berangsur-angsur. Bila hal ini tidak ia lakukan bahkan ia terus tasyabbuh (menyerupai) dengan lawan jenis, maka ia masuk dalam celaan, terlebih lagi bila tampak pada dirinya perkara yang menunjukkan ia ridha dengan keadaannya yang demikian.”


Al-Hafidz Rahimahullah juga menegaskan: Hal ini ditujukan kepada mukhannats yang tidak mampu lagi meninggalkan sikap kewanita-wanitaannya dalam berjalan dan berbicara setelah ia berusaha menyembuhkan kelainannya tersebut dan berupaya meninggalkannya. Namun bila memungkinkan baginya untuk meninggalkan sifat tersebut walaupun secara berangsur-angsur, tapi ia memang enggan untuk meninggalkannya tanpa ada udzur, maka ia terkena celaan”. [“Fathul Bari” (Juz 10/Hal. 345)].


Para ulama telah membagi mukhannats terdiri dari dua macam.


Pertama: Hal itu memang merupakan tabiatnya bukan ia bersengaja atau memberat-beratkan dirinya untuk bertabiat dengan tabiat wanita, bersengaja memakai pakaian wanita, berbicara seperti wanita serta melakukan gerak-gerik wanita. Namun hal itu merupakan pembawaannya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menciptakannya seperti itu. Mukhannats yang seperti ini tidaklah dicela dan dicerca bahkan tidak ada dosa serta hukuman baginya karena ia diberi udzur disebabkan hal itu bukan kesengajaannya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya tidak mengingkari masuknya mukhannats menemui para wanita dan tidak pula mengingkari sifatnya yang memang asal penciptaan/ pembawaannya demikian. Yang beliau ingkari setelah itu hanyalah karena mukhannats ini ternyata mengetahui gambaran bentuk-bentuk tubuh wanita dan beliau tidak mengingkari sifat pembawaannya serta keberadaannya sebagai mukhannats.


Kedua: Mukhannats yang sifat kewanita-wanitaannya bukan asal penciptaannya bahkan ia menjadikan dirinya seperti wanita (dan ini terjadi pada para waria di zaman ini), mengikuti gerak-gerik dan penampilan wanita seperti berbicara seperti mereka dan berpakaian dengan pakaian mereka. Mukhannats seperti inilah yang tercela di mana disebutkan laknat terhadap mereka di dalam hadits-hadits yang shahih.


Adapun mukhannats jenis pertama tidaklah terlaknat karena seandainya ia terlaknat niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkannya ketika yang pertama kalinya, wallahu a’lam”. [“Syarhu Shahih Muslim” Juz 14/Hal. 164].


Dari keterangan yang telah lewat maka yang benar adalah apa yang dinyatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, yaitu mukhannats jenis pertama tidaklah masuk dalam celaan dan laknat, namun hendaknya ia terus-menerus berusaha semaksimalnya untuk meninggalkan sifat kewanita-wanitaannya dan dan memohon pertolongan kepada Alloh agar mengubah tingkahnya.


Adapun mengenai larangan tasyabbuh terhadap wanita juga telah diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, ia berkata:


لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ.


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki”. (HR. Abu Dawud no. 3575. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata: Hadits ini hasan dengan syarat Muslim. [Lihat “Al-Jami’ush Shahih” (Juz 3/Hal. 92) dalam “Kitabun-Nikah wath Thalaq, bab Tahrimu Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijaldan” dalam “Kitabul-Libas, bab Tahrimu Tasyabbuhir Rijal bin Nisa’ wa Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal” (Juz 4/Hal. 314)].


Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata “Syarhu Riyadhish Shalihin” (Juz 4/Hal. 288): “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dan perempuan di mana masing-masingnya Dia berikan keistimewaan. Laki-laki berbeda dengan wanita dalam penciptaan, watak, kekuatan, agama dan selainnya. Wanita demikian pula berbeda dengan laki-laki. Siapa yang berusaha menjadikan laki-laki seperti wanita atau wanita seperti laki-laki, berarti ia telah menentang Allah dalam qudrah dan syariat-Nya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmah dalam apa yang diciptakan dan disyariatkan-Nya. Karena inilah terdapat nash-nash yang berisi ancaman keras berupa laknat, yang berarti diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah, bagi laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita atau wanita yang tasyabbuh dengan laki-laki. Maka siapa saja di antara laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita, berarti ia mendapatkan laknat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula wanita yang tasyabbuh dengan laki-laki”.


Dari hadits yang telah lewat terdapat faedah, diantaranya:




  • Haromnya bagi laki-laki tasyabbuh dengan wanita atau sebaliknya wanita tasyabbuh dengan laki-laki.

  • Orang yang tasyabbuh dengan suatu kaum maka ia serupa dengan kaum tersebut

  • Hikmah dilaknatnya laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita dan wanita tasyabbuh dengan laki-laki, adalah karena mereka menyimpang dari sifat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka.

  • Menyerupai lawan jenis dengan sengaja haram hukumnya dengan adanya ijma’

  • Tasyabbuh termasuk dari dosa-dosa besar, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Dosa besar adalah semua perbuatan maksiat yang ditetapkan hukum had-nya di dunia atau diberikan ancaman di akhirat atau mendapatkan ancaman berupa sirnanya keimanan (pada pelakunya), mendapatkan laknat, atau semisalnya”. [“Fathul Bariy” (Juz 10/Hal. 345-346), (Juz 9/Hal. 406) dan Syarhu Riyadhish Shalihin” Juz 4/Hal. 288) “Mukhtashar Kitab Al-Kabair, Al-Imam Adz-Dzahabi” (hal. 7)].


PERBEDAAN  MUKHANNATS, MUTARAJJILAH DAN KHUNTSA


 


Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai wanita dalam tingkah laku, ucapan, dan gerakannya. [“Syarhu Shahih Muslim” (Juz 14/Hal. 163, “Fathul Bariy” (Juz 9/Hal. 404)].


Al-Mutarajjilah yaitu wanita yang menyerupai laki-laki dalam hal pakaian, penampilan, cara berjalan, dalam bicara, dan semisalnya. Bukan penyerupaan dalam IQ (kecerdasan) dan ilmu. Karena menyerupai laki-laki dalam masalah ini adalah terpuji, sebagaimana diriwayatkan bahwa IQ Aisyah Radhiallahu ‘anha seperti laki-laki. [“‘Aunul Ma’bud” (Juz 13/Hal. 189)].


Khuntsa yang dalam “Qamus Arab Al-Munjid” dimaknakan sebagai banci, waria, atau wandu. Istilah waria ini, secara medis sering disebut sebagai hermafrodit.


 


Adapun khunsa maka dia terdiri dari dua jenis:


Pertama: Khuntsa musykilah. Istilah ini dipahami adalah seseorang yang memiliki kelamin ganda [memiliki penis (dzakar) dan vagina (farji) sekaligus pada bagian luarnya] namun masih diragukan keberadaannya. (Lihat pembahasan ini dalam kitab Syaikhuna Abu Muhammad Abdul Wahhab Asy-Syamiriy –Hafizhahullah- yang berjudul “Al-Faaid fii Ilmil Faraid” pada “Pashlu Miiraatsil Khuntsaa Al-Musykili”).


Untuk menentukan jenis ini, patokannya adalah:


Secara fisik: Dilihat pada bentuk kelamin dalamnya. Jika di dalam tubuhnya terdapat rahim, ia dihukumi sebagai perempuan. Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak ada rahim, ia dihukumi sebagai laki-laki.


Secara Tabiat: Apabila tanda-tanda masa baligh-nya tampak lebih dulu yang tabiat wanita seperti menstruasi, haid, istihadhah, dan yang lainnya, maka dia dihukum sebagai wanita. Namun apabila tanda-tanda masa baligh-nya lebih dulu tampak tabiat laki-laki maka dia dihukumi laki-laki.


Faedah:


Berkata Al-Imam Ibnu Mundzir –Rahimahullah- di dalam “Al-Ijma’” (Hal, 85 no. 327): Telah sepakat ulama bahwasanya khuntsa dia mendapat warisan dilihat dari kencingnya, jika dia itu kencingnya dari (saluran) kencingnya laki-laki maka dia mendapatkan warisan seperti laki-laki, dan bila dia kencingnya dari saluran kencingnya perempuan maka dia mendapatkan warisan seperti wairasan untuk perempuan”.


Berkata Syaikhuna Abu Muhammad Abdul Wahhab Asy-Syamiriy –Hafizhullah- di dalam “Al-Faaid fii Ilmil Faraid” (hal. 314): “Karena sesungguhnya keluarnya kencing termasuk paling umumnya tanda-tanda (untuk mengetahui jenisnya), karena tanda-tanda itu ada pada anak kecil, yang dewasa dan yang tua, dan seluruh tanda-tanda hanya di dapati setelah dewasa, contohnya tumbuhnya jenggot, keluarnya mani, haid dan hamil, oleh karena itu kencing termasuk paling kuatnya sebagai tanda (untuk menentukan jenisnya sebagai laki-laki atau perempuan).


Kedua: Khuntsa ghairu musykilah, yaitu seseorang yang sudah jelas dihukumi sebagai laki-laki namun menyerupai wanita dalam tingkah laku, ucapan, dan gerakannya  (yaitu mukhannats) atau dia sebagai perempuan yang menyerupai laki-laki dalam hal pakaian, penampilan, cara berjalan, cara bicara (yaitu Al-Mutarajjilah).


 


Bagaimana dengan seorang khuntsa musykilah (berkelamin ganda) apabila kelamin yang satunya (penis) dimasukan ke dalam kelamin yang lainnya (vagina) wajibkah ia mandi?


Yang pertama-tama yang perlu ditinjau adalah apabila dua khitan bertemu (masuknya ujung  penis ke dalam vagina) maka wajib mandi, baik mani keluar ataukah tidak keluar tetap wajib mandi, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. [Lihat “Al-Majmu’” (Juz 2/Hal. 149) dan “Al-Mughni” (Juz 1/Hal. 204)].


Adapun seorang khuntsa apabila ia memasukan kelamin yang satunya (penis) ke dalam kelamin yang lain (vagina), maka ia wajib mandi dengan syarat apabila kedua kelaminnya tersebut berfungsi (kedua-duannya bisa mengeluarkan air kencing). Dan ini adalah pendapat Al-Imam Al-Mawardi –Rahimahullah-.


 


 


WARIA ADALAH TERMASUK DOSA BESAR


 


Al-Imam Adz-Dzahabi Rahimahullahu dalam “Al-Kabair” hal. 145) memasukkan perbuatan tasyabbuh yang semisal waria (yang dimaksudkan waria di sini adalah seperti Khuntsa ghairu musykilah) termasuk sebagai salah satu perbuatan dosa besar.


Adapun hukuman bagi orang yang menjadi waria adalah mereka diusir dari rumah-rumah dan daerah tempat ia bermukim atau tidak bergaul dengan mereka sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qari [“‘Aunul Ma’bud”, (Juz 13/Hal. 189)]. telah lewat haditsnya juga disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita (mukhannats) dan wanita yang menyerupai laki-laki (mutarajjilah).


Dan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Keluarkan mereka dari rumah-rumah kalian”. Ibnu Abbas memberikan penjelasan: “Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengeluarkan Fulan (seorang mukhannats) dan Umar mengeluarkan Fulanah (seorang mutarajjilah)”. (HR. Al-Bukhari no. 5886).


Faedah dari hadits tersebut, diantaranya:




  • Disyariatkannya mengusir setiap orang yang akan menimbulkan gangguan terhadap manusia dari tempatnya sampai dia bertaubat. (Fathul Bariy” (Juz 10/Hal. 347).


Dari faedah tersebut merupakan bantahan terhadap orang-orang yang tidak mau menerima orang yang pernah terjatuh dalam maskiat seperti gay (liwath) walaupun orang tersebut sudah menyatakan taubatnya, siang dan malam berlinang air mata, hidupnya diwarnai dengan penyesalan dan kesedihan namun tetap diusir dan pengusiran yang dilakukan ini tidak hanya terjadi pada orang awam namun justru dilakukan oleh orang yang katanya memiliki ilmu. Dan lebih mengerikan lagi setelah mengusirnya diakhiri dengan dibuka aibnya di tempat berkumpulnya kaum muslimin. Wallahul musta’an.




  • Disyari’atkannya mengusir para waria yang sudah terjatuh pada perbuatan keji yang besar seperti mukhannats liwath atau mutarajjilah berbuat lesbian dengan sesama wanita sehingga keduanya saling menggosokkan kemaluannya, maka mereka mendapatkan laknat dan diusir seperti yang tersebut dalam hadits di atas. Namun bila sampai pada tingkatan demikian, mereka tidak hanya pantas mendapatkan laknat tapi juga hukuman yang setimpa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengeluarkan mukhannats dari rumah-rumah kaum muslimin agar perbuatan tasyabbuh-nya (dengan wanita) itu tidak mengantarkannya untuk melakukan perbuatan keji (liwath). [“Fathul Bariy” (Juz 10/Hal. 345)].


Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata: Ulama berkata: “Dikeluarkan dan diusirnya mukhannats ada tiga makna:


Pertama: Sebagaimana telah disebutkan pada hadits yang telah lewat, yaitu mukhannats tersebut disangka termasuk laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita tapi ternyata ia meiliki syahwat namun terselubung.


Kedua: Ia menggambarkan wanita, keindahan-keindahan mereka dan aurat mereka di hadapan laki-laki sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seorang wanita menggambarkan keindahan wanita lain di hadapan suaminya, lalu bagaimana bila hal itu dilakukan seorang lelaki di hadapan lelaki?


Ketiga: Tampak bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mukhannats ini bahwa dia mencermati tubuh dan aurat wanita dengan apa yang tidak dicermati oleh kebanyakan wanita. Terlebih lagi disebutkan dalam hadits selain riwayat Muslim bahwa mukhannats ini menggambarkan wanita dengan detail sampai-sampai ia menggambarkan kemaluan wanita dan sekitarnya, Wallahu a’lam”. (Syarhu Shahih Muslim” Juz 14/Hal. 164).


 


Dosakah bagi fa’il homoseks mengeluarkan mani maf’ul bih-nya dengan tanganya (atau istimna’/mansturbasi)?


Telah dimaklumi bahwa istimna’ adalah upaya seseorang mengeluarkan maninya dari alat kelaminnya dengan menggunakan tangan atau yang semisalnya, dan ini telah jelas keharomannya, dan tentu lebih harom lagi apabila ada orang lain yang mengeluarkan maninya (bukan istrinya), dalam hadits telah jelas larangan melihat aurat orang lain, lantas bagaimana kiranya apabila dipegang dan kemudian dipaksakan supaya air maninya tertumpahkan, tentu lebih utama lagi untuk dilarang (baca; harom). Dan melihat aurat orang lain sesama jenis atau selain jenis ini hukumnya adalah haram berdasarkan ijma’ `ulama, dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:


«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ».


“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain”.


Al-Imam An-Nawawy –Rahimahullah- dalam “Syarhu Shohih Muslim” berkata: Hadits ini adalah dalil tentang haramnya menyentuh aurat orang lain.


Maka lebih jelasnya berikut ini kami kutipkan fatwa-fatwa para ulama kita tentang haromnya istimna’:


Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya Tentang Onani:


Saya seorang pelajar muslim saya terjerat oleh kabiasaan onani (masturbasi). Saya terkalahkan oleh hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak lagi mengulanginya. Hanya saja, saya seringkali gagal. Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukan onani kembali. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima? Haruskah saya menqadha shalat? Lantas, apa hukum onani? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video”.


 


Beliau menjawab:


Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata:


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) [المؤمنون : 5 - 7]


“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (Al-Mu’minun: 5-7). Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran dan pengaruh syahwat.


Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:


«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ».


“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan pengaruh syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara: berpuasa bagi yang tidak mampu menikah, dan menikah bagi yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk menghilangkan pengaruh syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.


Wajib bagimu untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula kamu harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwatmu, sebagaimana yang sebutkan sebutkan bahwa kamu menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.


Seorang muslim semestinya menutup pintu-pintu kejelekan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada dirimu, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi kamu wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepadamu.


Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagimu. Perbuatan dosa yang kamu lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah kamu kerjakan. Jika kamu mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian setelah itu kamu melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan –kamu berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang kamu kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai syari’at, maka tidak akan gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang telah dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa. (“Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan” IV 273-274)].


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:


Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani)?”


Beliau menjawab: “Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) [المؤمنون : 5 - 7]


“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (Al-Mu’minun: 5-7).


Siapa saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat di atas.


Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:


«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ».


“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.


Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu tidak boleh.


Penelitian yang benarpun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada pikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan. (“Asilah Muhimmah Ajaba ‘Alaiha Ibnu Utsaimin” (hal. 9) disadur dari “Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram”).


Samahatu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya:


Ada seseorang yang berkata; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya?”


Beliau menjawab:


Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya:


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) [المؤمنون : 5 - 7]


“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (Al-Mu’minun: 5-7).


Al-‘Adiy artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.


Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas; dan tidak diragukan lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.


Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan disaat syahwat bergejolak. Perbuatan ini tidak boleh ia lakukan, karena mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para dokter kesehatan.


Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajibanmu, wahai penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya.


Maka ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:


«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ».


“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.


Didalam hadits ini beliau tidak mengatakan: “Barangsiapa yang belum mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi beliau mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”


Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu:


Pertama: Segera menikah bagi yang mampu.


Kedua: Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan. Maka hendaklah kalian wahai pemuda, beretika dengan etika agama dan bersungguh-sungguh didalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.


Menikah itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya: “Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid (pejuang) di jalan Allah”. [“Fatawa Syaikh Bin Baz” yang dimuat di “Majalah Al-Buhuts” (edisi 26 hal 129-130), disadur dari “Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram”].


Dosakah bagi fa’il homoseks melakukan oral kepada maf’ul bih-nya?


Tentang masalah ini diharomkannya karena keumuman larangan melihat aurat sesama jenis apalagi sampai memasukan penis- maf’ul-nya kedalam  mulut, Dan melihat aurat orang lain sesama jenis atau selain jenis ini hukumnya adalah haram berdasarkan ijma’ `ulama, dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:


«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ».


“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain”.


Al-Imam An-Nawawy –Rahimahullah- dalam “Syarhu Shohih Muslim” berkata: Hadits ini adalah dalil tentang haramnya menyentuh aurat orang lain.


Adapun seorang istri yang memasukan penis suaminya ke dalam mulutnya ada dua pendapat:


Pendapat pertama: Boleh, dan ini adalah pendapat yang disandarkan ke Al-Imam Al-Wadi’iy –Rahimahullah-.


Pendapat Kedua: Harom, dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama Saudi Arabia mereka mengharamkan perbuatan ini, ini dapat dilihat dari fatwa-fatwa berikut:


 


Apa hukum oral seks?


Jawab:




  • Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi -Rahimahullah- menjawab sebagai berikut: “Adapun isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral sex), maka ini adalah haram, tidak dibolehkan. Karena ia (kemaluan suami) dapat memencar. Kalau memencar maka akan keluar darinya air madzy yang dia najis menurut kesepakatan (ulama’). Apabila (air madzy itu) masuk ke dalam mulutnya lalu ke perutnya maka boleh jadi akan menyebabkan penyakit baginya. Dan Asy-Syaikh Ibnu Baz -Rahimahullah telah berfatwa tentang haramnya hal tersebut –sebagaimana yang saya dengarkan langsung dari beliau-”.


Dan dalam “Masa`il Nisa’iyyah Mukhtarah Min Al-`Allamah Al-Albany” karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi (hal. 197) (cet. Majalisul Huda AI¬Jaza’ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany Rahimahullah ditanya sebagai berikut: “Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan (penis) suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?” Beliau menjawab: “Ini adalah perbuatan sebagian binatang, seperti anjing. Dan kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan beliau turun (sujud) seperti turunnya onta, dan menoleh seperti tolehan srigala dan mematuk seperti patukan burung gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa Nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan -sebagai penguat yang telah lalu-, apalagi hewan yang telah diketahui kejelekan tabiatnya. Maka seharusnya seorang muslim -dan keadaannya seperti ini- merasa tinggi untuk menyerupai hewan-hewan”.


TANGGAPAN DARI YANG TEGAK DIANTARA DUA KHILAF


Sebagian orang ada yang bertanya-tanya tentang masalah ini, dengan melontarkan beberapa pertanyaan: Kalau diharomkannya karena madzy, dan telah kita ketahui kalau madzi itu najis, maka bagaimana kalau seseorang yang melakukannya menjaga jangan sampai madzy tertumpahkan dalam mulut (tidak sampai ditumpahkan dalam mulut), apakah juga harom? Anggaplah benar kalau madzy itu akan mengakibatkan penyakit apabila masuk pada mulut atau tertelan lalu bagaimana kalau ia masuk ke dalam rahim, bukankah (kalau benar itu membawa penyakit) akan memberikan dua kerugian sekaligus, pada si wanita, juga pada janin yang ada di dalam rahim akan terkena penyakit pula? Juga dimaklumi kalau tindakan menyamakan (tasyyabbuh) sebagai suatu perkara yang harom, namun demikian juga apabila menyerupakannya dengan perilaku binatang, benarkah binatang melakukan ‘oral seks’?, jika sekadar kalau binatang yang jantan menjilat alat kelamin hewan betina ini benar, namun yang betina memasukan alat kelamin jantan ke dalam mulutnya adalah mustahil?  Adakah binatang yang melakukannya? Kalau anjing jantan yang mencium alat kelamin betina memang benar ada, namun apakah yang anjing betina ada yang menghisap (memasukan) kelamin jantan ke mulutnya? Disisi lain binatang seperti kera yang jantan juga sanggup melihat alat kelamin betina dan memegangnya. Maka dari itu adakah melihat alat kelamin (farji) wanita harom? Dan bagaimana kalau memegangnya apakah juga harom? Bukankah ini keserupaan dengan kera?


Dari pertanyaan tersebut menjadikan kami untuk tidak bisa mengatakan bahwa oral sex itu harom atau mubah, karena ada dalil yang membuat kami untuk tegak diantara dua khilaf, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud, dia berkata: “Dahulu Rasulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bercumbu dengan istrinya yang sedang haid, sementara istrinya memakai kain (menutupi qubul dan duburnya-pent).” Juga hadits dari Aisyah: “Dahulu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannku (memakai kain untuk menutupi qubul dan dubur-pent), kemudian aku memakainya, lalu beliau bercumbu denganku sedangkan aku dalam keadaan haid” dan juga dipertegas dengan perkataan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:


«اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ».


“Kerjakanlah oleh kalian segala sesuatu kecuali jima’”. (HR. Muslim dari Anas bin Malik). Ditambah lagi keterangan dari Al-Imam An-Nawawi –Rahimahullah-: Adapun bermesraan pada anggota tubuh selain antara pusar dan lutut, adalah halal hukumnya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin”. (“Al-Majmu’” Juz 1/Hal. 366)].


Dari hadits-hadits dan penjelasan tersebut pengecualiannya hanya antara pusar dan lutut masuk di dalamnya qubul dan dubur, ditambah lagi tentang larangan pada dubur ada hadits khusus yang menunjukkan keharoman jima’ pada dubur (anal sex). Adapun tentang masalah oral sex maka “tidak adanya dalil” yang jelas tentang larangannya, juga tidak ada hukum lain yang menyertainya, padahal dalam masalah fiqih dalam Islmi telah ada kaidah syar’iyah “Bahwa suatu hukum ada, karena bersama (yang lain) dan tidak ada, karena berdiri sendiri (tidak bersama yang lain).”


Yang membuat kami untuk tetap tegak diantara dua khilaf, karena jika kami memililih pendapat bahwa oral sex adalah boleh, maka kami tidak tahu apakah ada ulama dari ahlussunnah yang menyatakan demikian? Walaupun telah ada dari sebagian ikhwah menyampaikan kepada kami bahwa Al-Imam Al-Wadi’iy –Rahimahullah- berpendapat boleh, namun mengingat kami masih simpangsiur apakah benar Al-Imam Al-Wadi’iy –Rahomahullah- berpendapat demikian? Dan dari mana sumber fatwanya jika pendapat itu benar pendapatnya?.


Apakah orang yang melakukan oral sex wajib mandi ketika akan sholat?


Al-Imam Asy-Syafi’i –Rahimahullah- dalam kitab “Al-Umm” berkata: Kalau seandainya alat kelamin laki-laki dimasukan ke dalam mulut (oral sex), atau di telinga, ketiak, atau kedua pantat seorang wanita (bukan pada dubur- pent) dan tidak keluar mani maka tidak wajib mandi.


Dari keterangan tersebut Al-Imam Asy-Syafi’i memberikan isyarat tentang masalah oral sex, hanya saja tidak beliau terangkan tentang hokum oral sex.

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts