Selasa, 02 Juli 2013


HADITS MASYHUR

Berkata Nadzim rahimahullah:
............................................                              مَشْهوْرٌ مَرْوِيٌّ فَوْقَ مَا ثَلاثة

………………………      Hadits masyhur itu adalah riwayat lebih dari tiga



Syarah:

Kata masyhur secara bahasa Diambil dari isim maf’ul dari kata: شّهِرَ الأمر يُشْهِرُهُ شُهْرَةً هُوَ مَشْهُوْرٌ  Artinya sesuatu yang telah dikenal.

Sedangkan definisi yang dibawakan oleh imam Al-Baiquni diatas adalah: setiap hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari tiga perawi. Definisi yang beliau bawakan tentang hadits masyhur diatas adalah definisi yang dibawakan oleh para imam yang lainnya, semisal imam Ibnus Shalah, imam An-Nawawi, imam Ibnu Katsir dll. [1]

Definisi Yang Terpilih Dari Hadits Masyhur

Adapun definisi yang terpilih dari hadits masyhur adalah:
((ماكان في أقل طبقة من طبقات سنده ثلاثة فأكثر ما لم يبلغ حد التواتر))

 “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir.”[2]

Contoh-contoh hadits masyhur

Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi Jum’at wajib atas setiap orang yang telah ihtilam (mimpi basah).”[3]

Hadits ini dikeluarkan oleh tiga orang shabat diantaranya: Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhum.

-Yang meriwayatkan dari Umar bin Khattab adalah: Salim bin Abdullah bin Umar dari bapaknya dari kakeknya (Umar).

- Yang meriwayatkan dari Abdullah bin Umar adalah: Nafi’ bekas budaknya.

- Yang meriwwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri adalah: ‘Atha’ bin Yasar.

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, “Periwayatan Nafi’ dari Ibnu Umar dalam hadits ini sangatlah masyhur sekali. Sungguh imam Abu ‘Awwanah telah memberikan perhatian besar dalam memaparkan jalan-jalan periwayatannya di dalam kitab Shahihnya. Dia memaparkan kurang lebih 70 jalan periwayatan yang meriwayatkan dari Nafi’. Dan sungguh aku telah mengumpulkan jalan-jalan periwatan tersebut dalam sebuah juz tersendiri...dan aku kumpulkan jalan-jalan periwayatan yang meriwayatkan dari Nafi’ sekitar 120 jalan periwayatan.[4]





Hadits masyhur di luar istilah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam yang meliputi : mempunyai satu sanad, mempunyai beberapa sanad, dan tidak ada sanad sama sekali; seperti :

a)    Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

b)    Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya :”Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

c)    Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya : ”Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” [HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dla’if].

d)    Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya : ”Telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan…..” [HR. Al-Hakim dan Ibnu Hibban].

e)    Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya : ”Tergesa-gesa adalah bagian dari perbuatan syaithan” [HR. At-Tirmidzi dengan sanad hasan].[5]

Faedah: Hadits-hadits yang masyhur adakalanya shahih, hasan, atau dha’if.

- Contoh hadits masyhur yang shahih. Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu serta merta dari para hamba....” hadits muttafaq ‘alaih diriwayatkan dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.

- Contoh hadits masyhur yang hasan. Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

“Mencari ilmu (syar’i) itu wajib atas setiap muslim.” Berkata imam Al-Mizzi: “Hadits ini memiliki beberapa jalur periwayatan sehingga naik menjadi derajat hasan.”[6]

- Contoh hadits masyhur yang dho’if. Hadits bacaan do’a setelah makan yang sangat terkenal di negeri kita ini.

“Segala Puji bagi Allah yang telah memberi makan dan minum kami dan menjadikan kami termasuk orang-orang muslim.” Hadits ini lemah sebagaimana ditegaskan oleh para ulama diantaranya imam Adz-Dzahabi dan syaikh Al-Albani.[7]

Hadits Yang Populer Belum Tentu Shahih

  Suatu Hadits yang masyhur dan populer dikalangan masyarakat tidaklah menunjukan bahwa hadits tersebut shahih sama sekali. Berapa banyak hadits yang masyhur di masyarakat, tetapi para ahli hadits menghukuminya sebagai hadits yang lemah, palsu bahkan tidak ada asal-usulnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Hadits masyhur biasa juga diartikan dengan hadits yang banyak beredar di lidah masyarakat umum, maka hal ini mencakup hadits yang memiliki satu sanad atau lebih, bahkan hadits yang tidak memiliki sanad sama sekali.”[8]

Syakhul Islam berkata, “Seandainya masyarakat umum yang mendengar suatu hadits dari tukang cerita dan aktivis dakwah, atau dia membaca hadits, yang baginya adalah populer, maka bukanlah hal itu menjadi patokan sama sekali. Betapa banyak hadits-hadits yang beredar di masyarakat umum, bahkan di kalangan ahli Fiqih, kaum sufi, ahli filsafat dan sebagainya, lalu menurut pandangan ahli hadits ternyata hadits tersebut adalah tidak ada asalnya, dan mereka menegaskan hadits tersebut palsu.”[9]

Perlu diketahui bahwa populernya suatu hadits berbeda-beda sesuai dengan waktu dan tempat. Oleh karena itulah, para ulama ahli hadits memperhatikan masalah ini dan membukukannya secara khusus, seperti Kasyful Khafa’ oleh Al-Ajluni, Ad-Durar Al-Muntasyirah oleh As-Suyuti, Al-Maqashidul Hasanah oleh As-Sakhawi dan lain sebagainya.[10]


HADITS MU’AN’AN (مُعَنْعَن)

 Berkata nadzim rahimahullah,
مُعنعَنٌ كَعن سَعِيدٍ عن كَرَم              .........................................

Definisi Hadits Mu’an’an

Yaitu suatu hadits yang di dalam sanadnya terdapat perkataan seorang perawi

(فلان عن فلان) “Fulan dari Fulan”.

Para ulama ahli hadits berbeda pendapat tentang diterima atau tidaknya hadits mu’an’an tersebut menjadi dua pendapat:

Pendapat Pertama: Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits mu’an’an adalah bagian dari hadits mursal[11] dan hadits munqathi’ (hadits yang terputus sanadnya). Sampai diketahui dengan jelas bahwa hadits tersebut bersanbung sanadnya. Dikarenakan perkataan  عَنْ (dari) masih mengandung kemungkinan tidak mendengar langsung dari gurunya, berbeda dengan ucapan ‘Aku mendengar’.[12]

Pendapat ini dipegang oleh para ulama muta’akhkhirin (yang datang belakangan) dari madzhab dzahiriyah.

Pendapat Kedua: Hadits mua’an’an termasuk kedalam kategori hadits yang muttashil (bersambung sanadnya). Inilah pendapat yang rajih.

Berkata imam Ibnus Shalah rahimahullah, “Pendapat yang shahih, bahwa hadits mu’an’an adalah termasuk kategori hadits yang muttashil (bersambung), inilah pendapat mayoritas para ulama dari kalangan ahli hadits maupun yang lainnya.[13]

Berkata imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah, “Ketahuilah, mudah-mudahan Allah merahmatimu. Sesungguhnya aku telah meneliti perkataan-perkataan para imam ahli hadits, dan aku juga telah meneliti kitab-kitab (hadits) yang penulisnya mensyaratkan keshahihan pada kitab-kitab mereka juga para penulis yang tidak mensyaratkan keshahihan pada kitab-kitab mereka, aku dapati mereka semua sepakat tentang diterimanya sanad hadits yang menggunakan redaksi عَنْ  (dari), tanpa ada perbedaan pendapat dikalangan mereka. Namun haruslah terpenuhi tiga syarat:

1. Para perawinya adalah perawi yang ‘adl.

2. Satu perawi dengan perawi yang lainnya pernah saling bertemu, baik duduk bersama atau saling melihat.[14]

3.  haruslah perawi tersebut terbebas dari sifat tadlis (menyembunyikan aib/ cacat).[15]

Berkata imam Asy-Syafi’i ragimahullah,
وأقبل الحديثَ : (حَدَّثني فلان ، عن فلان ) ، إذا لم يكن مدلِّسا.

“Aku menerima hadits yang di dalamnya terdapat redaksi (telah menceritakan kepadaku Fulan, dari Fulan) selama perawi tersebiut bukan mudallis.”[16]

Berkata imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah, “Yang nampak dalam hal ini adalah, tidak diterimanya hadits ‘an’anah kecuali apabila perawinya dikenal tidak melakukan tadlis, dan tidaklah menceritakan suatu hadits kecuali dia telah mendengarnya langsung dari perawi tersebut (syaikhnya). Hal ini mirip dengan pernyataan seorang yang berkata ‘Sesungguhnya hadits ‘an’anah tidaklah diterima kecuali dari perawi yang telah berjumpa dan mendengar hadits tersebut langsung dari syaikhnya. Kemudian di sana masih ada tambahan lain yaitu disyaratkan perawi tersebut tidak melakukan tadlis dari syaikhnya dan tidak menceritakan hadits darinya kecuali dia telah mendengarkannya secara langsung.”[17]

Apabila perawi tersebut seorang Mudallis dan tidak menyatakan secara jelas bentuk periwayatannya dengan Tahdist (seperti perkataan perawi ‘menceritaan kepadaku’) atau tasmi’ (seperti perkataan perawi ‘aku mendengar) maka hadistnya tertolak. Sedangkan bila perawi tersebut adalah orang yang tsiqah dan tsabt (kuat hafalan), tidak tertuduh melakukan tadlis, maka hadistnya diterima. Diterima pula mu’an’an dari seorang mudallis bila terdapat bentuk periwayatan yang jelas dengan tasmi’ pada jalur periwayatan yang lainnya untuk hadist yang sama.

Hadits muannan (مؤنّن)

hadist muannan (مؤنّن), yaitu seperti perkataan “si Fulan telah menceritakan kepadaku bahwasannya Fulan berkata….”.

tidak ada perbedaan antara hadits muannan dengan hadits mu’an’an keduanya dihukumi sebagai hadits yang bersambung dengan syarat-syarat yang telah disebutkan pada hadits mu’an’an.[18] Wallahu a’lam.

Hukum Perkataan Seorang Perawi ‘Berkata Fulan’ (قال فلان)

Berkaitan dengan hal ini, maka para ulama diantaranya imam Ibnu Rajab merincinya menjadi tiga rincian:

Pertama: Apabila perawi tersebut adalah perawi yang terkenal tidak melakukan tadlis, maka periwayatannya dengan kalimat tersebut diterima. Contohnya para perawi seperti: Hammam, Hamad bin Zaid, Syu’bah, Hajjaj bin Muhammad dan selainnya.

Kedua: Apabila perawi yang berucap demikian adalah perawi yang terkenal dengan tadlisnya, maka rincian hukumnya sama dengan perkataan perawi ‘Dari Fulan’, sebagaimana telah lalu penjelasannya.

Ketiga: Apabila kondisi perawi tidak diketahui apakah dia mudallis atau bukan mudallis, jika terbukti dia meriwayatkan dari syaikhnya, maka haditsnya dihukuni bersambung.[19]

Faedah: Berkata imam Ibnu Rajab rahimahullah, “Merupakan perkara ijma’ –sebagaimana disebutkan oleh imam Ibnu Abdil Barr-, bahwasanya perkataan seorang shahabat ‘Dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam’ (عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), atau ucapan mereka ‘Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berkata’ (قال رسول الله), atau perkataan mereka ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam’ (سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم) seluruhnya adalah sama (diterima). Hal itu dikarenakan periwayatan dari shahabat adalah hujjah.”[20] Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ahli ‘ilmi.[21]




HADITS MUBHAM



Berkata Nadzim rahimahullah,
...............................    وَمُبهمٌ ما فيه راوٍ لم يسمّ

.........................                Hadits mubham adalah yang ada di dalamnya perawi yang tidak disebutkan namanya

SYARAH

Definisi Hadits Mubham

Imam Al-Baiquni mendefinisikan hadits mubham sebagai mana dalam bait sya’ir diatas yaitu: الْحَديثُ الذي فيه راو لم يعَيَّن اسمه  “Hadits yang di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak disebutkan namanya.” Contohnya: perkataan salah seorang perawi, ‘Telah menghabarkan kepadaku Fulan, telah menceritakan kepadaku salah seorang syaikh atau Ibnu Fulan dst.

Pembagian Hadits Mubham

Hadits mubham dibagi menjadi dua macam:

Pertama: Mubham di dalam sanad, contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3) dari jalan Abu At-Tiyah berkata, telah menceritakan kepadaku salah seorang syaikh ia berkata, tatkala Ibnu Abbas mendatangi kota Basrah, maka ia menceritakan sebuah hadits dari Abu Musa....samapai perkataan beliau, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَبُولَ فَلْيَرْتَدْ لِبَوْلِهِ

“Apabila salah seorang diantara kalian ingin kencing, maka hendaklah ia memilih tempat yang mudah digunakan untuk kencingnya.”

Berkata imam As-Sakhawi rahimahullah[22], “Pokok dalam kita mengetahui hadits yang mubham adalah perkataan Ibnu Abbas, “Senantiasa aku ingin bertanya kepada Umar tentang dua wanita yang disebutkan dalam Al-Qur’an: “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah” (At-Tahrim: 4). Hingga suatu ketika aku keluar untuk melaksanakan haji bersamanya, maka tatkala kami melewati sebagian jalan untuk pulang, maka ia (Umar) pergi sebentar mencari kayu ‘Arok untuk suatu kebutuhan, aku pun bersamanya sampai ia selesai, kemudian aku pergi melanjutkan perjalanan besamanya. Kemudian aku berkata, “Wahai amirul mu’minin, siapakah dua wanita yang bersekongkol dari istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam?” maka ia menjawab, “Keduanya adalah Hafshah dan ‘Aisyah.” (Muttafaq ‘alaih)

Kedua: Mubham di dalam matan (teks hadits), contoh: Hadist Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا قَائِمًا فِي الشَّمْسِ

“Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam melihat seseorang sedang berdiri di bawah matahari.” (HR. Bukhari: 6704). Berkata Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah, “Orang tersebut adalah Abu Isra’il Qishar Al-‘Amiri.”[23]

Hukum Hadits Mubham

Apabila hadits mubham tersebut adalah mubham dalam matannya (teks haditsnya), maka tidaklahlah mempengaruhi keshahihan suatu hadits.

Adapun mubham dalam sanad, maka itu menyebabkan suatu hadits tertolak. Hal itu dikarenakan tidak diketahuinya kondisi seorang perawi yang meriwayatkan suatu hadits, apakah riwayatnya bisa di terima ataukah tidak, yaitu dengan di tinjau dua hal yang ada pada perawi tersebut baik dari segi dhabt (kredibilitasnya) atau ‘adalah-nya (keadilannya).

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah,
ولا يُقْبَلُ حديثُ المُبْهَم، ما لم يُسَمَّ، لأن شرط قبول الخبر عدالة رواته، ومَنْ أُبْهِمَ اسْمُه لا يُعرفُ عَيْنهُ؛ فكيف عدالته

“Hadits mubham tidaklah bisa diterima selagi tidak diketahui nama perawi tersebut; karena syarat di terimanya sebuah Khabar (hadits/berita) adalah sifat ‘adalah pada seorang perawi, selagi nama seorang perawi tidak diketahui maka tidak diketahui orangnya, apatah lagi diketahui ‘adalah-nya.[24]

Demikian juga tidak diterima periwayatan seorang perawi dengan perkataannya  (حَدّثني ثقة) ‘Telah meriwayatkan kepadaku seorang perawi yang tsiqah’. Hal itu dikarenakan pentsiqahan terhadap perawi yang mubham tidaklah diterima.[25]

Bagaimanakah Diketahui Kondisi Perawi Yang Mubham?

  1. Diketahui kondisi seorang perawi yang mubham yaitu dengan adanya riwayat lain yang menyebutkan namanya.

  2. Atau adanya penjelasan dari para pakar ahli hadits atau sejarah tentang nama perawi tersebut.[26]



Apakah Hadits Mubham Termasuk Hadits Muttasil (bersambung sanadnya)?

Dalam masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama:

  1. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits mubham termasuk kedalam kategori hadits munqathi’ (terputus sanadnya).[27]

  2. Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits mubham masuk kedalam kategori hadits muttasil (bersambung sanadnya). Hanya saja dikatakan bahwa hadits tersebut muttasil akan tetapi di dalamnya terdapat perawi yang majhul (tidak dikenal). Inilah pendapat yang rajih, hal itu dikarenakan hadits mubham tidak terkait dengan hilangnya mata rantai perawi, akan tetapi kaitannya dengan keberadaan perawi yang tidak dikenal namun bersambang dari segi sanadnya.[28]

Apakah Hadits Mubham Bisa Dijadikan Sebagai Syawahid (penguat) bagi Hadits Lain?

  Hadits mubham tidak bisa dijadikan sebagai syawahid (penguat), dikarenakan keberadaan perawi yang mubham (tidak dikenal). Kecuali apabila kemubhamannya ada pada thabaqah tabi’in atau tabi’ut tabi’in.

Apabila ada yang mengatakan, mengapa hanya dikhususkan pada thabaqah tabi’in atau tabi’ut tabi’in?

Jawabannya: Demikianlah yang dijelaskan oleh para ulama, hal itu dikarenakan dua generasi diatas (tabi’in dan tabi’ut tabi’in) adalah generasi yang dikenal dengan kebaikan, dan kedustaan di masa mereka lebih sedikit dari pada masa setelah mereka.[29]

Apa Sebab Seorang Perawi Menyembunyikan Perawi Lain yang Dia Meriwayatkan darinya?

Jawabannya: berkata imam As-Sakhawi rahimahullah, “Tidak jelasnya mata rantai nama-nama para perawi baik pada sebagian riwayat maupun pada seluruh riwayat dikarenakan beberapa faktor: keinginan untuk meringkas, atau adanya keraguan atau sebab-sebab lainnya...”[30] Demikian juga dimungkinkan karena ulah para perawi yang mudallis. Disana juga ada faktor lain yaitu kekhawatiran seorang perawi apabila disebutkan nama perawinya hal tersebut akan membahayakan nasib syaikhnya dihadapan para penguasa, atau khawatir tidak mendapatkan respon dan penerimaan dari orang-orang yang mengikutinya. Wallahu a’lam.

Pembahasan Hadits Majhul

Pembahasan hadits mubham akan lebih lengkap bila ditambahkan pembahsan tentang hadits majhul.

Hadits majhul adalah,
هو من لم تعرف عينه أو صفته ومعنى ذلك هو الراوي الذي لم تعرف ذاته أو شخصيته ولكن لم يعرف عن صفته أي عدالته وضبطه شيء

“Orang yang tidak diketahui identitasnya atau sifatnya. Maknanya, ia adalah perawi yang tidak diketahui dzatnya atau kepribadiannya; atau diketahui kepribadiannya akan tetapi tidak diketahui sifatnya sedikitpun dalam ‘adalah (keadilan)nya dan kedhabitannya (kredibilitasnya).”[31]

Imam Ibnu Hajar menyebutkan tiga sebab kemajhulan seorang perawi:

  1. Perawi mempunyai banyak sifat yang terkait dengan nama, kun-yah, laqab (julukan), sifat, profesi, atau nasabnya, dan ia masyhur dengan salah satu dari hal-hal tersebut; kemudian perawi tersebut disebut dengan sesuatu yang tidak masyhur darinya dengan maksud-maksud tertentu sehingga dengan penyebutan tersebut perawi tersebut disangka perawi lain, sehingga keadaannya pun menjadi majhul. Misalnya: Muhammad bin As-Saaib bin Bisyr Al-Kalby. Sebagian menyandarkannya kepada kakeknya (yaitu Bisyr), sehingga dikatakan: Muhammad bin bisyr. Sebagian menamakannya dengan Hammad bin  As-Saaib. Sebagian orang memberinya kun-yah: Abu Nadr, sebagaian lagi: Abu Sa’id, sebagian lagi Abu Hisyam; sehingga dengan itu semua disangka nama-nama tersebut adalah sekelompok orang, pada ia adalah satu orang saja.



  1. Perawi mempunyai sedikit hadits, sehingga tidak banyak perawi yang meriwayatkan hadits darinya. Beberapa ulama menulis tentang kumpulan para perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali seorang saja. Diantara para perawi yang meriwayatkan darinya adalah Muslim, Al-Hasan bin Sufyan dan selainnya.



  1. Perawi yang tidak disebut namanya untuk menyingkat dari perawi yang meriwayatkan darinya (mubham). Hal ini seperti perkataan perawi telah menghabarkan kepadaku Fulan , atau syaikh atau seorang, atau sebagian mereka, atau Ibnu Fulan. Tidak diterima hadits dari perawi mubham selama tidak disebiutkan namanya, karena syarat penerimaan riwayat adalah keadilan para perawinya. Barang siapa yang dimubhamkan namanya, maka tidak diketahui identitasnya. Lantas, bagaimana akan diketahui keadilannya?[32]



Macam-Macam Perawi Majhul

Majhul dibagi menjadi tiga macam: Majhul Hal, Majhul Hal secara dzahir dan batin, Majhul Hal secara batin.

Bagian Pertama, Majhul ‘Ain: Yaitu perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali hanya seorang saja. Ada beberapa pendapat para ulama tentang penerimaan riwayat darinya. Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama bahwa riwayatnya tidak diterima.

Bagian Kedua, Majhul Hal dalam ‘adalah (keadilan) dzahir dan bathin, bersamaan diketahuinya identitas dengan adanya periwayatan dua orang perawi ‘adl darinya. Ada beberapa pendapat tentang hal tersebut. Pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur ulama sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnus Shalah bahwa riwayatnya tidak diterima. Pendapat kedua, diterima secara muthlaq meskipun mereka tidak menerima bagian perawi pertama (majhul ‘ain). Pendapat ketiga, apabila meriwayatkan darinya dua orang perawi yang ‘adil, atau para perawi yang meriwayatkan darinya ada perawi yang diketahui ia tidak meriwayatkan kecuali dari seorang yang ‘adil, maka diterima. Jika tidak, tidak diterima.

Bagian Ketiga, Majhul pada ‘adalah bathin-nya, namun ia ‘adil dalam dzahirnya. Perawi ini dijadikan hujjah oleh sebagian orang yang tidak berhujjah dengan dua golongan pertama diatas. Inilah yang dipilih oleh imam Sulaim bin Ayyub Ar-Razi...”[33]

Berkata imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Permasalahan majhul dalam ‘adalah dzahir dan bathin, riwayatnya tidak diterima menurut jumhur ulama. Perawi yang majhul dalam ‘adalah bathin-nya, namun ‘adil dalam dzahirnya, sebagian ulama syafi’iyah menerima riwayatnya. Pendapat ini dirajihkan oleh Sulaim bin Ayyub Al-Faqih, dan disepakati oleh Ibnus Shalah. Aku telah menuliskan pembahasan tentang hal tersebut dalam Al-Muqaddimat. Wallahu a’lam.

Adapun perawi mubham yang tidak disebutkan namanya, atau perawi yang disebutkan namanya namun tidak disebutkan identitasnya (majhul ‘ain) , maka tidak adapun satu ulama yang kami ketahui menerima riwayatnya. Namun bila perawi tersebut hidup dalam masa tabi’in dan generasi-generasi yang dipersaksikan dengan kebaikan, maka riwayatnya boleh dibawakan dan dipertimbangkan dalam beberapa tempat. Terdapat dalam Musnad imam Ahmad dan lainnya adanya penerimaan riwayat ini dalam jumlah yang banyak. Wallahu a’lam.”[34]

Contoh perawi majhul ‘ain dan hadits yang dibawakannya:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ أَبِيهِ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ، مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ»

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Hafsh bin Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash, dari As-Saib bin Yazid, dari bapaknya: “Bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam apabila selesai berdo’a, maka ia mengangkat kedua tangannya dan megusap wajah beliau dengan kedua tangannya tersebut.” (HR. Abu Dawud: no, 1492)

Hafsh bin Hsyim adalah perawi yang majhul ‘ain, hanya ada seorang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu Abdullah bin Lahi’ah. Ibnu Hajar rahimahullah memperkirakan bahwa Ibnu Lahi’ah telah melakukan kekeliruan. Yahya bin Ishaq As-Sailahini termasuk murid Ibnu Lahi’ah yang terdahulu,  dan ia (Yahya) telah menghapal darinya (Ibnu Lahi’ah) Habban bin Wasi’. Adapun Hafsh bin Hasyim, maka tidak ada penyebutan tentangnya sedikitpun dalam kitab-kitab tarikh. Dan tidak ada yang menyebutkan bahwa Ibnu ‘utbah mempunyai anak yang bernama Hafsh.[35]

Contoh hadits yang di dalamnya terdapat perawi yang majhul hal dan hadits yang dibawakannya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْيَشْكُرِيُّ، عَنِ ابْنِ أَبِي حَبِيبَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نُرِيدُ الْمَسْجِدَ، فَنَطَأُ الطَّرِيقَ النَّجِسَةَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْأَرْضُ يُطَهِّرُ بَعْضُهَا بَعْضًا»

Telah menceritakan Abu Kuraib: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Isma’il Al-Yasykuri, dari Ibnu Abi Habibah, dari Dawud bin Al-Hushain, dari Abu Sufyan, dari Abu Hurairah ia berkata: Dikatakan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami ingin pergi ke masjid, namun kami menginjak tanah yang najis.” Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Sebagian bumi itu mensucikan sebagian yang lain.” (HR. Ibnu Majah; no. 532)

Ibrahim bin Isma’il Al-Yasykuri adalah majhul hal. Ada dua orang perawi yang meriwayatkan darinya, yaitu: Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Ala Al-Hamdani dan Ma’mar bin Sahl Al-Ahwazi.[36]

Terangkatnya Jahalah dari Seorang Perawi

Ada beberapa hal yang menyebabkan terangkatnya jahalah pada seorang perawi:

  1. Penetapan ‘adalah dari seorang ulama yang pakar (mu’tabar). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh para ulama.



Berkata imam Ibnu Shalah rahimahullah, “Para ulama berselisih pendapat tentang apakah dalam Jarh wat ta’dil itu tetap berdasarkan perkataan para ulama atau mesti dua orang. Diantara mereka ada yang berkata: tidak tetap hal tersebut kecuali dengan perkataan dua orang, sebagaimana dalam permasalahan al-jarh wat ta’dil itu sama dengan permasalahan persaksian. Diantara mereka ada yang berkata-dan itu adalah pendapat yang benar yang dipilih oleh Al-Hafidz Abu Bakar Al-Khatib dan yang lainnya- bahwa al-jarh wat ta’dil itu tetap dengan perkataan seorang ulama, karena jumlah tidaklah disyaratkan dalam penerimaan khabar. Maka tidak disyaratkan junlah dalam jarh dan ta’dil perawinya, berbeda halnya dalam permasalahan persaksian (syahadah). Wallahu’alam.[37]



Berkata imam Ibnu Katsir rahimahullah,
ويكفي قول الواحد في التعديل والتجريح على الصحيح

“Dan perkataan seorang ulama dalam ta’dil (pujian) atau tajrih (kritikan) adalah mencukupi menurut pendapat yang shahih.”[38]



  1. Periwayatan dua orang atau lebih perawi yang tsiqah/’adil darinya.

Inilah yang dijelaskan oleh para ulama mutaqddimin (terdahulu).

Berkata imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah, “Aku pernah berkata kepada ayahku tentang riwayat para perawi tsiqah dari seorang perawi yang tidak tsiqah yang menjadi penguatnya, maka ia (Abu Hatim) berkata, “Apabila para perawi tersebut terkenal dengan kedha’ifannya, maka riwayat perawi tsiqah tersebut tidak dapat menguatkannya. Namun jika perawi tersebut majhul, maka riwayat perawi tsiqah tersebut darinya tidak dapat menguatkannya. Namun bila perawi tersebut majhul, maka riwayat perawi tersebut akan bermanfaat baginya (menghilangkan kemajhulannya).[39]



Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli rahimahullah berkata, “Apabila ada dua orang perawi meriwayatkan dari seorang muhaddits, akan terangkatlah jahalah.”[40]



Berkata imam Ad-Daruquthni rahimahullah, “Para ulama ahli hadits tidaklah berhujjah dari khabar seseorang yang tidak ma’ruf yang ia bersendirian dalam periwayatan khabar tersebut. Ilmu di sisi mereka hanya ditetapkan dengan khabar yang apabila perawinya ‘adil lagi masyhur, atau seseorang yang terangkat jahalah darinya. Terangkatnya jahalah apabila ada dua orang perawi atau lebih yang meriwayatkan hadits darinya. Apabila sifat ini ada padanya, maka terangkatlah jahalah kemudian ia akan menjadi seorang yang ma’ruf (dikenal). Adapun, jika tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali seorang saja, kemudian ia menyendiri dalam khabar tersebut, maka periwayatannya tidaklah teranggap sampai ada riwayat lain yang sesuai dengan riwayatnya.”[41]



Contoh dalam hal ini (dibawakan oleh imam Al-Bazzar) perawi yang bernama Hafsh bin Abi Hafsh ada dua orang perawi masyhur yang meriwayatkan darinya: yaitu As-Sudi dan Musa bin Abi ‘Aisyah, sehingga terangkatlah jahalah-nya.[42]



Catatan: adanya periwayatan dari dua orang perawi yang ‘adil tidak secara otomatis menetapkan ‘adalah pada perawi yang majhul, meskipun hal itu bisa mengangkat jahalah yang ada pada dirinya. Berkata Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah, “Dan jumlah paling sedikit yang menyebabkan terangkatnya jahalah adalah adanya periwayatan dua orang atau lebih perawi masyhur dengan ilmu dari seseorang...hanya saja, tidak tetap adanya ‘adalah baginya dalam periwayatan dua orang tersebut darinya.”[43]



Berkata At-Tirmidzi rahimahullah, “Janganlah terpedaya dengan adanya periwayatan perawi tsiqah dari orang-orang.”[44]



Hal itu disebabkan-wallahu a’lam- boleh jadi perawi tsiqah yang meriwayatkan riwayat darinya tidak mengetahui keadilannya. Atau sering dijumpai ada seseorang meriwayatkan hadits dari para perawi dha’if namun hanya sekedar untuk mengumpulkan riwayat perbandingan.



Contoh dalam kasus ini: imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang perawi yang bernama Abdul A’la At-Taimy, lalu ia menjawab, “Aku tidak mengetahuinya, Mis’ar dan Al-Mas’udi telah meriwayatkan darinya.”[45]



Dalam hal ini imam Ahmad tetap mengkategorikan Abdul A’la sebagai perawi yang majhul meskipun telah meriwayatkan darinya dua orang perawi yang tsiqah yaitu Mis’ar dan Al-Mas’udi.



Hukum Riwayat Perawi Majhul



Perawi yang berstatus mubham dan majhul-‘ain adalah perawi yang sangat dha’if/lemah, sehingga riwayatnya pun sangat lemah yang tidak cukup untuk dijadikan penguat, adapun perawi yang berstatus majhul hal atau mastur, maka riwayatnya-meskipun lemah- dapat dijadikan sebagai penguat.[46]


 HADITS ‘ALI DAN NAZIL



Berkata nadzim (Al-Baiquni) rahimahullah,
وَكلّ ما قلّتْ رِجَالُه عَلا       وضِدّه ذاك الذي قد نَزلا

(hadist) ‘ali yaitu hadist yang jumlah rijal/ perawi-nya sedikit, sedangkan kebalikannya disebut dengan (hadist) nazil.”

SYARAH:

  Definisi hadits ‘Ali dan Nazil

Hadits ‘ali adalah:
ما قالت رجاله بالسبة الى السند أخر بذلك الحديث

“Hadits ali adalah hadits yang jumlah rawinya dalam sanad itu sedikit, dibandingkan dengan jumlah rawi yang ada pada sanad lain yang menyebut hadits yang lain.

Syaikh Ali bin Hasan al Halabiy hafidzahullah berkata, Isnad ‘Aliy : yaitu sebuah hadist yang jumlah bilangan perawinya sedikit bila dibandingkan sanad lain dari hadist yang serupa, sehingga rijal sanadnya semakin dekat kepada Rasulullah atau kepada para imam ahlul hadist.[47]

Sedangkan definisi hadits nazil adalah kebalikan dari hadits ‘ali.

Macam-macam Hadits ‘Ali

  1. 1.      ‘Ali Muthlaq: Kedekatan (perawi) kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan sanad yang shahih bukan sanad yang dha’if. Contoh dalam hal hal ini adalah:

  Dikeluarkan oleh imam Bukhari rahimahullah: no. 497, berkata:
حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ، قَالَ: «كَانَ جِدَارُ المَسْجِدِ عِنْدَ المِنْبَرِ مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوزُهَا»

(Telah menceritakan kepada kami Al-Makki bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwah radhiyallahu’anhu berkata, “Dahulu tembok masjid (di zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam di sisi minbar, hampir-hampir kambing tidak bisa melewatinya.”)

Hadits ini juga dikeluarkan oleh imam Muslim rahimahullah: no. 509, dengan jalan periwayatan sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى،  عن حَمَّادُ بْنُ مَسْعَدَةَ، عَنْ يَزِيدَ يَعْنِي ابْنَ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ وَهُوَ ابْنُ الْأَكْوَعِ

(Telah menceritakan  kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan Muhammad bin Al-Mutsanna dari Hammad bin Mas’adah dari Yazid bin Abi Ubaid dari Salamah bin Al-Akwa’........Al-Hadits)

Bila kita perhatikan, maka antara Bukhari sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam hanya terpaut 3 perawi. Adapun antara Muslim sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam terpaut 4 perawi. Oleh karena itu riwayat Bukhari lebih ‘Ali (tinggi) dari pada riwayat Muslim.

Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa semakin sedikit perawi, semakin kecil pula kemungkinan salahnya. Contoh pertama disebut dengan sanad ‘aliy, sedangkan yang kedua adalah sanad nazil.

Faidah :

Sanad ‘aliy tidak mesti berkonsekuensi bahwa sanad tersebuh lebih sahih dibandingkan sanad yang nazil. Terkadang di antara perawi yang sedikit itu terdapat perawi yang dha’if, dan kadangkala di antara perawi yang banyak (sanad nazil) semuanya adalah perawi tsiqat.

2. ‘Ali Nisbi: yaitu, yaitu bila ukuran dekatnya (karena rawinya sedikit jumlahnya) itu bukan kepada Nabi, tetapi kepada imam-imam hadits yang mempunyai sifat-sifat tinggi mengenai kehafalannya, kedhabithan-nya, kemasyhurannya dan lain sebagainya. Seperti Ibnu Juraij, Az-Zuhry, Syu'bah, Malik, Asy-Syafi'I, Al-Bukhary, Muslim dan lain sebagainya, walaupun kadang-kadang sanad antara imam-imam tersebut dengan Nabi, banyak jumlahnya. Misalnya : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الفِرَى أَنْ يَدَّعِيَ الرَّجُلُ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، أَوْ يُرِيَ عَيْنَهُ مَا لَمْ تَرَ، أَوْ يَقُولُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَمْ يَقُلْ

"Sebesar-besar dusta ialah mendakwakan ayah kepada yang bukan ayahnya, memperlihat-lihatkan apa yang tidak dilihat oleh matanya atau mengatakan atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan.” (HR. Bukhari: no. 3509)



3. 'Aly-Tanzil. Yakni bila ukuran dekatnya itu dinisbatkan kepada suatu kitab dari kitab-kitab yang mu'tamad. Seperti kedua kitab shahih Bukhary dan Muslim, kitab-kitab sunan dan kitab musnad imam ahmad.

'Aly Tanzil ini ada 4 macam yaitu :

a.        Muwafaqah, yaitu jika melalui sanad syaikh (guru) salah seorang penghimpun hadits ke dalam kitab hadits lebih dekat atau lebih sedikit daripada melalui sanad penghimpun tersebut. Misalnya kata Ibnu Hajar sebagaimana yang dikutip oleh Ajaj al-Khatib dan Ath-Thabah, bahwa sanad sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bukhary dari Qutaibah dari Malik, jarak antara kita dan Qutaibah sebanyak 8 orang. Sedangkan sanad hadits yang sama melalui Abu Al-Abbas As-Siraj dari Qutaibah antara kita dan Qutaibah terdapat 7 orang. Berarti terjadi adanya kecocokan (muwafaqoh) bagi kita dengan al-Bukhari pada syaikhnya dan sanad kita lebih sedikit ('aly).

b.        Badal, yaitu jika melalui sanad syaikh-nya syaikh (gurunya guru) salah seorang penghimpun kitab hadits lebih dekat atau lebih sedikit daripada melalui sanad penghimpun tersebut. Contohnya seperti isnad al-Bukhary di atas dengan melalui isnad dari al-Qa'nabi sebagai pengganti (badal) dari Qutaibah. Al-Qa'nabi adalah syaikhnya syaih al-Bukhari.

c.        Musawah, yaitu adanya persamaan jumlah isnad dari seorang perawi sampai akhir dengan isnad salah seorang penghimpun ke dalam buku hadits. Misalnya seperti kata ibnu hajar, jika An-Nasa'I meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam jarak antara keduanya sebanyak 11 orang, sementara hadits yang sama melalui sanad lain antara kita dan Nabi juga 11 orang, berarti adanya persamaan (Musawah) jumlah bilangan periwayat antara kita dan an-Nasa'i.

d.       Mushafahah, yaitu persamaan jumlah para perawi dalam sanad dari seorang perawi sampai akhir dengan isnad murid salah seorang penghimpun kitab hadits. Dinamakan mushafahah karena pada umumnya kedua belah pihak antara perawi sebuah hadits dengan murid salah seorang penghimpun hadits tersebut berjabat tangan.[48]



4.      'Aly bitaqdimi'l-wafat. Misalnya suatu hadits yang diriwayatkan dari dua orang, dari al-Baihaqy dari al-Hakim adalah lenih tinggi daripada hadits yang diriwayatkan dari tiga orang, dari Abu bakar bin khalaf dari al-Hakim. Karena al-Baihaqy lebih dahulu meninggal daripada Abu bakar bin khalaf.[49]

5.      'Aly bitaqdimis-sama'. Misalnya suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang lebih dulu mendengarnya dari seorang guru adalah lebih 'aly daripada hadits yang diriwayatkan oleh kawannya yang mendengar kemudian dari guru tersebut. [50]

Faidah :

Apabila terdapat sebuah sanad yang terdiri dari empat orang rawi dan pada sanad yang lainnya terdiri dari tiga orang rawi, akan tetapi para perawi pada sanad yang pertama lebih unggul dari sisi tsiqah dan ‘adalah-nya (yakni sanad yang pertama ‘aliy dari sisi sifat perawinya dan sanad yang kedua ‘aliy dari sisi jumlah perawinya), maka sanad yang mana yang harus diunggulkan?

Jawab : kita utamakan sanad yang pertama, karena sanad ‘aliy dari sisi sifat perawi itulah yang jadi pegangan dalam menentukan kesahihan sebuah hadist.[51]



Apakah Hadits ‘Ali Terpuji Secara Mutlak?

Hadits ‘ali adakalanya terpuji dan adakalanya tercela. Akan terpuji apabila hadits ‘ali tersebut adalah hadits yang shahih.

Adapun hadits ‘ali yang bersumber dari para perawi yang dusta, maka ini sama sekali tidaklah terpuji bahkan para ulama mencelanya. Berkata imam Adz-Dzahabi rahimahullah, “Kapan saja engkau melihat yang menyampaikan hadits, namun ia senang dengan sanad ‘ali (para pendusta), maka ketahuilah dia adalah orang yang awam.” Beliau juga berkata tatkala menjelaskan biografi seorang perawi yang bernama Abud Dun-ya Al-Asyaj, “Periwayatannya tidaklah ada manfaat sama sekali, riwayat ‘alinya tidaklah menyenangkan dikarenakan riwayatnya kecuali dari para perawi yang majhul.”[52]

Berkata Yahya bin Ma’in,
حديث النزول عن ثبت خير من العلومن غير ثبت

“Hadits Nazil namun bersumber dari perawi yang kredibel lebih baik dari pada hadits ‘ali dari perawi yang tidak kredibel.”[53]



Faktor-faktor yang Menyebabkan Para Ulama Memuji Hadits ‘Ali

  1. Seorang yang memiliki sanad ‘ali banyak menempuhnya dengan melakukan perjalanan yang jauh, hal ini menunjukan akan semangat tinggi yang dimiliki oleh perawi tersebut dan adanya perhatian besar terhadap ilmu syar’i. Sedangkan seorang yang memiliki perhatian terhadap suatu perkara pastilah dia seorang yang kredibel dalam periwayatannya.

  2. Hadits ‘ali lebih mendekati keshahihan dan lebih sedikit kesalahannya. Oleh karena itu semakin banyaknya rentetan sanad, maka ada dugaan kuat kesalahannya pun lebih banyak, walaupun terkadang kesalahan tersebut masih bisa di toleransi. Dan semakin sedikit susunan para perawinya maka semakin sedikit kesalahannya, hal ini sebagaimana ditegaskan oleh imam Ibnu Hajar rahaimahullah.[54]



Pujian Para Ulama Terhadap Sanad ‘Ali

  * Berkata imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Mencari sanad yang ‘ali adalah sunnahnya para salaf; hal itu dikarenakan para murid Abdullah bin Mas’ud mereka melakukan perjalanan dari Kufah ke Madinah, kemudian mereka mengambil ilmu dari Umar bin Khattab dan mendengarkan hadits darinya.”

* Berkata Muhammad bin Aslam Ath-Thusi, “Dekatnya suatu sanad adalah kedekatan kepada Allah.”

* Berkata Ibnul Madini, “Sanad yang nazil adalah kekurangan.”[55]

* Dikatakan kepada Yahya bin Ma’in ketika mengalami sakit yang menyebabkan kematiannya, “Apakah yang engkau inginkan?” maka (Yahya bin Ma’in) berkata, “Rumah yang kosong dan sanad yang ‘ali.”[56]

* Ia juga berkata, “Hadits yang nazil ibarat koreng di muka.”[57]



Kitab-kitab yang Terkenal Membahas Masal

Tidak didapatkan buku khusus yang menghimpun hadits yang memiliki isnad 'ali dan nazil, tetapi diantara ulama ada yang menghimpun sebagian hadits yang terdapat 3 orang perawi dalam sanad pengarang dan Rasulullah yang disebut dengan ats-tsulatsiyat. Ini berarti menunjukkan perhatian para ulama yang optimal terhadap sanad 'ali, diantaranya :

1. Tsulatsiyat al-Bukhari yang ditulis oleh ibnu Hajar.

2.      Tsulatsiyat Ahmad bi Hanbal, karya As-Safarani.[58]












[1]  Ats-Tsamarat Al-Janiyyah: hal, 53.




[2]  Al-Jawahir: hal, 168.




[3]  HR. Bukhari: no, 879.




[4]  Fathul Bari: 2/416.




[5] Lihat Nuzhatun-Nadhar hal. 26 dan Tadribur-Rawi halaman 533.




[6] Tadribur Rawi: 2/621.




[7]  Takhrij Kalimith Thayyib: no. 188, Al-Misykah: no. 4204, Mukhtashar Syama’il Muhammadiyah: no. 163.




[8]  Nuzhatun Nadzar: hal, 63-64.




[9]  Majmu’ Fatawa: 4/409-410.




[10]  Koreksi hadits-hadits dho’if populer: hal, 35. Tulisan Ust. Abu Ubaidah hafidzahullah.




[11] Suatu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in langsung kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Dan ini termsuk hadits lemah karena tidak diketahuinya perantara antara tabi’in tersebut kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Sebagaimana akan datang penjelasannya insya Allah.




[12]  Muqaddimah Ibnus Shalah: hal, 46.




[13]  Ibid.




[14]  Dan perawi tersebut haruslah mendengar langsung dari gurunya walaupun hanya satu kali, hal ini sebagaimana ditegaskan oleh imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Syarah Al’Ilal: hal, 280.




[15]  Muqaddimah At-Tamhid: 1/48.




[16]  Lihat Ar-Risalah: hal, 378-379.

Ket: Mudallis adalah, seorang perawi yang melakukan tadlis (menyembunyikan aib atau cacat) di dalam penyampaian sebuah hadist. Bentuk-bentuk tadlis akan dibahas menyusul insya Allah.




[17]  Syarah ‘Ilal At-Tirmidzi: hal, 377, Ats-Tsamarat Al-Janiyyah: hal, 59.




[18]  Qawa’id At-Tahdits: hal, 123. Karya Al-Qasimi.




[19]  Lihat Syarah ‘Ilal  At-Tirmidzi: hal, 286-287.




[20]  Syarah ‘Ilalul Tirmidzi: hal, 289.




[21]  Al-Majmu’: 1/97.




[22]  Fathul Mughits: 4/299.




[23]  Ats-Tsamarat Al-Janiyyah: hal, 64.




[24]  An-Nuzhah: hal, 135.




[25]  Al-Jawahir: hal, 179.




[26]  Al-Muqaddimah: 227-229, An-Nuzhah: 134-135,  At-Tadrib: 2/853-858.




[27]  Pendapat ini dipegang oleh imam Al-Khattabi dan Al-Hakim (Al-Ma’rifah: hal. 28-29), dan pendapat Al-Baihaqi. Lihat Ithafun Nabil: 1/331, soal no. 179. Karya Syaikh Abul Hasan hafidzahullah.




[28]  Fathul Mughits: 1/176, Jami’ At-Tahshil: hal, 108.




[29]  Asy-Syaikh Abul Hasan menjelaskan masalah ini secara panjang lebar dalam kitab beliau yang berjudul Ithafun Nabil: 2/240-246. Soal no. 227.




[30]  Fathul Mughits: 4/298.




[31]  Taisir Musthalah Hadits: hal, 92.




[32]  Nuzhatun Nadzar: hal, 132-134.




[33]  Syarah At-Tabshirah Wat Tadzkirah, karya imam Al-‘Iraqi: 2/46-50. Secara ringkas.




[34]  Al-Ba’itsul Hatsits: hal, 292-293.




[35]  Tahdzibud Tahdzib: 2/240.




[36]  At-Taqrib: hal, 105.




[37]  Muqaddimah Ibnu Shalah: hal, 109.




[38]  Al-Ba’itsul Hatsits: hal, 290.




[39]  Al-Jarh Wat-Ta’dil: hal, 236.




[40]  Al-Kifayah: hal, 150.




[41]  Sunan Ad-Daruquthni: 3/174.




[42]  Musnad Al-Bazzar: 1/111.




[43]  Idem, lihat juga Al-Ba’itsul Hatsits: hal, 293.




[44]  Jami’ At-Tirmidzi: 6/235.




[45]  Masa’il imam Ahmad Bi Riwayah Ibnu Hani An-Naisaburi: 2/221.




[46]  Taisir Dirasathil Asanid: hal, 245-247. Abdul Mun’im Salim.




[47] At Ta’liqat al- Atsariyah: 31.




[48]  Al-Muqaddimah: hal, 165. Lihat Ats-Tsamarat Al-Janiyyah: hal, 71-72.




[49]  At-Taqyid: hal, 260.




[50]  Lebih lengkap macam ini di kitab Taisir Muthalahil Hadits: hal, 181-183.




[51]  Syarah Mandzumah Baiquniyah, syaikh Ibnu Ustaimin: hal, 76.




[52]  Al-Mizan: 4/522.




[53]  Al-Jami’: 1/87. Karya Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah.




[54]  An-Nuzhah: hal, 156-157.




[55]  Atsar dari para imam di atas diriwayatkan oleh Al-Khatib di dalam Al-Jami’: 1/184-186.




[56]  At-Taqyid: hal, 257.




[57]  Al-Jami’: 1/185.




[58] Taisir Musthalahul Hadits: hal, 183.


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts