Sabtu, 31 Desember 2011

Merupakan bentuk pendidikan orang tua kepada anak adalah dengan memberikan asupan yang halal kepada sang anak. Karena itulah sumber kebaikannya sementara makanan yang haram adalah faktor yang menyebabkan buruknya pribadi sang anak.
Sudah merupakan kewajiban orang tua untuk menafkahi sang anak baik untuk keperluan makannya, minumnya, sekolah, dan segala hal yang sudah merupakan hak orang tua.
Namun terkadang tatkala orang tua ditimpa dengan kesulitan rizki setelah mereka peras keringat dan banting tulang mulailah sebagian mereka termakan ucapan setan “Cari rejeki yang haram aja susah mas apalagi cari rejeki yang halal”. Sehilngga deribu satu macam cara di tembuh agar dapat mengais uang baik dengan cara yang haram atau yang halal. Wal’iyadzubillah.
Memang kewajiban orang tua adalah memberikan nafkan kepada anak. Namun tak hanya berhenti sampai disitu. Syariat Islam telah menjelaskan bahwa mencari nafkah untuk keluarga adalah amalan yang mulia dan menghasilkan suatu pahala. Dan seorang tidak akan memperoleh pahala kecuali apabila amalan yang ia tunaikan sejalan dengan aturan syariat.  Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” [1]
Dan juga Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِذَا أَنْفَقَ المُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya –yang dia inginkan mendapatkan pahala dari nafkah itu untuk mengharapkan pahala dari Allah- maka itu akan menjadi  sedekah baginya.”[2]
Menerangkan hal ini Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengutip perkataan Al-Muhallab, bahwa memberi nafkah kepada keluarga adalah kesepakatan menurut kaum muslimin. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menamakannya sebagai sedekah karena dikhawatirkan ada orang-orang yang menyangka, pelaksanaan kewajiban ini tidak ada pahalanya. Sementara mereka telah mengetahui bahwa memberikan sedekah itu berpahala. Maka beliua memberitahukan bahwa nafkah ini adalah sedekah bagi mereka, agar mereka tidak mengeluarkan sedekah untuk selain keluarga kecuali setelah mencukupi keluarganya. Hal ini sebagai hasungan bagi mereka agar mendahulukan sedekah yang wajib dari pada sedekah yang thatawwu’ (sunnah).”[3]
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى، وَاليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
“Sedekah yang paling utama adalah yang masih menyisakan kecukupan, dan tangan yang diatas lebih baik dari pada tangan yang dibawah, dan mulailah (dalam berinfaq)  dengan orang-orang yang berada dibawah tanggunganmu.”[4]
Dari apa yang dijelaskan diatas sangatlah jelas bahwa menafkahi keluarga adalah amalan yang mulia yang membuahkan pahala. Oleh karena itu dalam memberikan nafkah hal yang haruslah kita perhatikan adalah kehalalan dari nafkah tersebut, karena Allah tidaklah menerima kecuali sesuatu yang halal lagi baik. Oleh karena itu jangan kita suapkan makanan haram kedalam perut mereka, menegukkan minuman yang haram, memakaikan pakaian yang haram kepada mereka, atau segala kebutuhan anak yang didapat dari orang tua.
Jangan sampai karena kita belum memilki keluasan untuk memenuhi kebutuhan anak kemudian kita melirik kepada praktek-praktek yang diharamkan walaupun menghasilkan sesuatu  yang menggiurkan. Baik itu korupsi, pungli, penggelapan dana, penipuan, paraktek ribawi, dan propesi-propesi lainnya yang diharamkan oleh agama Islam yang mulia ini. Perlu kita sadari segala sesuatu yang haram akan berpengaruh kepada diri anak. Karena sesuatu yang jelek akan berdampak yang jelek pula, bisa jadi sang anak nanti akan menjadi anak nakal yang tidak berbakti kepada orang tua yang justeru inilah yang akan merugikan orang tua. Maka inilah balasan yang akan diterima oleh orang tua, sebagai mana dahulu ia mencari rizki dari jalan haram dan manafkahi keluarganya dengan rizki tersebut, maka Allah akan jadikan rizki buruk tersebut menjadi bumerang baginya.
Demikian juga rejeki yang haram adalah sebab tidak terkabulnya doa orang tua maupun sang anak. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا، إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ}  ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟
“Wahai manusia, sesunguhnya Allah itu maha suci dari segala kekurangan dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan ke[pada orang-orang yang beriman dengan apa yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah beriman, “Wahai para rasul makanlah dari segala sesuatuyang baik, dan berbuatlah dengan amalan-amalan yang shaleh, sesunguhnya aku mengetahui terhadap apa yang kalian perbuat.” Dan Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari segala sesuatu yang baik yang telah kami rezekikan kepada kalian.’ Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan tentang seseorang yang melakukan [perjalanan yang jauh dalam keadaan kusut masai rambutnya dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya kelangit, “Wahai Rabku, wahai Rabku!, sementara makannnya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan disuapi dengan sesuatu yang haram. Maka bagaimana akan dikabulkan doa orang yang seperti ini?”[5]
Allah ta’ala telah memerintahkan para rasul untuk memakan dari segala sesuatu yang baik, yaitu segala sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah dan didapat dari jalan yang dibenarkan oleh syariat. Apabila tidak dihalalkan oleh Allah, seperti khamr misalnya, maka tidak boleh dimakan. Demikian juga apabila makanan tersebut adalah makanan yang dihalalkan oleh Allah namun didapat dari jalan yang haram, maka inipun tidak boleh untuk dimakan.[6]
Imam An-Nawawi juga mengatakan, “Hadits ini merupakan anjuran untuk memberikan nafkah dari segala sesuatu yang halal dan larangan memberikan nafkah dari segala sesuatu yang haram. (hadits diatas) juga menunjukan bahwa minuman, makanan, pakaian, dan semacamnya haruslah berasal dari sesuatu yang halal, bersih, dan tidak mengandung syubhat (kesamaran). Hadits ini juga menunjukan bahwa seseorang yang akan berdoa haruslah memperhatikan hal-hal diatas yang dari pada yang lainnya.”[7]
Disini juga terdapat peringatan keras tentang memakan sesuatu yang haram, karena hal itu adalah sebab tertolaknya doa, walaupun juga dia melakukan sebab-sebab yang merupakan faktor terkabulnya doa[8]. Maka disini rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Maka bagaimana akan dikabulkan doa orang yang seperti ini?”
Disamping itu memakan yang haram -wal’iyadzubillah- merupakan sebab seseorang meninggalkan kewajiban-kewajiban agamanya, karena jasmaninya telah disuapi sesuatu yang jelek. Segala suapan yang jelek akan berpengaruh kepada dirinya. Wallahul musta’an.”[9]
Contoh yang kita lihat dengan jelas adalah pribadi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang begitu berhati-hati dan menjauhkan dirinya dari sesuatu yang dikhawatirkan berasal dari sesuatu yang haram. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي لَأَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِي، فَأَجِدُ التَّمْرَةَ سَاقِطَةً عَلَى فِرَاشِي، فَأَرْفَعُهَا لِآكُلَهَا، ثُمَّ أَخْشَى أَنْ تَكُونَ صَدَقَةً، فَأُلْقِيهَا
“Aku pernah datang menemui keluargaku. Kemudian aku mendapatkan sebutir korma jatuh diatas tempat tidurku. Aku pun mengambilnya untuk aku makan. Lalu aku lhwatir jika kurma itu adalah kurma sedekah, maka kuletakkan lagi kurma itu.”[10]
Beliau shallallahu’alaihi wasallam juga menjauhkan cucunya dari sesuatu yang diharamkan, walaupun hanya sebutir korma yang berasal dari sedekah –yang beliau dan keluarganya diharamkan dari sedekah-. Sebagaimana diceritakan oleh Abu Huraira radhiyallahu ‘anhu,
كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟
“Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu’anhuma memungut  sebutir kurma dari korma sedekah, lalu dia memasukkan korma itu kedalam mulutnya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun bersabda, “kikh, kikh”[11]! Buanglah korma itu! Apa kau tidak tahu, bahwa kita tidak diperbolehkan untuk memakan sedekah.”[12]
Inilah suatu tauladan baik yang dipraktekkan oleh junjungan kita dan contoh yang baik bagi setiap muslim yang menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi anak-anaknya. Kasih sayang bukan berarti menuruti setiap tuntutan hingga melaumpaui batas. Wallahu a’lam bish Shawab.
Artikel : www.serambiyemen.com
 
[1]  HR. Al-Bukhari: no.1 dan Muslim: no.1907.
[2]  HR. Al-Bukhari: 5351.
[3]  Fathul Bari: 9/618.
[4]  HR. Al-Bukhari: 5355. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
[5]  Muslim: no.1015.
[6]  Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah: hal.164.
[7]  Syarah Shahih Muslim: 7/99.
[8] Seperti safar yang mana seorang yang bersafar adalah sebab dari dikabulkannya doa. Hadits ini mengkisahkan bahwa seorang yang safar sekalipun doanya tidaka akan terkabul apabila ia makan dari sesuatu yang haram. (pent.)
[9]  Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah: hal.175.
[10] HR. Bukhari: 2434 dan Muslim: 1070
[11]  Ini adalah suatu perkataan yang bertujuan untuk memperingatkan anak dari perbuatan kotor. Maknanya, “Tinggalkan dan buanglah barang tersebut.”
[12]  HR. Muslim: no.1069.

Selasa, 06 Desember 2011

Perintah untuk berbakti kepada orang tua mungkin sudah sering kita dengar. Di berbagai pengajian, buku-buku dan artikel majalah yang kita baca sudah
banyak menjelaskan berbagai dalil baik dari al-Qur’an maupun hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang memerintahkan dan menganjurkan untuk
berbuat baik kepada orang yang telah melahirkan kita. Namun barangkali masih jarang kita dengar contoh kongkrit dan kisah-kisah bakti para ulama
salafus shalih kepada orang tua mereka khususnya kepada ibu mereka. Tindakan mereka tersebut tentu tidak lepas dari baik dan dalamnya pemahaman mereka
terhadap ilmu yang mereka miliki sebagai ulama. Dan sebaik-baik ilmu adalah yang diamalkan. Berikut saya cuplikan beberapa kisah nyata yang menakjubkan
tentang bakti kepada ibu.

Dari Dawud bin Qais dia berkata, “Abu Murrah pernah mengabarkan kepadaku bahwa bila Abu Hurairah hendak pergi, setelah mengenakan pakaian, dia datang
kepada ibunya lalu berkata, ‘Semoga keselamatan dan berkah terlimpah kepadamu wahai Ibu. Semoga engkau mendapatkan balasan dari Allah karena dulu
engkau telah memeliharaku.’ Kemudian bila pulang, dia pun mengatakan seperti itu.” (1)

Dari Mundzir ats-Tsauri dia berkata, “Muhammad bin al-Hanafiyah biasa menyisir rambut ibunya.” (2)

Abdullah bin Ja’far bin Khaqan al-Maruzi (Bandan) berkata , “Muhammad bin Basyir bin Utsman pernah berkata, ‘Pernah ketika saya bermaksud untuk keluar
(setelah saya mengumpulkan hadits-hadits dari para ulama Basrah), ibu saya melarang. Saya pun mentaati larangan ibuku. Karena ketaatanku itu saya
mendapatkan berkah.’” (3)

Muhammad bin Munkadir berkata, “Pernah semalaman saya memijat kaki ibuku, sementara saudaraku Umar waktu itu semalaman juga melakukan shalat. Saya
tidak menganggap amalan malam Umar lebih baik dari amalan malamku.” (4)

Abu Ishaq ar-Riqqi al-Hanbali ketika menyebutkan biografi Abdullah bin Aun berkata, “Pernah suatu ketika dia dipanggil oleh ibunya. Tanpa disadari dia
mengeraskan suara melebihi suara ibunya. Karena hal itu dia membebaskan dua orang budak.” (5)

Dari Anas bin an-Nadhr al-Asyja’i dia berkata, “Suatu malam ibu Ibnu Mas’ud meminta air. Ibnu Mas’ud pun mengambil air, lalu dibawa kepada ibunya.
Ternyata ibunya telah tertidur. Maka dia pun berdiri menunggui ibunya hingga pagi.” (6)

Al-Akhnasi pernah berkata, “Saya pernah mendengar Abu Bakar berkata, ‘Saya pernah bersama Manshur bin al-Mu’tamir duduk-duduk di rumahnya. Tiba-tiba
ibunya memanggil dengan nada agak kasar, ‘Wahai Manshur, anak laki-laki Hubairah membutuhkan kamu untuk suatu urusan. Apakah kamu enggan?!’ Manshur
menempelkan jenggot pada dadanya, sedikitpun dia tidak berani mengangkat kepalanya dan menghadapkan wajah kepada ibunya.” (7)

Suatu ketika Ibnul Hasan at-Tamimi hendak membunuh kalajengking, namun kalajengking itu masuk ke lubang. Dia beranikan diri merogohkan jari-jarinya ke
lubang untuk menangkap kalajengking itu meskipun harus rela disengat. Orang-orang berkata kepadanya, “Kamu ini bagaimana?!” Dia menjawab, ‘Saya
khawatir kalajengking tadi keluar lalu merayap ke tempat ibuku dan menyengatnya.’” (8)

Suatu ketika Umar ditanya, “Bagaimana bentuk bakti anakmu kepadamu?” Umar menjawab, “Setiap kali berjalan di siang hari bersamaku, dia selalu berjalan
di belakangku dan setiap kali berjalan di malam hari bersamaku, dia selalu berjalan di depanku. Begitu pula ketika tidur , dia tidak pernah tidur di
atas bila saya berada di bawah.” (9)

Dari Muhammad bin Sirin dia berkata, “Pada zaman Utsman harga kurma sangat mahal hingga mencapai seribu dirham. Meskipun begitu Usamah tetap berani
membelinya. Dia beli kurma tadi lalu dia kupas kulitnya kemudian diberikannya kepada ibunya. Orang-orang berkata kepadanya, ‘Apa yang membuatmu berani
membeli kurma dengan harga seribu dirham?’ Dia menjawab, ‘Saya punya prinsip, bila ibu saya meminta sesuatu yang saya mampu memenuhinya pasti akan saya
penuhi.” (10)

Zainal Abidin adalah seorang yang sangat berbakti kepada ibunya. Saking berbaktinya, ada orang-orang berkata kepadanya, “Sungguh kamu adalah orang yang
sangat berbakti kepada ibumu. Tetapi kami tidak pernah melihatmu makan bersama ibumu dalam satu piring?” Dia menjawab, “Saya khawatir mendahului makan
makanan yang hendak dimakan ibuku. Karena menurutku itu termasuk tindakan durhaka kepadanya.” (11) (12)

Semoga Allah merahmati mereka para pendahulu kita yang shalih dan menjadikan kita termasuk golongan mereka.

***
Rujukan:

Kisah Teladan Bakti Anak Kepada Ibu Bapak, Ibrahim bin Abdullah Musa al-Hazimi, Penerbit Media Hidayah 2004

(1) Hadits hasan diriwayatkan Bukhari dalam al-Adabul Mufrad dan lainnya.

(2) Al-Birr wa Shilah no 34. Para periwayat atsar ini orang-orang yang tsiqah.

(3) Siyar A’lam an-Nubala XII/145

(4) Siyar A’lam an-Nubala V/405

(5) Ahsan al-Mahasin karya Abu Ishaq hal. 348

(6) Birrul Walidain karya Ibnul Jauzi hal. 550

(7) Siyar A’lam an-Nubala V/359

(8) Tahdzib Siyar A’lam an-Nubala hal. 541

(9) ‘Uyun al-Akhbar III/97 dan Birrul Walidain hal. 53

(10) Ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad II/527

(11) Muhadharat al-Adiba hal 327 dan Wafayat al-A’yan III/268

(12) Kisah Teladan Bakti Anak Kepada Ibu Bapak, Ibrahim bin Abdullah Musa al-Hazimi, Penerbit Media Hidayah 2004

Artikel Terbaru

Popular Posts