Senin, 08 April 2013


HADITS MARFU’

Berkata Nadzim rahimahullah:


وَمَا أُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ الْمَرْفُوْعُ                                            .............

Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi adalah hadits Marfu’.......

 Secara Bahasa (etimologi): Marfu’ adalah isim maf’ul (objek) dari kata kerja رَفَعَ (mengangkat) وَضَعَ (meletakkan atau merendahkan), maka seolah-olah hadits ini dinamakan dengan hadits Marfu’ dikarenakan ia dinisbatkan/disandarkan kepada pemilik kedudukan yang tinggi, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Definisi Hadits Marfu’secara istilah (terminologi):
ما أضيف إلى النبيّ صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير

Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan atau sifat.[1]

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hadits marfu’ ada empat macam: 1. Ucapan 2. Perbuatan 3. Persetujuan 4. Sifat.

 Hadits marfu’ berupa ucapan adalah: Apabila ada seorang shabat mengatakan, Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam bersabda demikian dan demikian...dst.

Hadits Marfu’ berupa perbuatan adalah: Apabila ada diantara shahabat atau yang selainnya mengatakan: ((Nabi shallallahu’alaihi wasallam melakukan demikian dan demikian...dst)).

  1.   Hadits Marfu’ berupa persetujuan adalah: Apabila ada diantara shahabat atau selainnya mengucapkan: ((Dahulu di zaman Nabi ada yang melakukan demikian dan demikian...dst)) kemudian tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau mengingkarinya.  karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak diam (mendiamkan) terhadap kemungkaran, akan tetapi pasti beliau akan menjelaskan bahwa hal itu adalah mungkar. Hal itu dikarenakan beberapa hal:

a). Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela dalam menegakkan syar’at Allah, dan bahkan beliau adalah manusia yang paling berhak terhadap masalah tersebut.

b.) Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan (risalah/agama Allah), maka jika beliau diam (mendiamkan) terhadap suatu perkara, itu berarti perkara tersebut adalah sebuah kebenaran.



c). Bahwasanya apabila sesuatu yang didiamkan itu adalah hal yang dilarang, tentu akan turun wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  yang mengabarkan kepada beliau tentang hal itu (terlarangnya perbuatan yang didiamkan tersebut).

Dan ini berbeda dengan orang-orang selain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, karena terkadang mereka mendiamkan suatu kemunkaran dikarenakan beberapa sebab di antaranya:

-          Mungkin saja ia lalai/tidak tahu perbuatan tersebut

-          Takut terhadap pelaku kemunkaran, atau karena ia menyukainya

-          Tidak mengetahui hukum perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kemungkaran

-          Mungkin ia memiliki penafsiran yang lain terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kemungkaran tersebut, maka ia melihat bahwasanya pelaku tersebut benar, sehingga ia pun mendiamkannya. Padahal kenyataannya perbuatan tersebut tidak memiliki satu sisi kebenaran pun.

-          Mungkin saja yang dilakukan oleh orang tersebut merupakan perkara Ijtihadiyyah yang di dalamnya seseorang diperbolehkan diam (tidak mengingkari) orang yang berbeda pendapat dengannya, sehingga dia pun diam terhadap perbuatan tersebut dikarenakan hal itu, bukan karena orang yang menyelisihinya itu benar.

Keseluruhan sebab-sebab ini tidak terjadi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

  1. Hadits Marfu’ berupa sifat: yaitu semisal perkataan seorang shahabat atau yang lainnya,

(كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أحسن الناس خُلقاً)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling baik akhaknya.”[2]

Faedah: Termasuk dari kategori hadits marfu’ adalah perkataan seorang shahabat: ((أمرنا بكذا)) kami diperintahkan demikian, atau ((نهينا عن كذا)) kami dilarang demikian. Maka tentu pernyataan demikian dari para shahabat adalah perintah dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, apalagi jika perintah tersebut terkait dengan hukum syar’i.[3] Contohnya adalah perkataan Anas bin Malik,
((أُمِرَ بلالٌ أنْ يشفَعَ الأذان ويوتِرَ الإقامة))

“Bilal diperintahkan untuk menggenapkan bilangan adzan dan mengganjilkan bilangan iqamah.”

Maka tidak lain bahwa yang memerintahkan adalah Nabi shallallahu’alaihi wasallam sendiri bukan para shahabat yang lain, apalagi adzan dan iqamat kaitannya adalah dengan masalah ibadah dan hukum syar’i.

Masalah: Perkataan seorang shahabat ‘Dahulu kami melakukan demikan’ apakah termasuk dihukumi marfu’? Dalam hal ini ada dua rincian:

Pertama:  Apabila perkataan tersebut disandarkan kepada zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam, maka dihukumi sebagai hadits yang marfu’. Sebagaimana pernyataan Jabir radhiyallahu’anhu,
(( كنّا نعزل والقرأن ينزل))

“Dahulu kami melakukan ‘azl sedangkan Al-Qur’an masih turun diantara kami.”[4]

Gambaran ‘azl adalah ketika akan mendekati keluarnya mani (ejakulasi), kemaluan sengaja ditarik keluar vagina sehingga sperma tumpah di luar. Hal ini bisa jadi dilakukan karena ingin mencegah kehamilan, atau pertimbangan lain seperti  memperhatikan kesehatan istri, janin atau anak yang sedang menyusui.[5]

Dari penjelasan hadits diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa para shahabat pernah melakukan ‘azl pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam sedangkan beliau tidak mengharamkan hal tersebut.

Kedua: Apabila perkataan shahabat ‘dahulu kami melakukan demikian’ tanpa ada penyandarannya dengan zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam, maka terjadi khilaf dikalangan para ulama, yang rajih (kuat) dalam hal ini, bahwa pernyataan tersebut dihukumi marfu’. Hal itu dikarenakan perkataan shahabat ‘dahulu kami melakukan demikian’ menunjukan bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sering dan berulang-ulang.[6]

Termasuk kategori hadits marfu’ menurut pendapat yang rajih adalah perkataan seorang shahabat:

((كنا لا نرى بأسا بكذا)) ‘Kami memandang hal ini tidak mengapa untuk dikerjakan’.  Kecuali apabila ada dalil yang menunjukan bahwa perkataan shahabat tersebut menyelisihi hadits, maka didahulukan hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

Termasuk dari kategori hadits marfu’ adalah ucapan seorang shabat: ((من السنة كذا)) ‘Ini adalah bagian dari sunnah’.  Berkata imam Ibnu Shalah, “Perkatataan semacam diatas (dari para shahabat) adalah dihukumi hadits marfu’ secara jelas.”[7] Contoh dalam hal ini adalah perkataan Umar bin Khattab,
مِنْ سُنَّةِ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ الْقَدَمَ الْيُمْنَى وَاسْتِقْبَالُهُ بِأَصَابِعِهَا الْقِبْلَةَ وَالْجُلُوسُ عَلَى الْيُسْرَى

  “Diantara sunah dalam shalat adalah menegakkan telapak kaki kanan dan menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat, dan duduk di atas kaki kiri.” [8]

Termasuk juga kedalam kategori hadits marfu’ adalah ucapan seorang shahabat dalam suatu permasalahan hukum syar’i, perkara ghoib, atau hal lainnya yang tidak mungkin dapat dijangkau dengan akal. Dengan syarat khabar yang dikhabarkan oleh shahabat tersebut bukan sekedar nukilan dari kabar Bani Isra’il. Contoh dalam masalah ini adalah apa yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir di dalam Tafsirnya (ketika membahas tafsir Surat Adh-Dhuha’) dalam firman Allah Ta’ala,
(وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضى)

  “ Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.” (QS. Adh-Dhuha’: 5). Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma tentang ayat tersebut, “Telah diperlihatkan kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam apa-apa dari perbendaharaan kekayaan satu persatu, hingga beliau pun ridho’ dengan hal yang menyenangkan tersebut. Kemudian turunlah ayat tersebut. Kemudian Allah pun memberikabar gembira kepada beliau shallallahu’alaihi wasallam berupa pemberian di surga seribu istana yang masing-masing dari istana tersebut terdapat istri-istri dari kalangan bidadari dan pembantunya.”

Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir: “Atsar diatas diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dengan jalan-jalan periwayatannya, dan sanadnya shahih kepada Ibnu Abbas. Pernyataan semacam ini tidaklah dikatakan melainkan sumbernya dari Nabi shallallahu’alaihi wasalllam.”[9]

Para shahabat adalah orang-orang yang sangat menjauhi dari berucap dusta tentang hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Apaagi jika perkara tersebut berkaitan dengan perkara-perkara ghoib.

Termasuk kedalam kategori marfu’ adalah hikayat dari salah seorang shahabat tentang sebab turunnya suatu ayat. Yang demikian itu dikarenakan para shahabat adalah orang-orang yang langsung mengetahui dan menyaksikan turunnya suatu ayat, sehingga mereka lebih mengetahui sebab dari turunnya suatu ayat dari pada yang lainnya.[10] Diantara contoh dalam hal ini adalah perkataan Jabir radhiyallahu’anhu:
كَانَتِ اليَهُودُ تَقُولُ: إِذَا جَامَعَهَا مِنْ وَرَائِهَا جَاءَ الوَلَدُ أَحْوَلَ، فَنَزَلَتْ: {نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ}

“Dahulu orang-orang Yahudi mengatakan, ‘Barang siapa yang berjima’ dengan istri dari arah belakang, maka anak yang lahir akan menjadi juling’. Maka kemudian Allah menurunkan firman-Nya, “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Al-Baqarah: 223)

  Faedah: Sebagian ulama ada yang mengkategorikan penafsiran dari salah seorang shahabat masuk kedalam kategori marfu’, namun tentu ini adalah suatu pendapat yang lemah. Hal itu dikarenakan para shahabat berbeda-beda dalam menafsirkan suatu ayat, oleh karena itu tidak mungkin untuk diambil penafsiran para shahabat secara keseluruhan. Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu membagi tafsir menjadi empat macam:

1- Tafsir yang bisa diketahui oleh seluruh manusia dari kalangan kaum muslimin dan tidak ada udzur bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya.

2- Tafsir yang diketahui oleh kalangan para ulama.

3- Tafsir yang bisa dipahami dari konteks Bahasa Arab.

4- Tafsir yang Allah sembunyikan hakekat dan ilmunya.[11]




HADITS MAQTHU’

 Berkata Nadzim rahimahullah:
.....................................                                وَمَا لِتابِعٍ هوَ الْمَقْطُوعُ

..............................Dan apa-apa yang disandarkan kepada tabi’in adalah maqtu’

Dari penjelasan imam Al-Baiquni diatas beliau mendefinisikan hadits maqthu’ adalah: ((Apa-apa yang disandarkan kepada tabi’in baik berupa ucapan atau perbuatan)).

Hanya saja seandainya penulis mendahulukan pembahasan hadits mauquf itu lebih utama dari pada membahas hadits maqthu’ terlebih dahulu. Dikarenakan hadits mauquf lebih utama dari pada hadits maqthu’, hal itu dikarenakan sesuatu yang disandarkan kepada shahabat radhiyallahu’anhum lebih mulia dari apa yang disandarkan kepada para tabi’in.[12]

Definisi Tabi’in
Secara bahasa kata Tabi’in merupakan bentuk jamak (Plural) dari Tabi’i atau Tabi’. Tabi’ merupakan Ism Fa’il dari kata kerja Tabi’a. Bila dikatakan, Tabi’ahu fulan, maknanya Masya Khalfahu (Si fulan berjalan di belakangnya).

Secara istilah adalah orang yang bertemu dengan shahabat dalam keadaan Muslim dan meninggal dunia dalam Islam pula. Ada yang mengatakan, Tabi’in adalah orang yang menemati shahabat. [13]

Tidak disyaratkan seorang dikatakan tabi’in dia harus berjumpa dengan shahabat dalam keadaan Islam. Terkadang seorang tabi’in melihat shabat ketika dalam kondisi kafir kemudian dia masuk Islam setelahnya.[14]

Faedahnya

Di antara faedah mengenal Tabi’in adalah agar dapat membedakan mana hadits Mursal (ucapan Tabi’i yang meriwayatkan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam tanpa menyebutkan shahabat) dan mana hadits Muttashil (bersambung sanadnya hingga kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam).

Thabaqat Tabi’in

Para ulama berbeda pendapat mengenai Thabaqat (tingkatan) Tabi’in. Karena itu, mereka mengklasifikasikannya berdasarkan pandangan masing-masing, di antaranya:
a. Imam Muslim menjadikannya tiga Thabaqat
b. Ibn Sa’d menjadikannya empat Thabaqat
c. Al-Hakim menjadikannya lima belas Thabaqat, yang pertamanya adalah orang yang bertemu dengan sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira untuk masuk surga.

Siapa Mukhadhramin?

Kata Mukhadhramin merupakan bentuk jamak (plural) dari kata Mukhadhram. Pengertiannya adalah orang yang hidup pada masa Jahiliyah dan masa Nabi Shallallahu’alahi wasallam lalu masuk Islam akan tetapi ia tidak sempat melihat beliau Shallallahu’alaihi wasallam. Menurut pendapat yang shahih, Mukhadhramin dimasukkan ke dalam kategori kalangan Tabi’in.

Jumlah mereka ditaksir sebanyak 20 orang seperti yang dihitung oleh Imam Muslim.

Akan tetapi pendapat yang tepat, bahwa jumlah mereka lebih dari itu, di antara nama mereka terdapat Abu ‘Utsman an-Nahdi dan al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy.

Siapa Tujuh Fuqaha?

Di antara deretan para tokoh besar Tabi’in adalah mereka yang disebut al-Fuqaha as-Sab’’ah (Tujuh Fuqaha). Mereka-lah para ulama besar kalangan Tabi’in dan semuanya berasal dari Madinah. Mereka adalah:
1. Sa’id bin al-Musayyib
2. al-Qasim bin Muhammad
3. ‘Urwah bin az-Zubair
4. Kharijah bin Zaid
5. Abu Salamah bin ‘Abdurrahman
6. ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah
7. Sulaiman bin Yasar

(Dalam hal ini, Ibn al-Mubarak memasukkan Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar menggantikan Abu Salamah. Sedangkan Abu az-Zinad memasukkan Abu Bakar bin ‘Abdurrahman menggantikan dua nama; Salim dan Abu Salamah) [15]

Siapa Kalangan Tabi’in Yang Paling Utama?

Uwais bin ‘Amir Al-Qoroni adalah tabiin terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1] dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda:
إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ

((Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu… ))[16]

Berkata An-Nawawi, “Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya, maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir , hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdlolan di sisi Allah.”[17]
Siapa Kalangan Tabi’iyyat (dari kalangan wanita) Yang Paling Utama?

Abu Bakar bin Abu Daud berkata, “Dua wanita tokoh utama kalangan Tabi’iyyat (para wanita kalangan Tabi’in) adalah Hafshoh binti Sirin dan ‘Amrah binti ‘Abdurrahman. Setelah itu, Ummu ad-Darda’.” [18]

Apa Faidah Dari Penulisan Atsar Para Tabi’in Padahal Semata-mata Perkataan Tabi’in Tidak Langsung Menjadi Hujjah?

Terdapat banyak faedah dari penulisan atsar para tabi’in antara lain:

1- Dengan mentela’ah atsar (ucapan) para tabi’in akan diketahui illah (cacat) suatu hadits. Hal itu bisa diketahui manakala ditemui suatu hadits yang secara jalan periwayatannya satu namun terkadang satu jalan diriwayatkan secara marfu’, sedangkan pada jalan yang lain diriwayatkan secara muqthu’. Maka dalam kasus ini yang lebih dirajihkan adalah riwayat maqthu’nya, dikarenakan riwayat maqthu’ tersebut akan menjelaskan kedho’ifan riwayat yang marfu’.  Berkata Al-Maimuni yang maknanya, “Seandainya ditulis dan dikumpulkan antara dua sanad hadits yang berbeda, maka akan diketahui mana diantara keduanya yang riwayatnya lebih kuat.”[19]

2- Sebagian perkataan tabi’in ada yang masuk kategori marfu’ secara hukum menurut sebagian para ulama seperti perkataan tabi’in ((من السنة كذا)): “Termasuk sunnah adalah perkara ini” atau perkataan mereka ((أمرنا بكذا)) : “Kami diperintahkan tentang perkara ini”, atau seorang tabi’in menyebutkan tentang suatu perkara ghoib yang tidak dapat dijangkau secara akal. Maka kedudukan ucapan mereka bisa diterima bila ada penguat dari riwayat-riwayat lainnya.[20]

3- Perkataan Tabi’in adalah bagian dari perkataan para salaf. Sedangkan kita dituntut untuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman para salaf. Sedangkan berisan terdepan para salaf adalah para shahabat dan para tabi’in.[21]

4- Dengan meneliti perkataan dan atsar para tabi’in kita akan mengetahui perkara yang telah mereka sepakati dan perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian dipilih yang rajih diantara khilaf yang ada pada mereka.[22]

5- Dengan adanya periwayatan dari para tabi’in bisa menjadi penjelas suatu hadits yang marfu’ manakala masih mengandung makna yang belum jelas.


HADITS AL-MUSNAD

  Berkata nadzim rahimahullah:
والْمُسند الْمتصلُ الإسنادِ مِنْ                                 راويهِ حتى المصطفى ولم يَبِنْ


Dan musnad adalah yang muttashil (bersambung) sanadnya dari

Perawinya hingga sampai ke Mushthafa (Nabi) dan tidak terputus

SYARAH 

Pada bait ini penulis menjelaskan tentang definisi hadits musnad yaitu: Hadits  yang bersambung (muttasil) dan sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam (marfu’). Inilah pendapat yang dipilih oleh penulis sesuai dengan pendapat imam Al-Hakim An-Naisaburi rahimahullah demikian juga pendapat imam Ibnu Hajar rahimahullah.[23]

Ada tiga pendapat berkaitan dengan makna hadits: pendapat pertama, adalah pendapat imam Al-Hakim sebagaimana yang dipaparkan oleh imam Al-Baiquni di atas. Kedua, pendapat imam Al-Khatib Al-Baghdadi yaitu musnad adalah: yang sanadnya (mata rantai perawinya) sampai kepada matan (redaksi hadits). Pendapat ini seolah-olah sama dengan definisi hadits muttasil. Ketiga, pendapat imam Ibnu Abdil Barr musnad adalah: yang sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam baik bersambung sanadnya ataupun tidak bersambung. Namun pendapat ini seolah-olah sama dengan definisi hadits marfu’.[24]

Contoh gambaran hadits musnad: Berkata imam Al-Bukhari,
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا شَرِبَ الكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا»


“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, dari Malik, dari Abuz Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apabila anjing meminum bejana salah seorang diantara kalian, maka cucilah selama tujuh kali.”[25]

Apabila kita perhatikan contoh diatas maka akan kita dapati bahwa susunan para perawinya saling bersambung dari awal hingga akhir tanpa terputus sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Itulah yang dinamakan dengan hadits musnad.

Hanya saja suatu hal yang harus kita fahami bahwa tidak setiap hadits yang musnad itu mesti shahih, adakalanya hadits musnad dho’if karena adanya keberadaan perawi yang kurang kredibilitasnya dalam periwayatan hadits ataupun faktor yang lainnya.








[1]  Fathul Baqi ‘Ala Alfiyah Al-‘Iraqi karya Zakaria Al-Anshari, dinukil dari Al-Jawahir As-Sulaimaniyah: hal. 117.




[2]  Lihat Taisir Musthalahul Hadits: hal. 128 dengan sedikit adaptasi.




[3]  Ibnu Shalah membahas hal tersebut dalam kitab beliau At-Taqyid: hal. 69, bahkan beliau menyatakan bahwa pernyataan tersebut adalah pendapat mayoritas para ahli hadits.




[4]  HR. Bukhari no. 5208 dan Muslim no. 1440.




[5]  Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyyah: 30/81.




[6]  Al-Kifayah: hal. 594-595, karya Al-Khatib.




[7]  At-Taqyid: hal. 70.




[8]  HR. An Nasa’i No. 1158, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1158.




[9]  Muqaddimah Tafsir Ibnu Katsir: 1/8. Cet. Dar Ath-Thoibah.




[10]  Majmu’ Fatawa: 13/340, At-Taqyid Wal-Idhah: hal. 70.




[11]  Tafsir Ath-Thabari: 1/75, Muqaddimah Tafsir Ibnu Katsir: 1/41.




[12]  Al-Jawahir: hal. 138.




[13]  At-Taqyid: hal. 320.




[14]  Fathul Mughits: 1/147.




[15]  Taysir Mushtholah al-Hadits karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, hal.202-203 secara ringkas.




[16]  HR. Muslim: no. 2542.




[17] Al-Minhaj syarah shahih Muslim: 16/95. Karya Imam An-Nawawi rahimahullah.




[18]   Yang dimaksud di sini adalah Ummu ad-Darda’ ash-Shugra (isteri muda Abu ad-Darda’) yang bernama Hujaimah (ada yang menyebutnya, Juhaimah). Sedangkan Ummu ad-Darda’ al-Kubra (isteri tua Abu ad-Darda’) bernama Khairah yang merupakan seorang wanita shahabat.




[19] Al-Jami’: 2/280. (no. 1634). Karya imam Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah.




[20]  Al-Jawahir: hal. 143.




[21]  Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: hal. 35 dan Risalah ‘Abdus: hal. 25.




[22] Al-Jami’: 2/281 (no. 1636). Karya Al-Khatib rahimahullah.




[23]  An-Nukat: hal. 507-508.




[24]  Al-Ba’its Al-Hatsits: hal. 42.




[25]  HR. Bukhari: no. 172.


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts