Rabu, 29 Agustus 2012

حَيْثُمَا كُنْتَ : di mana saja engkau berada

Yaitu bertaqwal-lah di bumi Allah mana pun, baik di tengah keramaian atau kesendirian, di  rumah, pasar, jalan, masjid,  di kampungmu atau di negeri lain, dan semua tempat di muka bumi ini, karena di mana saja kamu berada Allah ‘Azza wa Jalla selalu mengawasimu.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

 وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ


                “ ..dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al Hadid (57): 4)

Ayat ini tidak berarti Allah Ta’ala secara zat ada di setiap tempat kita berada, dan tidak boleh mengartikan demikian. Maksudnya adalah Allah Ta’ala senantiasa menyaksikan dan mengawasi manusia.  Imam Ibnu Jarir Ath Thabari Rahimahullah menjelaskan:

وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم، ومتقلبكم ومثواكم، وهو على عرشه فوق سمواته السبع


                “Dia menyaksikan kalian, wahai Manusia, dimana saja kalian berada Dia mengetahui kalian, mengetahui perbuatan kalian, lalu lalang kalian, dan di tempat tinggal kalian,dan Dia di atas ‘ArsyNya, di langit yang tujuh.” (Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Al Quran, 23/196)

            Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:

أي وحدك أو في جمع فإن كانوا أهل بغي أو فجور فعليك بخويصة نفسك أو المراد في أي زمان ومكان كنت فيه رآك الناس أم لا فإن الله مطلع عليك واتقوا الله إن الله كان عليكم رقيبا


            Yaitu kamu sendirian atau dalam keramaian, walau mereka adalah ahli maksiat dan kejahatan, maka wajib atasmu menjaga dirimu secara khusus. Atau maksudnya pada tempat mana pun dan  waktu kapan pun  yang kamu di dalamnya dilihat manusia atau tidak, sesungguhnya Allah mengawasimu, dan bertaqwa-lah kepada Allah karena Allah senantiasa mengawasi kamu. (Faidhul Qadir, 1/156. Cet. 1.  1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut)

Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah:

حيثما كنت : في أي مكان كنت فيه حيث يراك الناس ، وحيث لا يرونك


            Di mana saja  kamu berada: yaitu di tempat mana saja kamu berada, di mana manusia melihatmu dan tidak melihatmu. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 18)

            Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah juga menjelaskan:

وإذا كنت في أي مكان فاتقِِ الله حيثما كنت، لماذا؟ لأن الله مطلع عليك أينما توجهت، وأنت إنما تتعامل مع الله، ولذا خرج أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى الأمصار ودعَوا إلى الله، ولما كتب بعض السلف إلى إخوانه في الشام: هلم إلى الأرض المقدسة، قال: إن الأرض لا تقدس أهلها؛ ولكن يقدسهم العمل.


( اتقِ الله حيثما كنت ): وأيضاً (كيفما كنت) أي: على أية حالة تكون فيها مع الناس يجب أن يكون معيارك تقوى الله


            Jika  kamu berada di berbagai tempat, maka bertaqwa-lah kepada Allah, kenapa? karena Dia mengawasimu ke mana pun kau menghadap, dan sesungguhnya kamu sedang ta’aamul (bergaul-berinteraksi) dengan Allah, oleh karena itu para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar   menuju berbagai negeri untuk menyerukan manusia kepada Allah.  Ketika sebagian salaf berkata kepada saudara-saudaranya di Syam: “marilah ke negeri yang suci.” Dia menjawab: “Sesungguhnya bumi tidaklah mensucikan penduduknya, tetapi amal-lah yang mensucikan mereka.”

(Bertaqwa-lah kamu di mana saja berada) juga bermakna (bagaimana  pun keadaanmu) yaitu bagaimana pun keadaan kamu   bersama manusia di dalamnya, wajib menjadikan taqwa kepada Allah sebagai mi’yar (kriteria) bagi dirimu. (Syaikh ‘Athiyah Salim, Syarh Al Hadits Al Arbain, Syarah No. 18)

            Jadi, perintah taqwa adalah perintah yang berlaku dalam berbagai dimensi, baik waktu, tempat, dan keadaan manusianya. Bahkan itu merupakan keadaan iman yang paling utama.

Dari  ‘Ubadah bin Ash Shaamit Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أفضل الإيمان أن تعلم أن الله معك حيثما كنت


            Iman yang paling utama adalah kamu mengetahui bahwa Allah bersamamu di mana saja kamu berada. (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 8796, juga dalam Musnad Asy Syamiyyin No. 1416, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 6/124. Imam Al Haitsami mengatakan: “Utsman bin Katsir meriwayatkannya secara menyendiri, dan saya tidak melihat ada  yang men-tsiqahkannya, mau pun yang mencelanya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/60. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat  Dhaiful Jami’ No. 1002)

 

Selanjutnya:

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا: dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskannya

Apakah perbuatan buruk yang dimaksud? Dan apa pula perbuatan baik itu? Syaikh Ismail Al Anshari menjelaskan;

السيئة : وهي ترك بعض الواجبات ، أو ارتكاب بعض المحظورات .الحسنة : التوبه منها . أو الإتيان بحسنة أخرى .


            Keburukan adalah meninggalkan sebagian kewajiban atau menjalankan sebagian perbuatan terlarang. Kebaikan adalah bertobat dari keburukan, atau melanjutkan dengan perbuatan baik lainnya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, No. 18)

Oleh karenanya, tidak dapat dikatakan keburukan jika ada yang  tidak mengerjakan sunah atau melakukan perbuatan yang mubah. Di sisi lain, keburukan akan tetap ada kecuali pelakunya bertobat atau melakukan berbagai kebaikan untuk menghapuskan keburukan yang telah lalu.

Bertobat yang bagaimanakah yang dapat menghapuskan dosa? Saya akan kutip dari Imam An Nawawi Rahimahullah sebagai berikut:

قال العلماء: التوبة واجبةٌ من كل ذنبٍ، فإن كانت المعصية بين العبد وبين الله تعالى لا تتعلق بحق آدميٍ؛ فلها ثلاثة شروطٍ: أحدها: أن يقلع عن المعصية.


والثاني: أن يندم على فعلها.


والثالث: أن يعزم أن لا يعود إليها أبداً. فإن فقد أحد الثلاثة لم تصح توبته. وإن كانت المعصية تتعلق بآدميٍ فشروطها أربعةٌ: هذه الثلاثة، وأن يبرأ من حق صاحبها؛ فإن كانت مالاً أو نحوه رده إليه، وإن كانت حد قذفٍ ونحوه مكنه منه أو طلب عفوه، وإن كانت غيبةً استحله منها.


 

“Berkata para ulama: “Tobat adalah wajib dari semua dosa, jika maksiatnya adalah antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala, yang tidak terkait dengan manusia, maka syarat tobatnya ada tiga:

1.       Meninggalkan maksiat tersebut

2.       Membenci/menyesali perbuatan tersebut

3.       Berjanji tidak mengulanginya selamanya.

 

Jika salah satu saja tidak ada, maka tobatnya tidak sah. Dan, jika maksiatnya adalah terkait dengan manusia, maka syaratnya ada empat; yaitu yang tiga di atas, dan yang keempat adalah: menyelesaikan urusannya kepada orang yang berhak. Jika  kesalahannya dalam bentuk harta maka dia harus mengembalikannya. Jika dia melemparkan tuduhan, maka dia meminta maaf kepada yang dituduh. Jika dia melakukan ghibah, maka dia meminta untuk dihalalkan (dimaafkan). (Riyadhush Shalihin, Hal. 33-34.  Cet. 3. 1998M-1419H.  Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)

Kebaikan bagaimanakah yang dapat menghapuskan dosa? Yaitu berbagai macam kebaikan yang telah disebutkan oleh syariat dapat menghapuskannya,  dengan  pelaksanaan dan niat yang benar.  Misalnya  puasa ramadhan, shalat jumat, shalat lima waktu, istighfar, berbagai  dzikir yang ma’tsur (yang nabi ajarkan), bersedekah,, dan memperbanyak shalat sunnah.[1][1] Semuanya disebutkan dalam hadits-hadits shahih sebagai penghapus dari kesalahan dan dosa kita.

Syaikh Ismail Al Anshari menambahkan:

تمحها : تمح عقابها من صحف الملائكة وأثرها السيء في القلب .


            Menghapuskannya: yaitu menghapuskan hukumannya dari catatan malaikat dan menghapuskan pengaruh buruknya di dalam hati. (At Tuhfah, Ibid)

Selanjutnya:

وَخَالِقِ النَّاسَ :  dan berakhlaklah dengan manusia

Yaitu bergaul, berinteraksi, dan bermuamalah dengan manusia mana pun, terlebih lagi umat Islam.

Syaikh Abul ‘Ala Muhamamd Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri mengatakan:

أي خالطهم وعاملهم


            Yaitu membaurlah dengan mereka dan bergaul/berurusan dengan mereka. (Tuhfah Al Ahwadzi, 6/123. Cet. 3, 1963M-1383H. Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)

            Bergaul dan membaur dengan manusia, dan bertahan terhadap fitnah (kerusakan) yang ada pada mereka,  adalah lebih utama dibanding ‘uzlah (memisahjkan diri).

Imam An Nawawi menjelaskan:

اعْلم أنَّ الاختلاط بالنَّاسِ عَلَى الوجهِ الَّذِي ذَكَرْتُهُ هُوَ المختارُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وسائر الأنبياء صلواتُ اللهِ وسلامه عَلَيْهِمْ ، وكذلك الخُلفاءُ الرَّاشدون ، ومن بعدَهُم مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ ، ومن بَعدَهُم من عُلَماءِ المُسلمين وأَخْيَارِهم ، وَهُوَ مَذْهَبُ أكثَرِ التَّابِعينَ وَمَنْ بَعدَهُمْ ، وبه قَالَ الشافعيُّ وأحمدُ وأكثَرُ الفقهاءِ  رضي اللهُ عنهم أجمعين. قَالَ اللهُ تَعَالَى: { وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى } [ المائدة : 20 ] والآيات في معنى مَا ذكرته كثيرة معلومة .


                Ketahuilah, bahwa membaur dengan manusia dengan cara seperti yang telah saya sebutkan, adalah sika pilihan yang di atasnya Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada, juga semua para Nabi Shalawatullah wa salamuhu ‘Alaihim, demikian juga para khulafa’ur rasyidin, dan yang setelah mereka dari kalangan sahabat dan tabi’in, dan yang setelah mereka dari kelompok ulama Islam dan manusia-manusia terbaik mereka, dan inilah madzhab mayoritas tabi’in dan manusia  setelah mereka. Inilah pendapat Asy Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas fuqaha Radhiallahu ‘Anhum ajma’in. Allah Ta’ala berifirman: “Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan.” (QS. Al Maidah (5): 20). Dan ayat-ayat yang semakna sebagaimana yang telah saya sebutkan banyak jumlahnya dan terkenal. (Lihat Riyadhushshalihin Hal. 210. Cet. 3. 1998M – 1419H. Muasasah Ar Risalah. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth)

Disamping itu, dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

و خير الناس أنفعهم للناس


                “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR.  Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 1234,  Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 5787, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 43065. Syaikh Al Albani menyatakan: Hasan shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 426. Darul Ma’arif. Dihasankan pula dalam Shahih Kunuz As Sunnah An Nabawiyah, Bab Khiyarukum No. 4, disusun oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq)

            Maka, bagaimana mungkin menjadi manusia bermanfaat jika tidak berinteraksi dengan manusia lainnya?

            Selanjutnya:

بِخُلُقٍ حَسَنٍ : dengan akhlak yang baik

Yaitu dengan akhlak yang mulia, dan yang menjadi standarnya adalah Al Quran dan As Sunnah.

Ta’rif (definisi) Akhlak

Secara bahasa (lughatan): Akhlaq adalah jamak dari Al khuluq, yang berarti:

وهو الدِّين والطبْع والسجية


                “Yaitu ad din (agama), tabiat, dan perangai.” (Ibnu Manzhur Al Mishri, Lisanul ‘Arab, 10/85)

وقالَ ابنُ الأعْرابِيِّ : الخُلُقُ : المُرُوءةُ


          “Berkata Ibnul Arabi: Al Khuluq artinya muru’ah (kepribadian/citra diri yang baik).” (Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq Al Hasani,  Tajjul ‘Arusy, Hal. 6292)

Sedangkan, makna secara istilah (ishtilahan), adalah:

وحقيقته أَنه لِصورة الإِنسان الباطنة وهي نفْسه وأَوصافها ومعانيها المختصةُ بِها بمنزلة الخَلْق لصورته الظاهرة وأَوصافها ومعانيها ولهما أَوصاف حسَنة وقبيحة والثوابُ والعقاب يتعلّقان بأَوصاف الصورة الباطنة أَكثر مما يتعلقان بأَوصاف الصورة الظاهرة


“Hakikatnya (akhlak) adalah gambaran batin manusia, yakni jiwanya, sifat-sifatnya, dan makna-maknanya yang spesifik, yang dengannya terlihat  kedudukan makhluk, lantaran gambarannya secara zahir, baik sifat-sifatnya dan makna-maknanya, dan keduanya memeliki sifat yang baik atau buruk, mendapat pahala dan sanksi, yang kaitan keduanya dengan sifat-sifat yang tergambar secara batin adalah lebih banyak, dibanding apa-apa yang yang terkait dengan gambaran zahirnya.” (Ibid, lihat juga Tajjul ‘Arusy, Hal. 6292)  

Sementara itu, Hujjatul Islam Imam Al Ghazali, mendefinisikan akhlak yang baik sebagai berikut:

وإنما الأخلاق الجميلة يراد بها العلم والعقل والعفة والشجاعة والتقوى والكرم وسائر خلال الخير، وشيء من هذه الصفات لا يدرك بالحواس الخمس بل يدرك بنور البصيرة الباطنة


                “Sesungguhnya, yang dimaksudkan dengan akhlak yang indah adalah ilmu, akal, ‘iffah (rasa malu berbuat dosa), keberanian, taqwa, kemuliaan, dan semua perkara yang baik, dan semua sifat-sifat ini tidak hanya ditampilkan oleh panca indera yang lima, tetapi juga oleh cahaya mata hati dan batin.” (Ihya ‘Ulumuddin, 3/393)

                Sedangkan Ibnu Maskawaih berkata tentang akhlak:

الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية ولا روية


          “Akhlak adalah kondisi bagi jiwa yang mengajak segala perbuatan kepadanya dengan tanpa dipikirkan, dan tanpa ditimbang-timbang.” (Ibnu Maskawaih, Tahdzibul Akhlaq, hal. 10)

                Demikian makna akhlak yang diterangkan para ulama dan ahli bahasa. Semua pembicaraan tentang akhlak bermuara pada kondisi jiwa manusia yang ditampakkan oleh perbuatan mereka, yang didasarkan oleh pemahaman agama, Al Quran, dan ketaqwaan.

II. Kata Akhlak dalam Al Quran

                Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ


                “Dan seseungguhnya engkau (Muhammad), benar-benar berbudi pekerti  agung.” (QS. Al Qalam (68): 4)

Berkata Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari Rahimahullah:

وإنك يا محمد لعلى أدب عظيم، وذلك أدب القرآن الذي أدّبه الله به، وهو الإسلام وشرائعه.



                “Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, benar-benar di atas adab (etika) yang mulia, itulah adab Al Quran yang dengannya Allah telah mendidiknya, yakni (adab) Islam dan syariat-syariatnya.” (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 23/528)

                Ucapan Imam Ibnu Jarir ini merupakan rangkuman dari berbagai tafsir tentang makna ‘Khuluqun ‘Azhim’, yang dimaknai oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Adh Dhahak, dan Ibnu Zaid, di mana mereka mengartikannya dengan makna ‘agama mulia’, yakni Islam. Sedangkan ‘Athiyah memaknainya dengan ‘Adabul Qur’an, (etika al Quran)’ (Ibid, 23/529-530)

                Sementara itu, Aisyah Radhiallahu ‘Anha memaknai ayat ‘sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung’  adalah Al Quran. Sebagaimana riwayat berikut:

 عن سعد بن هشام بن عامر ، في قول الله عز وجل ( وإنك لعلى خلق عظيم  ) قال : سألت عائشة رضي الله عنها : يا أم المؤمنين ، أنبئيني عن خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقالت : « أتقرأ القرآن ؟ » فقلت : نعم ، فقالت : « إن خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم القرآن »


          Dari Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir, tentang firmanNya ‘Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung’, dia berkata: ‘Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Wahai Ummul Mu’minin, kabarkan kepada saya tentang akhlaq Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Beliau menjawab: “Apakah engkau membaca Al Quran?” Aku menjawab: “Tentu.” Dia berkata: “Sesungguhnya Akhlaq Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al Quran.” (HR. Muslim No. 746, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4413, 4588, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 425, Al Hakim,  dalam Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 3842, katanya: shahih sesuai syarat syaikhan (Bukhari dan Muslim), dan disepakati Imam Adz Dzahabi)

III. Kata Akhlaq dalam As Sunnah

Selanjutnya adalah beberapa hadits yang memuat kata ‘akhlaq’ dan pengertiannya menurut para pensyarah.

Hadits Pertama

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ


 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab:   “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)   

                Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri tentang makna husnul khuluq:

أَيْ مَعَ الْخَلْقِ ، وَأَدْنَاهُ تَرْكُ أَذَاهُمْ وَأَعْلَاهُ الْإِحْسَانُ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْهِ مِنْهُمْ


“Yaitu akhlak terhadap makhluk, dia mendekatkan diri dan menjauhkan dari sikap menyakiti mereka, dan lebih tinggi kebaikannya kepada siapa-siapa yang telah berbuat buruk kepadanya dari mereka.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 6/142)

Dalam kitab yang sama:

قَالَ الطِّيبِيُّ قَوْلُهُ : تَقْوَى اللَّهِ إِشَارَةٌ إِلَى حُسْنِ الْمُعَامَلَةِ مَعَ الْخَالِقِ بِأَنْ يَأْتِيَ جَمِيعَ مَا أَمَرَهُ بِهِ وَيَنْتَهِيَ عَنْ مَا نَهَى عَنْهُ وَحُسْنُ الْخَلْقِ إِشَارَةٌ إِلَى حُسْنِ الْمُعَامَلَةِ مَعَ الْخَلْقِ وَهَاتَانِ الْخَصْلَتَانِ مُوجِبَتَانِ لِدُخُولِ الْجَنَّةِ وَنَقِيضُهُمَا لِدُخُولِ النَّارِ فَأَوْقَعَ الْفَمَ وَالْفَرْجَ مُقَابِلًا لَهُمَا .


                Ath Thayyibi berkata: “Sabda beliau,’ Taqwa kepada Allah’ merupakan isyarat terhadap baiknya pergaulan dengan Sang Pencipta, yakni dengan cara menjalankan semua yang diperintahkanNya  dan menjauhi dari dari apa-apa yang dilarangNya. “Akhlak yang baik’ merupakan isyarat terhadap baiknya pergaulan dengan sesama makhluk. Dua perangai ini akan mengantarkan kepada surga, sedangkan  yang bertentangan dengan keduanya akan masuk ke neraka. Apa yang biasa dilakukan Mulut dan kemaluan, merupakan lawan dari kedua perangai itu. (Ibid)

Sementara Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Imam Abdullah bin Mubarak tentang makna Husnul Khuluq (akhlaq yang baik):

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ وَصَفَ حُسْنَ الْخُلُقِ فَقَالَ هُوَ بَسْطُ الْوَجْهِ وَبَذْلُ الْمَعْرُوفِ وَكَفُّ الْأَذَى


Dari Abdullah bin Mubarak, bahwa dia menyifati akhlak yang baik adalah wajah yang ceria, suka memberikan hal-hal yang baik, dan menahan tangannya dari menyakiti manusia. (Lihat Sunan At Tirmidzi No. 2005)

Hadits Kedua

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُق


Dari Abu Darda, dia berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada sesuatu yang diletakkan di atas timbangan, yang  beratnya melebihi berat akhlak yang baik.” (HR. At Tirmidzi No. 2003, katanya: hadits ini gharib.  Abu Daud No. 4799. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 876, Al Irwa No. 941, dan Shahihul Jami’ No. 5726)

Imam Abu Thayyib Rahimahullah berkata tentang maksud hadits di atas:

أَيْ مِنْ ثَوَابه وَصَحِيفَته أَوْ مِنْ عَيْنه الْمُجَسَّد


“Yaitu pahala akhlak yang baik, catatannya dan nilai akhlak baik itu sendiri.” (Imam Abu Thayyid Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud,  13/108. Cet. 2. Darul Kutub Al ‘ilmiyah, Beirut - Libanon)

Hadits Ketiga

عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ


                Dari An Nawas bin Sam’an al Anshari, dia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang Al Birr (kebaikan) dan Dosa, beliau bersabda: Al Birr adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa-apa yang membuat dadamu tidak nyaman, dan engkau membencinya jika manusia melihatnya.” (HR. Muslim No. 2553)

                Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari hadits ini:

قَالَ الْعُلَمَاء : الْبِرّ يَكُون بِمَعْنَى الصِّلَة ، وَبِمَعْنَى اللُّطْف وَالْمَبَرَّة وَحُسْن الصُّحْبَة وَالْعِشْرَة ، وَبِمَعْنَى الطَّاعَة ، وَهَذِهِ الْأُمُور هِيَ مَجَامِع الْخُلُق


          “Berkata para ulama: Al Birr dimaknai dengan Ash Shilah (hubungan), dan bermakna kelembutan, kebaikan, persahabatan yang baik, dan pergaulan yang baik, dan juga bermakna ketaatan. Semuanya ini terhimpun pada kata Akhlak.” (Al Minhaj Syarh   Shahih Muslim,  8/343)

IV. Macam-Macam Akhlak

1.       Akhlak kepada Allah Ta’ala

-          MenjadikanNya satu-satunya ma’bud (sembahan) yang haq dan murni. (QS. 1: 5) dan (QS. 98:5)

-          Taat kepadaNya secara mutlak. (QS. 4:65)

-          Tidak menyekutukanNya dengan apa pun. (QS. 4: 116)

-          MenjadikanNya sebagai tempat minta pertolongan. (QS. 1:5)

-          Memberikan hak rububiyah, uluhiyah, asmaul husna dan sifatul ’ulya, hanya kepadaNya. (QS. 1;2), (QS. 114: 3)

-          Tidak menyerupakanNya dengan apa pun (QS. 42: 11)

-          Menetapkan apa-apa yang ditetapkanNya, mengingkari apa-apa yang diingkariNya, mengharamkan apa-apa yang diharamkanNya, dan menghalalkan apa-apa yang dihalalkanNya. (QS. 5: 48-49)

-          MenjadikanNya sebagai satu-satunya pembuat syariat. (QS. 6: 57)

-          Berserah diri kepadaNya (QS. 20:72)

 

2.       Akhlak kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

 

-          Mengakui dan mengimani bahwa Beliau adalah hamba Allah dan RasulNya. (QS. 18:110)

-          Meyakini bahwa Beliau adalah Rasul dan NabiNya yang terakhir, dan risalahnya pun juga risalah terakhir. (QS. 30:40)

-          Taat kepadanya secara mutlak. (QS. 4:65)

-          Menjadikannya sebagai teladan yang baik dalam kehidupan, beragama, keluarga, sosial, dan lain-lain. (QS. 30:21)

-          Meyakini bahwa syafa’at darinya hanya terjadi dengan idzin Allah ta’ala. (QS. 10:3), (QS. 20:109)

-          Bershalawat padanya. (QS. 30:56)

-          Menerima keputusannya secara lapang. (QS. 4: 59)

-          Mencintai keluarganya (ahli baitnya). (HR. At Tirmidzi,  No. 3789, katanya: hasan)

-          Mencintai para sahabatnya dan mengakui bahwa mereka adalah umat terbaik dan semuanya adil. (QS. 3: 110)

-           Mencintai yang dicintainya dan membenci yang dibencinya.

3.       Akhlak kepada manusia

-          Berbakti kepada kedua orang tua (QS. 6:151) (QS.46:17)

-          Menyambung silaturrahim (QS. 4:1) (QS. 2:27)

-          Tolong menolong dalam kebaikan, bukan dalam kejahatan. (QS. 5:2)

-          Tawadhu’ (QS.7:199)

-          Tidak mencela. (HR. Bukhari)

-          Lemah lembut dan berkasih sayang  kepada sesama muslim dan tegas terhadap orang kafir. (QS. 5:54) (QS. 48: 29)

-          Sabar, menepati janji, dan jujur. (QS. 2:177)

-          Pemaaf (QS. 2:109)

-          Adil (QS. 3: 18)

-          Dermawan (QS. 2: 245)

-          Memuliakan tamu (QS. 11:69)

-          Dan lain-lain.

 

Wallahu A’lam













[1][1] Memperbanyak shalat sunah dapat menyempurnakan wajib yang dahulu pernah kita lakukan. Baik kita lakukan ada kesalahan, atau pernah meninggalkannya pada masa-masa belum mengerti agama.  Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:


أنظروا هل لعبدي من تطوع؟ فإن كان له تطوع قال: أتموا لعبدي فريضته من تطوعه


(Allah berfirman): Lihatlah apakah hambaKu memiliki shalat sunnah? jika dia memiliki shalat sunnah, lalu Dia berfirman lagi: "sempurnakanlah bagi hambaKu itu shalat wajibnya dengan shalat sunahnya itu." (HR. Abu Daud No. 864, Shahih. Lihat Shahihul Jami' No. 2571)


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts