Sabtu, 31 Agustus 2013



Diriwayatkan dalam sebuah hadits maudhu’ (palsu):

حب الوطن من الإيمان

 “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman.”

Berkata syaikh Al-Albani ketika mengomentari hadits diatas:

ومعناه غير مستقيم إذ إن حب الوطن كحب النفس والمال ونحوه، كل ذلك غريزي في الإنسان لا يمدح بحبه ولا هو من لوازم الإيمان، ألا ترى أن الناس كلهم مشتركون في هذا الحب لا فرق في ذلك بين مؤمنهم وكافرهم؟ !

“Hadits tersebut (Disamping maudhu’), ditinjau dari segi makna pun tidak lurus, hal itu dikarenakan cinta kepada tanah air seperti halnya cinta kepada jiwa, harta dan semisalnya. Yang mana kecintaan terhadap hal-hal tersebut adalah bagian dari tabi’at manusia tidak terpuji seorang ketika mencintainya dan tidak pula tercela, serta bukan juga bagian dari kensekuensi keimanan. Hal itu sebagaimana anda lihat, bahwa seluruh manusia cinta kepada tanah airnya baik yang mukmin maupun kafir.”

[1]Beliau rahimahullah juga berkata ditempat yang lain, “Cinta tanah air adalah hal yang bersifat fitrah, seperti kecintaan seorang terhadap kehidupan dan benci mati. Oleh karena itu jika seorang cinta terhdap kehidupan maka itu tidaklah terpuji atau pun tercela secara dzatnya, akan tetapi akan menjadi terpuji atau tercela tergantung dari pemanfaatan hidupnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

خيركم من طال عمره وحسن عمله وشركم من طال عمره وساء عمله

“Sebaik-baik kalian adalah seorang yang panjang umurnya lagi baik amalannya, dan sejelek-jelek kalian adalah seorang yang panjang umurnya lagi jelek amalannya.” [2]

  Oleh karena itu cinta kepada tanah air adalah bagian dari tabi’at manusia; Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang Yahudi,

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ

“Dan Sesungguhnya kalau kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya ...” (An-Nisa’: 66)

 Kenapa mereka sampai demikian? Hal itu dikarenakan setiap orang memiliki tabi’at cinta dan memiliki kecenderungan terhadap tanah airnya. Namun tidak boleh semata- mata seorang cinta kepada tanah airnya seperti cinta kepada negara Palalestin -karena itu adalah tanah airnya misalnya- kemudian seorang mengatakan cinta Paletin adalah bagian dari agama, ini jelas tidak diperbolehkan”.....kemudian beliau melanjutkan, “Benar Nabi shallallahu’alaihi wasallam tatkala pergi hijrah ke Madinah beliau melihatat kearah Makkah sembari mengatakan “Engakau adalah negeri yang paling aku cintai....” namun perlu diketahui bahwa hadit tersebut tidak ada kaitannya dengan anjuran cinta kepada tanah air, Nabi mengatakan demikian dikarenakan konteksnya berkaitan dengan mencintai negeri yang paling utama di sisi Allah. Kemudian Nabi bersabda, “Kalau bukan karena penduduk mengusirku, aku tidak akan keluar.”[3] Mengapa Nabi mengatakan demikian? Apakah karena semata-mata cinta tanah airnya? Tentu tidak, akan tetapi Nabi mengucapkan demikian dikarenakan Makkah adalah negeri yang paling dicinti oleh Allah, kemudian negeri yang dicintai oleh beliau sendiri sebagai Rasul-Nya. Oleh karena itu sabda Nabi di atas tidak bisa dipraktekkan untuk seluruh negeri.

  Sebagai contoh: Apabila seorang berasal dari negeri Mesir, kemudian dia diusir dari negeri tersebut dengan paksa tidak boleh baginya untuk mengatakan, ‘Engkau adalah negeri yang paling dicintai oleh Allah, dan negeri yang paling aku cintai, kalau seandainya bukan karena penduduk mengusirku aku tidak akan keluar darimu’, jelas ini adalah ucapan yang tidak diperbolehkan. Oleh karena itu wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkahimu-  sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya, oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu dikarenakan Allah berfirman,

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤادَ كُلُّ أُولئِكَ كانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً (36)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 36)















[1]  Adh-Dho’ifah: 1/110.




[2] lihat Shahihul Jami’: no. 3297.




[3]  Shahihul Jami’: no. 7089.



0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts