Senin, 18 Februari 2013


Bismillahirrahmanirrahim


 

Sesungguhnya, segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya,memohon pertolonganNya, memohon ampunanNya, dan kami memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan diri kita dan kejahatan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang mendapat petunjuk Allah, maka tidak akan ada yang mampu menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tak akan ada yang kuasa menujukinya.

Aku bersaksi bahwasannya tiada Ilah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya Semoga kesejahteraan dan keselamatan senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.

Sesungguhnya orang-orang yang mereka mempelajari ilmu syar’i dan mendakwahkannya di jalan Allah tidak diragukan lagi bahwa dia adalah seorang mujahid. Oleh karena itu berkata imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah,

 

مامن عمل أفضل من طلب العلم إذا صحت النية


“Tidak ada suatu amalan yang lebih mulia dari pada menuntut ilmu, apabila niatnya benar.”[1]

Berkata imam Ibnul Mubarak,

لا أعلم بعد النبوة أفضل من بث العلم


“Saya tidak mengetahui setelah zaman kenabian yang lebih utama dari pada menyebarkan ilmu syar’i.”[2]

 

Oleh karena agungnya perkara tersebut Allah berfirman,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صالِحاً وَقالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ


“Siapakah yang lebih baik ucapannya dari pada orang-orang yang berdakwah kepada (jalan Allah) , dan ia mengatakan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Fusshilat: 55)

 

Orang-orang yang berpegang dengan hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah mereka-mereka yang berada di shaf terdepan dalam keteguhan ditengah-tengah keterasingan umat. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ


“Senantiasa ada segolongan dari umatku orang-orang yang nampak tegar diatas kebenaran, tidaklah membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihi dan menjauh dari mereka sampai datang keputusan Allah Ta’ala.”[3]

Berkata imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah tentang siapakah itu Tho’ifah manshurah (orang-orang yang mendapatkan pertolongan Allah), “Aku mengira mereka itu adalah ahlul hadits, dan aku tidak tahu lagi ada yang lainnya selain dari mereka.”[4]

Berkata imam Al-Qadhi ‘iyadh, “Ahli hadits yang dimaksud oleh Ahmad adalah ahlus sunnah wal jama’ah dan orang-orang yang mengikuti madzhab ahli hadits.”[5]

 

Berkata Syaikhuna Abul Hasan –hafidzahullah-, “Para ahli hadits pantas untuk menyendang kehormatan tersebut dikarenakan mereka telah menghimpun aqidah yang bermanfaat dan pembelaan terhadap agama. Keshahihan dalam beraqidah adalah karakteristik yang jelas pada diri para salaf yang mereka menyibukkan dirinya dengan ilmu hadits. Ini berbeda dengan kondisi orang-orang yang menyibukkan diri mereka dengan ilmu selain ilmu hadits. Diantaranya orang-orang yang menyibukkan diri mereka dengan ilmu Fiqih maka banyak diantara mereka yang memiliki aqidah yang tidak shahih. Berbeda dengan perbendaharaan keilmuan yang dimiliki oleh ahli hadits, yang mana keilmuan mereka berlandaskan dengan hadits Nabi shallallahu’alaihiw asallam, perkataan para shahabat, Tabi’in, dan juga para ulama setelahnya. Oleh karena itu amat sedikit dikalangan ahli hadits yang terjerumus dalam kesalahan berkaitan dengan perkara aqidah ini berbeda kondisinya dengan para ahli Qari’, para fuqaha’ (ahli Fiqih), para sejarawan, para pakar bahasa dan bidang-bidang lannya yang mana banyak diantara mereka yang terjerumus dalam beberapa kesalahan dalam permasalahan Aqidah. Ilmu hadits adalah keselamatan dengan taufiq Allah bagi seorang yang mempelajarinya dan mengamalkannya sesuai dengan metode yang ditempuh oleh para imam.

Mempelajari ilmu hadits adalah suatu kebutuhan yang primer, hal itu dikarenakan keterkaitan ilmu hadits ini dengan Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Oleh karen itu suatu ilmu akan agung sesuai dengan kebutuhan manusia akan ilmu tersebut, oleh karena itu ilmu yang tidak dibutuhkan oleh manusia pastilah tidak akan mendapatkan tempat di hati mereka berbeda dengan ilmu yang bermanfaat. Sehingga karena urgensi dari suatu ilmu seorang akan semangant untuk menghimpun ilmu tersebut, meriwayatkannya, dan mempelajarinya dengan seksama.

Dan hal yang penting untuk diketahui adalah: tidaklah ilmu hadits dipelajai disuatu negeri, melainkan akan sedikit pula kebid’ahan yang ada pada negeri tersebut demikian juga sebaliknya. Hal itu dikarenakan ilmu hadits adalah parameter untuk memilah antara hadits yang shahih dengan hadits yang dho’if, sementara tersebarnya kebid’ahan faktor utamanya adalah keberadaan hadits-hadits dho’if tersebut...”[6]

 

Berkata Al-Hasan bin Tsawab,

قال لي أحمد بن حنبل: ما أعلم الناس اليوم في زمان أحوج منهم إلى طلب الحديث من هذا الزمان، قلت: ولم؟ قال: ظهرت البدع ، فمن لم يكن عنده حديث وقع فيها.


berkata kepadaku imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Tidak ada suatu zaman orang-orang lebih butuh untuk belajar hadits dari zaman kita sekarang”, maka aku (Hasan) berkata, “Mengapa demikian wahai Abu Abdillah?” beliau menjawab, “Karena banyak munculnya kebid’ahan, oleh karena itu seorang yang tidak mempelajari ilmu hadits ia akan terjatuh kedalamnya.”[7]

 

Diantara faktor yang menunjukan akan urgensinya ilmu hadits ini, bahwasanya ilmu hadits berkaitan dengan seluruh disiplin ilmu. Ambil contoh ilmu tafsir sangatlah membutuhkan adanya ilmu hadits dikarenakan hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah penjelas bagi ayat-ayat Al-Qur’an, apabila seorang tidak bisa memilah antara hadits-hadits shahih dengan hadits-hadits dho’if maka dikhawatirkan masuknya hadits-hadits dho’if dalam sebuah penafsiran Al-Qur’an yang akan berakibat fatal.

Dalam ilmu Fiqih misalnya yang mana ilmu tersebut terkait dengan hukum-hukum Islam, maka jika seorang tidak memahami ilmu hadits akan menyebabkan kerancuan dalam memahami suatu hukum. Oleh karena itu imam Asy-syafi’i rahimahullah pernah memberikan pujiannya kepada imam Ahmad rahimahullah,

أنتم أعلم بالحديث والرجال منّي، فإذا كان الحديث صحيحا فأعلموني به، أي شيء يكون كوفيا، أو بصريا، أو شاميا حتّى أذهب إليه، إذا كان صحيحا


“Anda lebih tahu tentang hadits dan para perawinya dari pada aku, apabila datang suatu hadits yang shahih maka ajarkanlah kepadaku, baik para perawi tersebut dari Kufah, Bashrah, atau pun Syam hingga aku pergi untuk mengambil hadits tersebut apabila shahih.”[8]

 

Berkata imam Ibnu Shalah rahimahullah,

هَذَا، وَإِنَّ عِلْمَ الْحَدِيثِ مِنْ أَفْضَلِ الْعُلُومِ الْفَاضِلَةِ، وَأَنْفَعِ الْفُنُونِ النَّافِعَةِ، يُحِبُّهُ ذُكُورُ الرِّجَالِ وَفُحُولَتُهُمْ، وَيُعْنَى بِهِ مُحَقِّقُو الْعُلَمَاءِ وَكَمَلَتُهُمْ، وَلَا يَكْرَهُهُ مِنَ النَّاسِ إِلَّا رُذَالَتُهُمْ وَسَفَلَتُهُمْ. وَهُوَ مِنْ أَكْثَرِ الْعُلُومِ تَوَلُّجًا فِي فُنُونِهَا، لَا سِيَّمَا الْفِقْهُ الَّذِي هُوَ إِنْسَانُ عُيُونِهَا. وَلِذَلِكَ كَثُرَ غَلَطُ الْعَاطِلِينَ مِنْهُ مِنْ مُصَنِّفِي الْفُقَهَاءِ، وَظَهَرَ الْخَلَلُ فِي كَلَامِ الْمُخِلِّينَ بِهِ مِنَ الْعُلَمَاءِ.


“Demikianlah, Sesungguhnya ilmu hadits adalah seutama-utamanya disiplin ilmu dan bidang ilmu yang paling bermanfaat lagi paling dicintai oleh para lelaki pilihan, yakni dari kalangan para ulama pilihan, tidaklah ada yang meremehkan ilmu tersebut melainkan mereka adalah orang-orang yang rendahan. Dan ilmu hadits ini adalah ilmu yang paling banyak keterkaitannya dengan ilmu-ilmu yang lain terutama adalah ilmu Fiqih yang mana ilmu tersebut adalah pasangan sejolinya. Oleh karena itu para Fuqaha’ yang tidak memiliki perhatian dengan ilmu tersebut akan banyak kesalahannya. Demikian juga para ulama yang tidak memberikan perhatian dalam ilmu tersebut akan terjerumus dalam banyak kesalahan.”                                   [9]

 

Berkata imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumallah,

إن العالم إذا لَمْ يعرف الصَّحِيْح والسقيم، والناسخ والمنسوخ من الْحَدِيْث لا يسمى عالماً


“Sesungguhnya seorang yang ‘alim apabila tidak bisa mengetahui antara hadits yang shahih dan tidak, serta tidak mengetahui perkara Nasikh dan Mansukh dalam suatu hadits, maka dia tidaklah dikatakan sebagai seorang yang alim.”[10]

 

Ilmu hadits sangatlah mendapatkan perhatian besar dikalangan ulama salaf terdahulu. Berkata imam Ibnu shalah rahimahullah,

وَلَقَدْ كَانَ شَأْنُ الْحَدِيثِ فِيمَا مَضَى عَظِيمًا، عَظِيمَةً جُمُوعُ طَلَبَتِهِ، رَفِيعَةً مَقَادِيرُ حُفَّاظِهِ وَحَمَلَتِهِ. وَكَانَتْ عُلُومُهُ بِحَيَاتِهِمْ حَيَّةً، وَأَفْنَانُ فُنُونِهِ بِبَقَائِهِمْ غَضَّةً، وَمَغَانِيهِ بِأَهْلِهِ آهِلَةً، فَلَمْ يَزَالُوا فِي انْقِرَاضٍ، وَلَمْ يَزَلْ فِي انْدِرَاسٍ حَتَّى آضَتْ بِهِ الْحَالُ إِلَى أَنْ صَارَ أَهْلُهُ إِنَّمَا هُمْ شِرْذِمَةٌ قَلِيلَةُ الْعَدَدِ، ضَعِيفَةُ الْعُدَدِ....


 

“Ilmu hadits sangatlah mendapatkan perhatian besar di zaman dahulu dikalangan para penuntut ilmu, dan mulia dikalangan orang-orang yang menghafalkannya dan mendakwahkannya. Dimasa hidup mereka (salaf) ilmu hadits mengalami masa keemasan, dan sangatlah dibutuhkan oleh bidang-bidang ilmu yang lain. Seorang yang menguasainya di waktu tersebut adalah disebut orang-orang  yang pakar. Namun amat disayangkan hal tersebut terus mengalami grafik penurunan hingga samapailah pada derajat amat sedikitnya orang-orang yang menguasai bidang tersebut…[11]

 

Karena begitu urgennya ilmu tersebut, banyak dari kalangan ulama menyibukkan diri dengan ilmu hadits tersebut. Berkata imam Ibnu Hajar terkait dengan penyusunan ilmu tersebut, “Sesungguhnya yang pertama menyusun disiplin ilmu hadits secara khusus adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khallad Ar-Ramahurmuzi  (wafat th. 360 H) di dalam kitabnya ((Al-Muhaddisul Fashil)), hanya saja kitab tersebut tidak membahas secara detail, yang mana sudah barang tentu penyusunan ilmu pada periode yang pertama tidaklah sama dengan penyusunan pada periode-periode akhir. Penyusunan pada kali pertama periode masih berupa ringkasan dari pembuka suatu pembahasan, hal tersebut tentu tidaklah membahas suatu permasalahan secara mendetail, juga tidaklah tersusun berdasarkan fasal-fasal dan dalil-dalil yang otentik. Sehingga banyak diantara kalangan yang kurang bisa mengambil faedah tidak seperti periode setelah terjadi penyusunan disiplin ilmu tersebut secara teratur.

Kemudian datang setelah itu Al-Hakim Abu Abdillah An-Naisaburi: beliau menulis buku dalam ilmu hadits yang bernama ((Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits)) hanya saja belum tersusun secara baik dan sistematis. Beliau juga memiliki kitab lain yang berjudul ((Al-Madkhol Ilal Iklil)) yang mana beliau menulis buku tersebut disebabkan permintaan pemimpin pasukan perang di zaman beliau agar beliau menulis sebuah buku yang membahas tentang karakteristik Nabi shallallahu’alaihi wasallam, istri-isteri beliau dan hari-hari yang beliau lalui. Maka imam Al-Hakim menulis sebuah kitab yang berjudul ((Al-Iklil)) kemudian ia memandang bahwa kitab tersebut tidak banyak memberikan sebuah faedah kecuali harus disertai dengan pengetahuan tentang hadits shahih dengan hadits dha’if, maka kemudian ia menulis sebuah kitab yang berjudul ((Al-Madkhal)) dipaparkan dalam kitab tersebut macam-macam hadits shahih beserta syarat-syaratnya...dst

Kemudian buku tersebut ditela’ah oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani: kemudian beliau memaparkan sanad-sanad hadits yang ada pada kitab Al-Ma’rifah karya Al-Hakim dengan pemaparan dari jalan periwayatan dari dirinya sendiri (Al-Mustakhrajat). Hanya buku tersebut tidaklah lepas dari beberapa kritikan, disamping buku tersebut belum menjelaskan penjelasan yang memuaskan bagi para penuntut ilmu.

Kemdia datang setelahnya Abu Bakar Al-Khatib Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit rahimahullah yang mana ia menulis dua buah kitab besar: yang pertama berkaitan dengan undang-undang periwayatan, kitab tersebut berjudul ((Al-Kifayah Fi ‘Ulumir Riwayah)), kedua: berkaitan dengan adab-adab penuntut hadits yang berjudul ((Al-Jami’ Li Adabir Rawi Wa Akhlaqus Sami’)) maka beliau menyusun disiplin ilmu tersebut dan bab-babnya, kemudian banyak para penulis setelahnya menulis karya tulis berdasarkan bab yang telah disusun olehnya. Oleh karena itu berkata Al-Hafidz Ibnu Naqthah, “Setiap orang yang memiliki sifat objektif akan mengetahui bahwa para ahli hadits setelah Al-Khatib buku-buku nereka banyak meruju’ kepada buku Al-Khatib.”

Hanya saja karya-karya tulis Al-khatib tidak banyak yang bisa mengambil faedah darinya kecuali orang-orang khusus yang mumpuni. Kemudian datanglah setelahnya Al-hafidz Abu ‘Amr Ibnus Shalah Asy-Syahraz Zuri Asy-syafi’i rahimahullah –tatkala beliau menjadi pengajar di madrasah Al-Asyrafiyah- beliau menulis sebuah kitab yang cukup masyhur yang berjudul ((Ma’rifatu ‘ulumil Hadits))  ia menyusun buku tersebut secara sistematis disertai dengan mengimlakannya (mendiktekannya diahadapan murid-muridnya) sedikit demi sedikit, sehingga tidak tersusun secara tertib yang mana ia meruju’ kepada kitab Al-Khatib Al-Baghdadi secara tidak berurut dengan mengambil beberapa faedah yang penting. Sehingga bayak para ulama setelah menyusun kembali karya tulis beliau baik dalam bentuk bait sya’ir maupun prosa. Diantara mereka ada yang memberikan pujian , pembelaan, dan ada pula yang memberikan kritikan.[12]

Kemudian datang setelahnya imam Ibnu Hajar rahimahullah, yang mana beliau menyusun ilmu musthalah hadits secara sistematis, berurutan, tambahan dalam beberapa bab, disertai dengan penekanan kepada permasalahan-permasalahan pokok maupun cabang-cabangnya. Diantara buah karya beliau adalah kitab Nukhbatul Fikar. Meskipun buku tersebut berukuran mungil namun sarat dengan muatan faedah. Sehingga kitab beliau tersebut banyak mendapatkan perhatian dari para ulama baik dalam bentuk sya’ir, prosa, maupun penjelasan terhadap kitab tersebut. Bahkan Al-Hafidz Ibnu Hajar sendiri mensyarah (menjabarkan) kitab beliau tersebut dengan judul Nuzhatun Nadzar.

 

Dan demikian seterusnya bermunculanlah para penulis-penulis yang menulis berkaitan dengan disiplin ilmu mustholah hadits tersebut diantaranya adalah Thoha bin Muhammad bin Futuh Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i Al-Baiquni rahimahullah. Yang mana beliau hidup disekitar tahun 1080 H, hanya saja tidak diketahui secara pasti tahun wafat beliau. Biografi beliau dibahas di dalam kitab Al-A’lam karya Az-Zarakli dan kitab Mu’jamul Muallifin karya Kahalah.

Beliau memiliki karya sya’ir yang berjudul Nadzam Al-Baiquniyah dalam bidang ilmu Musthalah dengan jumlah 43 bait syair.[13]

Banyak sekali diantara para ulama yang memberikan perhatian khusus untuk mensyarah Nadzam Al-Baiquniyah sekitar sejumlah 16 kitab. Diantara penjabaran dan syarah yang paling lengkap dan  menyeluruh adalah yang disusun oleh SyaikhAbul Hasan Musthofa bin Isma’il As-Sulaimany hafidzahullah yang berjudul Al-Jawahir As-Sulaimaniyah ‘Alal Mandzumah Al-Baiquniyah cet. Dar Al-Kayyan.

 

Adapun tulisan ini hanyalah ringkasan dari beberapa syarah mandzumah Al-Baiquniyah, yang mudah-mudahan bisa memberikan manfaat kepada para pembaca sekalian yang budiman Amiin Yaa mujibas Saailiin.

 

 

Penyusun



Abu Fawwaz Hizbul Majid bin Abu Mas’ud Al-Jawi



Nadzam Al-Albaiquniyah


 

Berkata imam Al-Baiquni rahimahullah:

 

بسم الله الرحمن الرحيم


المنظومة البيقونية


1 - أبدأُ بالحمدِ مُصَلِّياً عَلَى ... مُحَمَّدٍ خَيْرِ نبيْ أُرسلا


2 - وذِي من أقْسَامِ الحَدِيثِ عِدَّهْ ... وَكُلُّ واحد أتى وحدَّه


3 - أوَّلُها الصَّحِيحُ وَهْوَ مَا اتَّصل ... إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذَّ أَوْ يُعَلْ


4 - يَرْوِيهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِه ... مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِه


5- والَحسَنُ المعروفُ طُرْقاً وَغَدَتْ ... رِجَالُهُ لاَ كالصّحيحِ اشْتَهَرَتْ


6 - وكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الحسن قصر ... فهو الضعيف وَهْوَ أَقْسَاماً كُثُرْ


7 - وَمَا أُضيفَ لَلنَّبِي المَرْفُوعُ ... وَمَا لِتَابِعٍ هو المقطوع


8 - والُمسنَدُ الُمتَّصِلُ الإسنادِ مِنْ ... رَاوِيهِ حَتَّى المُصْطَفَى وَلَمْ يَبِنْ


9 - وَمَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِل ... إسْنَادُهُ لِلْمُصْطَفَى فَالْمُتَّصِل


10 -مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى ... مِثْلُ أَمَا وَاللهِ أنْبأنِي الْفَتَى


11 - كذَاكَ قَدْ حَدَّثَنِيهِ قَائما ... أَوْ بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِي تَبَسَّمَا


12- عَزِيزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أوْ ثَلاَثَهْ ... مَشْهُورُ مَرْوِي فوْقَ مَا ثَلاثهْ


13 - مَعَنْعَنٌ كَعَن سَعِيدٍ عَنْ كَرَمْ ... وَمُبْهَمٌ مَا فِيهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ


14 - وَكُلُّ مَا قَلَّتْ رِجَالُهُ عَلاَ ... وَضِدُهُ ذاك الذي قد نَزَلا


15 - ومَا أضَفْتَهُ إِلَى الأَصْحَابِ مِنْ ... قَوْلٍ وفعل فهو مَوْقُوفٌ زُكنْ


16 - وَمُرْسلٌ مِنْهُ الصِّحَابِيُّ سَقَطْ ... وَقُلْ غَرِيبٌ مَا رَوَى رَاوٍ فَقَطْ


17 - وَكُلُّ مَا لَمْ يَتَّصِلْ بحال ... إسْنَادُهُ مُنْقَطِعُ الأوْصالِ


18 - والُمعْضَلُ الساقِط مِنه اثنانِ ... وما أتى مُدلساً نَوعانِ


19- الأَوَّلُ: الاسْقَاطُ لِلشَّيْخِ وَأَنْ ... ينقلُ عَمَّنْ فَوْقَهُ بِعَنْ وَأَنْ


20 - والثَّانِ: لاَ يُسْقِطُهُ لَكِنْ يَصِفْ ... أَوْصَافَهُ بِمَا بِهِ لاَ ينعرف


21 - وما يخلف ثِقَةٌ بِهِ الَملأ ... فالشاذُّ والَمقْلُوبُ قِسْمَانِ تَلا


22 - إبْدَالُ رَاوٍ مَا بِرَاوٍ قِسْمُ ... وَقَلْبُ إسْنَادٍ لمَتْنٍ قِسْمُ


23 - والفَردُ مَا قَيَّدْتَهُ بِثِقةِ ... أَوْ جَمْعٍ أوْ قَصْرٍ عَلَى روايةِ


24 - ومَا بعِلَّةٍ غُمُوضٍ أَوْ خَفَا ... مُعَلَّلٌ عِنْدَهُمُ قَدْ عُرِفَا


25 - وذُو اخْتِلافِ سَنَدٍ أَوْ مَتْنِ ... مُضْطَرِبٌ عِنْدَ أُهَيْلِ الْفَنِّ


26- والُمدْرَجَاتُ فِي الحديثِ مَا أَتَتْ ... مِنْ بَعْض أَلْفَاظِ الرُّوَاةِ اتَّصَلَتْ


27 - ومَا رَوى كُلُّ قَرِينٍ عَنْ أَخِهْ ... مُدّبَّجٌ فَأَعْرِفْهُ حَقًّا وانْتَخهْ


28 - مُتَّفِقٌ لَفْظاً وَخَطاً مُتَّفِقْ ... وضِدُّهُ فِيمَا ذَكَرْنَا المُفْتَرِقْ


29 - مُؤْتَلِفٌ مُتَّقِقُ الخَطِّ فَقَطْ ... وَضِدُّهُ مُخْتَلِفُ فَاخْشَ الْغَلَطْ


30 - وَالمُنْكَرُ الْفَرْدُ بِهِ رَاوٍ غَدَا ... تَعْدِيلُهُ لاَ يْحمِلُ التَّفَرُّدَا


31 - مَتْرُوكُهُ مَا وَاحِدٌ بِهِ انْفَرَدْ ... وَأَجْمَعُوا لِضَعْفِهِ فَهْوَ كَرَدْ


32 - وَالكَذِبُ المُخْتَلَقُ المَصْنُوعُ ... عَلَى النَّبِي فَذلِكَ الموْضوعُ


33- وَقَدْ أَتَتْ كَالجَوْهَرِ المَكْنُونِ ... سَمَّيْتُهَا مَنْظُومَةَ البَيْقُوني


34 - فَوْقَ الثَّلاثيَن بأرْبَعٍ أتَت ... ْأقْسامُهَا تَمَّتْ بِخَيْرٍ خُتِمَتْ


 


                       


 


 



 


Pengantar Ilmu

Nama Ilmu

Ilmu Mushthalah Hadis, Ushul Hadis, atau Kaidah-kaidah Hadis.

Definisi Ilmu musthalah

                     

Diantara definisi ilmu musthalah adalah:

 

مَعرِفَةُ الْقَوَاعِد اَّلذِي يَتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى مَعْرِفةِ الرَّاوِي والْمَرْوِيْ


 

Ilmu Hadis adalah pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantarkan

kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan).[14]

 

Ada pendapat lain yang menyatakan

 

هُوَ عِلْمٌ بِقَوَانِيْنَ يُعْرَفُ بِهَا أَحْوَالُ السَّندِ وَالْمَتْنِ


Ilmu Hadis adalah ilmu tentang kaidahkaidah untuk mengetahui kondisi

sanad dan matan.[15]

Penjelasan Definisi

 

Sanad adalah rangkaian rijal yang menghantarkan kepada matan

Matan adalah perkataan yang terletak di penghujung sanad.[16]

Objek pembahasan

Sanad dan Matan; dari sisi diterima dan ditolaknya.

Contohcontoh:

Al-Bukhari meriwayatkan hadis berikut, di dalam kitabnya yang bernama Ash-Shahih, Bab Kayfa kana bad’ alwahyi ila Rasulillah shallallahu’alaihi wasallam

حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى المِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»


Telah menceritakan kepada kami al-Humaidi, Abdullah bin az-Zubair, Ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id alAnshari, ia berkata; Telah memberitahukan kepadaku Muhammad bin Ibrahim atTaimi bahwasannya ia mendengar ‘Alqamah bin Waqqash alLaitsi berkata; Aku mendengar Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu berkata di atas mimbar; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda; Sesungguhnya semua perbuatan itu disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya (diniatkan) kepada dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya (dibalas) kepada apa yang ia niatkan.”

 

Yang dinamakan Sanad pada hadis di atas adalah:

حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى المِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:


Sedangkan matan pada hadits tersebut adalah:

«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ»


Faidah mempelajarinya

Kemampuan membedakan hadis yang shahih (hujjah) dari yang dhaif (bukan hujjah).

Keutamaan mempelajarinya

Imam Nawawi berkata, “Ilmu hadis adalah diantara ilmu yang paling utama, yang mendekatkan kepada Rabb semesta alam. Bagaimana tidak, ia adalah penjelasan atas jalan sebaik-baik makhluk, yang dahulu dan yang terakhir.”[17]

 

 

 

Penulis (al-Baiquny) berkata:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم


أَبْدَأُ بِالحَمْدِ مُصَلِّيًا عَلَى          مُحَمَّدٍ خَيْرِ نَبِيٍّ أُرْسِلاَ


Aku Memulai dengan al-hamd (pujian kepada Allah), seraya bershalawat atas


Muhammmad, sebaik-baik nabi yang diutus


Penulis (al-Baiquni) memulai nadzmnya dengan al-hamdAl-hamd adalah pensifatan al-mahmud (yang dipuji) dengan sifat yang sempurna, seraya mencintai dan mengagungkannya. Adapun pensifatan dengan sifat yang sempurna tanpa cinta dan pengagungan; karena takut misalnya, disebut al-madh, bukan al-hamd.

Pensifatan dengan kesempurnaan secara mutlak adalah kekhususan Allah Ta’ala. Dia-lah Allah yang disifati dengan kesempurnaan pujian dalam keesaan-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, nikmat-nikmat-Nya, dan takdir-takdirnya...maka hanya Allah-lah yang mendapatkan pujian secara mutlak dalam seluruh keadaan.[18]

Kemudian bershalawat kepada Muhammad. Shalat atau shalawat secara bahasa adalah doa. Adapun sholawat Allah atas Rasul, maknanya adalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah, bahwa shalawat Allah kepada Nabi-Nya adalah pujian Allah kepadanya dihadapan penduduk langit. Shalawat hamba kepada Nabi berarti doa (permohonan) agar Allah memujinya di hadapan penduduk langit. Apabila shalawat tersebut berasal dari malaikat maka maknanya adalah istighfar.[19]

Muhammad adalah nama Nabi dan Rasul terakhir. Al-Baiquni mensifatinya dengan sebaik-baik nabi yang diutus. Hal ini sesuai sabda Rasulullah,

أَنَا سَيِّدُ القَوْمِ يَوْمَ القِيَامَةِ


“Aku adalah tuan (sayyid) seluruh manusia pada hari kiamat.”[20]

Apakah Perbedaan antara nabi dan rasul?

Para ulama menyebutkan banyak perbedaan antara nabi dan rasul, tapi di sini kami hanya akan menyebutkan sebahagian di antaranya:
1. Jenjang kerasulan lebih tinggi daripada jenjang kenabian. Karena tidak mungkin seorang itu menjadi rasul kecuali setelah menjadi nabi. Oleh karena itulah, para ulama menyatakan bahwa Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- diangkat menjadi nabi dengan 5 ayat pertama dari surah Al-‘Alaq dan diangkat menjadi rasul dengan dengan 7 ayat pertama dari surah Al-Mudatstsir. Telah berlalu keterangan bahwa setiap rasul adalah nabi, tidak sebaliknya.
Imam As-Saffariny -rahimahullah- berkata, “Rasul lebih utama daripada nabi berdasarkan ijma’, karena rasul diistimewakan dengan risalah, yang mana (jenjang) ini lebih ringgi daripada jenjang kenabian”. (Lawami’ Al-Anwar: 1/50)
Al-Hafizh Ibnu Katsir juga menyatakan dalam Tafsirnya (3/47), “Tidak ada perbedaan (di kalangan ulama) bahwasanya para rasul lebih utama daripada seluruh nabi dan bahwa ulul ‘azmi merupakan yang paling utama di antara mereka (para rasul)”.

2. Rasul diutus kepada kaum yang kafir, sedangkan nabi diutus kepada kaum yang telah beriman.
Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan bahwa yang didustakan oleh manusia adalah para rasul dan bukan para nabi, di dalam firman-Nya:
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَى كُلَّ مَا جَاءَ أُمَّةً رَسُولُهَا كَذَّبُوه


“Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya”. (QS. Al-Mu`minun : 44)

Dan dalam surah Asy-Syu’ara` ayat 105, Allah menyatakan:


كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ


“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul”.

Allah tidak mengatakan “Kaum Nuh telah mendustakan para nabi”, karena para nabi hanya diutus kepada kaum yang sudah beriman dan membenarkan rasul sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-:


كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ


“Dulu bani Isra`il diurus(dipimpin) oleh banyak nab. Setiap kali seorang nabi wafat, maka digantikan oleh nabi setelahnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

3. Syari’at para rasul berbeda antara satu dengan yang lainnya, atau dengan kata lain bahwa para rasul diutus dengan membawa syari’at baru. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan:


لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا


“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang”. (QS. Al-Ma`idah : 48)

Allah mengabarkan tentang ‘Isa bahwa risalahnya berbeda dari risalah sebelumnya di dalam firman-Nya:


وَلِأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ


“Dan untuk menghalalkan bagi kalian sebagian yang dulu diharamkan untuk kalian”. (QS. Ali ‘Imran : 50)

Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menyebutkan perkara yang dihalalkan untuk umat beliau, yang mana perkara ini telah diharamkan atas umat-umat sebelum beliau:


وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمَ وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا


“Dihalalkan untukku ghonimah dan dijadikan untukku bumi sebagai mesjid (tempat sholat) dan alat bersuci (tayammum)”.(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir)

Adapun para nabi, mereka datang bukan dengan syari’at baru, akan tetapi hanya menjalankan syari’at rasul sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada nabi-nabi Bani Isra`il, kebanyakan mereka menjalankan syari’at Nabi Musa -’alaihis salam-.

4. Rasul pertama adalah Nuh -’alaihis salam-, sedangkan nabi yang pertama adalah Adam -’alaihis salam-.
Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan:


إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ


“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang setelahnya”. (QS. An-Nisa` : 163)

Dan Nabi Adam berkata kepada manusia ketika mereka meminta syafa’at kepada beliau di padang mahsyar:


وَلَكِنِ ائْتُوْا نُوْحًا فَإِنَّهُ أَوَّلُ رَسُوْلٍ بَعَثَهُ اللهُ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ


“Akan tetapi kalian datangilah Nuh, karena sesungguhnya dia adalah rasul pertama yang Allah utus kepada penduduk bumi”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)

Jarak waktu antara Adam dan Nuh adalah 10 abad sebagaimana dalam hadits shohih yang diriwayatkah oleh Ibnu Hibban (14/69), Al-Hakim (2/262), dan Ath-Thobarony (8/140).[2)

 

 

 

Berkata nadzim (Al-baiquni) rahimahullah:

وَذِيْ مِنَ اقْسَامِ الحَدِيْثِ عِدَّةْ          وَكُلُّ وَاحِدٍ أَتَى وَحَدَّهْ


Dan inilah diantara beberapa dari macam-macam hadis


Setiap macamnya akan datang (dalam nadzm ini) beserta definisinya


 Penulis menyebutkan bahwa bait sya’ir ini mencakup beberapa macam istilah hadits beserta definisinya. Namun nadzim (imam Al-Baiquni rahimahullah) tidaklah menyebutkan macam-macam istilah dalam ilmu hadits secara keseluruhan, akan tetapi beliau hanyalah meringkasnya untuk memudahkan para pemula yang ingin belajar tentang ilmu hadits. Dengan izin Allah mandzumah ini tersebar dikalangan para penuntut ilmu dan disyarah (dijabarkan) oleh para penuntut ilmu.

Adapun definisi dari hadits adalah:

مَا أُضِيفَ إِلَى النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَوْلًا لَهُ أَوْ فِعْلًا أَوْ تَقْرِيرًا أَوْ صِفَةً


Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat.[22]

 

Macam-macam istilah hadits terbagi menjadi tiga; (1) yang hanya berhubungan dengan matan; seperti marfu’ (2) yang hanya berhubungan dengan sanad; seperti ‘aaly dan naazil (3) yang berhubungan dengan keduanya; seperti shahih danhasan.[23] Dan penulis akan menyebutkan tiga puluh dua macam hadis dalam nadzam ini.

Selain istilah hadis ada istilah khabar dan atsar. Khabar lebih umum dari hadis; karena ia mencakup yang disandarkan kepada Nabi atau yang lainnya dari kalangan para sahabat, tabi’in atau yang setelahnya. Sementara atsar hanya untuk yang disandarkan kepada selain Nabi.[24]








[1]  Jami Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih: 1/123-124. Karya imam Ibnu Abdil Bar –rahimahullah-




[2]  Siyar A’lamin Nubala: 8/387. Karya imam Adz-Dzahabi –rahimahullah-




[3]  HR. Muslim: no. 170 dan juga terdapat riwayat-riwayat lain yang serupa dengan riwayat tersebut. Sehinga banyak para ulama yang menyatakan bahwa hadits tersebut mencapai derajat mutawatir. Diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Iqtidha’: 1/34), As-Suyuthi (Al-Azhar Al-Mutanatsirah: hal. 116), Al-Katani (Nadzmul Mutanatsir: hal. 93), Az-Zabidi (Samthul Laali’: 68-71), dan Syaikh Al-Albani (Ahkamul ‘Idain: 39-40) karya Syaikh Salim Al-Hilali.




[4]  Diantara para ulama yang menafsirkan tho’ifah Al-Manshurah dengan ahli hadits antara lain: Abdullah bin Mubarak, Ali bin Al-Madini, Ahmad bin Sinan, Imam Bukhari, Yazid bin Harun dan selainnya dari para ulama. (lihat Ash-Shahihah: hadits no. 270). Karya Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dan Al-Jama’ah Al-Islamiyah: hal 47, Karya Syaikh Salim Al-Hilali –hafidzahullah-




[5]  Ikmalul Mu’allim syarah Shahih Muslim: 6/350.




[6]  Al-Jawahir As-Sulaimaniyah: hal. 8.




[7] Al-Adab Asy-Syar’iyyah: 2/126 karya imam Ibnu Muflih –rahimahullah- dan atsar ini di shahihkan oleh syaikh Al-Albani –rahimahullah- didalam Muqaddimah Shahihut Targhib: 1/54.




[8]  Shifatu Shalatin Nabi shallallahu’alaihi wasallam: hal. 27. Karya Al-Allamah Al-Albani rahimahullah.




[9] Muqaddimah Ibnu Shalah Fi ‘Ulumil Hadits. Dikutip dari kitab Al-Jawahir As-Sulaimaniyah: hal. 10.




[10] Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits: hal. 60 karya imam Al-Hakim rahimahullah.




[11]  Nukat Az-Zarkasyi: 1/40-41.




[12]  Nuzhatun Nadzar: hal. 46-51. Bersamaan dengan An-Nukat karya Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.




[13]  Al-Jawahir: hal. 15. Karya Syaikhuna Abul Hasan hafidzahullah.




[14]  An-Nukat ‘Ala Ibnis Shalah: 1/225. Karya imam Ibnu Hajar rahimahullah.




[15]  Tadribur Rawi: 1/41. Karya As-Suyuthi rahimahullah.




[16]  Taisirul Musthalahil Hadits: hal. 15. Karya Dr. Mahmud Ath-Thahhan.




[17]  Tadrib Ar-Rawi: hal. 26.




[18]  Al-Jawahir As-Sulaimaniyah: hal. 26. Karya Asy-Syaikh Abul Hasan hafidzahullah.




[19]  Ibid: hal. 26.




[20] HR. Bukhari: no. 3340 dan Muslim: no. 327.

 




[21]  Lihat. http://al-atsariyyah.com/5-perbedaan-antara-nabi-dan-rasul.html.




[22]  Fathul Mughits: 1/8, karya imam As-Sakhawi.




[23]  Al-Taqrirat al-Saniyyah, Syarh al-Mandzumah al-Baiquniyyah, Hasan al-Masyath.




[24]  Imam Ibnu Shalah membahas hal tersebut dalam kitab beliau At-Taqyid Wal Idhah: hal. 27.


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts