Jumat, 07 September 2012

Dalam buku yang penuh ilusi, berjudul Ilusi Negara Islam, disebutkan oleh Tim Penulisnya bahwa Khilafah Islamiyah dalam Islam tidak memiliki akar sejarah, dan dasar ideologis serta juridis dalam Islam. Tim Penyusun mengatakan itu hasil kajian Majlis Bahtsul Masail-nya Nahdhatul Ulama yang melibatkan ratusan ulama. Barangkali, tim penyusun mengira dengan mendompleng dan mengatasnamakan ratusan ulama, maka pembaca akan percaya begitu saja, tanpa mau lagi melakukan kajian.

Dengan segala hormat, izinkanlah kami berbeda pendapat dengan mereka. Kami yakin Tim Penyusun buku tersebut adalah orang-orang yang terbuka atas perbedaan. Bukankah mereka tidak senang dengan sikap merasa paling benar dan memonopoli tafsir kebenaran? jika mereka menutup diri dari koreksi, memaksa pembacanya untuk sependapat dengan mereka (tepatnya hasutan berbaju ‘ilmiah’), maka mereka telah menentang diri mereka sendiri dan bukan seorang demokrat.


Tadinya kami ingin menguraikan berbagai ayat Al Quran, lalu hadits, dan tafsir para ulama Ahlus Sunnah tentang kehujjahan khilafah islamiyah. Tapi, dikhawatiri akan banyak makan waktu dan tempat. Maka, kami cukupkan satu sisi saja yang kami sampaikan, yakni ijma’ ulama tentang khilafah.

Adanya Imamah yang Menaungi Seluruh Umat Islam adalah Wajib Menurut Ijma’


Para imam telah aklamasi (ijma’) bahwa wajibnya mengangkat seorang imamatul uzhma bagi seluruh umat Islam. Hal ini ditegaskan oleh seorang ulama madzhab Asy Syafi’i, madzhabnya para kiayi di Indonesia, yakni Al Imam Abu Al Hasan Al Mawardi Rahimahullah. Tetapi, Ahlus Sunnah meyakini betapa pentingnya imamah, dia bukanlah masalah ushuluddin (dasar-dasar agama), tetapi masuk zona furu’iyah, maka dari itu para ulama Kuwait memasukkan pembahasan kekhilafahan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqih Kuwait). Ada punsyi’ah imamiyah, mereka meyakininya sebagai bagian dari aqidah.


Imam Al Mawardi Rahimahullah berkata:


الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا ، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ وَإِنْ شَذَّ عَنْهُمْ الْأَصَمُّ ، وَاخْتُلِفَ فِي وُجُوبِهَا هَلْ وَجَبَتْ بِالْعَقْلِ أَوْ بِالشَّرْعِ ؟

“Imamah (kepemimpinan) merupakan term bagi wakil kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Menegakkannya bagi manusia di tengah-tengah umat adalah wajib menurut ijma’, kecuali menurut Al ‘Asham yang telah menyempal dari mereka. Cuma, mereka berbeda dalam kewajiban ini, apakah wajib menurut akal atau syariat?” (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 3. Mawqi’ Al Islam)

Bahkan ijma’ ini bukan hanya bagi Ahlus Sunnah, juga menurut murjiah, syi’ah, dan khawarij. Hal ini dijelaskan oleh Imam Abu Muhammad bin HazmRahimahullah dalam Al Fashl fil Milal sebagai berikut :


اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الأمة واجب عليها الانقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي أتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم


“Telah sepakat semua ahlus sunnah, semua murjiah, semua syi’ah, semua khawarij, atas kewajiban adanya imamah, dan sesungguhnya umat wajib mengikatkan dirinya dengan pemimpin yang adil yang dapat menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan membimbing mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Al Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 1/451. Mawqi’ Ruh Al Islam)


Syaikh Wahbah Az Zuhaili juga menulis demikian:


وهو الإجماع: أجمع الصحابة والتابعون على وجوب الإمامة، إذ بادر الصحابة فور وفاة النبي صلّى الله عليه وسلم وقبل تجهيزه

“Itu adalah ijma’, para sahabat dan tabi’in telah ijma’ atas wajibnya imamah, hal ini dibuktikan dengan bersegeranya para sahabat secara langsung pada saat wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum mengurus jenazahnya.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 8/273. Maktabah Misykah)


Demikianlah. Kewajibannya adalah ijma’. Apa yang dikatakan oleh Imam Al Mawardi dan Imam Ibnu Hazm ini adalah dalam konteks kepemimpinan umum bagi umat Islam, bukan pemimpin RT, RW, kepala dusun, dan lainnya, sebab dia mengaitkannya dengan fungsi lembaga kepemimpinan sebagai penjaga agama dan pengatur dunia. Bagi yang membaca kitabnya ini akan mengerti, bahwa Imam Al Mawardi sedang tidak bicara tentang nation state, tetapi khilafah islamiyah. Ijma’ ini sudah berlangsung sejak masa sahabat, sebab ketika pengangkatan Abu Bakar, tak satu pun yang menentang institusi kekhilafahan hingga diikuti oleh khalifah selanjutnya, sampai runtuhnya kekhilafahn Turki Utsmani tahun 1924M. Walau, umumnya kita menganggap masa-masa ideal hanya berlangsung pada masa khulafa’ur rasyidin dan Umar bin Abdil Aziz.



Fakta keijma’an adanya khalifah -sebagaimana dikatakan Imam Al Mawardi, Imam Ibnu Hazm, dan Syaikh Wahbah Az Zuhaili- merupakan koreksi atas pernyataan ketua PB NU yang dikutip dalam buku tersebut, beliau menyebut wacana Khilafah Islamiyah adalah gerakan politik, bukan gerakan agama. (Hal. 262)


Dalam sumber pengambilan hukum Islam, ijma’ merupakan salah satu sumber Islam yang harus diikuti, dan ini sudah menjadi ketetapan para ulama Ahlus Sunnah dari zaman ke zaman, dan tentunya ratusan ulama yang disebut oleh Tim Penyusun buku tersebut juga mengetahuinya. Tentunya tim penyusun seharusnya mengetahui pula hal ini. Namun, agak sulit untuk meyakinkan pihak yang Al Quran saja dikatakan sebagai produk budaya, maka, apalagi sikap mereka terhadap ijma’?


Ya, gunakanlah pendapat ulama yang selaras dengan nafsumu, tetapi buanglah jauh-jauh pandangan ulama yang bertentangan dengan akal dan nafsumu, walau itu adalah ijma’.

Kehujjahan Ijma’ telah diakui semua umat Islam, kecuali para pengikut hawa nafsu. Berkata Imam Ibnu Taimiyah:


الْإِجْمَاعُ وَهُوَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْفُقَهَاءِ وَالصُّوفِيَّةِ وَأَهْلِ الْحَدِيثِ وَالْكَلَامِ وَغَيْرِهِمْ فِي الْجُمْلَةِ وَأَنْكَرَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْبِدَعِ مِنْ الْمُعْتَزِلَةِ وَالشِّيعَةِ

“Ijma’ telah menjadi kesepakatan antara umumnya kaum muslimin, baik dari kalangan ahli fiqih, sufi, ahli hadits, dan ahli kalam, serta selain mereka secara global, dan yang mengingkarinya adalah sebagian ahli bid’ah seperti mu’tazilah dan syi’ah.” ( Majmu’ Fatawa, 3/6. Mawqi’ Al Islam)



Saya tahu, Imam Ibnu Taimiyah adalah nama yang tidak disukai oleh kalangan umumnya kiayi NU, oleh karena itu tadinya saya enggan mengutipnya. Tetapi, saya sadar bahwa buku ‘Ilusi Negara Islam’ ini dikeluarkan atas restu dan kata pengantar tokoh NU dan Muhammadiyah, dan bukankah kelahiran Muhammadiyah disebut sebagai penerus dakwah Imam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab? Sehingga, ketika buku ini menyerang wahabi, bukankah sama saja sedang menyerang Muhammadiyah? Kata Bung Karno: “Jas Merah.” Jangan sekali-kali melupakan sejarah.


Baiklah, kalau pun tidak mau terima pendapat Imam Ibnu Taimiyah, saya akan kutip paparan seorang ulama bermadzhab Syafi’i, madzhabnya para kiayi di Indonesia, yaitu Al Imam Al Hafizh Al Khathib Al Baghdadi.


Beliau berkata:


“Ijma’ ahli ijtihad dalam setiap masa adalah satu di antara hujjah-hujjah Syara’ dan satu di antara dalil-dalil hukum yang dipastikan benarnya". (Al Faqih wal Mutafaqih, 1/154)


Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengikuti ijma’, dan bagi penentangnya disebut sebagai orang-orang yang mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman, yakni dalam firmanNya:


“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa (4): 115)



Ayat ini dijadikan dalil oleh Hadhratusy Syaikh Al Imam Hasyim Asy’ari Rahimahullah –pendiri NU- sebagai kewajiban mengikuti salah satu madzhab yang empat. Maka, mengikuti ijma’ seluruh madzhab adalah lebih layak lagi untuk diwajibkan.


Dalam hadits juga disebutkan:



إن الله تعالى لا يجمع أمتي على ضلالة وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَة

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah meng-ijma’kan umatku dalam kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi No. 2255, Shahih , lihatShahihul Jami’ No 1848)


Dan, orang-orang yang mengingkari ijma’ adalah penghancur dasar-dasar agama, sebagaimana kata Imam As Sarkhasi dalam kitab Ushul-nya:


“Orang-orang yang mengingkari keberadaan ijma sebagai hujjah , maka mereka telah membatalkan ushuluddin (dasar-dasar agama), padalah lingkup dasar-dasar agama dan referensi umat Islam adalah ijma’nya mereka, maka para munkirul ijma (pengingkar ijma’) merupakan orang-orang yang merobohkan dasar-dasar agama.” (Ushul As Sarkhasi, 1/296. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Maka, bagaimana bisa keberadaan imamatul uzhma (khalifah) yang telah ijma’ seluruh kelompok Islam ini, dianggap tidak memiliki akar juridis dalam Islam?


Kewajibannya Sudah Terlihat Dari Definisinya


Dalam definisi yang di sampaikan oleh Imam Al Mawardi sebenarnya sudah jelas kewajibannya. Tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah(Ensiklopedi Fiqih Kuwait) tentang makna Khilafah:


وَهِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا نِيَابَةً عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُسَمَّى أَيْضًا الإِْمَامَةَ الْكُبْرَى

“Itu adalah kepemimpinan umum dalam agama dan dunia sebagai wakil dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dinamakan juga Imamah Al kubra.”(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 6/196. Wizarat Al Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)


Jika agama dan dunia wajib dijaga, maka adanya penjaga keduanya adalah wajib pula, yakni pemimpin. Tertulis pula dalam kitab tersebut:


أَمَّا الْعَامَّةُ فَالْمُرَادُ بِهَا الْخِلاَفَةُ أَوِ الإِْمَامَةُ الْكُبْرَى ، وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ

“Ada pun kepemimpinan umum, maksudnya adalah Khilafah atau imamah kubra, hukumnya fardhu kifayah.” (Ibid)


Ya, dia memang fardhu kifayah, sebab dalam satu wilayah Islam, yang dibutuhkan hanya satu pemimpin besar (imamah al kubra) untuk semuanya. Keberadaannya adalah sebagai penjaga agama dan dunia, mengaturnya, dan memakmurkannya dengan nilai kenabian yang rahmatan lil ‘alamin. Sebagaimana disebutkan oleh Ad Dahlawi, Al Mawardi, At Taftazani, dan Az Zuhaili. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 8/270-271)


Tim Penyusun buku menyangka Khilafah Islamiyah akan mengancam kemanusiaan, menghancurkan NKRI, menjadi tempat bagi suburnya terorisme. Itu semua sama sekali tidak berdasar , tuduhan tanpa bukti, serta fitnah keji. Nampaknya, pemikiran ini bukan analisa cerdas, bukan nalar yang jernih sebagaimana klaim yang mereka banggakan, dan tidak layak keluar dari hasil kajian melelahkan dua tahun lamanya, tetapi ini adalah analisa yang bermula dari paranoid akut khas orang liberal dan tendensius yang kelewat batas. Justru, inilah ilusi (bayangan) sebenarnya yang menghantui pikiran mereka sendiri, yang tidak menemukan bukti objektif apa pun dalam kenyataan. Bagaimana mungkin mampu dibuktikan, padahal khilafahnya saja belum ada? Jika mereka mengambil sampel adalah kekhilafahan masa-masa kekelaman dinasti-dinasti dalam Islam, tentu itu bukan contoh, bukan pula obsesi, justru itulah ilusi lain yang dibuat oleh mereka sendiri.


Ketakutan luar biasa terhadap gerakan Islam dan penerapan syariah, pernah saya saksikan langsung ketika masih kuliah. Karena saya sering berinteraksi dengan orang-orang seperti mereka saat itu. Mereka melecehkan jilbab, tak peduli dengan adab dan akhlak Islam, pergaulan pun lebih dekat ke kalangan kiri, sangat mendukung kebebasan tanpa batas, kalau bicara pun porno, dan saya tahu benar mereka dahulunya adalah santri. Walau tingkah mereka ini tidak mewakili yang lainnya, dan masih ada yang baik dan tidak neko-neko. Tetapi, tipikal seperti ini selalu ada. Ya, cepat sekali siang menjadi malam!



Wallahul musta’an wa ilaihi musytaki ...

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts