Rabu, 04 Juli 2012

Memang, ini adalah pilihan yang tidak menyenangkan bagi makmum. Umumnya masjid-masjid di Indonesia tidak memiliki standar kualifikasi yang sesuai syariah untuk menjadi seorang Imam. Akhirnya, imam dipilih karena faktor ketokohan dan senioritas semata. Walau faktor ini juga tidak masalah, sebab NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menyebutkannya.



Tentang kriteria yang paling berhak menjadi imam memang ada, yaitu hadits shahih berikut:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِه



Dari Abu Mas’ud Al Anshari, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seseorang mengimami sebuah kaum karena, karena dia yang paling bagus bacaan Al Qurannya, jika ternyata semua sama, maka pilihlah yang paling tahu tentang sunah, jika sama juga, maka pilihlah yang lebih dahulu hijrah, jika sama juga, maka utamakan yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang yang mengimami orang lain di daerah kekuasaannya dan jangan pula dia duduk dalam rangka memuliakan dirumah orang lain, kecuali dengan izinnya.” (HR. Muslim No. 673, Abu Daud No. 586, At Tirmidzi No. 235)



Dari hadits di atas, bisa kita ketahui bahwa yang  berhak jadi imam adalah:

  1. Yang paling bagus bacaan Al Qur’annya, tetapi jika semua sama maka,

  2. Yang paling tahu tentang As Sunnah, tetapi jika semua sama maka,

  3. Yang paling dahulu hijrah, tetapi jika semua sama maka,

  4. Yang lebih dahulu masuk Islam



Kita lihat, bahwa senioritas (no. 3 dan 4) tetap dipertimbangkan, walau bukan pertimbangan utama.

Yang Dilarang Atau Tidak Sah Menjadi Imam

Kita dilarang menjadikan orang-orang berikut ini menjadi Imam Shalat.

  1. Orang yang telah melakukan kufrun bawwah (kekafiran nyata) yang telah mengeluarkan pelakunya dari Islam (murtad). Seperti mengingkari ketuhanan Allah Ta’ala, mengingkari Al Quran, mengingkari kenabian (termasuk juga mengingkari sunnahnya),  melakukan kesyrikan yang masuk kategori syirik akbar, seperti menyembah apa pun   selain Allah, menjadikan selain Allah sebagai pembuat syariat, dan perbuatan apa pun yang termasuk kafir secara i’tiqadi, maka semua ini adalah haram menjadi imam dan tidak sah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat para ulama.

  2. Orang yang dilarang shalat, otomatis dilarang pula menjadi imam. Seperti wanita haid dan nifas, serta orang junub. Ada pun anak yang belum baligh, mereka boleh dan sah shalatnya, sebagaimana boleh dan sah menjadi imam pula, walau mereka belum wajib shalat. Belum wajib, bukan berarti tidak bolehshalat.

  3. Orang yang selalu ‘udzur (halangan) seperti beser (banyak kencing) yang tidak bisa ditahan, atau sering buang angin,  sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya. Inilah pendapat mayoritas ulama, kecuali Malikiyah yang menyatakan tetap sah tetapi makruh.  Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

 لا تصح إمامة معذور  لصحيح ولا لمعذور مبتلى بغير عذره عند جمهور العلماء. وقالت المالكية تصح إمامته للصحيح مع الكراهة.

               

                “Tidak sah imam yang ber’udzur bagi makmum yang sehat, atau yang ‘udzurnya berlainan dengan ‘udzur makmumnya, menurut jumhur (mayoritas) ulama. Berkata Malikiyah: tetap sah imamnya bagi orang sehat, tetapi makruh.” (Fiqhus Sunnah, 1/237. Darul Kitab Al ‘Arabi)



Yang Dimakruhkan Menjadi Imam

Berikut ini orang-orang yang dimakruhkan menjadi imam, namun shalatnya tetap sah:

  1. Imam yang dibenci oleh kaum/makmumnya

 Hadits seperti ini ada beberapa jalur yang bisa dipertanggungjawabkan (valid), dengan redaksi yang agak berbeda. Di antaranya, dari Ibnu AbbasRadhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ

“Ada tiga manusia yang Shalat mereka tidaklah naik melebihi kepala mereka walau sejengkal: yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya, dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan silaturahim.”  (HR. Ibnu Majah, 2/338/961, Imam Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi mengatakan sanadnya shahih dan semua rijalnya tsiqat (kredibel), Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibni Majah, 2/338. Syaikh Al Albani mengatakan hasanMisykah Al Mashabih, 1/249/1128. Syaikh Ala’uddin bin Qalij bin Abdillah Al Hanafi mengatakan sanad hadits ini laa ba’sa bihi (tidak apa-apa). Abu Hatim berkata: Aku belum melihat ada orang yang mengingkarinya. Dalam sanadnya terdapat ‘Ubaidah, berkata Ibnu Namir: dia tidak apa-apa. Ad Daruquthni berkata: baik-baik saja mengambil ‘ibrah darinya. Abu Hatim mengatakan: menurutku haditsnya tidak apa-apa. Sanadnya juga terdapat Al Qasim. Menurut Al ‘Ijili dan lainnya dia tsiqah (kredibel), Lihat dalam Syarh Sunan Ibni Majah, no. 172, karya Syaikh Ala’uddin Al Hanafi. Al Maktabah Al Misykat)

Imam At Tirmidzi juga meriwayatkan dari jalur lain, yakni Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dengan redaksi sedikit berbeda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةً رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَرَجُلٌ سَمِعَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ثُمَّ لَمْ يُجِبْ



“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat tiga golongan manusia, yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya, dan seorang yang mendengarkan Hayya ‘alal Falah tetapi dia tidak menjawabnya.” (HR. At Tirmidzi, 2/97/326. Katanya: tidak shahih, karena hadits ini mursal (tidak melalui sahabat nabi), dan dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Al Qasim.  Imam Ahmad mendhaifkannya dan dia bukan seorang yang terjaga hafalannya. Sehingga Syaikh Al Albani menyatakan dhaif jiddan (lemah sekali), lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/358.  Namun, Syaikh Muhamamd bin Thahir bin Ali Al Hindi mengatakan, hadits ini memiliki sejumlah syawahid (penguat)nya.  Muhammad  bin Al Qasim tidaklah mengapa, dan dinilai tsiqah oleh Imam Yahya bin Ma’in. Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 40)

Lalu, jalur Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثلاثة لا تجاوز صلاتهم آذانهم : العبد الآبق حتى يرجع وامرأة باتت وزوجها عليها ساخط وإمام قوم وهم له كارهون

          “Tiga golongan manusia   yang shalatnya tidak sampai telinga mereka, yakni: budak yang kabur sampai dia kembali, isteri yang tidur sementara suaminya marah kepadanya, dan pemimpin sebuah kaum dan kaum itu membencinya.” (HR.  At Tirmidzi, 2/99/328. At Tirmidzi berkata: hasan gharib   Syaikh Al Albani menghasankan dalam beberapa kitabnya, Misykah Al Mashabih, 1/247/1122. Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/117/487, Shahih wa Dhaif Al Jami’ Ash Shaghir, 12/315/5368)



Hadits ini menunjukkan, menurut para ulama, dimakruhkannya seorang pemimpin menjadi imam, yang dia dibenci oleh kaumnya. Tetapi jika pemimpin tersebut bukan orang zhalim, maka kaumnyalah yang berdosa. Sementara Ahmad dan Ishaq mengatakan seandainya yang membenci pemimpin tersebut hanya satu, dua, atau tiga orang maka tidak mengapa pemimpin tersebut  shalat bersama mereka, kecuali jika yang membenci lebih banyak. (Sunan At Tirmidzi, 2/97/326)



Ibnu Al Malak mengatakan bahwa penyebab kebenciannya pun adalah masalah agama, seperti bid’ah, kefasikan, dan kebodohan yang dibuat oleh pemimpin tersebut. Tetapi, jika kebencian disebabkan perkara dunia di antara mereka, maka itu bukan termasuk yang dimaksud hadits ini. (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 1/387)



Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
والعبرة بالكراهة الكراهة الدينية التي لها سبب شرعي

“Kebencian yang dimaksud adalah kebencian karena alasan agama yang lahir karena  sebab syar’i.” (Fiqhus Sunnah, 1/242)



2.       Ahli Maksiat dan Ahli Bid’ah



Shalat di belakang mereka, selama maksiat dan bid’ahnya tidak sampai mengeluarkan mereka dari agama, maka tetap sah namun makruh. Sebab walau pun mereka telah melakukan dosa besar, kewajiban shalat bagi mereka tidak hilang, dan jika mereka melaksanakan shalat, maka tetap sah selama terpenuhi syarat dan rukunnya. Pada prinsipnya, siapa yang shalatnya sah untk dirinya, maka itu juga sah bagi orang lain.   Syaikh Sayyid Sabiq telah memberikan uraian sebagai berikut:


كراهة إمامة الفاسق والمبتدع: روى البخاري ان ابن عمر كان يصلي خلف الحجاج.

وروى مسلم أن أبا سعيد الخدري صلى خلف مروان صلاة العيد، وصلى ابن مسعود خلف الوليد ابن عقبة بن أبي معيط - وقد كان يشرب الخمر، وصلى بهم يوما الصبح أربعا وجلده عثمان بن عفان على ذلك - وكان الصحابة والتابعون يصلون خلف ابن عبيد، وكان متهما بالالحاد وداعيا إلى الضلال، والاصل الذي ذهب إليه العلماء أن كل من صحت صلاته لنفسه صحت صلاته لغيره، ولكنهم مع ذلك كرهوا الصلاة خلف الفاسق والمبتدع، لما رواه أبو داود وابن حبان وسكت

عنه أبو داود والمنذري عن السائب بن خلاد أن رجلا أم قوما فبصق في القبلة ورسول الله صلى الله عليه وسلم ينظر إليه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لا يصلي لكم)  فأراد بعد ذلك أن يصلي بهم، فمنعوه وأخبروه يقول النبي صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك للنبي فقال: (نعم، إنك آذيت الله ورسوله).



Dibenci (makruh) bagi orang fasik dan pelaku bid’ah menjadi imam. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah shalat di belakang Al Hajaj. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Said Al Khudri pernah shalat di belakang Marwan pada shalat ‘Id, juga Ibnu Mas’ud shalat di belakang Al Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, dia adalah seorang peminum khamr. Dia pernah shalat bersama subuh orang lain sebanyak empat rakaat karena mabuk, oleh karena itu Utsman mencambuknya. Para sahabat dan tabi’in pernah shalat di belakang Ibnu ‘Ubaid, seorang yang dituduh sebagai atheis dan penyeru kesesatan. Pada dasarnya, para ulama berpendapat, setiap orang yang sah shalatnya bagi diri sendiri, maka shalatnya sah juga untuk orang lain. Tetapi bersamaan dengan itu, memakruhkan shalat di belakang orang fasik dan pelaku bid’ah.



Ini didasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Al Mundziri, dari  As Saib bin Khalad bahwa ada seorang yang mengimamkan sebuah kaum, dia meludah ke arah kiblat, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallami melihat hal itu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Orang itu  jangan shalat (jadi imam) bersama kalian.” Setelah itu, orang tersebut hendak mengimamkan lagi, tetapi mereka melarangnya dan mengabarkan padanya apa yang telah dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu orang itu minta penjelasan kepada Nabi, maka beliau bersabda: “Benar, engkau telah menyakiti Allah dan RasulNya.”  (Ibid, 1/238)



Riwayat tersebut dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 481.



Pemakai Jimat; murtad ataukah dosa besar?



                Hal ini penting untuk diketahui agar kita bisa mengambil sikap terhadap orang seperti itu. Jika dia dikategorikan murtad tentu haram dan tidak sah diangjat jadi imam, jika belum murtad, sekedar syirik  kecil (dosa besar yang belum mengeluarkan elakunya dari Islam), maka dia sah jadi imam tetapi makruh. Perlu diketahui, Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi –yang mana Ibnu Umar pernah shalat dibelakangnya- adalah seorang pembunuh ulama besar masa tabi’in, murid dari Ibnu Abbas, yakni  Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu.



Dalam hadits disebutkan bahwa membunuh seorang muslim adalah kufur. Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhubahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

               

                “Mencela seorang muslim adalah fasik, dan membunuhnya adalah kufur.” (HR. Bukhari No. 48, 5697, 6665. Muslim No. 64)



Tentunya, kufur di sini bukanlah murtad, melainkan kafir amali (perbuatan), bukan kafir i’tiqadi (keyakinan). Jika dia murtad, tidak mungkin Ibnu UmarRadhiallahu ‘Anhuma mau shalat dibelakang seorang pembunuh. Kecuali jika ada orang yang meyakini bahwa membunuh seorang muslim adalah halal, maka dia kafir dan murtad menurut ijma’.



Bukan hanya ini, di dalam berbagai riwayat lain disebukan bahwa  khamr, jima’ dengan isteri melalui dubur dan ketika haid, mendatangi dukun dan membenarkannya, bersumpah dengan selain nama Allah, budak yang lari dari majikannya, semua ini disebut oleh hadits dengan perkataan kufur, atau faqad kafara bima unzila ‘ala muhammad (telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad).



Bukan hanya itu, riya’ pun disebut sebagai syirik yakni syirik ashghar (syirik kecil). Namun, tidak ada yang mengatakan tidak boleh shalat dibelakang orang yang riya’.



Termasuk juga memakai jimat, maka nabi mengatakan hal itu sebagai perbuatan syirik:


إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

                “Sesungguhnya ruqyah, jimat, dan tiwalah (pelet), adalah syirik.” (HR. Abu Daud No. 3383, Ibnu Majah No.3530, Syaikh Al Albani menshahihkan dalamShahih wa Dhaif Sunan  Ibni Majah No. 3530)



                 Untuk ruqyah, tidak semua dilarang, dari ‘Auf bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:




كنا نرقي في الجاهلية، فقلنا: يارسول اللّه، كيف ترى في ذلك؟ فقال: "اعرضوا عليَّ رقاكم، لابأس بالرقى ما لم تكن شركاً





“Kami meruqyah pada masa jahiliyah, kami berkata: ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang itu?” Beliau bersabda: “Perlihatkan ruqyahmu padaku, tidak apa-apa selama tidak mengandung kesyirikan.” (HR. Abu Daud No.3886, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 1066)



Syirik di sini adalah syirik kecil, sebagaimana dikatakan oleh para syarih (pensyarah hadits). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah juga mengatakan bahwa jimat adalah syirik kecil. Tetapi jika dia meyakini bahwa yang memberikan manfaat dan pertolongan adalah jimat tersebut semata, maka ini syirik akbar, tetapi jika dia meyakini bahwa yang memberikan manfaat dan pertolongan adalah Allah Ta’ala, sedangkan jimat itu adalah sebab saja, maka itu syirik kecil.



Berikut Fatwa Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia:


لأنه مشرك إذا كان يعتقد أن التمائم تنفع وتضر، أما إن كان يعتقدها من الأسباب والله هو النافع الضار فتعليقها من الشرك الأصغر



“Karena hal itu menjadikannya musyrik, jika dia meyakini bahwa jimat-jimat itu membawa manfaat dan mudharat, ada pun jika dia meyakininya sebagai sebab saja dan Allah yang memberikan manfaat atau mudharat, maka menggantungkan jimat adalah syirik kecil.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’No. 181)



                Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullahi mengatakan:


ومثل تعليق التمائم خوفاَ من العين وغيرها ، إذا اعتقد أن هذه أسباب لرفع البلاء أو دفعه ، فهذا شرك أصغر . لأن الله لم يجعل هذه أسبابا . أما إن اعتقد أنها تدفع أو ترفع البلاء بنفسها فهذا شرك أكبر ، لأنه تعلق بغير اللّه .



“Misalnya menggantungkan jimat lantaran khawatir atas kejahatan mata atau lainnya, jika dia meyakini jimat adalah sebab untuk menghilangkan atau menolak bala, maka ini syirik kecil, karena Allah Ta’ala tidak pernah menjadikan jimat sebagai sebab. Ada pun jika dia meyakini bahwa jimat itu sendiri  yang mencegah dan menghilangkan bala, maka ini syirik besar, karena dia telah bergantung kepada selain Allah.” (Kitabut Tauhid, Hal. 12. Mawqi’ Al Islam)



Bahkan sebagian salaf ada yang ‘sekedar’ memakruhkan. Hal ini berdasarkan riwayat berikut:


كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يكره عقد التمائم.



“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakruhkan menggantungkan jimat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/427)



Ibrahim An Nakha’i mengatakan:


كانوا يكرهون التمائم كلها ، من القرآن وغير القرآن.



“Mereka (para sahabat) memakruhkan jimat semuanya, baik yang dari Al Quran dan selain Al Quran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/428)

Jadi sebenarnya hukum memakai jimat ada tiga macam.



Pertama. Jika jimat itu diyakini sebagai pembawa manfaat atau mudharat, maka ini syirkun akbar (syirik akbar), dan pelakunya murtad, dan tidak sah shalatnya, baik dia jadi imam atau  menjadi makmum. Maka bermakmum dengannya pun tidak boleh.

Kedua. Jika jimat itu diyakini sebagai sebab saja, ada pun masih meyakini Allah sebagai pembawa manfaat atau mudharat, maka ini syirkun ashghar (syirik kecil). Pelakunya belum bisa dikatakan murtad, namun termasuk pelaku dosa besar. Sebagaimana dosa besar lainnya. Maka shalat dibelakangnya sah tetapi makruh.

Ketiga. Jika jimat itu berasal dari ayat-ayat Al Quran atau dzikir-dzikir yang ma’tsur, maka para ulama berbeda pendapat antara membolehkan, memakruhkan, dan mengharamkan. Namun para sahabat Nabi tetap membencinya. Sebab itu merupakan jalan dan pintu menuju penggunaan jimat-jimat yang bukan dari Al Quran dan dzikir-dzikir. Sedangkan jika berasal dari kalimat-kalimat yang tidak bisa difahami, maka haram, tidak ada perselisihan pendapat tentang itu.



Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah mengatakan:


وأما التعاليق التي فيها قرآن أو أحاديث نبوية أو أدعية طيبة محترمة فالأولى تركها لعدم ورودها عن الشارع ولكونها يتوسل بها إلى غيرها من المحرم ، ولأن الغالب على متعلقها أنه لا يحترمها ويدخل بها المواضع القذرة .



                “Ada pun menggantungkan  jimat yang terdapat Al Quran atau Hadits Nabi, atau doa-doa yang baik lagi terhormat, maka yang lebih utama adalah ditinggalkan, karena tidak adanya dalil dari pembuat syariat, bahkan hal itu merupakan sarana menuju jimat yang bukan dari Al Quran yang tentunya haram, dan juga lantaran  biasanya hal itu digantungkan dengan cara tidak terhormat, dan masuk ke dalam tempat-tampat yang kotor.” (Qaulus Sadid Syarh Kitabut Tauhid, Hal. 48. Mawqi’ Al Islam). Demikian.

               

Wallahu A’lam

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts