Selasa, 05 Februari 2013



24.      Janganlah Langsung Tidur Setelah Makan

Inilah kebiasaan buruk yang bayak dilakukan oleh sebagian orang yang akan menyebabkabkan berbagai macam bahaya antara lain: jantung, stroke, dst..padahal syari’at Islam datang dalam rangka menjaga maslahat manusia.

Syaikh As Sa'di rahimahullah kembali menyebutkan:

الدين مبني على المصالح


في جلبها والدرء للقبائح


Ajaran Islam dibangun di atas maslahat


Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudhorot (bahaya)


Bait sya’ir di atas mengandung pengertian bahwa ajaran Islam dibangun atas dasar meraih maslahat dan menolak mudhorot (bahaya).

25.     Menutup Makanan dan Bejana

Sebuah adab yang mulia demi kemaslahatan manusia dan sungguh tidak ada satupun yang luput melainkan telah disampaikan oleh pembawa syariat yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Dan kesalahan itu terjadi dari manusia itu sendiri karena kekurangan yang ada pada mereka.
Di antara adab yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada kita adalah menutup bejana dan makanan. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah menyebutkan beberapa hikmah padanya:

Pertama:

“Dari Jabir, dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

غَطُّوا الْإِنَاءَ، وَأَوْكُوا السِّقَاءَ، وَأَغْلِقُوا الْبَابَ، وَأَطْفِئُوا السِّرَاجَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَحُلُّ سِقَاءً، وَلَا يَفْتَحُ بَابًا، وَلَا يَكْشِفُ إِنَاءً، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلَّا أَنْ يَعْرُضَ عَلَى إِنَائِهِ عُودًا، وَيَذْكُرَ اسْمَ اللهِ، فَلْيَفْعَلْ، فَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ تُضْرِمُ عَلَى أَهْلِ الْبَيْتِ بَيْتَهُمْ


“Tutuplah bejana kalian, ikat tutup gentong, tutuplah pintu dan matikan lentera karena sesungguhnya setan tidak akan masuk ke dalam gentong, tidak membuka pintu dan tidak membuka bejana, dan kalau sekiranya salah seorang tidak menemukan sesuatu melainkan kayu diletakkan padanya dan dia menyebut nama Allah maka lakukanlah juga, karena sesungguhnya tikus akan membakar rumah dan penghuninya.”[1]

Mafhum hadits di atas, bila semuanya dalam keadaan terbuka maka setan akan masuk melaluinya.

Kedua: Sebuah hikmah yang belum diketahui oleh pakar ilmu kedokteran, yaitu apa yang telah disebutkan dalam hadits:

Dari Jabir bin Abdullah berkata aku telah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

غَطُّوا الْإِنَاءَ، وَأَوْكُوا السِّقَاءَ، فَإِنَّ فِي السَّنَةِ لَيْلَةً يَنْزِلُ فِيهَا وَبَاءٌ، لَا يَمُرُّ بِإِنَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ غِطَاءٌ، أَوْ سِقَاءٍ لَيْسَ عَلَيْهِ وِكَاءٌ، إِلَّا نَزَلَ فِيهِ مِنْ ذَلِكَ الْوَبَاءِ


 “Tutuplah bejana kalian, dan ikatlah tutup gentong kalian karena di dalam satu tahun ada satu malam di antaranya di mana wabah turun. Dan tidaklah wabah tersebut melewati bejana yang tidak ditutup, atau gentong yang tidak tertutup melainkan akan turun padanya wabah tersebut.”[2]

Ketiga: Dengan ditutup, makanan atau bejana tersebut akan terpelihara dari kotoran-kotoran dan serangga yang kerap kali menyebabkan mudharat. Oleh karena itu Rasulullah n dengan penuh ketegasan memerintahkan untuk menutupnya, meskipun dengan tangkai kayu sebagaimana dalam hadits di atas.

Masalah: Apakah kulkas termasuk penutup bagi makanan yang dimasukkan ke dalamnya dengan tanpa penutup? Dan apakah kita akan selamat dari bahaya yang disebutkan di atas?

Jawab: Jawaban terhadap pertanyaan ini dari dua sisi pandang yaitu:

Pertama: Tidak termasuk penutup, karena yang dimaksudkan dengan adanya kulkas adalah mendinginkan dan mengawet-kan makanan. Adapun penutup yang langsung, terdapat padanya hikmah-hikmah syariat.

Kedua: Ya, termasuk penutup, dari sisi bahwa kedua-duanya yaitu penutup langsung maupun kulkas merupakan penjaga dari segala yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Dan insya Allah inilah pendapat yang kuat.[3]

26.      Larangan Bernafas dalam Bejana dan Meniup Air Minum

 

Etika makan dan minum tidak luput dari pengkajian para ulama yang semuanya bersumberkan dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak bernafas dan meniup air ke dalam gelas atau wadah air. Dalam hal ini, terdapat beberapa hadits:

Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي الإِنَاءِ


“Jika kalian minum maka janganlah mengambil nafas dalam wadah air minumnya.”[4]

Dari Ibnu Abbas berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الإِنَاءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيهِ


“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk mengambil nafas atau meniup wadah air minum.” [5]

Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupinya.”[6]



      27.  Anjuran Bernafas Tiga Kali

 

   Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum beliau mengambil nafas di luar wadah air minum sebanyak tiga kali.” Dan beliau bersabda,

إِنَّهُ أَرْوَى وَأَبْرَأُ وَأَمْرَأُ


“Hal itu lebih segar, lebih enak dan lebih nikmat.” Anas mengatakan, “Oleh karena itu ketika aku minum, aku bernafas tiga kali.” [7]

Yang dimaksud bernafas tiga kali dalam hadits di atas adalah bernafas di luar wadah air minum dengan menjauhkan wadah tersebut dari mulut terlebih dahulu, karena bernafas dalam wadah air minum adalah satu hal yang terlarang sebagaimana penjelasan di atas.

Meskipun demikian, diperbolehkan minum satu teguk sekaligus. Dalilnya dari Abu Said al-Khudry, ketika beliau menemui Khalifah Marwan bin Hakam, khalifah bertanya, “Apakah engkau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meniup air minum?” Abu Said mengatakan, “Benar” lalu ada seorang yang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku merasa lebih segar jika minum dengan sekali teguk.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Jauhkan gelas dari mulutmu kemudian bernafaslah”, Orang tersebut kembali berkata, “Ternyata kulihat ada kotoran di dalamnya?” Nabi bersabda, “Jika demikian, buanglah air minum tersebut.” [8]

Imam Malik mengatakan, “Menurutku dalam hadits di atas terdapat dalil yang menunjukkan adanya keringanan untuk minum dengan sekali nafas, meski sebanyak apapun yang diminum. Menurut pendapatku tidaklah mengapa minum dengan sekali nafas dan menurutku hal ini diperbolehkan karena dalam hadits dinyatakan, “Sesungguhnya aku merasa lebih segar jika minum dengan sekali nafas -satu teguk-” [9]

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil bahwa jika seorang yang minum itu sudah merasa segar karena minum dengan sekali nafas dan dia tidak membutuhkan untuk mengambil nafas berikutnya maka diperbolehkan. Aku tidak mengetahui ada seorang ulama yang mewajibkan untuk mengambil nafas berikutnya dan mengharamkan minum dengan sekali nafas.”[10]

Dimakruhkan minum dari mulut ceret, teko dan lain-lain. Dari Abu Hurairah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum dari mulut ghirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya).[11]

Redaksi yang senada dengan hadits di atas juga terdapat dalam riwayat Bukhari no. 5629 dari Ibnu Abbas



   28.   Penyuguh itu terakhir minum         

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِنَّ سَاقِيَ الْقَوْمِ آخِرُهُمْ شُرْبًا


“Sesungguhnya orang yang menyuguhkan minuman kepada sekelompok orang adalah orang yang minum terakhir kali.” [12]

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksud hadits orang yang menyuguhkan minuman baik berupa air, susu, kopi atau teh seyogyanya merupakan orang yang terakhir kali minum untuk mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri dan supaya jika minuman tersebut ternyata kurang maka yang kurang adalah orang yang menyuguh tadi. Tidak diragukan lagi bahwa sikap seperti ini merupakan sikap yang terbaik karena melaksanakan perintah dan adab yang diajarkan oleh Nabi. Akan tetapi jika penyuguh tersebut tidak berkeinginan untuk minum maka dia tidaklah berkewajiban untuk minum sesudah yang lain minum. Dalam hal ini penyuguh boleh minum boleh juga tidak meminum.” [13]

 

29.  Larangan menghadiri jamuan yang menyediakan khamr

Dari Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu melarang dua jenis makanan, pertama, menghadiri jamuan yang mengedarkan khamar, kedua, makan sambil telungkup.” [14]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلا يَقْعُدَنَّ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ


Barang siapa yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menghadiri perjamuan yang mengedarkan khamr.” [15]

Hadits tersebut secara tegas melarang menghadiri jamuan makan yang menyediakan khamr. Hal ini menunjukkan bahwa hukumnya adalah haram. Karena duduk di suatu tempat yang mengandung kemungkaran merupakan pertanda ridha dan rela dengan kemungkaran tersebut.

 

30.  Tidak Minum Langsung dari Mulut Teko.

Dari Abu Hurairah ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشُّرْبِ مِنْ فَمِ الْقِرْبَةِ أَوِ السِّقَاءِ

”Rasulullah melarang minum lansung dari mulut teko ataupun qirbah (wadah minum dari kulit).”[16]

Menurut sebagian ulama minum langsung dari mulut teko hukumnya adalah haram, namun mayoritas ulama mengatakan hukumnya makruh. Namun yang sesuai dengan adab islami adalah menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian baru meminumnya. Dari Kabsyah al-Anshariyyah radhiyallahu’anha, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahku lalu beliau minum dari mulut qirbah yang digantungkan sambil berdiri. Aku lantas menuju qirbah tersebut dan memutus mulut qirbah itu.” [17]

Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air. Untuk mengkompromikan dengan hadits-hadits yang melarang, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Hadits yang menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air itu berlaku dalam kondisi terpaksa.” Mengompromikan dua jenis hadits yang nampak bertentangan itu lebih baik daripada menyatakan bahwa salah satunya itu mansukh (tidak berlaku).”[18]

Menurut para ulama larangan di atas memiliki beberapa hikmah di antaranya:

  1. Nafas orang yang meminum dimungkinkan berulangkali masuk ke dalam wadah yang bisa menimbulkan bau tidak sedap.

  2. Boleh jadi, dalam wadah air tersebut terdapat binatang atau kotoran yang dimungkinkan ke dalam perut orang yang meminum tanpa disadari.

  3. Tidak menutup kemungkinan air minum tersebut bercampur dengan ludah orang yang meminumnya sehingga orang lain akhirnya merasa jijik untuk minum dari wadah tersebut.


Air liur dan nafas orang yang meminum itu boleh jadi menyebabkan orang lain sakit. Hal ini terjadi bila orang yang meniup tersebut sedang mengidap penyakit menular.

 

31.  Anjuran Makan Berjamaah

Allah berfirman ,

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعاً أَوْ أَشْتاتاً


“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. an-Nur: 61)

Ketika al-Qurthubi menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Laits bin Bakr yang merupakan keturunan Bani Kinanah. Ada salah seorang dari mereka yang tidak mau makan sendirian. Beberapa waktu lamanya dia menahan lapar, sampai ada orang yang mau diajak makan bersama.”

Ibnu Athiyyah mengatakan, “Makan dengan bersama-sama merupakan tradisi Arab yang turun-temurun dari Nabi Ibrahim. Beliau tidak mau makan sendirian. Begitu pula sebagian orang-orang Arab ketika kedatangan tamu, mereka tidak mau makan kecuali bersama tamunya. Lalu turunlah ayat di atas yang menjelaskan adab makan yang benar dan membatalkan segala perilaku orang Arab yang menyelisihi ayat ini. Ayat ini secara tegas membolehkan makan sendirian, suatu hal yang diharamkan oleh bangsa Arab sebelumnya. Tentang ayat di atas Ibn Katsir menyatakan, “Ini merupakan keringanan dari Allah. Seorang boleh makan dengan cara sendiri-sendiri atau bersama beberapa orang dalam satu wadah makanan meski makan dengan cara yang kedua itu lebih berkah dan lebih utama.”[19]

Dari Nafi’ beliau mengatakan, “Ibnu Umar memiliki kebiasaan tidak memakan kecuali bersama orang miskin. Suatu ketika aku mengajak seseorang untuk menemani beliau makan. Ternyata orang tersebut makan dalam porsi yang besar. Sesudah itu Ibnu Umar mengatakan, “Wahai Nafi’ janganlah kau ajak orang ini untuk menemani aku makan, karena aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

المُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ، وَالكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ


“Orang beriman itu makan dengan menggunakan satu lambung sedangkan orang yang kafir makan dengan menggunakan tujuh lambung.[20]

Ibnu Umar adalah salah seorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang teguh menjalankan sunnah-sunnah Nabi. Sedangkan hadits di atas menunjukkan bahwa beliau hanya mau makan bila ditemani seorang yang miskin.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khazirah (sejenis masakan daging dicampur dengan tepung) yang sudah aku masak untuk beliau. Aku katakan kepada Saudah yang berada di sebelah Nabi, “Ayo makan.” Namun Saudah enggan memakannya. Karena itu, aku katakan, “Engkau harus makan atau makanan ini aku oleskan ke wajahmu.” Mendengar hal tersebut Saudah tetap tidak bergeming, maka aku ambil makanan tersebut dengan tanganku lalu aku oleskan pada wajahnya.” Hal ini menyebabkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa lalu menyodorkan makanan tersebut kepada Saudah seraya mengatakan, “Balaslah olesi juga wajahnya.” Akhirnya Nabi pun tertawa melihat wajah Aisyah yang juga dilumuri makanan tersebut. Setelah itu Umar lewat, sambil berkata, “Wahai Abdullah, wahai Abdullah.” Nabi mengira kalau Umar hendak masuk ke rumah maka beliau bersabda, “Basuhlah muka kalian berdua.” Aisyah mengatakan, “Sejak saat itu aku merasa segan kepada Umar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh rasa hormat kepada beliau.” (HR. Abu Ya’la, dengan sanad yang hasan)

Pesan yang terkandung dalam hadits ini:

  1. Suami makan bersama istri-istrinya dari satu piring.

  2. Bersenda-gurau dengan istri, kedua hal ini dianjurkan dalam rangka menjaga keharmonisan rumah tangga.

  3. Berlaku adil di antara istri dan bersikap adil terhadap pihak yang teraniaya meskipun dengan nada bergurau.


Hadits-Hadits tentang makan berjamaah

Dari Abdullah bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menemani makan istri yang haidh maka beliau bersabda,

“Temanilah makan istri yang sedang haidh.” (HR. Turmudzi, Abu dawud dan Ibn Majah, hasan). Penulis kitab Aunul Ma’bud, syarah Abu Dawud dan penulis Tuhfah al Ahfadzi, Syarah sunan Turmudzi sepakat bahwa yang dimaksud menemani makan adalah makan bersama.

Hadits ini menunjukkan bahwa badan dan keringat wanita yang sedang haidh itu suci demikian pula menunjukkan pula bahwa di antara kiat menjaga keharmonisan hubungan suami istri adalah makan bersama dari satu wadah. Inilah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Ibnu Abi Aufa beliau mengatakan, “Kami ikut perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tujuh atau enam kali dan kami makan belalang bersama beliau.” (HR. Muslim no. 1952) al-Hafidz Ibn Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Yang dimaksud kami makan belakang bersama beliau, ada dua kemungkinan, pertama, bersama dalam perang tidak dalam masalah makan. Kedua, bersama dalam makan. Kemungkinan yang kedua ini dikuatkan oleh riwayat Abu Nuaim dalam kitab at-Tib dengan redaksi, “Dan beliau makan bersama kami.”

Singkatnya kemungkinan makna yang benar adalah kemungkinan yang kedua. Sehingga hadits di atas menunjukkan betapa akrabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabat. Untuk menjalin keakraban sesama mereka Nabi tidak segan untuk duduk makan bersama mereka.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah makan siang dan makan malam dengan menggunakan roti dan daging kecuali dalam hidangan sesama banyak orang.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibn Hibban dengan sanad shahih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Ada seorang sahabat Anshar yang tinggal di Quba mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami lalu berangkat bersama beliau ketika beliau telah selesai makan dan mencuci kedua tangannya, beliau berdoa…” hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5458 dari Abu Umamah dengan redaksi, “Apabila maidah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah disingkirkan beliau berdoa…”

Al-Maidah adalah meja makan untuk satu atau dua orang. Akan tetapi ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Wahai Rabb kami, turunkanlah maidah dari langit untuk kami”, Ibn Katsir menyebutkan pendapat mayoritas salaf tentang makna maidah. Mereka mengatakan maidah adalah hidangan yang dinikmati oleh banyak orang. Makna seperti ini juga disebutkan oleh Ibnu Mamduh dalam karyanya, Lisanul Arab. Sedangkan hadits sebelumnya juga berkaitan dengan makan bersama karena dalam hadits tersebut dinyatakan, “Kami lalu berangkat bersama beliau.”

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit menuju kamar Shafiyah aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri acara walimah nikah beliau dengan Shafiyah. Rasulullah memerintahkan untuk membentangkan alas dari kulit. Di atasnya dituangkan kurma, keju dan lemak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini jelas menunjukkan acara makan bersama di atas alat kulit dan bolehnya membentangkan alas dan kulit untuk makan.

Dari Jabir bin Abdillah, beliau bercerita ada seorang perempuan Yahudi dari penduduk Khaibar meracuni daging kambing bakar. Daging kambing tersebut lalu dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah lalu memilih kaki kambing, beliau makan dari kambing yang dihadiahkan tersebut bersama sahabat yang lain.” (HR. Darimi, dengan sanad yang mursal namun memiliki beberapa hadits penguat)

Hadits di atas di samping menunjukkan bahwa di antara kebiasaan Nabi adalah makan bersama para sahabat juga menunjukkan bahwa Nabi itu tidak mengetahui hal yang gaib. Pada awal mulanya, Nabi tidak tahu kalau daging kambing yang disuguhkan itu beracun.[21]



     32.  Menaruh Biji-Bijian Diantara Dua Jari  dan Mendo’akan Orang Yang Memberi Makan

    Dari Abdullah bin Busyr dia berkata, Rasulullah pernah singgah di rumah ayahku, kemudian ayahku bercerita, “Kami menyuguhkan makanan dan wathbah[22] kepada beliau. Lalu beliau menyantapnya. Kemudian beliau disuguhi buah kurma diantara dua jari, yakni pada jari telunjuk dan jari tengah. Syu’bah berkata, ‘Aku mengira bahwa insya Allah yang benar adalah menaruh biji kurma diantara dua jari.’ Beliau disuguhi lagi berupa minuman, dan beliau pun meminumnya. Beliau menyerahkan kembali minuman yang ada ditangan kanannya. Abdullah bin Busyr berkata: ayahku berkata sambil memegang tali kekang hewan tunggangannya, ‘Do’akanlah kami agar mendapatkan kebaikan!’ maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

اللهُمَّ، بَارِكْ لَهُمْ فِي مَا رَزَقْتَهُمْ، وَاغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ


“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan bagi mereka pada rizki yang telah Engkau anugerahkan kepada mereka serta ampuni dan sayangilah mereka.”[23]

Imam An-Nawawi berkata, “Maksudnya, beliau menaruh biji kurma itu diantara dua jari lantaran jumlahnya sedikit. Beliau sengaja tidak menaruhnya di wadah kurma agar tidak bercampur dengan kurma lainnya. Ada juga yang berpendapat, beliau mengumpulkannya di punggung kedua jarinya lalu membuangnya.”

Imam An-Nawawi membuat judul bab dalam Syarah Muslim Bab: Istihbabu Wadh’in Nawa Kharijut Tamr Wastihbab Du’aidh Dha’if Li Ahlith Tha’am. (disunnahkannya menaruh biji kurma di luar wadahnya dan disunnahkan bagi seorang tamu mendo’akan tuan rumah lantaran telah menyuguhi makanan).[24]

 

Penutup



Demikianlah beberapa dari sekian adab makan Islami yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada kita. Semua maslahatnya akan kembali kepada kita.
Semoga Allah Ta’ala memberikan kekuatan dan keistiqamahan dalam menjalankan Sunnah Rasulullah n dan memberikan kemudahan kepada kita untuk berjalan menuju kemulian hidup dunia dan akhirat. Amin.

 

 

 

 


 

 

 

 








[1] HR. Muslim: no. 2012 dan Ibnu Majah: no. 3401.




[2]  HR. Muslim: no. 2014.




[3]  Ath-Tha’am fis Sunnah Al-Muthahharah karya Al-Harits bin Zaidan Al-Mazidi: hal. 12.




[4] HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263.




[5]  HR. Turmudzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani.




[6]  Zadul Ma’ad : 4/325.




[7]   HR. Muslim : no. 2028.




[8]  HR. Tirmidzi: no. 1887 dll.




[9]  At-Tamhid Karya Ibnu Abdil Barr: 1/392.




[10]  Majmu’ Fatawa : 32 / 309.




[11]  HR Bukhari: no. 5627.




[12]  HR. Muslim: no. 281.




[13]  Syarah Riyadhus Shalihin: 7/273.




[14]  HR. Abu Dawud no. 3774 dan dinilai shahih oleh al-Albani.




[15]  HR. Ahmad no. 124.




[16] HR. Bukhari: no. 5627




[17]  HR. Tirmidzi: no. 1892, Ibnu Majah: no. 3423 dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani.




[18]  Fathul Bari: 10/94




[19]  Al-Muharrar al-Wajiz: 11/328




[20] HR. Bukhari no. 5393 dan Muslim no. 2060.

 




[21]  Disarikan dari buku Makan Berjamaah -edisi terjemah- karya Yahya bin Ali al-Hajuri.




[22]  Sejenis makanan yang terbuat dari olahan kurma jenis barni, tepung dan samin.




[23]  HR. Muslim: no. 2042.




[24] Kumpulan Lengkap Amalan Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang Diremehkan –terjemahan- penulis Haifa binti Abdullah Ar-Rasyid: hal. 174-175. Terbitan As-Salam publishing.


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts