Senin, 04 Maret 2013



HADITS SHAHIH


 

أَوَّلُهَا الصَّحِيْحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ          إِسْنَادُهُ وَلَمْ يُشَذَّ أَوْ يُعَلْ


يَرْوِيْهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلـِهِ          مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ  وَنَقْلِهِ


Yang pertama dari macam-macam itu adalah istilah shahih; ia adalah yang bersambung


Sanadnya dan tidak syadz, serta tidak ada illah


Yang meriwayatkannya (hadis shahih) seorang yang adil dan dhabith, dari orang yang sepertinya


Dapat diandalkan dalam hal dhabt (hapalan)nya dan naql (kitab)nya


 


 

Mengapa Nadzim memulai pembahasannya dengan hadits shahih?

Hal itu dikarenakan beberapa hal:

  1. Dikarenakan hadits shahih adalah derajat tertinggi dalam pembahasan ilmu hadits.

  2. Tujuan utama dari pembelajaran ilmu hadits adalah untuk membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang dho’if.[1]


Pembagian Hadits Shahih

Hadits shahih dibagi menjadi dua macam:

Pertama: hadits shahih lidzatihi, dan inilah yang menjadi topik pembahasan nadzim (Al-Baiquni).

Kedua: hadits shahih lighorihi, yaitu dibawah derajat hadits shahih lidzatihi. Dan akan datang pembahasannya insya Allah.

Definisi Hadits Shahih lidzatihi

Nadzim rahimahullah pada bait sya’irnya diatas menjelaskan kepada kita tentang definisi hadits shahih yaitu: Hadits yang bersambung sanad (mata rantai perawinya), disertai dengan kriteria ‘adil dan dhobith dalam seluruh perawinya, tidak ada ‘illah, dan tidak syadz.

Para ulama berbeda pendapat tentang definisi hadits shahih, diantara definisi yang terbaik ialah:

(( الذِيْ يَتَّصِلُ إسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ ، عَنْ مِثْلِهِ وَلَا يَكُوْنُ شَاذّاً وَلَا مُعَلَّلاً ))


“Hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan seorang perawi yang ‘adil, dhabith dalam seluruh perawinya dan selamat dari dari syadz dan ‘illah.[2]

Adapun penjabaran syarat-syarat hadits shahih tersebut adalah sebagai berikut:

Syarat Pertama: Bersambung sanadnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh nadzim: وَهْوَ مَا اتَّصَلْ (yaitu bersambung sanadnya).

Maksud dari bersambung sanadnya adalah: Hendaknya setiap perawi meriwayatkan hadits dari syaikh (gurunya) secara langsung tanpa perantara.

Diketahuinya sebuah hadits bersambung mata rantai perawinya dengan beberapa hal berikut:

a). At-Tashrih: Adanya rekomendasi dari imam pakar hadits bahwa periwayatan perawi tertentu mendengar dari gurunya atau pengakuan dari perawi sendiri (dan dia perawi terpercaya) dengan lafadz tertentu yang menegaskan bahwa ia langsung mendengar dari guru/syaikhnya tanpa melalui perantara, misalnya dengan mengatakan: حدثني فلان (telah menceritakan kepadaku Fulan), سمعت فلانا  (saya mendengar Fulan berkata demikian) atau سألت فلانا  (saya bertanya kepada Fulan).

b). At-Tarjih: Yaitu adanya perbedaan antara para imam apakah perawi tersebut mendengar langsung dari perawinya ataukah tidak, maka dalam hal ini didahulukan ucapan seorang imam yang menguatkan bahwa perawi tersebut mendengar langsung dari guru/syaikhnya. Berdasarkan kaedah "المثبت مقدم على المنفي" (yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang meniadakan). Hal itu dikarenakan para imam yang menetapkan bahwa perawi tertentu benar-benar mendengar dari syaikhnya berarti memiliki ilmu yang tidak diketahui oleh para imam yang tidak mengetahuinya.[3]

c).  Al-Istinbath: Yaitu diketahuinya dengan pasti bahwa perawi tersebut benar-benar mendengar dari syaikhnya atau adanya pernyataan dari para imam bahwa perawi tersebut benar-benar mendengar dari syaikhnya dengan beberapa indikasi misalnya: dia pernah mendengar dari seorang syaikh lainnya yang lebih tua atau dia lebih dulu wafat dari syaikhnya.[4]

Syarat Kedua: Tidak syadz. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh nadzim dalam bait sya’irnya diatas إِسْنَادُهُ وَلَمْ يُشَذَّ (tidak ada syadz dalam sanadnya).

Definisi

Kata Syadz secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il yang berarti “sesuatu yang menyendiri”. Menurut mayoritas ulama, kata Syadz bermakna : “yang menyendiri”.

Adapun definisi syadz secara istilah adalah: مُخَالَفَةُ الْمَقْبُوْلِ لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ

“Seorang perawi yang maqbul (diterima periwayatannya) meneylisihi perawi yang lebih tinggi kredibilitasnya dari dia.” Definisi ini dibawakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah.[5]

Imam Ibnu Shalah berkata : “Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syadz yang munkar (teringkari).”[6]

Lawan dari syadz adalah mahfudz yang artinya: “Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau hal-hal lain yang membuat riwayatnya dimenangkan, dimana riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat perawi yang kuat”. Hadits Mahfudh adalah kebalikan dari hadits Syadz.

Hadits Syadz dapat terjadi pada sanad maupun matan.

Contoh-Contoh Hadits Syadz

1. Contoh Syadz yang Terjadi dalam Sanad

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah; dari jalur Ibnu ‘Uyainah dari Amr bin Dinar dari Ausajah dari Ibnu ‘Abbas,”Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang meninggal di masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ia tidak meninggalkan ahli waris kecuali bekas budaknya yang ia merdekakan. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan semua harta warisannya kepada bekas budaknya”.

Imam Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad mereka dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ausajah, dari Ibnu ‘Abbas,”Sesungguhnya seorang laki-laki meninggal…………”.

Hammad bin Yazid menyelisihi Ibnu ‘Uyainah, karena ia meriwayatkan hadits tersebut dari ‘Amr bin Dinar dari Ausajah tanpa menyebutkan Ibnu ‘Abbas.

Masing-masing dari Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Juraij, dan Hammad bin Yazid adalah perawi yang terpercaya. Namun Hammad bin Yazid menyelisihi Ibnu ‘Uyainah dan Ibnu Juraij, karena ia meriwayatkan hadits di atas secara [/I]mursal[/I] (tanpa menyebutkan shahabat Ibnu ‘Abbas). Sedangkan keduanya meriwayatkannya secara bersambung dengan menyebutkan perawi shahabat. Oleh karena keduanya lebih banyak jumlahnya, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu ‘Uyainah dinamakan Hadits Mahfudh. Sedangkan hadits Hammad bin Yazid dinamakan Hadits Syadz.

2. Contoh Syadz pada Matan

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi; dari hadits Abdul Wahid bin Ziyad, dari Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah secara marfu’ : ”Jika salah seorang di antara kalian selesai shalat sunnah fajar, maka hendaklah ia berbaring di atas badannya yang kanan”.

Imam Al-Baihaqi berkata,”Abdul Wahid menyelisihi banyak perawi dalam hadits ini. Karena mereka meriwayatkan hadits tersebut dari perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, bukan dari sabda beliau. Berarti Abdul-Wahid menyendiri dengan lafadh tersebut dari para perawi yang terpercaya dari teman-teman Al-A’masy”. Maka hadits yang diriwayatkan dari jalur Abdul-Wahid ( = ia adalah seorang perawi yang terpercaya) adalah hadits Syadz. Sedangkan yang diriwayatkandari para perawi terpercaya yang lain dinamakan hadits Mahfudh.

Hukum Hadits Syadz dan Mahfudh

Hadits Syadz termasuk dari hadits-hadits yang tertolak. Sedangkan hadits Mahfudh termasuk hadits-hadits yang diterima.[7]

Faedah: hadits syadz masuk kedalam kategori hadits yang cacatnya tersembunyi, yang tidak akan diketahui kecuali dengan mengumpulkan dan mengkompromikan jalan-jalan periwayatan hadits tersebut.

Syarat Ketiga: Selamat dari ‘illah. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh nadzim rahimahullah "وَلَمْ يُعَلّ"  (selamat dari ‘illah).

Makna ‘illah adalah: Sebab tersembunyi yang mempengaruhi keabsahan suatu hadits, padahal secara dhohirnya seolah-olah selamat.

‘Illah (cacat) dalam suatu hadits dibagi menjadi dua macam:

a). ‘Illah yang parah yang mempengaruhi keabsahan suatu hadits. Inilah yang menjadi tema bahasan nadzim rahimahullah.

b). ‘Illah yang tidak parah. Contohnya adanya perbedaan redaksi dalam dua riwayat hadits, namun keduanya masih bisa dikompromikan.[8]

Cara mengetahui apakah suatu hadis memiliki cacat  (‘illah) ataukah tidak adalah dengan mengumpulkan semua jalur sanad hadis dan riwayatnya, mengkajinya secara mendalam, dan melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar (analisis) terhadap kedudukan para rawi dari segi hafalan, keakurasian dan kebenarannya. Al-Khathib Al-Baghdadi mengatakan, “Cara mengetahui illah hadis adalah dengan mengumpulkan semua jalur periwayatan, melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar terhadap kedudukan mereka dari segi hafalan, dan posisi mereka dalam hal kebenaran dan keakurasian. Ali Al-Madini mengatakan, Bab; apabila tidak tekumpul jalur periwayatan maka tidak akan tampak kesalahannya. Illah kadangkadang

terjadi pada sanad dan kadangkadang terjadi pada matan. Contohnya; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Harb alMala’I, dari alA’masy dari Anas, ia berkata,

 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لَمْ يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُوَ مِنَ الأَرْضِ


Apabila Rasulullah saw hendak membuang air maka beliau tidak membuka

(mengangkat) pakaiannya sehingga berada di tempat yang tersembunyi.

Dikeluarkan oleh atTirmidzi (14), Abu Isa arRamli di dalam Zawaid ‘ala Sunan Abu Dawud (Sunan;1/50).

 

Sanad hadis ini secara lahir adalah sahih, rijalnya tsiqah, hanya saja al- A’masy tidak pernah mendengarkan hadis secara langsung dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Ibnul Madini mengatakan, “Al-A’masy tidak pernah mendengar hadis dari Anas bin Malik, ia hanya pernah melihatnya di Mekkah, ketika salat ada di belakang Maqam”.[9]

 

Syarat Keempat: Perawinya ‘Adl. Sebagaimana diisyaratkan oleh nadzim rahimahullah "يَرْوِيْهِ عَدْلٌ"  (perawinya adalah seorang yang ‘adl).

 

Makna dari ‘adl adalah: Seorang yang memiliki kebaikan yang mengantarkannya untuk senantiasa menjalankan ketaqwaan dan menjaga muru’ahnya (wibawa), serta menjauhi perbuatan-perbuatan jelek seperti: kesyirikan, kefasiqan dan kebid’ahan.[10]

Sebagian lagi ada yang mendefinisikan: Yaitu perawi yang muslim[11], baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan, dan hal-hal yang merusak muru’ah.[12]

 

Bagaimanakah Cara Mengetahui bahwa Perawi Tersebut Adalah seorang yang ‘Adl?

 

Diketahui nya seorang perawi yang ‘adl dengan beberapa hal diantaranya:

a). Tersebarnya pujian para imam dan ahli hadits tentang dirinya. Ini adalah diantara metode utama untuk mengetahui bahwa perawi tersebut adalah seorang yang ‘adl.

b). Adanya rekomendasi dari salah satu imam Jarh Wat Ta’dil atau para imam ahli hadits bahwa dia adalah seorang perawi yang ‘adl.

c). Adanya penelitian dari salah seorang imam terhadap perawi tertentu dalam kondisinya, sehingga setelah itu dengan dugaan besar seorang imam tersebut mengetahui bahwa perawi tersebut adalah seorang yang ‘adl. Demikian yang dijelaskan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi.[13]

d). Diantara jalan untuk mengetahui ‘adalah (sifat ‘adl) seorang perawi yaitu dengan melihat buku catatan riwayat haditsnya untuk megetahui kredibilitas perawi tersebut. Hal ini sebagaimana terdapat pada jajaran para ulama sekaliber Yahya bin Yahya, Mis’ar, imam Malik dan yang selain mereka.[14]

e). Kemasyhuran seorang perawi dengan perhatiannya yang besar terhadap ilmu syar’i dan dikenal sebagai perawi yang senang melakukan rihlah (perjalanan untuk menuntut ilmu ke berbagai negeri). Selama perawi tersebut tidak memiliki cacat dalam periwayatan menurut penelitian para imam ahli hadits.[15]

Syarat Kelima: Perawinya Seorang Dhabt. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh nadzim rahimahullah dalam bait sya’irnya "يَرْوِيْهِ...ضَابِطٌ" (perawinya adalah seorang yang dhabt).

Definisi dhabt secara etimologi adalah: الإِتْقَان وَالتَّثَبُّتُ  (memiliki kemantapan hafalan dan teliti).

Sedangkan makna dhobt secara istilah adalah: yaitu kemampuan menyampaikan hadis kepada murid-muridnya sebagaimana yang ia terima dari gurunya, baik dari hapalan atau dari catatannya. [16]

 Dari sini dhabt dibagi dua:

  • Dhabt Shadr: yaitu kemampuan menghapal dengan baik riwayat yang dia dengar dari gurunya hingga ia mampu menghadirkannya kapan saja ia kehendaki.

  • Dhabt Kitab: yaitu kehati-hatiaannya dalam menjaga dan merevisi catatan riwayat-riwayatnya hingga tidak terjadi sesuatu yang dapat merubahnya dari sejak ia meneriwa riwayat itu hingga menyampaikannya.[17]


 

Dari diatas, dapat disimpulkan bahwa syarat hadis shahih adalah lima:

  1. Sanadnya bersambung

  2. Para perawinya adil

  3. Para perawinya dhabith

  4. Tidak Syadz

  5. Tidak terdapat illah.


Tiga syarat yang disebutkan pertama adalah syarat yang harus ada (syuruth wujudiyyah), dan dua syarat yang disebutkan terakhir adalah syarat yang harus tidak ada (syuruth intifaiyyah)

Contoh hadits shahih yang terpenuhi lima syarat diatas:

  • Dikeluarkan oleh imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya: 4/18 (kitabul Jihad Was Sair: Bab. Doa’ perlindungan dari sifat penakut)

  • حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ، وَالجُبْنِ وَالهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ»


Berkata imam Bukhari: Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir berkata: aku mendengar dari ayahku, ia berkata: aku mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata: Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:


“Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, rasa takut, kepikunan, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kubur.”



  Pada hadits diatas telah terpenuhi syarat hadits shahih, yaitu:



1- Sampainya mata rantai perawinya (sanad) kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam.


2- Bersambungnya sanad hadits tersebut dari awal sampai akhir. Anas bin Malik adalah seorang shahabat yang tentu mendengar langsung dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, Sulaiman bin Tharkhan –bapaknya Mu’tamir- pun juga mendengarkan langsung dari Anas bin Malik, Mu’tamir juga mendengar langsung dari bapaknya, demikian juga Musaddad (guru imam Bukhari) langsung mendengar dari Mu’tamir, demikian juga imam Bukhari mendengar langsung dari Musaddad.


3- terpenuhinya syarat ‘adl dan dhabt dalam seluruh perawi yang meriwayatkan hadits tersebut dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu sampai kepada yang mengeluarkan hadits yaitu imam Bukhari rahimahullah. Rinciannya adalah sebagai berikut:


* Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-: Seorang shahabat, dan seluruh shahabat periwayatannya adil dan diterima radhiyallahu’anhum ajma’in.


* Sulaiman bin Tharkhan –bapaknya Mu’tamir -: dia adalah seorang yang tsiqah (terpercaya periwayatannya) lagi ahli ibadah.


* Al-Mu’tamar: adalah seorang perawi yang tsiqah (terpercaya) dalam periwayatannya.


 * Al-Musaddad bin Masrahad: seorang perawi yng tsiqah lagi kokoh hafalannya.


* Al-Bukhari penulis kitab -Ash-Shahih – nama beliau Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari: adalah seorang yang kokoh hafalannya laksana gunung serta amirul mu’minin ( penghulunya) para ulama hadits.


4- demikian juga hadits tersebut bukanlah hadits yang syadz.


5- Serta tidak ada ‘illah (cacat) di dalamnya.


  Maka hadits diatas adalah termasuk diantara sederetan hadits-hadits yang terpenuhi syarat shahih di dalamnya. Oleh karena itu imam Al-Bukhari memasukkan hadits tersebut kedalam kitab Shahihnya.[18]




HADITS HASAN


 


Berkata Nadzim (Al-Baiquni) rahimahullah:



وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوْفُ طُرْقًا وَغَدَتْ          رِجَالُهُ لا كَالصَّحِيْحِ اشْتَهَرَتْ


Dan hasan adalah yang terkenal jalur-jalurnya dan kodisi


Para rijal (perawi)nya terkenal namun tidak seperti hadis shahih


 

Yang kedua dari macam-macam hadis adalah istilah hasan. Secara bahasa, hasan adalah sesuatu yang disukai oleh hati.

Adapun secara istilah, sebagaimana yang disebutkan penulis, hadits hasan adalah hadis yang jalur-jalurnya terkenal; para rijal (perawinya)  adalah perawi yang masyhur namun masih dibawah derajat hadits shahih.

Dari penjelasan Al-Baiquni rahimahullah diatas, seolah-olah beliau mensyaratkan hadits hasan menjadi sua syarat:

Syarat Pertama: Jalan-jalan periwayatannya jelas.

Syarat Kedua: Para rijal perawinya masyhur namun tidak semasyhur para perawi hadits-hadits shahih.

Definisi yang beliua bawakan tentang hadits hasan mirip dengan definisi yang dibawakan oleh imam Al-Khattabi dalam kitab beliau Ma’alimus Sunan (1/11). Disana juga masih banyak definisi lain yang dipaparkan oleh para ulama tentang hadits hasan.[19]

Namun definisi yang paling kongkrit sebagaimana disebutkan oleh para ulama tentang hadits hasan adalah:

(( مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقلِ عَدْلٍ خَفِيف الضَّبْطِ وَلَا يَكُوْنُ شَاذّا وَلَا مُعَلَّلاً))


“Hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan seorang perawi yang ‘adl, namun kurang sempurna dari segi dhabt-nya, serta tidak ada syadz dan ‘illah (cacat)nya.”

Definisi inilah yang dibawakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, yang mana beliau berkata:

" فَإِنْ خَفَّ الضَّبْطُ ؛ فَالْحَسَنُ لِذَاتِهِ"


“Apabila (seorang perawi) kurang sempurna dari segi dhabt-nya, maka haditsnya adalah hasan lidzatihi.”[20]

Oleh karena itu Al-Hafidz Ibnu Hajar memandang bahwa 5 syarat yang ada pada hadits shahih adalah sama dengan yang ada pada hadits hasan hanya saja perbedaan terletak pada dhobt-nya seorang perawi. Apabila riwayat shahih maka dhobt-nya sempurna, adapun riwayat hadits hasan ada kekurangan dari segi dhobt-nya.

Definisi yang dibawakan oleh Al-Hafidz di atas juga disepakati oleh Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-Bani rahimahullah, yang mana beliau berkata,

" وَهَذا التَّعْرِيْفُ على إِيْجَازِهِ أَصَحُّ مَا قِيلَ فِي الحَدِيثِ الحَسَنِ لذَاتِهِ، وهُوَالذِيْ تَوَفّرَتْ فِيهِ شرُوطُ الحديث المتَقَدَّمةِ إلا أنَّهُ خَفَّ ضَبْطُ أحَدِ رُواتِهِ"


“Definisi (yang dibawakan oleh imam Ibnu Hajar) tentang hadits Hasan lidzatihi tersebut adalah definisi yang paling shahih walaupun ringkas. Yaitu hadits yang di dalamnya terpenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya saja ada kekurangan dalam dhabt-nya seorang perawi.”[21]

Para ulama mengistilahkan para perawi yang kurang sempurna dhabt-nya (perawi hasan) dengan beberapa istilah antara lain:

  • صَدُوْقٌ  (perawi yang jujur)

  • وَلاَ بأسَ بِهِ/ وَلَيسَ بِهِ بأسٌ (perawi yang tidak ada masalah padanya)

  • ثِقّةٌ يُخْتِئُ (perawi yang terpercaya tetapi terkadang salah)

  • صَدُوْقٌ لَهُ أوهَمٌ (perawi yang terpercaya akan tetapi memiliki kelemahan dalam hafalannya)


Contoh hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnul Qaththan dalam sebuah tambahan yang beliau bawakan dalam Sunan Ibnu Majah (no. 2744) yang mana jalan periwayatannya sebagai berikut:

عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادِّعَاءُ نَسَبٍ لَا يَعْرِفُهُ، أَوْ جَحْدُهُ، وَإِنْ دَقَّ»


Dari Yahya bin Sa’id, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya: bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Telah kufur seseorang yang dia mengkalaim suatu nasab yang dia tidak mengetahuinya, atau mengingkarinya, walaupun itu dalam hal yang remeh.”



   Di dalam hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama ‘Amr bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar tentangnya: (( صَدُوْقٌ)) “Dia adalah perawi yang jujur (hasan).”[22] Dari sini bisa disimpulkan bahwa hadits tersebut adalah hadits hasan karena keberadaan ‘Amr bin Syu’aib, yang mana dia adalah perawi yang kurang dari segi dhobt-nya akan tetapi ia adalah perawi yang jujur.

Bisakah Hadits Hasan Naik Derajatnya Menjadi Shahih?

  Hadits hasan bisa naik derajatnya menjadi shahih lighirihi apabila terdapat riwayat lain yang sama kuatnya (sama-sama hasan) atau ada penguat lain dari riwayat yang lebih kuat (shahih), sehingga dengan seluruh jalan-jalan periwayatannya akan naik menjadi shahih lighoirihi. Hal itu dikarenakan hadits shahih tidak hanya datang dari satu riwayat saja tetapi terkadang datang juga dari riwayat yang lain. Dan menghukumi suatu riwayat hadits tidaklah cukup hanya dengan melihat satu riwayat saja.[23]








[1]  Fathul Mughits: 1/14, Al-Jawahir As-Sulaimaniyah: hal. 32.




[2]  Ithafun Nabil: 1/106-109. Soal no. 17, karya Asy-Syaikh Abul Hasan hafidzahullah.




[3]  Kaedah ini sewaktu-waktu bisa berubah, hal tersebut tergantung dengan kondisi imam yang menetapkan tersebut apakah dia pakar ataukah tidak dalam bidang hadits.




[4]  Diringkas dari Al-Jawahir As-Sulaimaniyah: hal. 36-40.




[5]  An-Nuzhah: hal. 98.




[6]  Al-Muqaddimah: hal. 86.




[7]  Ulumul-Hadits halaman 68-72; Al-Ba’itsul-Hatsits halaman 56; Tadribur-Rawi halaman 533; dan Taisir Musthalahul-Hadits halaman 117.




[8]  Al-Jawahir: hal. 47.




[9]  Taisir ‘Ulumil Hadits: hal. 281. Karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim hafidzahullah.




[10]  An-Nuzhah: hal. 83.




[11]  Syarat Islam ditekankan mana perawi sedang menyampaikan suatu hadits, adapun tatkala mendengar suatu hadits maka tidak disyaratkan Islam. Bisa jadi seorang perawi mendengar hadits shahih sedangkan ketika itu dia masih dalam kondisi kafir. Demikian penjelasan imam Adz-Dzahabi dalam Al-Muqidzah: hal. 61.




[12]  At-Taqyid Wal-Idhah: hal. 136.




[13]  Al-Kifayah: hal. 141.




[14]  Syifaul ‘Alil: hal. 379-380. Karya Asy-syaikh Abul Hasan hafidzahullah.




[15]  Fathul Mughits: 2/20-21, Ithafun Nabil: 1/173-175, soal no. 52, Miftah Daris Sa’adah: 1/495-496 karya imam Ibnul Qayyim. Cet. Dar Ibnu ‘Affan, Taudhihul Afkar: 2/131.




[16] At-Taqrirat al-Saniyyah, Syarh al-Mandzumah al-Baiquniyyah, Hasan al-Masyath.




[17]  Taisir ulumul Hadits: hal. 15. Karya Amr Abdul Mun’im Salim hafidzahullah.




[18]  Taisir Ulumul Hadits: hal. 16-17.




[19]  Diantaranya oleh imam At-Tirmidzi (Jami’ At-Tirmidzi: 5/758) dan imam Ibnus Shalah (At-Taqyid Wal-Idhah:  hal. 46-47).




[20]  An-Nuzhah: hal. 91.




[21]  Nuzhatun Nadzar: hal 91, disertai dengan ta’liq (komentar) syaikh Al-Albani rahimahullah.




[22]  At-Taqrib: 2/72, lihat juga Taisir Ululumul Hadits: hal. 32.




[23]  Taisir Musthalahul Hadits: hal. 50, Taisir Ulumul Hadits: hal. 33.


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts