Sabtu, 18 Mei 2013


HADITS MUTTASHIL

Berkata nadzim (Al-Baiquni rahimahullah):
وَمَا بِسمعِ كُلِّ راو يتصل                                إسنادُهُ للمصطَفى فالمُتَّصلْ  


“Dan hadits yang didengar oleh setiap perawi, dengan bersambung sanadnya kepada Al-Musthofa (Nabi shallallahu’alaihi wasallam) itulah yang disebut dengan hadits muttasil.”



Beberapa Penggunaan kata yang Satu Sinonim Dengan Hadits Muttashil

   Disebut juga dengan hadits muttashil, Al-Maushul, Al-Mu’tashil, Al-Muutashil. Seluruh dari kata-kata tadi adalah ungkapan yang digunakan oleh imam syafi’i dalam mengibaratkan hadits muttashil, sebagaimana terdapat di dalam kitab beliau Al-Umm.[1]

Definisi Hadits Muttashil Menurut imam Al-Baiquni

    Berdasarkan bait sya’ir diatas maka Al-Baiquni mendefinisikan hadits muttashil adalah: (Hadits yang bersambung sanadnya, yang mana setiap perawi haruslah mendengar dari syaikhnya, sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam). Definisi yang beliau bawakan diatas adalah definisi yang dibawakan juga oleh imam Ibnu Abdil Barr di dalam kitab beliau At-Tamhid[2], Ibnu Shalah[3], An-Nawawi[4] dll.

Hanya saja definisi tersebut tidak lepas dari kritikan ditinjau dari dua sisi:

Pertama:  dari sisi penggunaan sama’ (mendengar). Ketersambungan sanad tidak hanya disahkan oleh cara penerimaan hadis dengan sama’ saja, melainkan juga dengan cara penerimaan hadis yang lain (wujuh tahammul), seperti ard’ (membaca di depan syaikh), ijazah, dan yang lainnya yang terdapat dalam kitab-kitab musthalah.

Kedua: dari sisi penggunaan kata mushthafa (Nabi)[5]. Hadis muttashil tidak disyaratkan matnnya hanya sampai kepada Nabi saja (marfu’), melainkan juga yang sampai kepada sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’).[6]

Dari sini definisi yang kuat tentang hadits muttashil adalah: ((ماتصل سنده إلى منتهاه))

Hadits yang bersambung sanadnya sampai kepada akhirnya.”

Maksud dari  ((ماتصل سنده))bersambung sanadnya yaitu: Sanad haditsnya tidak terputus (inqitha’) baik dalam bentuk yang jelas atau pun tersembunyi. Demikian juga adakalanya hadits tersebut bersambung melalui sama’(mendengar langsung dari syaikhnya), ‘ard (membaca dihadapan syaikhnya) ataupun ijazah.

Adapun maksud dari ((منتهاه)) “Sampai kepada akhir” adalah: mencakup di dalamnya hadits marfu’maupun hadits mauquf.

Intinya di sini, bahwa hadits muttashil hanyalah disyaratkan satu syarat padanya, yaitu bersambungnya sanad tanpa melihat dari segi matannya (apakah marfu’, maqthu’ dst).[7]

Apakah Setiap hadits yang bersambung matannya berarti shahih?

Perlu diketahui, bahwa bersambungnya sanad sebuah hadits hanyalah satu dari lima syarat yang disebutkan oleh ulama hadits tentang syarat-syarat hadits shahih. Oleh karena itu, apabila ada suatu hadits yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak sekaligus bahwa hadits tersebut adalah hadits yang shahih. Bisa jadi hadits muttasil (yang bersambungsanadnya) tersebut adalah hadits shahih dengan ketentuan syarat yang lain, bisa jadi hasan, atau bahkan bisa jadi dho’if dan maudhu’ (palsu).[8]

 Macam-macam Hadits Muttasil

1.  Hadits muttashil marfu’. Contoh: ((Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdillah dari bapaknya (Abdullah bin Umar) dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda demikian.....))

2. Hadits muttashil mauquf (kepada shahabat). Contoh: ((Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa ia berkata....))

Apakah perkataan Tabi’in Masuk Kedalam Kategori Muttashil?

Berkata imam Al-Iraqi rahimahullah, “Adapun perkataan tabi’in, apabila sanadnya bersambung kepada mereka, maka tidaklah dikatakan sebagai hadits muttashil secara muthlaq, kecuali dengan ketentuan (taqyid). Misalnya seorang mengatakan sanad hadits ini bersambung (muttashil) kepada (tabi’in) semisal Sa’id bin Al-Musayyib, atau Az-Zuhri, atau Malik dan yang selain mereka.”[9]






HADITS MUSALSAL

Berkata Nadzim (Al-Baiquni) rahimahullah:


مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى          مِثْلُ  أَمَا وَاللهِ  أَنْبَانِي الْفَتَى

كَـذَاكَ قـَدْ حَدَّثَنِيهِ قَـائِمَا          أَوْ بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِيْ تَبَسّـَمَا

Musalsal –katakanlah- adalah hadis yang datang dengan sifat tertentu

Seperti telah mengabarkan kepadaku seorang yang adil

Begitu juga “ia telah menyampaikan kepadaku dalam keadaan berdiri”

Atau “setelah menyampaikan kepadaku ia tersenyum”



 Syarah:

Definisi hadits Musalsal

Musalsal secara bahasa bermakna bersambung. Sebagaimana orang Arab mengatakan سلسلة حديد yang maknanya: “Rangkaian sambungan rantai.”

Adapun makna hadits musalsal yang dijelaskan oleh penulis menurut bait sya’ir Al-Baiquni di atas adalah:((الحديث الَّذي جاء على وصف واحد))  “Hadits yang datang dengan satu sifat.”

Disana ada definisi lain tentang hadits musalsal yang dibawakan oleh para ulama, antara lain:

  • Berkata imam An-Nawawi rahimahullah (tentang hadits musalsal):

((هو ما تتابع رجال إسناده على صفة أو حالة للرواة تارة، وللرواية تارة أخرى))

“Adanya kesamaan pada para perawi hadits, baik dalam hal sifat perawi, atau terkadang kesamaan dalam (redaksi) riwayat itu sendiri.”[10]

  • Berkata imam As-Shan’ani rahimahullah:


((هو الحديث الذي اتفقت رجاله ، وتتابعوا على صفة واحدة ، او حال واحدة؛ سواء أكانت قولية او كانت فعلية ، أو مركبة منهما جميعا))

“Hadits yang di dalamnya terdapat kecocokan pada para perawi-perawinya, adanya kecocokan pula pada sifat, atau kesamaan dalam satu kondisi. Baik itu diungkapkan dengan perkataan, perbuatan, atau dua hal sekaligus (perkataan dan perbuatan).” [11]



  •   Berkata imam Ibnu Daqieq Al-‘Ied rahimahullah, “Yaitu hadits yang memiliki kesamaan satu sifat, yang terkadang terdapat dalam seluruh thabaqah (tingkatan) periwayatannya. Sebagaimana ucapan ((سمعت فلانا يقول)) “Aku mendengar Fulan berkata demikian...” hal itu berlanjut hingga akhir sanad atau pada kebanyakan sanad. Contoh lain dari hadits musalsal adalah perkataan para perawi ((هو أول حديث سمعته منه...)) “Itu adalah hadits pertama yang aku dengar darinya...”[12]

Macam-macam Hadits Musalsal

     Secara umum hadits musalsal dibagi menjadi dua macam:

  1. Hadits musalsal berkaitan dengan sifat perawi.

  2. Hadits musalsal berkaitan dengan sifat suatu riwayat.[13]





  • Adapun hadits musalsal berkaitan dengan sifat perawi, maka memiliki beberapa bentuk, diantaranya:

1) Musalsal yang terjadi diantara para huffadz (penghafal hadits): seperti periwayatan dari seorang hafidz dari hafidz yang lainnya sampai penghujung.

2) Musalsal yang terjadi diantara para fuqaha’ (ahli Fiqih): seperti periwayatan dari seorang faqih (ahli fiqih) dari faqih yang lain sampai penghujung.

3) Musalsal yang terjadi diantara kumpulan para perawi yang bernama Muhammad: seperti riwayat dari Muhammad dari Muhammad yang lainnya sampai penghujung hadits.

4) Musalsal yang terjadi diantara para perawi yang berasal dari satu negeri, misalnya seperti negeri Hijaz.

5) Musalsal yang nama perawinya diawali dengan huruh ‘ain (ع) sebagai misal. Seperti periwayatan dari ‘Ali (عليّ) dari ‘Abdullah (عبد الله) dari ‘Umar (عمر) dst...

6) Musalsal dari para perawi yang mengaalami cacat. Contoh: Riwayat (الأعْرَجُ) “Seorang yang pincang” dari (الأعمَى) “Seorang yang buta” dari (الأصَمُّ) “Seorang yang bisu”.

7) Musalsal dengan penggambaran sebuah kondisi (الهيئة), hal ini sebagai mana digambarkan oleh Nadzim (Al-Baiquni) dalam ucapannya -sebagaimana dalam bait sya’ir diatas-,
كَـذَاكَ قـَدْ حَدَّثَنِيهِ قَـائِمَا          أَوْ بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِيْ تَبَسّـَمَا

Begitu juga “ia telah menyampaikan kepadaku dalam keadaan berdiri”

Atau “setelah menyampaikan kepadaku ia tersenyum”[14]



  • Adapun musalsal yang berkaitan dengan sifat periwayatan memiliki beberapa gambaran sebagai berikut:

1) Musalsal dengan satu redaksi yaitu redaksi, misalnya dengan redaksi (عَنْ) “Dari”. Hal ini sebagaimana perkataan nadzim–pada bait sya’ir diatas-,
مِثْلُ  أَمَا وَاللهِ  أَنْبَانِي الْفَتَى

“Seperti telah menghabarkan kepadaku seorang yang adil”

Yang semisal dengan ini adalah perkataan seorang perawi:
صُمَّتْ أُذنايا إنْ لَمْ أكُنْ سَمِعْتُهُ من فلان))

 “(Allah akan membuat) tuli telingaku, bila aku tidak mendengarnya dari Fulan.”

2) Hadits musalsal dengan penyebutan zaman tertentu. Seperti perkataan seorang perawi (حدّثني فلان يوم العيد) “Fulan telah menceritakan kepadaku pada saat hari ‘ied”.

3) Hadits musalsal dengan penyebutan tempat tertentu. Contohnya seperti perkataan salah seorang perawi (حدّثني فلان بين الركن والمقام) “Fulan telah menceritakannya kepadaku diantara rukun (Yamani) dan maqam (Ibrahim)”.[15]

 Adapun hadits musalsal ditinjau dari perkataan dan perbuatan, maka dibagi menjadi tiga macam:

1) Musalsal dengan ucapan. Seperti hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya,
يَا مُعَاذُ إِنِّي َأُحِبُّكَ فِي اللَّهِ فَلَا تَدَعَنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ تقول: اللهمَّ أَعِنِّي عَلَى ذَكَرِكَ وَشُكْرِكَ وَحَسَنِ عِبَادَتِكَ

“Wahai Mu’adz, sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah; oleh karena itu janganlah engkau tinggalkan pada setiap pnghujung shalat untuk mengucapkan: “Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan memperbagus ibadah kepada-Mu.” Para perawi yang meriwayatkan hadits tersebut sama-sama menggunakan lafadz ((إني أحبك في الله))  “Seungguhnya aku mencintaimu karena Allah”.

2) Musalsal dengan perbuatan. Contoh: perkataan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,
شبك أبو القاسم بيده وقال: ((خلق الله التربة يوم السبت....))

“Abul Qasim (Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam) pernah mengapit jari-jemarinya dengan tangannya, kemudian beliau bersabda, “Allah menciptakan tanah pada hari sabtu...” kemudian para perawi yang meriwayatkan hadits tersebut sama-sama mengapit jari-jemarinya dengan tangannya setiap menyampaikan hadits tersebut.

3) Musalsal dengan perkataan dan perbuatan. Sebagaimana terdapat dalam hadits Anas secara marfu’, bahwa Nabi shallallahu’alihi wasallam bersabda,
لا يجد العبد حلاوة الإيمان حتى يؤمن بالقدر خيره وشره

“Seorang hamba tidak akan merasakan manisnya iman sampa ia beriman kepada takdir yang baik dan buruk, seta yang manis maupun yang pahit.” Kemudian Anas bin Malik berkata, “Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memegang jenggotnya seraya bersabda, “Aku beriman dengan takdir.”

Kemudian para perawi yang meriwayatkan hadits tersebut mereka memegang jenggotnya seraya berkata, “Aku beriman dengan takdir.”[16]
Faedah Keberadaan Hadits Musalsal



  1. Keberadaan hadits musalsal menunjukan akan kekuatan (hafalan) dan kemantapan para perawi hadits. Hal itu dikarenakan keseragaman penyampaian para perawi dari syaikhnya sampai kepada para murid-muridnya. Serta bersambungnya sanad tersebut diantara para perawinya yang menerima dari syaikhnya.

  2. Keberadaan hadits musalsal dapat menghilangkan keterputusan dalam suatu sanad atau kemungkinan adanya tadlis (penyamaran) yang dilakukan oleh seorang perawi. Karena terkadang dalam hadits musalsal terdapat lafadz (حدّثني) “Telah menceritakan kepadaku” atau terdapat lafadz (أخبرني) “Telah menghabarkan kepadaku”. Selama tidak ada keraguan sama sekali pada perawi tersebut. Wallahu a’lam.

  3. Keberadaan hadits musalsal yang diriwayatkan oleh para huffadz (pakar hadits) adalah keistimewaan tersendiri dalam kekuatan dan keabsahan hadits tersebut dibandingkan hadits yang selainnya.[17]

  4. Keberadaan hadits musalsal menggambarkan keseriusan para perawi dalam meneladani Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam seluruh tindak tanduk beliau. Sebagai mana disebutkan oleh imam Ibnu Daqi’eq Al-‘Ied rahimahullah.[18]

Apakah Seluruh Hadits Musalsal Shahih?

Jawab: Tidak mengharuskan keberadaan suatu hadits dengan bentuk musalsal berarti hadits tersebut adalah hadits shahih. Terkadang terdapat hadits musalsal yang shahih, hasan, dho’if ataupun maudhu’ (palsu). Bahkan, banyak sekali para ulama hadits hadits yang menyatakan bahwa kebanyakan hadits musalsal adalah hadits yang lemah.[19] Berkata imam Adz Dzahabi rahimahullah, “Kebanyakan dari hadits musalsal adalah lemah. Kebanyakan juga bathil dikarenakan kedustaan yang dilakukan oleh para perawinya...”[20]

Namun jika ada yang bertanya: Bila kebanyakan hadits musalsal adalah hadits yang lemah, lalu apa fungsinya kita menyebutkan faedah hadits musalsal? Jawabannya, faedah yang dikemukakan diatas tentang hadits musalsal adalah faedah yang terdapat dalam hadits musalsal yang shahih bukan hadits musalsal yang lemah atau yang semisalnya. Wallahu a’lam.

Apakah Hadits Musalsal Harus Dimulai Dari Awal Matan (redaksi) Sampai Akhir Matan?

Sebagian para ahli ‘ilmi menyatakan bahwa hadits musalsal tidak harus dimulai dari awal matan sampai akhirnya. Karena terkadang terdapat hadits musalsal yang ada disebagian sanad, namun tidak ada pada sebagian yang lain. Hanya saja, kebanyakan hadits musalsal dimulai dari awal sanad sampai akhir sanad. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah.[21]














HADITS ‘AZIZ



Berkata nadzim (Al-Baiquni) rahimahullah,
عَزِيْزٌ مرويّ اثنين أو ثلاثةٌ                              ...........................................

“Aziz adalah yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi................................”

Syarah:

Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi hadits ‘Aziz menurut Al-Baiquni adalah: Setiap hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi. Maksudnya, dalam thabaqah (tingkatan) sanad tersebut minimalnya yang meriwayatkan hadits adalah dua atau tiga.

Definisi yang dibawakan oleh penulis adalah definisi yang telah dibawakan oleh para ulama sebelumnya, antara lain: Ibnu Mandah, Ibnu Thahir Al-Maqdisi, Ibnus Shalah, Ibnu Daqieq Al-‘Ied, An-Nawawi, Al-‘Iraqi, dan Ibnul Jazri.[22]

Contoh: Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dan juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu di dalam Shahih Bukhari, bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,



“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga aku lebih ia cintai dari pada bapaknya, anaknya, dan manusia seluruhnya.”

Jalan periwatan hadits ini adalah: Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, yang menerima darinya Abdul Aziz bin Shuhaib dan Qatadah, kemudian meriwayatkan dari Qatadah adalah Syu’bah dan Sa’id. Telah meriwayatkan dari Abdul ‘Aziz bin Shuhaib adalah Isma’il bin ‘Ulayyah dan ‘Abdul Waris.

Mengapa Dinamakan Dengan ‘Aziz?

  Dianamakan dengan ‘Aziz karena berasal dari kata (عَزَّ- يَعِزُّ)  yang artnya: sedikit. Diaktakan sedikit, dikarenakan sedikitnya jalan periwayatannya.[23]

Apakah Setiap Hadits ‘Aziz Itu Shahih?

Pensifatan suatu hadits dengan ‘Aziz bukanlah jaminan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang shahih. Bisa jadi hadits ‘Aziz tersebut adalah hadits yang shahih, hasan ataupun dho’if. Dikarenakan untuk menilai suatu hadits shahih atau tidak, semuanya dikembalikan kepada syarat-syarat hadits shahih yang telah lalu pembahasannya. Wallahua’lam.

Faedah: Terkadang para ulama dalam bidang jarh wat ta’dil menggunakan istilah ‘Aziz bukan pada makna yang kita  bahasa. Seperti perkataan mereka ‘Fulan ‘Azizul Hadits’, maka maknanya: Fulan adalah seorang perawi yang sedikit riwayatnya. Contoh dalam hal ini adalah perkataan imam Al-Hakim rahimahullah, “Uqbah bin Khalid Asy-Syanni adalah perawi yang tsiqat (terpercaya) dari kalangan penduduk Basrah dan ahli ibadahnya mereka. Sedangkan dia adalah seorang yang ‘Azizul Hadits’(sedikit periwayatan haditsnya), apabila hadits-hadits yang diriwayatkannya dikumpulkan tidaklah mencapai sepuluh hadits.[24]

Buku Khusus Yang Membahas Hadits ‘Aziz

Berkata syaikh Mahmud Ath-Thahhan, “Para ulama tidak menyusun secara tersendiri kitab tertentu untuk hadits-hadits ‘aziz. Tampaknya hal itu disebabkan sedikit atau tidak ada manfaatnya menyusun kitab tersebut.”[25]



























 












[1]  An-Nukat: 1/510.




[2]  1/24.




[3]  At- Taqyid: hal.65.




[4]  Al-Irsyad: 1/156.




[5]  Apakah Al-Musthofa’ (yang terpilih) termasuk nama dari nama-nama Nabi shallallahu’alaihi wasallam?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan, bahwa musthofa’ adalah sifat dari sifat-sifat Nabi shallallahu’alaihi wasallam, bukan bagian dari nama-nama Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Para shahabat adalah orang-orang yang paling mengagungkan terhadap Nabi shallallahu’alaihi wasallam, meskipun demikian, tidak didapati dari mereka seorang pun yang memanggil Nabi shallallahu’alaihi wasallam dengan nama musthofa’. (Syarah Al-Aqidah As-Safariniyah: hal. 55)




[6]  Al-Jawahir: hal. 151-152.




[7]  Al-Jawahir: hal. 152-153.




[8]   Dikutip secara ringkas dari Al-Jawahir: hal 153.




[9]  Taisir Musthalahul Hadits: hal 135-136.




[10]  At-Tadrib: 2/187.




[11]  Taudhihul Afkar: 2/414.




[12]  Al-Iqtirah: hal. 214.




[13]  Al-Irsyad: 2/554. karya An-Nawawi,  At-Taqyid: hal. 276.




[14]  Lihat Fathul Mughits: 4/40 dan Al-Jawahir: hal. 156.




[15]  Ibid: 4/40-41.




[16]  Nuzhatun Nadzar: hal. 167.




[17]  Lihat penjelasan Al-Hafidz tentang masalah ini di dalam An-Nuzhah: hal. 168.




[18]  Al-Iqtirah: hal. 215.




[19]  Diantara para ulama tersebut adalah imam Ibnu Shalah (At-Taqyid: 2/77), imam An Nawawi (Al-Irsyad: 2/558), imam Ibnu Katsir (Mukhtashar Ulumul Hadits sekaligus syarahnya Al-Ba’its: 2/456), dan imam Ibnul Mulaqqin (Al-Muqni’: 2/448).




[20]  Al-Muqidzah: hal. 44.




[21]  Al-Jawahir: hal. 160.




[22]  Al-Jawahir:  hal, 161.




[23]  Ibid: hal, 165.




[24]  Al-Mustadrak: 1/110




[25]  Taisirul Musthalahil Hadits: hal, 26.


Selasa, 14 Mei 2013

Demikian banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada satupun manusia yang bisa menghitungnya, meski menggunakan alat secanggih apapun. Allah pun tidak pernah meminta kepada kita balasan satu peser pun.  Pernahkah kita berpikir, untuk apa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan demikian banyak nikmat kepada para hamba-Nya? Untuk sekedar menghabiskan nikmat-nikmat tersebut atau ada tujuan lain?

Luasnya Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala

Sungguh betapa besar dan banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu nikmat kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Di mana kita terkadang tidak membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung dengan alat secanggih apapun di masa kini.
Semua ini tentunya mengundang kita untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita kehidupan, kita menemukan keadaan yang memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia dalam keingkaran dan kekufuran kepada Pemberi Nikmat. Puncaknya adalah menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk, yang keadaan makhluk itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentu hal ini termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar.” (Luqman: 13)
Kendati demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan kepada mereka sebagian karunia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya” dan membukakan bagi mereka pintu untuk bertaubat. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi hamba ini untuk:
- Ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya yang sangat butuh kepada-Nya.
- Menyombongkan diri serta angkuh dengan tidak mau melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tidak mau menerima kebenaran dan mengentengkan orang lain.
- Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan nikmat apapun yang kalian dapatkan adalah datang dari Allah.” (An-Nahl: 53)


وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا


“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan sanggup.” (An-Nahl: 18)

Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tahukah anda apa rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut?

Ketahuilah bahwa kenikmatan yang berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakannya manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk sebuah kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat itu sebagai perantara untuk menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Bagi orang yang berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan jawabannya, yaitu untuk beribadah kepada-Nya saja, maka dia akan mengetahui pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan.
Sebagai bukti yaitu adanya kematian setelah hidup ini dan adanya kehidupan setelah kematian diiringi dengan persidangan dan pengadilan serta pembalasan dari Allah Ta’ala. Itulah kehidupan yang hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan seperti ini akan mengantarkan kepada:
1. Dunia bukan tujuan hidup.
2. Kenikmatan yang ada padanya bukan tujuan diciptakan manusia, akan tetapi sebagai perantara untuk suatu tujuan yang mulia.
3. Semangat beramal untuk tujuan hidup yang hakiki dan kekal.
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa nikmat itu ada dua bentuk, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju tujuan. Nikmat yang merupakan tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya akan kembali kepada empat perkara.
Pertama: Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya,
Kedua: Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya,
Ketiga: Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya,
Keempat: Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya.
Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki. Adapun bagian yang kedua (dari dua jenis nikmat) adalah sebagai perantara menuju kebahagiaan yang disebutkan dan ini ada empat perkara:
Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik.
Kedua: Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.
Ketiga: Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan keluarga.
Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala keutamaan seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan, dan semua nikmat ini adalah besar.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 282)

Syukur dalam Tinjauan Bahasa dan Agama


Syukur secara bahasa adalah nampaknya bekas makan pada badan binatang dengan jelas. Binatang yang syakur artinya: Apabila nampak padanya kegemukan karena makan melebihi takarannya.
Adapun dalam tinjauan agama, syukur adalah: Nampaknya pengaruh nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seorang hamba melalui lisannya dengan cara memuji dan mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakininya dan cinta; serta melalui anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan. (Madarijus Salikin, 2/244)
Ada juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti:
1. Mengakui nikmat yang diberikan dengan penuh ketundukan.
2. Memuji yang memberi nikmat atas nikmat yang diberikannya.
3. Cinta hati kepada yang memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan ketaatan serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya.
4. Menyaksikan kenikmatan dan menjaga (diri dari) keharaman.
5. Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.
6. Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberinya dengan ketenangan.
7. Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.
8. Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada.
Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur, akan tetapi semuanya kembali kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas.
Yang jelas, syukur adalah sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan/ pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Dzat yang memberi nikmat. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an dengan syukur. Dari sini diketahui bahwa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari rukun-rukun syukur. (Madarijus Salikin, 2/247)
Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya. (Madarijus Salikin, 2/247, secara ringkas)


Makna Syukur

Syukur memiliki tiga makna:

Pertama: Mengetahui (pemberian tersebut) adalah sebuah nikmat. Artinya dia menghadirkan dalam benaknya, mempersaksikan, dan memilahnya. Hal ini akan bisa terwujud dalam benak sebagaimana terwujud dalam kenyataan. Sebab banyak orang yang jika engkau berbuat baik kepadanya namun dia tidak mengetahui (bahwa itu adalah perbuatan baik). Gambaran ini bukan termasuk dari syukur.
Kedua: Menerima nikmat tersebut dengan menampakkan butuhnya kepadanya. Dan bahwa sampainya nikmat tersebut kepadanya bukan sebagai satu keharusan hak baginya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tanpa membelinya dengan harga. Bahkan dia melihat dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti seorang tamu yang tidak diundang.
Ketiga: Memuji yang memberi nikmat. Dalam hal ini ada dua bentuk, yaitu umum dan khusus. Pujian yang bersifat umum adalah menyifati pemberi nikmat dengan sifat dermawan, kebaikan, luas pemberiannya, dan sebagainya. Pujian yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahwa nikmat tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ


“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11) [Madarijus Salikin, 2/247-248]

Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur
Menceritakan sebuah nikmat yang dia dapatkan kepada orang lain termasuk dalam kategori syukur. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي بِهِ فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ


“Barangsiapa yang diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalasnya dan jika dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya hendaklah dia memujinya. Karena jika dia memujinya sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia menyembunyikannya sungguh dia telah kufur. Dan barangsiapa yang berhias dengan sesuatu yang dia tidak diberi, sama halnya dengan orang yang memakai dua ­baju kedustaan.”
(HR. Abu Dawud no. 4179, At-Tirmidzi no. 1957 dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhuma)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ


“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11)

Menceritakan nikmat yang diperintahkan di dalam ayat ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.
Pertama: Menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain seperti dengan ucapan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku nikmat demikian dan demikian.”
Kedua: Menceritakan nikmat yang dimaksud di dalam ayat ini adalah berdakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat.
Dari kedua pendapat tersebut, Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam Madarijus Salikin (2/249) mentarjih dengan perkataan beliau: “Yang benar, ayat ini mencakup kedua makna tersebut. Karena masing-masingnya adalah nikmat yang kita diperintahkan untuk mensyukurinya, menceritakannya, dan menampakkannya sebagai wujud kesyukuran.” Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yang lain dan marfu’ disebutkan:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ


Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Menceritakan sebuah nikmat (yang didapati) kepada orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkannya adalah kufur, bersatu adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (HR. Ahmad dari An-Nu’man bin Basyir) [Madarijus Salikin, 2/248]

Dengan Apa Seorang Hamba Bersyukur?


Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Syukur bisa dilakukan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan kebaikan dan menyembunyikannya pada khayalak ramai. Adapun dengan lisan adalah menampakkan kesyukuran itu dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala. Artinya, menampakkan keridhaan kepada Allah Ta’ala. Dan hal ini sangat dituntut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

التَّحَدُّثُ بِالنِّعَمِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ


‘Menceritakan nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan meninggalkannya adalah wujud kekufuran.’
Adapun dengan anggota badan adalah mempergunakan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dalam ketaatan kepada-Nya dan menjaga diri dari bermaksiat dengannya. Termasuk kesyukuran terhadap nikmat kedua mata adalah dengan cara menutup setiap aib yang dilihat pada seorang muslim. Dan termasuk kesyukuran atas nikmat kedua telinga adalah menutup setiap aib yang didengar. Penampilan seperti ini termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 277)
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur itu bisa dilakukan oleh hati dengan tunduk dan kepasrahan, oleh lisan dengan mengakui nikmat tersebut, dan oleh anggota badan dengan ketaatan dan penerimaan.” (Madarijus Salikin, 2/246)

Derajat Syukur

Syukur memiliki tiga tingkatan:
Pertama: Bersyukur karena mendapatkan apa yang disukai.
Tingkat syukur ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam, seperti Yahudi dan Nasrani, bahkan Majusi. Namun Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan di antara hakikat syukur adalah menjadikan nikmat tersebut membantu dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencari ridha-Nya, niscaya engkau akan mengetahui bahwa kaum musliminlah yang pantas menyandang derajat syukur ini.
‘Aisyah radhiyallahu 'anha telah menulis surat kepada Mu’awiyah radhiyallahu 'anhu: ‘Sesungguhnya tingkatan kewajiban yang paling kecil atas orang yang diberi nikmat adalah tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai jembatan untuk bermaksiat kepada-Nya’.” (Madarijus Salikin, 2/253)
Kedua: Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai. Orang yang melakukan jenis syukur ini adalah orang yang sikapnya sama dalam semua keadaan, sebagai bukti keridhaannya.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Bersyukur atas sesuatu yang tidak disukai lebih berat dan lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi. Oleh sebab itulah, syukur yang kedua ini di atas jenis syukur yang pertama. Syukur jenis kedua ini tidak dilakukan kecuali oleh salah satu dari dua jenis orang:
q Seseorang yang semua keadaannya sama. Artinya, sikapnya sama terhadap yang disukai dan tidak disukai, dan dia bersyukur atas semuanya sebagai bukti keridhaan dirinya terhadap apa yang terjadi. Ini merupakan (gambaran) kedudukan ridha.
q Seseorang yang bisa membedakan keadaannya. Dia tidak menyukai sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak ridha bila menimpanya. Namun bila sesuatu yang tidak menyenangkan menimpanya, dia tetap mensyukurinya. Kesyukurannya (dia jadikan) sebagai pemadam kemarahannya, sebagai penutup dari berkeluh kesah, dan demi menjaga adab serta menempuh jalan ilmu. Karena sesungguhnya adab dan ilmu akan membimbing seseorang untuk bersyukur di waktu senang maupun susah.
Tentunya yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. (Madarijus Salikin, 2/254)
Ketiga: Seseorang seolah-olah tidak menyaksikan kecuali Yang memberinya kenikmatan. Artinya, bila dia melihat yang memberinya kenikmatan dalam rangka ibadah, dia akan menganggap besar nikmat tersebut. Dan bila dia menyaksikan yang memberi kenikmatan karena rasa cinta, niscaya semua yang berat akan terasa manis baginya.

Manusia dan Syukur
Kita telah mengetahui bahwa syukur merupakan salah satu sifat yang terpuji dan sifat yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkannya. Artinya, ada yang diberi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ada pula yang tidak.
Manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Orang yang mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kedua: Orang yang menentang nikmat yang diberikan alias kufur nikmat.
Ketiga: Orang yang berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yang bersyukur. Orang yang seperti ini dimisalkan dengan orang yang berhias dengan sesuatu yang tidak dia tidak miliki. (Madarijus Salikin, 2/48)

Dalil-dalil tentang Syukur

وَاشْكُرُوا لِلهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ


“Bersyukurlah kalian kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (Al-Baqarah: 172)

فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ


“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan jangan kalian kufur." (Al-Baqarah: 152)

وَاعْبُدُوْهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ


“Dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya dan kepada-Nya kalian dikembalikan." (Al-'Ankabut: 17)

وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِيْنَ


“Dan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur.” (Ali 'Imran: 144)

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ


“Dan ingatlah ketika Rabb kalian memaklumkan: Jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah (nikmat Kami) dan jika kalian mengkufurinya sungguh azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata:
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا؟
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun di malam hari sampai pecah-pecah kedua kaki beliau lalu ‘Aisyah berkata: ‘Ya Rasulullah, kenapa engkau melakukan yang demikian, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lewat dan akan datang?’ Beliau menjawab: ‘Apakah aku tidak suka menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Al-Bukhari no 4660 dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)
Masih banyak dalil lain yang menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Semoga apa yang dibawakan di sini mewakili yang tidak disebutkan.
Ancaman bagi Orang-Orang yang Tidak Bersyukur

Yang tidak bersyukur lebih banyak dari yang bersyukur. Hal ini tidak bisa dipungkiri oleh orang yang berakal bersih. Sebagaimana orang yang ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak dari yang beriman. Demikianlah keterangan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:

وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ


“Dan sedikit dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (Saba`: 13)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang ancaman bagi yang kufur nikmat:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ


“Dan Rabb kalian telah mengumumkan jika kalian bersyukur niscaya Kami akan menambah (nikmat Kami) dan jika kalian mengkufurinya sungguh azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Jika kalian mengkufuri nikmat, menutup-nutupinya dan menentangnya maka (azab-Ku sangat pedih) yaitu dengan dicabutnya nikmat tersebut dan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpanya dengan sebab kekufurannya. Dan disebutkan dalam sebuah hadits: ‘Sesungguhnya seseorang diharamkan untuk mendapatkan rizki karena dosa yang diperbuatnya’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/637)

Syukur dan Sabar
Kita akan bertanya: “Jika engkau ditimpa sebuah musibah lalu engkau mensyukurinya, maka tentu pada sikap kesyukuranmu terdapat sifat sabar dan sifat ridha terhadap musibah yang menimpa dirimu. Dan kita mengetahui bahwa ridha merupakan bagian dari kesabaran. Sementara syukur merupakan buah dari sifat ridha.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur termasuk kedudukan yang paling tinggi dan lebih tinggi -bahkan jauh libih tinggi- daripada kedudukan ridha. Di mana sifat ridha masuk dalam syukur, karena mustahil syukur ada tanpa ridha.” (Madarijus Salikin, 2/242)

Kenapa Kebanyakan Orang Tidak Bersyukur?


Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Makhluk ini tidak mau mensyukuri nikmat karena padanya ada dua (sifat) yaitu kejahilan dan kelalaian. Kedua sifat ini menghalangi mereka untuk mengetahui nikmat. Karena tidak tergambar bahwa seseorang akan bisa bersyukur tanpa mengetahui nikmat (sebuah pemberian). Jika pun mereka mengetahui nikmat, mereka menyangka bahwa bersyukur itu hanya sebatas mengucapkan alhamdulillah atau syukrullah dengan lisan. Mereka tidak mengetahui bahwa makna syukur adalah mempergunakan nikmat pada jalan ketaatan kepada Allah Ta’ala.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 288)
Kesimpulan ucapan Ibnu Qudamah rahimahullahu adalah bahwa manusia banyak tidak bersyukur karena ada dua perkara yang melandasinya yaitu kejahilan dan kelalaian.

Mengobati Kelalaian dari Bersyukur
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Hati yang hidup akan menggali segala macam nikmat diberikan. Adapun hati yang jahil (lalai) tidak akan menganggap sebuah nikmat sebagai nikmat kecuali setelah bala’ menimpanya. Caranya, hendaklah dia terus memandang kepada yang lebih rendah darinya dan berusaha berbuat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Mendatangi tempat orang yang sedang sakit dan melihat berbagai macam ujian yang sedang menimpa mereka, kemudian berpikir tentang nikmat sehat dan keselamatan. Menyaksikan jenazah orang yang terbunuh, dipotong tangan mereka, kaki-kaki mereka dan diazab, lalu dia bersyukur atas keselamatan dirinya dari berbagai azab.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 290)
Wallahu a’lam.

Artikel Terbaru

Popular Posts