Selasa, 13 Agustus 2013



 

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah kitab paling bagus penjelasannya, paling lengkap keterangannya dan paling sempurna isinya, di dalamnya Allah Ta’ala kisahkan tentang umat-umat terdahulu yang Alloh binasakan karena kedurhakaan mereka kepada Allah Ta’ala, tidak luput pula Alloh jabarkan di dalam Al-Qur’an tentang kisah suatu kaum yang Allah binasakan. Alloh menjungkir balikan mereka di atas bumi kemudian Alloh hujani mereka dengan hujan batu, Allah Ta’ala benar-benar membinasakan mereka. Apakah sebabnya sehingga mereka mendapatkan azab seperti itu?


Semua orang pasti telah tahu tentang “homoseks”. Nama ini telah populer dan bahkan para pencintanya menganggap sesuatu yang biasa dan berupaya semaksimal mungkin untuk dilegalkan. Penyakit homoseks ini tidak hanya menimpa generasi-generasi di zaman Nabiullah Luth ‘Alaihis Salam tapi bahkan ia menimpa orang-orang yang ber“gaya” shalih di zaman sekarang ini, naudzubillah! Ia tidak hanya menimpa para “waria” tapi bahkan penyakit ini telah menulari para pemuda yang ber“mode” pencinta agama atau yang berlagak da’i yang sudah dipanggil ustadz. Tidak heran kita dapati sebagian berita dan bahkan “realita” yang berbicara tentangnya dan juga telah menampilkan kesan tentang ngerinya penyakit ini yang telah menelan korban bukan hanya satu dua orang tapi justru telah banyak, terlebih di negara Barat sudah tidak terhingga jumlah korbannya.


Dari tulisan ini kita bisa jadikan sebagai suatu barometer, yang kita bisa mengambil pelajaran darinya, mengingatkan kepada kita tentang kisah Khudzaifah –Radhiyallahu ‘anhu- yang bertanya tentang kejelekan karena khawatir akan menimpa dirinya, di dalam “Ash-Shahih” (no. 3606) dan “Shahih Muslim” (no. 4890) dari hadits Huzaifah Ibnul Yaman, beliau –semoga Allah meridhainya- berkata:


كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى. فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِى جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ». قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ». قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ «قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِى تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ». قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ «هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى إِنْ أَدْرَكَنِى ذَلِكَ قَالَ «تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ». قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ».


“Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan, dan aku ketika itu bertanya kepadanya tentang kejelekan (karena) takut akan menimpaku. Maka aku katakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dahulu di zaman jahiliyyah (penuh) kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan”. Beliau berkata: “Iya”. Aku berkata: “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau berkata: “Iya, dan padanya dakhan (kekaburan)”. Aku berkata: “Apa itu dakhan? Beliau berkata: “Suatu kaum yang mereka berpetunjuk dengan yang bukan petunjukku, kamu mengenal mereka dan kamu mengingkari”. Aku berkata: Apakah setalah itu ada kebaikan dari kejelakan? Beliau berkata: “Iya, ada da’i-da’i yang menyeru kepada pintu-pintu jahannam, barangsiapa memenuhi seruan itu maka akan terjerumus ke dalamnya”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah sifatkanlah kepada kamu! Beliau berkata: “Mereka dari kalangan kita dan berbahasa dengan bahasa kita” Aku berkata: “Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku mendapatinya yang demikian itu? Beliau berkata: “Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”. Aku berkata: “Bagaimana kalau tidak ada pada mereka jama’ah dan tidak pula ada imam? Beliau berkata: “Tinggalkan firqah (kelompok-kelompok) semuanya walaupun kamu menggigit akar kayu sampai kematian menjemputmu dan kamu dalam keadaan demikian itu”.


Lihatlah Khuzaifah ibnul Yaman tidak hanya bertanya tentang kejelakan itu, namun beliau bertanya pula tentang bagaimana cara mengantisipasi dan membendung supaya kejelakan tersebut tidak mengenainya, lihat pertanyaannya “Apa yang mesti saya perbuat jika mengalami keadaan seperti itu?” Tidak kita terbetik dalam hati kita untuk berprinsip seperti shahabat yang mulia Khuzaifah ibnul Yaman? Apakah kita sudah merasa aman terhadap segala kejelekan yang selalu mengintai kita disetiap saat dan setiap tempat?


Dan berkata seorang penyair:


عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه  ومن لم يعرف الشر من الخير يقع فيه


Aku mengetahui kejelekan bukan untuk berbuat jelek akan tetapi untuk menjauhinya


Dan siapa yang tidak mengetahui kejelekan dari kebaikan maka akan terjatuh ke dalamnya.


 Semoga dengan risalah yang ringkas dan sederhana ini, Allah jadikan sebagai salah satu dari sebab penggugah hati kita untuk selalu waspada dan supaya kita selalu berlindung kepada Allah dari segala macam fitnah dan kejelekan, dan semoga amalan ini ikhlas hanya mengharap ganjaran dari-Nya.


Homoseks adalah kecenderungan untuk tertarik antara sesama jenis.


Homoseks terdiri dari dua macam:


Yang pertama adalah Liwath (Gay) dan yang kedua adalah Sihaaq (Lesbian)


BAB I


LIWATH (GAY)


1.1. PENGERTIAN LIWATH (GAY)


 


Liwath (gay) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki dengan cara memasukan dzakar (penis)nya kedalam dubur laki-laki lain. Allah –Ta’ala- berkata dalam surat Al-A’raf ayat 81:


إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ.


“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.


Liwath adalah suatu kata (penamaan) yang dinisbatkan kepada kaumnya Luth –‘Alaihis salam-, karena kaum Nabi Luth –‘Alaihis salam- adalah kaum yang pertama kali melakukan perbuatan ini, Allah –Ta’ala- menamakan perbuatan ini dengan fahisy (keji/jijik), sebagaimana perkataan Allah –Ta’ala- dalam surat Al-A’raf ayat 80:


وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ.


“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”. Liwath merupakan dosa yang paling besar dan lebih keji dari pada zina.


 


1.2 KISAH KAUM LUTH DALAM AL-QUR’AN


Allah –Ta’ala- berkata dalam surat Huud ayat 77 sampai 83:


وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ (77) وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ (78) قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ (79) قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آَوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ (80) قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ (81) فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82) مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ (83).


“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit. Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?. Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim”


Ketika kaum Nabi Luth membujuk Nabi Luth –‘Alaihis salam- agar menyerahkan tamunya, maka Allah menimpakan kepada mereka azab, Allah –Ta’ala- berkata dalam surat Huud ayat 37 sampai 39:


وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ (37) وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ (38) فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُقِيمٌ (39).


“Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka ditimpa azab yang kekal. Maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.


Pada saat Nabi Luth –‘Alaihis salam- menyeru mereka kepada kebaikan dan mengingkari kemungkaran mereka, mereka langsung mengambil sikap terhadap beliau –‘Alaihis salam-, Allah kisahkan Al-A’raf ayat 80 sampai 84:


وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ (83) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ (84).


 


“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu”.


Allah –Ta’ala- juga sebutkan sikap mereka yang mendustakan Nabi-Nya sehingga layak untuk mendapatkan azab surat Asy-Syuraa’ ayat 160 sampai 173:


كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ (160) إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ لُوطٌ أَلَا تَتَّقُونَ (161) إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ (162) فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ (163) وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (164) أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166) قَالُوا لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا لُوطُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِينَ (167) قَالَ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ الْقَالِينَ (168) رَبِّ نَجِّنِي وَأَهْلِي مِمَّا يَعْمَلُونَ (169) فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ (170) إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ (171) ثُمَّ دَمَّرْنَا الْآَخَرِينَ (172) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ (173).


“Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka Luth, berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir”Luth berkata: “Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu.” (Luth berdoa): “Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua (isterinya), yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu”.


PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI KISAH


Diantara faedah dan pelajaran yang bisa dipetik dari kisah tersebut adalah:


-         Bahwa yang pertama kali melakukan perbuatan homoseks adalah kaum nabi Luth –‘Alaihis Salam-.


-         Homoseks merupakan metode atau prilaku orang-orang bodoh dan akan ditiru serta akan dipraktekan oleh orang-orang yang taqlid buta.


Berkata Abul Abbas dalam tulisannnya yang berjudul “Hizbiyyah Berlagak Jahiliyyah”: Berkata Al-Imam Al-Bukhariy –Rahimahullah- dalam “Shahih”nya (7320): “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil ‘Aziz, beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Umar Ash-Shan’aniy –dari Yaman-, dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abi Sa’id Al-Khudriy, dari Nabi -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-, beliau berkata:


«لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ «فَمَنْ».


“Sungguh kalian akan mengikuti metode (prilaku) orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai walaupun mereka masuk di lubang dhobb (hewan semisal biawak) kalian pun ikut masuk”. Kami (para shahabat) berkata: Wahai Rasulullah apakah (yang engkau maksudkan adalah) Yahudi dan Nashara? Beliau berkata: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)!”.


Demikian keadaan umat ini, maka tidak heran kalau kemudian ada dari hizbiyyin mengikuti metode dan tingkah laku orang-orang jahil dari umat-umat terdahulu, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-A’raf ayat 80-82:


وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ (82)


Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun sebelum kalian?” Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawaban kaumnya tidak lain hanya mereka mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri“.


Apa yang dikatakan oleh kaum nabi Luth tidak ada jauhnya dengan apa yang dikatakan oleh para hizbiyyin, ketika ada penasehat dari ahlussunnah memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka, mereka pun bertingkah seperti kaum nabi Luth, apa karena ada dari ustadz dan kawan mereka yang luthi (gay) jadi mereka terbawa dan terkontaminasi serta terungkap kata-kata seperti apa yang dikatakan oleh kaum homoseks seperti perkataan kaum Luth?! Ataukah mungkin karena mereka merasa mayoritas dalam suatu perkampungan jadi sok mau berlagak simisal Fir’aun, maunya usir-usiran? Sekedar contoh manusia rendahan yang jahil semisal Abu Salwa Zaid Al-Buthoniy –Qatalahullah- saudara kandung “waria” bercadar Abu Abayah La Tapa alias Abu Salman Mushthafa Al-Buthony yang keduanya diustadzkan oleh orang-orang jahil dari hizbiyyin datang dari pulau Buton ke pulau Seram-Maluku langsung sok berlagak kaisar di dusun Hanunu dengan seenaknya melakukan pengusiran terhadap ahlussunnah.


1.3. HUKUMAN BAGI YANG MELAKUKAN LIWATH


 


Al-Imam Ibnu Qayyim –Rahimahullah- dalam “Ad-Dau wad Dawa’” (hal. 241): Mafsadatnya liwath termasuk dari yang paling besarnya mafsadat dan hukumannya di dunia dan di akhirat termasuk yang paling besarnya hukuman.


Dan sungguh manusia telah berbeda pendapat: Apakah dia lebih besar hukumannya dari zina? Ataukah zina lebih besar hukumannya daripadanya? Ataukah hukuman keduanya sama? Hal ini terdiri dari tiga pendapat.


Pertama: Telah berpendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Zaid, Abdullah bin Ma’mar, Az-Zuhry, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Malik, Ishaq bin Rahawaih, Al-Imam Ahmad –yang paling shahihnya dari dua riwayat darinya- dan Asy-Syafi’y –pada salah satu pendapatnya-: Bahwasanya hukumannya paling berat daripada hukuman zina, dan hukumannya adalah bunuh pada setiap keadaannya baik dia itu yang sudah nikah atau belum nikah.


Kedua: Telah berpendapat ‘Atha’ bin Abi Rabah, Al-Hasan Al-Bashriy, Sa’id bin Musayyib, Ibrahim An-Nakha’i, Qatadah, Al-Auza’i, Asy-Syafi’y –sebagaimana yang tampak pada mazhabnya, Al-Imam Ahmad pada riwayat yang kedua darinya, Abu Yusuf dan Muhammad bahwasanya hukumannya dan hukuman zina sama.


Ketiga: Telah berpendapat Al-Hakam dan Abu Hanifah bahwasanya hukumannya selain zina (lebih ringan dari hukuman zina) yaitu ta’zir.


Al-Imam Asy-Syaukani -Rahimahullah- berkata di dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” (hal. 371): Dan sunguh ahlu ilmi telah berbeda pendapat tentang hukuman bagi yang melakukan liwath, setelah mereka bersepakat tentang keharamannya.


 


Pendapat Pertama: DIBUNUH


Berkata Al-Imam Al-Wadi’y –Rahimahullah- dalam “Ijabatus Sail” (hal. 362).: “Ulama berselisih pendapat tentang hukuman bagi orang yang berbuat liwath. Yang paling shahih dari pendapat yang ada, hukumannya dibunuh, baik pelaku (fa’il) maupun obyek  (maf’ul bih) bila keduanya telah baligh”.


Pendapat yang pertama ini juga yang dipilih oleh Syaikh kami An-Nashihul Amin Yahya bin Ali Al-Hajuriy –Hafizhahullah-.


Berkata Al-Imam Asy-Syaukani –Rahimahullah- dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” (hal. 371-372): Adapun keberadaannya orang yang mengerjakan perbuatan liwath dengan dzakar (penis)nya hukumannya adalah dibunuh, meskipun yang melakukannya belum menikah, sama saja baik itu fa’il (pelaku) maupun maf’ul bih (partner) jika itu pilihannya, dengan dalil hadits dari Ibnu Abbas riwayat Ahmad, Abu Dawud [no. 4462], Ibnu Majah [no. 2561], At-Tirmidzi [1/275], Al-Hakim [4/355], dan Al-Baihaqi:


مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ


“Barangsiapa yang kalian mendapati melakukan perbuatan kaum Luth (liwath), maka bunuhlah fa’il (pelaku) dan maf’ul bih (partner)nya” Dan telah berpendapat orang yang terdahulu dari kalangan para shahabat: Bahwasanya orang yang melakukan liwath, hukumannya adalah dibunuh walaupun dia belum menikah sama saja hukumannya fa’il atau maf’ul bih-nya. Ini juga pendapatnya Imam Syafi’i (dalam satu pendapat), Nashir, Al-Qasim bin Ibrahim. Dan dihikayatkan pendapat ini adalah ijma’ (kesepakatan) para shahabat.


Di dalam “Shohih Fiqhus Sunnah” (Juz 4/ hal. 50) penulisnya menyebutkan bahwa hukuman dengan bunuh ini ada tiga model (cara membunuh) bagi yang melakukan liwath dan model ini datang riwayatnya dari sebagian shahabat, yaitu:




  1. Dinaikkan di atas bangunan yang paling tinggi pada suatu negeri kemudian dilemparkan ke bawah sambil dihujani dengan batu, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Abbas dan Abu Bakar –Radhiyallahu ‘anhuma-.

  2. Dilemparkan dari atas tembok, dan ini adalah pendapatnya Umar, Utsman dan Ali –radhiyahhu ‘anhum-

  3. Berkata Al-Munziry: Hukuman yang melakukan liwath adalah dibakar dengan api, ini adalah pendapat Abu Bakr, Ali, Abdullah bin Jubair dan Hisyam bin Abdul Malik (sebagaimana di dalam “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” (hal. 372).


Di dalam “Shohih Fiqhus Sunnah” (Juz 4/ hal. 50) penulisnya memilih pendapat dibunuh, karena mencakup umumnya perintah dengan dibunuh, dan apalagi telah dipraktekkan oleh para shohahabat. Begitu pula Syaik kami An-Nashihul Amin –Hafizhahullah- berpendapat bahwa hukumannya adalah dibunuh, beliau mengatakan bahwa ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagaimana dalam “Majmu’ Al-Fatawa’”.


 


Pendapat Kedua: DIRAJAM


Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dari Ali bahwa dia pernah merajam orang yang berbuat liwath. Imam Syafi’y mengatakan: “Berdasarkan dalil ini, maka kita menggunakan rajam untuk menghukum orang yang berbuat liwath, baik itu muhshon (sudah menikah) atau selain muhshon (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, hal. 371).


Dihikayatkan pula oleh Al-Baghawi dari Asy-Sya’bi, Az-Zuhri, Malik, Ahmad dan Ishaq: Bahwasanya orang yang berbuat liwath dirajam, baik orang itu muhshon (sudah menikah) atau selain muhshon (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah” hal. 371).


Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud [dalam “Al-Hudud” Bab 28] dari Sa’id bin Jubair dan Mujahid dari Ibnu Abbas: Yang belum menikah apabila didapati melakukan liwath maka dirajam (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, hal. 371).


 


 


Pendapat Ketiga: DIHUKUM SEPERTI ZINA


Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabbah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Imam Yahya dan Imam Syafi’i (dalam pendapat yang lain), mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan liwath sebagaimana hukuman zina. Jika pelaku liwath muhshon maka dirajam, dan jika bukan muhson dijilid (dicambuk) dan diasingkan. [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, (hal. 371)].


 


Pendapat Keempat: DI TA’ZIR


Berkata Abu Hanifah: Hukuman bagi yang melakukan liwath adalah di-ta’zir, bukan dijilid (cambuk) dan bukan pula dirajam [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, (hal. 372)].


Ta‘zir adalah hukuman yang disyari’atkan atas orang yang berbuat dosa (maksiat), tidak berupa had dan tidak pula berupa qishoh. Yaitu dengan memberikan pelajaran berupa pukulan yang keras [atau dengan kurungan], yang diinginkan dengannya supaya lurus (sadar dan bertaubat).” (lihat Shohih Fiqhus Sunnah: 4/180, Taisirul Allam dan Syarhul Mumti’: 8/94-95).


Di dalam “Ahkam As-Syar’iyyah”/(Darul Ifaq Al-Jadidah) bahwa Abu Hanifah memandang perilaku homoseksual cukup dengan ta‘zir. Hukuman jenis ini tidak harus dilakukan secara fisik, tetapi bisa melalui penyuluhan atau terapi psikologis agar bisa pulih kembali. Bahkan, Abu Hanifah menganggap perilaku homoseksual bukan masuk pada definisi zina, karena zina hanya dilakukan pada vagina (qubul), tidak pada dubur (sodomi) sebagaimana dilakukan oleh kaum homoseksual.


Sebagian ulama berpendapat bahwa yang melakukan liwath tidak ada had, karena hadits Ibnu Abbas adalah hadits dho’if (lemah), di dalam sanadnya ada ‘Amr ibn Abi ‘Amr. Al-Imam Abu Dawud –Rahimahullah- berkata [no. 4426]: Telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Muhammad bin Ali An-Nufailiy, dia berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad, dari ‘Amr ibnu Abi ‘Amr, dari Ikrimah, dari Ibu Abbas, berkata Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:


مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ


“Barangsiapa yang  mendapati orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (liwath), maka bunuhlah fa’il (pelaku) dan maf’ul bih (partner)nya.”


Al-Imam Al-Bukhari –Rahimahullah- berkata: ‘Amr ibnu Abi ‘Amr adalah rowi yang shoduq (jujur), namun apabila dia meriwayatkan dari ‘Ikrimah maka haditsnya munkar.


Al-Imam Ahmad berkata: Semua riwayat ‘Amar bin Abi ‘Amr dari ‘Ikrimah adalah goncang.


Al-Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah berkata di dalam “Ahaaditsu Mu’allah” (no. 218, hal. 208): “Hadits tersebut (hadits Ibnu Abbas) jika kamu melihat kepada sanadnya maka kamu akan menghukumi bahwa itu adalah hadits hasan, akan tetapi riwayatnya Amr bin Abi Amr dari Ikrimah adalah goncang.”


Dan ada yang berkata: Anggaplah [kalau] hadits Ibnu Abbas tersebut adalah dho’if sebagaimana keterangan tersebut, tapi bukankah juga telah ada riwayat lain yang saling menguatkan satu sama lainnya? Maka dijawab: Memang benar ada riwayat lain, tapi tetap tidak akan bisa menjadi penguat. Adapun riwayat lain itu adalah sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Imam Abu Dawud –Rahimahullah-, dia berkata: Sulaiman bin Bilal telah meriwayatkan hadits dari ‘Amr ibnu Abi Amr, dari Ikrimah, semisal hadits di atas. Juga ‘Abbad bin Manshur telah meriwayatkan hadits dari Ikrimah, dari Ibni Abbas  [yang dikatakan sebagai penguat hadits di atas]. Dan juga Ibnu Juraij telah meriwayatkan  dari Ibrohim dari Dawud Ibnul Hushoin, dari Ikrimah dari Ibni Abbas [yang dikatakan juga sebagai penguat hadits di atas]. Namun apakah benar dengan adanya jalur periwayatan tersebut hadits Ibnu Abbas akan terangkat menjadi hasan [atau shohih]?


Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i –Rahimahulloh- berkata di dalam “Ahaditsu Mu’allah”, hal. 208: “ ‘Abbad bin Manshur adalah dho’if dan dia adalah mudallis. ” Juga beliau (Syaikh Muqbil) berkata: “Adapun hadits dari Dawud Ibn Al-Hushoin dari Ikrimah adalah munkar.”


Al-Imam Ibnul Madini berkata: Apabila Dawud Ibnul Hushoin meriwayatkan dari Ikrimah maka mungkar. Berkata Abu Zur’ah: Dawud Ibnul Hushoin adalah dhoif (lemah) (Lihat “Taqribut Tahdzib” hal. 180). Maka semakin jelaslah bahwa hadits tersebut dho’if. Wallahohu a’lam.


Adapun hadits: “Bunuhlah fa’il dan maf’ul bih-nya, baik yang sudah menikah atau belum nikah.” Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalur Abdurrahman bin Abdillah bin ‘Umar dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah –Radhiyallahu ‘anhu-. Berkata Al-Imam Asy-Syaukani: Sanad hadits ini dho’if. (“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, hal. 371).


Adapun keberadaannya orang yang melakukan liwath adalah hukumannya dirajam, dengan dalil:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ قَالَ ارْجُمُوا الْأَعْلَى وَالْأَسْفَلَ ارْجُمُوهُمَا جَمِيعًا.


“Dari Abu Huroirah dari Nabi –Shollallahu ‘alaihi wa sallam- Beliau berkata tentang orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (liwath): Rajamlah orang yang di atas (fa’il) dan yang di bawah (maf’ul bih), rajamlah kedua-duannya.”. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah, dia berkata telah menceritakan kepada kami Yunus bin Abdil A’la, dia berkata: telah mengabarkan kepadaku Abdulloh bin Nafi’, dia berkata: Telah mengabarkan kepadaku ‘Ashim bin Umar, dari Suhail dari ayahnya dari Abi Huroirah. Didalam sanad hadits ini terdapat seorang rowi yang bernama: ‘Ashim bin ‘Umar Al-Umari dan dia adalah rowi yang dho’if (Lihat “Irwa’ul Gholiil”: 8/18 dan “Taqrubut Tahdzib”, hal. 295), dan hadits tersebut didho’ifkan pula oleh Syaikh Al-Albani –Rahimahullah- (Lihat “Irwa’ul Gholiil”: 8/18).


Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan liwath sebagaimana hukuman zina, ini tidak bisa dijadikan pegangan karena hujjahnya lemah, diantara hujjah mereka adalah hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary –Radhiyallahu ‘anhu-, dia berkata: Rasulullah –Shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Apabila seorang laki-laki mendatangi (me-liwath-i) seorang laki-laki maka keduanya telah berbuat zina”. Akan tetapi hadits ini adalah dho’if dan telah didho’ifkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat “Irwa’ul Gholil”: 2349). Dan penulis kitab “Shohih Fiqhus Sunnah” berkata: “Hadits tersebut dho’if dan tidak bisa dijadikan hujjah (Lihat “Shohih Fiqhus Sunnah”: 4/48).


Jika ada lagi yang mengatakan: Orang yang melakukan liwath hukumannya adalah sama seperti hukuman orang yang berzina, karena Allah menamai liwath dengan fahisy, begitu pula zina Allah namai fahisy? Maka dijawab: Kesamaan nama bukanlah berarti memiliki kesamaan pula pada bentuknya, dan telah dimaklumi bahwa liwath sangat jauh berbeda dengan zina baik secara makna (pengertian) maupun secara prakteknya. Memang benar Alloh –Ta’ala- menyebutkan liwath dan sebagai fahisy, Alloh –Ta’ala- berkata sebagaimana dalam surat Al-Ankabut ayat 28:


وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ


“Dan Luth ketika berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya kalian telah melakukan fahisy yang belum pernah seorang pun melakukannya sebelum kalian di alam ini”.


Alloh –Ta’ala- sebutkan zina juga sebagai fahisy sebagaimana dalam surat Al-Isro’ ayat 32:


وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا


“Dan janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah fahisy dan sejelek-jelek jalan”.


Penyebutan tersebut bukan berarti sama, baik itu ditinjau dari bahasa, istilah dan bahkan realita (praktek)nya. Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah juga menyebutkan bahwa syirik adalah ke-dzolim-an (Lihat Al-Qur’an surat Luqman ayat 13 dan lihat pula “Al-Minhaju Syarhu Shohih Muslim Kitabul Adab”), dan orang yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya disebut juga dzolim dan melakukan kemaksiatan juga dinamai sebagai ke-dzholim-an apakah dengan penyebutan tersebut mengharuskan azabnya nanti ketika di akhirat sama? Tentu bagi orang yang aqidahnya masih di atas fitroh pasti dia akan mengatakan tidak ada kesamaan dan bahkan lebih jauh sekali perbedaannya. Maka jelaslah tidak bisa disamakan antara liwath dengan zina. Wabillahit taufiiq.


Adapun bagi yang melakukan liwath hukumannya adalah dibakar dengan api, maka pendapat ini menyelisihi larangan Allah –Ta’ala- dan Rasul-Nya Shallallohu ‘alaihi wa sallam, diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud dengan sanad shahih dari hadits Hamzah Al-Aslamiy Rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:


«إِنْ وَجَدْتُمْ فُلاَنًا فَاقْتُلُوهُ وَلاَ تُحْرِقُوهُ فَإِنَّهُ لاَ يُعَذِّبُ بِالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ».


“Jika kalian mendapati si Fulan maka bunuhlah dan jangan kalian membakarnya, Karena sesungguhnya tidaklah boleh mengazab dengan api kecuali Robb api”.


1.4 ANCAMAN SERIUS BAGI YANG MELAKUKAN HOMOSEKS


 


Al-Imam Abu Abdillah Adz-Dzahabiy -Rahimahullah- dalam Kitabnya “Al-Kabair” [hal.40] telah memasukan homoseks sebagai dosa yang besar dan beliau berkata: “Sungguh Allah telah menyebutkan kepada kita kisah kaum Luth dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an Al-Aziz, Allah telah membinasakan mereka akibat perbuatan keji mereka. Kaum muslimin dan selain mereka dari kalangan pemeluk agama yang ada, bersepakat bahwa homoseks termasuk dosa besar”.


Dengan melihat akan besarnya dosa homoseks, sampai Allah -Ta’ala- menghukum kaum Luth yang melakukan liwath dengan hukuman yang sangat besar dan dahsyat, membalikan tanah tempat tinggal mereka, dan diakhiri hujanan batu yang membumihanguskan mereka, sehingga kota mereka menjadi kenangan bagi kita, Allah -Ta’ala- berkata dalam surat Al-Hijr ayat 74:


فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيل.


“Maka kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras”.


Hukuman yang Allah berikan kepada mereka begitu mengerikan membuat kita seharusnya semakin bertambah takut. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkata ketika menggambarkan kekhawatiran beliau: “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth”. [HR. Ahmad (3/382), At-Timidzy (no. 1957), dan Ibnu Majah (no. 2563). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al- Albany dalam Takhrij Al-Misykah (3577)].


Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengkhawatirkan ummatnya terjangkiti wabah homoseks ini mengingat akibatnya sangat berat di dunia, dan akhirat kelak.


Diantara perkara yang menunjukkan besarnya dosa homoseks ini adalah perkataan Allah -ta’ala- dan ucapana Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang sekaligus Beliau -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melaknat orang-orang yang melakukannya. Allah dan Rasul-Nya -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah melaknat sesuatu, melainkan karena perkara tersebut terdapat kejelekan. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata: “Allah melaknat orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, Allah melaknat orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, Allah melaknat orang yang berbuat seperti yang diperbuat kaum Luth, sebanyak tiga kali, Allah melaknat orang yang menyembelih hewan untuk selain Allah dan Allah melaknat orang yang menyetubuhi binatang”. [HR. Ahmad  (no. 2915), Abu Ya’laa (no. 2539), Al-Baihaqiy (no. 16794)].


Dan telah kita ketahui bahwa laknat adalah pengusiran, dan dijauhkannya (seseorang) dari kebaikan dan rahmat” [Lihat “Nashihati Linnisa” dan “Mukhtar Ash-Shihhah” (hal.612)]. Bagi orang yang berakal dan dirahmati Alloh tentunya akan berupaya menjauhi dengan sejauh-jauhnya dari sebab atau wasilah adanya laknat. Nasalullahas Salamah wal ‘afiyah.


Dan di hari kiamat kelak Allah tidak akan melihat orang-orang yang berbuat homoseks, Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Allah tidak akan melihat kepada orang yang berbuat homoseks atau orang menyetubuhi istrinya pada duburnya”. [HR. At-Tirmidzy (no. 1165). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam “Takhrij Al-Misykah” (3195)].


1.5 GEJALA-GEJALA LIWATH


Setiap orang hendaknya harus lebih berhati-hati, jangan sampai terjerumus ke dalam perbuatan yang fahisy ini karena akan membinasakannya dan akan menyeretnya kepada kehinaan sepanjang zaman, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnul Qayyim –Rahimahullah- dalam “Al-Jawab Al-Kafi” (hal. 191): Ada seorang laki-laki yang jatuh cinta kepada seorang pemuda tampan bernama Aslam. Cinta di hatinya begitu mendalam kepada Aslam. Akan tetapi, Aslam tidak mau dan menjauh darinya sehingga menyebabkan laki-laki itu terbaring sakit dan tidak dapat bangkit. Orang-orang yang kasihan melihat diri laki-laki itu mencoba mendatangkan Aslam, dan dibuatlah perjanjian supaya dia menengok laki-laki itu. Mendengar berita itu, laki-laki yang sedang kasmaran tersebut merasa sangat senang dan mendadak hilang kegelisahan dan kesedihannya. Ketika dia dalam kegembiraan menanti Aslam datanglah orang lain yang mengabarkan bahwa Aslam tadi sebenarnya sudah sampai di tengah jalan tetapi kembali, tidak meneruskan perjalanannya dan tidak mau memperlihatkan dirinya kepada laki-laki itu. Ketika mendengar berita tersebut, mendadak kambuh sakitnya hingga tampak darinya tanda-tanda sakaratul maut. Kemudan dia bersyair:


Wahai Aslam sang penyejuk hati


Wahai Aslam sang penyembuh sakit


Keridhaanmu lebih aku sukai pada diriku


Daripada rahmat Sang Pencipta


Yang Mahamulia.


Dikatakan kepadanya: “Takutlah kamu dengan kata-kata itu!” Laki-laki itu menjawab, “Itu kenyataannya”. Maka akhirnya matilah dia dalam keadaan kafir kepada Allah. Na’udzubillahi min dzalik.


 


BAB II


SIHAAQ (LESBIAN)


2.1 PENGERTIAN SIHAAQ (LESBIAN)


Sihaaq (lesbian) adalah hubungan cinta birahi antara sesama wanita dengan image dua orang wanita saling menggesek-gesekkan anggota tubuh (farji’)nya antara satu dengan yang lainnnya, hingga keduanya merasakan kelezatan dalam berhubungan tersebut [“Shohih Fiqhus Sunnah” Juz 4/Hal. 51). Dan ini hukumnya adalah haram berdasarkan ijma' `ulama, dengan dalil hadits  Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:


«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ».


“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain.”


Al-Imam An-Nawawy dalam “Syarh Shohih Muslim” beliau berkata: Hadits ini adalah dalil tentang haramnya menyentuh aurat orang lain (yang haram untuk disentuh). Dan di dalam “Shahih Muslim” Al-Imam An-Nawawy –Rahimahullah- membuat bab khusus yaitu:


باب تَحْرِيمِ النَّظَرِ إِلَى الْعَوْرَاتِ.


“Bab haramnya memandang aurat-aurat (orang lain)”.


 


 


2.2 HUKUMAN BAGI YANG MELAKUKAN SIHAQ


Al-Imam Malik –Rahimahullah- berpendapat bahwa wanita yang melakukan sihaq hukumannya dicambuk seratus kali. Jumhur ulama berpendapat bahwa wanita yang melakukan sihaq tidak ada hadd baginya, hanya saja ia di-ta‘zir, karena hanya melakukan hubungan yang memang tidak bisa dengan dukhul (menjima’i pada farji), dia tidak akan di-hadd sebagaimana laki-laki yang melakukan hubungan dengan wanita tanpa adanya dukhul pada farji, maka tidak ada had baginya. Dan ini adalah pendapat yang rojih (yang benar) [Lihat “Shohih Fiqhus Sunnah” Juz 4/Hal. 51)].

1 komentar:

  1. mas adakah hukum yg membolehkan pernikhan waria,karna di tinjau dari kmaslahatan
    krna bnya dr klngan wria yg rata rta profesinya sbai placur,pnamen,di karnakan mreka da penghsilan yg pasti untuk mncukupi kbthan hidupya

    mksi sebelunya mas

    BalasHapus

Artikel Terbaru

Popular Posts