Kamis, 24 Mei 2012

Rasyid Ar-Rajih mengisahkan:

Suatu kali saat saya sedang bersama Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, seorang laki-laki mendatangi beliau dan meminta bantuan berupa uang. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz pun memberi uang kepadanya dalam jumlah besar. Namun orang itu tidak puas dan berkata, “Ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan saya.”

Maka beliau menjawab dengan penuh keramahan, “Ambillah, di dalamnya nanti akan ada barakah, insya Allah.”

Laki-laki itu nampak memahami maksud Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan dia pun mengambil uang tersebut sambil mengucapkan terima kasih. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz)

Menerapkan Sunnah dalam Semua Urusan

Ibrahim bin Abdul Aziz Asy-Syithri menceritakan:

Saat itu saya sedang bersama Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz ketika ada telepon dari seseorang untuk meminta fatwa. Bertepatan dengan itu muadzin telah mengumandangkan adzan, maka Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata kepada penelepon, “Kami akan menjawab adzan dulu,” sambil beliau meletakkan gagang telepon.

Setelah selesai menjawab adzan dan berdoa, beliau kembali berbicara kepada penelepon yang masih menunggu jawaban dari beliau.

Kejadian ini menggambarkan betapa Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz sangat bersemangat dalam menerapkan Sunnah di semua Urusan. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 213)

Sedih Saat Teringat Ulama Lain yang Telah Meninggal Dunia

Doktor Nashir bin Misfir Az-Zahrani mengisahkan:

Kapan saja Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz teringat kepada para ulama yang telah meninggal dunia, khususnya mereka yang dekat dengan beliau, maka beliau akan mengalami kesedihan yang demikian dalam. Beliau kemudian akan berdoa untuk mereka, menangis dan akan tercekat (tidak bisa bicara karena sedih).

Suatu hari, beliau bercerita tentang gurunya, Asy-Syaikh Al-Allammah Muhammad bin Ibrahim rahimahullah, namun beliau tidak mampu untuk menguasai diri agar tidak menanghs. Saya duduk di samping beliau untuk beberapa saat, sementara asisten beliau membacakan fatwa-fatwa dari Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Dalam beberapa kasus, Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim berbeda pandangan dengan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, maka beliau pun tersenyum dan mendoakan gurunya itu. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 215)

“Ini hanya untuk mengisi waktu.”

Sa’ad Ad-Dawud menceritakan:

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz sangat hati-hati dalam mengisi waktu. Bila beliau melakukan perjalanan dengan mobil untuk mengajar atau untuk menghadiri pertemuan, maka beliau akan membawa sejumlah buku yang telah beliau baca di mana beliau bisa mengambil catatan-catatan yang bermanfaat darinya. Ketika hal ini ditanyakan kepada beliau, beliau hanya menjawab singkat, “Ini hanya untuk mengisi waktu.” (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 194-195)

Nasehat Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz untuk Presiden Qadhafi

Doktor Bassam Khidar Asy-Syati mengisahkan:

Di antara perbuatan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang terpuji adalah ketika beliau memberi tahu Presiden Libya Muamar Qadhafi, tentang larangan menghilangkan kata ‘Qul’ yang ada di dalam Al-Qur’an dan bahwa mengucapkan kata tersebut adalah wajib. Beliau melakukan hal ini karena beliau mendengar bahwa Presiden Qadhafi telah memerintahkan stasiun radio dan para pembaca Al-Qur’an agar menghilangkan kata Qul dan diapun telah melakukan perubahan terhadap teks Al-Qur’an yang asli (yaitu dengan menghilangkan kata Qul). Mendengar teguran ini, Presiden Qadhafi mau menerima dan mengembalikan teks Al-Qur’an sebagaimana asalnya.

Pada kejadian yang hampir serupa, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menegur Presiden Tunisia, menjelaskan kepadanya syariat Allah dalam hal kurban dan puasa, bahwa di dalam kedua perintah itu tidak terdapat efek yang negatif terhadap proses pembangunan negara. Beliau memberikan fakta-fakta (dalil) yang meyakinkan untuk membuktikan hal tersebut. (Mawaqif Madhiah fi Hayat Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 189)
Dalam berbagai permasalahan agama tak jarang kita temui perbedaan pendapat di kalangan para ulama Ahlus Sunnah, syaikh fulan berpendapat boleh namun ulama lain menyatakan larangannya. Mengapa bisa demikian?

Berikut beberapa alasan mengapa para ulama bisa berselisih pendapat:

1. Hadits hanya sampai pada salah satu ulama yang berselisih pendapat.

2. Hadits sampai pada seorang ulama, namun ia tidak menganggapnya shahih.

3. Hadist sampai pada seorang ulama dan ia menshahihkannya, namun ia lupa.

4. Keyakinan ulama bahwa tidak ada penunjukkan dalil atau ayat yang seperti itu.

5. Keyakinan ulama bahwa penunjukkan dalil nash itu shahih, namun ia yakini ada pertentangan dalil lain yang menunjukkan lemahnya, dihapusnya atau ditakwilnya dalil tersebut.

[ Lihat Kitab Ma'alim Ushul Fiqh, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jiizani, Dar Ibnil Jauzi, cetakan ketiga, Muharram 1422 H, hal. 493-494]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya : Bolehkah bagi seorang muslim untuk menekuni (mempelajari) Injil agar dia bisa mengetahui firman Allah kepada hamba dan Rasul-Nya ‘Isa ‘alaihis sholatu wassalam?
Beliau menjawab :
“Tidak boleh menekuni (mempelajari) sesuatupun dari kitab-kitab yang mendahului Al-Qur`an, berupa Injil atau Taurat atau selain keduanya dengan dua sebab:
Sebab pertama : Sesungguhnya semua yang bermanfaat di dalamnya (kitab-kitab tersebut) Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskannya dalam Al-Qur`anul Karim.
Sebab kedua : Sesungguhnya di dalam Al-Qur`an telah terdapat perkara yang mencukupi dari semua kitab-kitab ini, berdasarkan firmanNya Ta’ala :
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ

“Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya.” (QS. Ali ‘Imran : 3)
Dan firmanNya Ta’ala :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.” (QS. Al-Ma`idah : 48)
Karena sesungguhnya semua yang ada dalam kitab-kitab terdahulu berupa kebaikan pasti ada dalam Al-Qur`an.
Adapun perkataan penanya bahwa dia ingin untuk mengetahui firman Allah kepada hamba dan RasulNya ‘Isa, maka yang bermanfaat bagi kita darinya telah dikisahkan oleh Allah dalam Al-Qur`an sehingga tidak perlu lagi untuk mencari selainnya. Lagipula Injil yang ada sekarang telah berubah, dan dalil akan hal itu adalah bahwa dia (sekarang) ada 4 Injil yang satu dengan yang lainnya saling menyelisihi, bukan 1 Injil sehingga tidak dapat dijadikan sandaran.
Adapun seorang penuntut ilmu yang memiliki ilmu yang dengannya dia bisa mengetahui yang benar dari kebatilan, maka tidak ada larangan (baginya) untuk mengetahuinya (Injil) untuk membantah apa yang terdapat di dalamnya berupa kebatilan dan untuk menegakkan hujjah atas para penganutnya.” (Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah jilid 1)

Selasa, 01 Mei 2012

Asal dari hewan-hewan yang diciptakan Allah ta’ala adalah mubah/boleh untuk memakannya hingga ada dalil khusus atau umum yang menunjukkan keharamannya. Allah ta’ala berfirman :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” [QS. Al-Baqarah : 29].

Para ulama telah menjelaskan satu kaedah dalam masalah ini bahwasannya semua hewan yang telah dilarang syari’at untuk membunuhnya, maka ia haram untuk dimakan – berdasarkan pendapat yang shahih. Seandainya ia memang halal dimakan, lantas mengapa dilarang untuk membunuhnya ?.

Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :

قال أصحابنا : فالذي أمر بقتله في الحل والحرم يحرم أكله ، والذي نهى عن قتله يحرم أكله .........

“Telah berkata shahabat-shahabat kami : Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh di tanah haram ataupun halal, maka diharamkan untuk memakannya. Begitu puga hewan yang dilarang untuk membunuhnya, terlarang pula untuk memakannya…..” [Ash-Shughraa, 4/59].

Ibnu Rusyd rahimahullah berkata :

وحكى أبو حامد عن الشافعي أنه يحرم لحم الحيوان المنهي عن قتله

“Dan dihikayatkan Abu Haamid dari Asy-Syaafi’iy bahwasannya ia mengharamkan daging hewan yang terlarang untuk membunuhnya” [Bidaayatul-Mujtahid - http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=97&ID=427].

Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata : “Setiap hewan yang dilarang untuk membunuhnya, maka ia hanya disebabkan dua hal : Mungkin karena kehormatan yang ada pada dirinya seperti halnya manusia, atau mungkin karena keharaman dagingnya seperti burung shurad, hudhud, dan yang lainnya” [Ma’aalimus-Sunan, 4/204 – melalui perantaraan Al-Hayawaan Maa Yajuuz Akalahu wa Maa Laa Yajuuz oleh Sulaimaan bin Shaalih Al-Khurasyiy, hal. 25; Daarul-Qaasim, Cet. 1/1420 H].

Berkaitan dengan judul, maka ada riwayat yang berkaitan :

حدثنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن الزهري عن عبيد الله بن عبد الله بن عتبة عن ابن عباس قال : نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قتل أربع من الدواب النملة والنحلة والهدهد والصرد.

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq[1] : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar[2], dari Az-Zuhriy[3], dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah[4], dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang membunuh empat macam hewan : semut, lebah/tawon, burung hudhud, dan burung shurad” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/332].

Hadits ini shahih.

Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaaq no. 8415, Abu Daawud no. 5267, ‘Abd bin Humaid no. 649, Ibnu Maajah no. 3224, Ibnu Hibbaan no. 5646, Al-Baihaqiy 9/317, dan yang lainnya.

Jadi, haram hukumnya memakan lebah/tawon.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

 





Catatan Kaki.

[1]      ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy (wafat : 211 H) – seorang tsiqah, haafidh, penulis terkenal, namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir umurnya [At-Taqriib, hal. 607 no. 4092].

Akan tetapi riwayat Ahmad darinya adalah shahih, karena diambil sebelum berubah hapalannya. Ahmad berkata : “Kami menemui ‘Abdurrazzaaq sebelum tahun 200 H yang waktu itu penglihatannya masih baik/sehat. Barangsiapa yang mendengar darinya setelah hilang penglihatannya (buta), maka penyimakan haditsnya itu lemah (dla’iifus-samaa’)” [Taariikh Abi Zur’ah, hal. 215 no.  1160, ta’liq : Khaliil Al-Manshuur; Cet. Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1417].



[2]      Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 154 dalam usia 58 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [At-Taqriibut, hal. 961 no. 6857].



[3]      Az-Zuhriy, ia adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin Syihaab Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang faqiihhaafidh, lagi mutqiin (50/51/56-123/124/125 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 896 no. 6336].


[4]      ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’uud Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqahfaqiih, lagi tsabat (w. 94/97 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahihnya [idem, hal. 640 no. 4338].
Melihat perkembangan zaman yang sangat pesat, maka nikmat Allah yang diberikan kepada manusia begitu banyak sehingga mereka pun bisa membuat berbagai macam dan ragam kendaraan. Dahulu mereka cuma mengendarai binatang-binatang berupa keledai, kuda, dan lainnya. Kemudian mereka wujudkan semua itu dalam bentuk kendaraan yang lebih bagus, lebih kuat, lebih indah dan lebih cepat dengan adanya sepeda, motor, mobil, pesawat, dan lainnya. Allah -Ta’ala- berfirman,
وَالْخَيْلَ وَالْبِغالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوها وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لا تَعْلَمُونَ

“Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (QS. An-Nahl: 8).

Dengan adanya berbagai macam nikmat tersebut, hendaklah kita -sebagai orang-orang yang beriman-, senantiasa mengingat dan mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Bukan hanya mengingat bagaimana nikmatnya naik kendaraan, cepatnya sampai ke tujuan, dan bukan pula karena bagusnya kendaraan tersebut. Bahkan seyogyanya kita mengingat dan mensyukuri nikmat tersebut.

Oleh karena itu, perlu kita ingat bahwa dalam berkendaraan pun terdapat adab-adab. Nah, sebagai bukti kesyukuran kita terhadap nikmat-nikmat itu, maka kita dituntut untuk mengamalkan beberapa adab-adab yang syar’i ketika berkendaraan:

 

Mengingat Allah dan Berdo’a Saat Berkendaraan

Seorang dianjurkan ketika awal memulai perjalanan agar membaca do’a naik kendaraan yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada ummatnya. Hikmahnya agar kita selalu mengingat Allah yang telah menganugrahkan dan menundukkan bagi kita kendaraan tersebut. Adapun lafazh do’a naik kendaraan, berikut nashnya:

Ali bin Robi’ah berkata, Aku menyaksikan Ali -radhiyallahu ‘anhu- ; didatangkan suatu kendaraan (kepadanya) agar ia mengendarainya. Tatkala ia menginjakkan kakinya pada kendaraan, ia berkata, “Bismillah“. Tatkala beliau berada di atas punggungnya, beliau berkata, “Alhamdulillah“. Kemudia beliau berdo’a,

Subhaanalladzi sakhkharo lanaa haadza wamaa kunna lahu muqriniin

Kemudian beliau mengucapkan, “Alhamdulillah” sebanyak tiga kali ; lalu mengucapkan,”Allahuakbar” sebanyak tiga kali. Lalu berdo’a,
سُبْحَانَكَ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فاَغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لَايَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ

Lalu Ali bin Abi Tholib tertawa. Beliau ditanya, “Kenapa Anda tertawa?” Beliau menjawab, “Aku telah melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah melakukan apa yang aku lakukan, lalu beliau tertawa…”. [HR. Abu Dawud (2602), At-Tirmidziy (3446), dan An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (8799, 8800, & 10336). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Mukhtashor Asy-Syama'il Al-Muhammadiyyah (198)]

Tidak Melanggar Peraturan ketika Berkendaraan

Wajib bagi kita untuk menaati peraturan-peraturan yang berlaku ketika berkendaraan, seperti memakai helm pada tempat-tempat yang diwajibkan memakai helm, mempunyai surat-surat yang diperlukan ketika berkendaraan (SIM & STNK), berhenti ketika melihat lampu merah, dan lain-lain. Semua hal tersebut adalah kewajiban kita sebagai pengendara dan sebagai bentuk ketaatan kepada penguasa. Dalilnya adalah firman Allah,

 

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisaa’: 56).

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

“Wajib Bagi seorang muslim untuk mendengar dan mentaati (penguasa) dalam perkara yang ia cintai dan ia benci selama ia tidak diperintahkan (melakukan) suatu maksiat. Jika ia diperintahkan bermaksiat, maka tak boleh mendengar dan taat (kepada penguasa)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Ahkam (4/no. 6725) & Kitab Al-Jihad (107/no. 2796), Muslim (1839)]

Al-Imam Abul ‘Ula Al-Mubarokfuriy-rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jika penguasa memerintahkan perkara yang mandub (sunnah), dan mubah (boleh), maka wajib (ditaati). Al-Muthohhar berkata, “Maksudnya, mendengarkan dan mentaati ucapan penguasa adalah perkara wajib atas setiap muslim, sama saja apakah penguasa memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya ataukah tidak. Tapi dengan syarat penguasa tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika ia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh taat kepadanya (saat itu, –pent). Namun tak boleh baginya memerangi penguasa”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (5/298)]

Jika penguasa memerintahkan pakai helm atau SIM dan STNK, maka wajib bagi seorang muslim untuk mentaatinya, walaupun memakai helm, membuat SIM, dan STNK pada asalnya adalah mubah. Namun ketika penguasa memerintahkannya, maka hukumnya berubah menjadi wajib. Jadi, memakai helm, atau SIM dan STNK saat berkendaraan adalah perkara yang wajib.

Seorang ulama kota Madinah dan mantan Rektor Islamic University of Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad -hafizhahullah- dalam suatu majelisnya pernah menjelaskan bahwa mentaati lampu merah dan rambu-rambu yang dibuat oleh pemerintah di jalan-jalan adalah wajib, sekalipun hukum asalnya adalah mubah. Tapi hukumnya berubah karena ada perintah dari penguasa. Sedang jika penguasa memerintahkan sesuatu yang mubah atau sunnah, maka hukum perkara itu jadi wajib berdasarkan ayat dan hadits di atas !!

Tidak Ugal-ugalan di Jalan Raya

Seseorang hendaklah memperhatikan keselamatan dirinya dan keselamatan orang lain ketika berkendara. Jangan sampai kita menjadi sebab tertumpahnya darah seseorang serta rusaknya harta saudara kita. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِنَّ دِمَاؤَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِكُمْ

“Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram (mulia) atas kalian seperti haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1218)]

Jadi, darah dan harta seorang muslim adalah haram kita ganggu, apalagi ditumpahkan dan dirusak, karena harta dan darah seorang muslim memiliki kemuliaan di sisi Allah.

Ada kebiasaan buruk menimpa sebagian tempat di Indonesia Raya, adanya sebagian pemuda yang ugal-ugalan memamerkan “kelincahan” (baca: kenakalan) mereka dalam mengendarai motor atau mobil di jalan raya. Ulah ugal-ugalan seperti ini bisa mengganggu, dan membuat takut bagi kaum muslimin yang berseliweran, dan berada dekat dengan TKP (tempat kejadian peristiwa). Bahkan terkadang mereka menabrak sebagian orang sehingga orang-orang merasa kaget dan takut lewat, karena mendengar suara dentuman knalpot mereka yang dirancang bagaikan suara meriam. Padahal di dalam Islam, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang kita mengagetkan seorang muslim.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda ketika menegur sebagian sahabat yang menyembunyikan tongkat saudaranya sehingga ia panik,
لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk membuat takut seorang muslim”. [HR. Abu Dawud (5004). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Maram (447)]

Kagetnya sahabat yang tertidur ini akibat ulah temannya, jika dibanding dengan kaget, dan takutnya kaum muslimin yang lewat atau berada di lokasi balapan, maka kita bisa pastikan bahwa balapan liar seperti ini, hukumnya haram. Apalagi pemerintah sendiri melarang hal tersebut, karena menelurkan bahaya bagi diri mereka, dan masyarakat !!

Merawat Kendaraan dan tidak Membebani Melebihi Kapasitasnya

Kendaraan adalah nikmat dari Allah, maka hendaklah kita merawatnya dengan baik dan bukan sekedar hanya memakainya sesuka hati. Sebagaimana binatang ternak yang kita miliki, kita tak boleh membebaninya lebih dari kemampuannya. Diantara wujud kesyukuran kita kepada Allah, kita harus menyayangi kendaraan –apakah berupa hewan atau bukan-, dan tidak membebaninya lebih kemampuannya.

Seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ja’far -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata, “Beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أَفَلَا تَتَّقِي اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهِيْمَةِ الَّتِى مَلَكَّكَ اللهُ إِيَّاهَا فَإِنَّهُ شَكَى إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيْعُهُ وَتُدْئِبُهُ

“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR.Muslim dalam Shohih-nya (342),dan Abu Dawud dalam As-Sunan ( 2549 ).

Jadi, seorang muslim tidak boleh membebani kendaraan lebih dari kemampuannya, sehingga ia letih atau rusak. Kita juga harus memperhatikan bensinnya, dan olie-nya sebagaimana halnya jika kendaraan berupa hewan, maka kita harus memperhatikan makanan, dan perawatannya. Kendaraan yang kita miliki harus kita rawat dengan baik; jangan dibiarkan terparkir di bawah terik matahari, tapi carilah naungan baginya. Jangan kalian bebani melebihi kapasitas kemampuan yang telah ditetapkan baginya.

Memperlambat Laju Kendaraan ketika Berjalan di Jalan yang Sempit (Lorong) dan Mempercepat ketika Berjalan di Jalan yang Lapang

Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda ketika menegur seorang sahabat yang cepat dan tergesa-gesa dalam menuntun perjalanan para wanita yang menyertai Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- berhaji,
وَيْحَكَ يَا أَنْجَشَةُ رُوَيْدَكَ سَوْقَكَ بِالْقَوَارِيْرِ

"Wahai Anjasyah, celaka engkau ! Pelanlah engkau dalam menuntun para wanita". [HR. Al-Bukhoriy (6149, 6161, 6202, & 6209), dan Muslim (2323)]

Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- berkata saat menyebutkan penafsiran ulama tentang makna hadits ini, “Sesungguhnya yang dimaksudkan hadits ini adalah pelan dalam berjalan, karena jika onta mendengar al-hida’ (nyanyian hewan), maka ia akan cepat dalam berjalan; onta akan merasa senang, dan membuat penumpangnya kaget, dan penat. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarangnya dari hal itu (al-hida’), karena para wanita akan lemah saat kerasnya gerakan, dan beliau khawatir tersakitinya para wanita dan jatuhnya mereka”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (15/81)]

Maka sepantasnya ketika berkendaraan, kita tenang dan tidak terburu-buru, karena terburu-buru itu datangnya dari setan. Boleh mempercepat kendaraan jika tidak melampaui batas sehingga ia dianggap terburu-buru, jika ada kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya.

Memberi Hak kepada Jalanan

Jalanan juga mempunyai hak-hak untuk kita penuhi. Karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berwasiat kepada para sahabatnya ketika seseorang duduk di pinggir jalan, “Waspadalah kalian ketika duduk di jalan-jalan”. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami harus berbicara di jalan-jalan. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Jika kalian enggan, kecuali harus duduk, maka berikanlah haknya jalan”. Mereka bertanya, “Apa haknya jalan?” Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ

“(Haknya jalan adalah) menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah yang mugkar“. [HR. Al-Bukhoriy (6229), dan Muslim (2121)]

Jadi, haknya jalanan ada 5: menundukkan pandangan dari melihat perkara haram (seperti melihat kecantikan wanita yang bukan mahram), menghilangkan gangguan apa saja (misalnya, tidak buang sampah & kotoran di jalan, tidak menggoda wanita, tidak menyakiti orang lain, dan lainnya); demikian pula menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepada kita dari kalangan kaum muslimin; memerintahkan yang ma’ruf (misalnya, mengingatkan waktu sholat, mengajak bersedekah, dan lainnya); mencegah yang mungkar (misalnya, melarang para pemuda balapan liar, melarang orang bermaksiat di jalan, dan lainnya). Wallahu a’lam.

 

Artikel Terbaru

Popular Posts