Kamis, 29 November 2012



MUQADDIMAH


 

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, kepada keluarganya, para shahabatnya seluruhnya.

Amma ba’du:

Sungguh Allah telah memilih agama Islam bagi kita sebagai agama yang Dia ridhoi atas seluruh agama yang lain. Allah tidak menerima agama yang lain selain dari Islam. Allah berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلامُ


“Sesungguhnya agama (yang diridhoi) disisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

Allah juga berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلامِ دِيناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخاسِرِينَ


“Barang siapa yang mencari agama selain dari Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima dari agamanya (tersebut).” (Ali ‘Imran: 85)

Agama Islam adalah agama yang seluruhnya dipenuhi dengan keindahan, tidaklah ada suatu perkara yang bermanfaat untuk dunia dan akherat kita atau membahayakan melainkan telah dijelaskan didalamnya kepada kita. Seluruh hukum-hukum yang ada didalam syari’at ini bertujuan seluruhnya untuk kemaslahatan manusia andaikan manusia mau mengamalkannya.

Kita dapati didalam dalil-dalil yang banyak tentang hal tersebut baik didalam Al-Kitab maupun As-Sunnah. Ambil contoh pengharaman terhadap zina hal itu bertujuan untuk menghilangkan berbagai macam bahaya yang terkandung didalamnya antara lain: terjadinya ketidak jelasan nasab, menyebarnya berbagai macam penyakit ganas, menyebarnya berbagai macam permusuhan, terjadinya pertumpahan darah diantara manusia, dan pelecehan terhadap harga diri wanita, yang mana wanita hanyalah ibarat gelas yang bisa dituangkan kedalam segala macam minuman demi kepuasan orang yang memintanya. Namun syari’at Islam disaat yang sama juga memberikan solusi berupa adanya suatu pernikahan, yang mana tujuan dari pernikahan adalah menghasilkan keturunan yang shalih atau shalihah dan berbagai macam tujuan-tujuan mulia yang lainnya.

Islam adalah agama yang mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia, bukan hanya mengatur permasalahan ibadah semata. Bahkan Islam mengatur bagaimana mengatur sebuah tatanan negara baik yang berkaitan dengan hubungan dalam negeri maupun luar negeri, mengatur stabilitas ekonomi, memperhatikan permasalahan kesehatan, mengatur hubungan pribadi dan masyarakat secara ibadah maupun mu’amalah, mengatur adab-adab makan, pernikahan, perkara-perkara duniawi, bahkan Islam mengatur adab-adab bagaimana cara menunaikan hajat. Maka tidak ada suatu permasalahan sekecil apapun melainkan telah diatur dengan baik oleh Islam.

Berkata Salman Al-Farisi radhiyallahu’anhu, “Berkata orang-orang musyrik kepada kami: ‘Sesungguhnya aku memandang sahabatmu (Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam) telah mengajarkan kalian segala hal sampai pun dalam hal buang hajat?’ maka Salman menjawab, ‘Benar, sungguh beliau melarang kita ketika berak maupun kencing untuk menghadap qiblat, atau melarang kita ketika cebok menggunakan tangan kanan, atau melarang kita ketika beristinja (cebok) dengan kurang dari tiga batu, dan juga melarang kita beristinja dengan kotoran atau tulang’.”[1]

Islam adalah dien rahmat bagi alam semesta. Dien yang menjelaskan segala bentuk kemaslahatan manusia, mulai dari masalah yang paling kecil dan ringan hingga masalah yang paling besar dan berat. Islam sebagai rahmat telah memberikan arahan kepada pemeluknya untuk tidak mendekati perkara-perkara yang akan memudharatkan dirinya. Demikianlah kesempurnaan Islam yang hujjahnya sangat jelas dan terang, malamnya bagaikan siang. Sehingga tidak ada satupun permasalahan yang tersisa melainkan telah dijelaskan di dalamnya.
Namun dalam menerima kesempurnaan ini, sebagian umat Islam ada yang tidak puas sehingga:
1.    Melakukan tindak kriminal dalam agama yaitu dengan menambah syariat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, lalu dijadikan sebagai jalan menuju ridha Allah. Dari tindak kriminal ini lahirlah konsep akal bahwa jalan menuju Allah itu banyak dan bukan satu. Ada yang cepat menyampaikan ke tujuan dan ada yang lambat. Kiasnya seperti perjalanan yang ada di dunia. Berangkat dari pemahaman ini, maka semua jamaah dan semua aliran yang muncul di dalam Islam -sekalipun mengajak kepada kekufuran- tidak bisa disalahkan. Sehingga ketika ada yang tampil menjelaskan kebatilan sebagian atau semua aliran tadi, justru dituding sebagai tindakan ghibah atas saudaranya seiman, sementara ghibah itu haram.
Tindak kriminal lainnya adalah mengentengkan syariat Allah dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wasallam sehingga menghilangkan kecemburuan terhadap agama. Tindakan ini mengajak masyarakat untuk bersikap permisif, membiarkan kemungkaran eksis dan tumbuh di dalam lingkungannya. “Yang alim silahkan alim. Yang berjudi, berzina, mencuri, dan yang mabuk silahkan. Yang penting tidak saling usik dan mengganggu. Biarkan berjalan pada jalannya masing-masing dan jika berselisih, kita saling memaafkan.” Kedua bentuk kriminal telah melahirkan setan-setan yang bisu, jelas hal ini bertentangan dengan dien islam.
2.    Melakukan studi perbandingan dan pendekatan agama sehingga lahir dari konsep ini menghomogenkan agama agar menjadi lebih sempurna.
3.    Melakukan perombakan kiblat dengan melakukan penggalian kemajuan-kemajuan Barat untuk disinkronkan dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan para shahabat beliau.
Jika penjelasan Allah dan Rasul-Nya tentang kesempurnaan dien Islam ini masih belum memuaskan mereka, lalu dengan keterangan siapa lagi mereka bisa yakin dan puas? Allah berfirman,



لِيَهْلِكَ مَنْ هَلَكَ عَنْ بَيِّنَةٍ وَيَحْيى مَنْ حَيَّ عَنْ بَيِّنَةٍ


 

“Agar binasa orang-orang yang binasa di atas keterangan dan agar hidup orang-orang yang hidup di atas keterangan.” (Al-Anfal: 42)

Dalam tulisan ini kami ingin mengupas berkaitan dengan permasalahan penting terkalit dengan perhatian Islam dalam adab-adab makan dan minum. Makan tak lagi sekedar rutinitas. Namun juga telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Cara dan posisi makan, tata hidang berikut alatnya, hingga busana yang dikenakan juga menganut ‘ideologi’ tertentu. Repotnya, model yang dianut (lagi-lagi) adalah tata cara Barat. Bagaimana agama Islam nan sempurna ini mengatur tata cara makan? Simak bahasannya!

Para pembaca yang budiman, sesungguhnya berbagai macam penyakit yang menjangkiti manusia bersumber dari dua faktor penting yaitu: karena kurangnya asupan makanan yang masuk kedalam perut atau karena berlebihannya seseorang dalam mengkonsumsi makanan, sehingga muncullah yang namanya penyakit-penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes, dan lain-lainnya dari berbagai macam penyakit yang menggegerkan masyarakat, yang mana penyakit tersebut banyak mengenai masyarakat elit dan kaya. Ada juga penyakit seperti busung lapar, kekurangan gizi, dan lain-lainnya yang notabennya penyakit tersebut banyak menyerang orang-orang yang hidup dibawah garis kemiskinan. Kesimpulannya Islam telah mengatur tata cara makan yang ideal tidak berlebihan dan tidak kekurangan, yang mana kedua-duanya tercela dan biang dari berbagai macam penyakit. Allah berfirman tentang sumber kesehatan manusia,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ


“Makan dan minumlah kamu, serta janganlah berbuat melampaui batas, sesungguhnya Dia tidak suka dengan orang-orang yang melampaui batas.” (Al-A’raf: 31)

Berkata imam Ibnul Qayyim tentang konsep kesehatan, “Keseimbangan, kesehatan, dan kekuatan badan semuanya bersumber dari perantaraan kelembaban badan yang menopang panas yang ada pada badan, kelembaban tubuh itu ibarat unsur utama dalam tubuh, sedangkan panas tubuh berfungsi untuk mengolahnya, menjaga, memperbaiki, dan melembutkannya. Apabila tidak terjadi hal yang demikian, maka badan akan rusak dan tidak stabil. Demikian juga kelembaban badan adalah makanan bagi panas badan, kalaulah bukan karena kelembaban badan pastilah badan akan terbakar, kering dan rusak. Maka keduanya haruslah selalu beriringan, yang mana panas badan adalah penopang bagi kelembaban badan yang menjaga, dan menghalangi dari kerusakan badan dan kehancurannya. Sedangkan kelembaban adalah makanan bagi panas badan dan penstabilya, maka ketika terjadi ketimpangan pada dua hal diatas akan menyebabkan tubuh menjadi tidak stabil. Panas badan akan selalu menstabilkan kelembaban badan, oleh karena itu badan membutuhkan adanya pendukung untuk menstabilkan panas tersebut antara lain makanan dan minuman. Namun apabila konsumsinya melebihi ukuran normal akan menyebabkan panas badan tidak mampu mengontrol sisa-sisa makanan sehingga hal tersebut akan menjadi unsur berbahaya (bagi tubuh) yang dapat merusak dan mengganggu tubuh, sehingga timbullah berbagai macam penyakit tergantung unsur-unsur penyebabnya, dan kesiapan serta kemampuan badan untuk memproteksinya. Hal tersebut telah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا


“Makan dan minumlah kamu dan janganlah kamu melampaui batas.”  Allah Ta’ala telah menjelaskan kepada para hambanya tentang beberapa perkara yang dapat menegakkan badan seseorang berupa makan, minuman, atau pengganti dari keduanya dengan kadar yang menyehatkan badan baik dari segi kuantitas maupun metode penerapannya, namun tatkala melebihi kadar yang telah ditentukan jadilah itu suatu perbuatan yang malampaui batas, yang mana hal tersebut adalah faktor penghambat kesehatan dan rawan penyakit. Hal itu disebabkan kurangnya asupan makanan dan minuman atau berlebihan padanya.”

Hingga perkataan beliau, “...Oleh karena itu Sumber kesehatan adalah dengan mengatur pola makan dan minum, pakaian dan tempat tinggal, nafas dan tidur, kesadaran dan gerakan, ketenangan dan hubungan suami istri, pengeluaran zat-zat tubuh dan penahanannya. Apabila hal-hal diatas dapat dilakukan secara seimbang didalam badan, negeri, dilakukan oleh semua umur, dan menjadi suatu adat kebiasaan maka hal tersebut akan menjadi faktor berkesinambungnya kesehatan atau dalam banyak kondisi sampai datangnya ajal seseorang.

Dikarenakan kesehatan adalah diantara nikmat yang paling besar yang Allah berikan kepada para hamba-Nya, bahkan nikmat terbesar secara mutlak, maka sudah sepantasnya seorang yang mendapatkan nikmat tersebut untuk menjaganya dari segala hal yang dapat merusaknya.”[2]

 

 

 

 

KESEHATAN ADALAH SUATU NIKMAT[3]


 Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ


“Ada dua nikmat yang mana manusia banyak tertipu padanya yaitu: kesehatan dan waktu luang.”[4]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُسْأَلُ عَنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ - يَعْنِي العَبْدَ مِنَ النَّعِيمِ - أَنْ يُقَالَ لَهُ: أَلَمْ نُصِحَّ لَكَ جِسْمَكَ، وَنُرْوِيَكَ مِنَ المَاءِ البَارِدِ


“Sesungguhnya perkara yang akan pertama kali ditanyakan pada hari kiamat –yaitu tentang kenikmatan- adalah dikatakan (oleh Allah) kepada seseorang, ‘Bukankah Aku telah menyehatkan badanmu? Dan juga Aku telah memberimu air minum yang segar?’.”[5]

Oleh karena itu berkata sebagian para salaf tentang firman Allah Ta’ala,

ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ


“Sungguh kemudian benar-benar kamu akan ditanya pada (hari kiamat) tentang kenikmatan.” (At-Takatsur: 8) mereka berkata: Yaitu tentang kesehatan.

Dari Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ النَّاسَ لَمْ يُعْطَوْا فِي الدُّنْيَا خَيْرًا مِنَ الْيَقِينِ وَالْمُعَافَاةِ، فَسَلُوهُمَا اللهَ عَزَّ وَجَلَّ


“Wahai para manusia,sesungguhnya tidak ada pemberian yang lebih baik diberikan kepada manusia di dunia lebih baik dari keyakinan dan penjagaan, oleh karena itu mintalah kalian keduanya kepada Allah.”[6]

 

 

ARTI PENTING MAKANAN BAGI MANUSIA


 

Merupakan hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh setiap manusia bahwa butuhnya terhadap makanan dan minuman adalah bukti bahwa mereka adalah makhluq yang lemah dan butuh kepada Allah. Oleh karena itu Allah membantah keyakinan trinitas dan sikap ghuluw orang-orang Nashrani dalam mengkultuskan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam dan ibunya Maryam ‘alaihassalam dengan menjelaskan bahwa kedua itu memakan makanan, lalu pantaskah mereka untuk di tuhankan padahal keduanya makan dan munum?! Allah berfirman,

كَانَا يَأْكُلانِ الطَّعامَ


“Kedua-duanya biasa memakan makanan.” (Al-Maidah: 75)

Dan Allah memuji dirin-Nya dengan menghabarkan bahwa Dia tidak butuh makan dan minum. Allah Ta’ala berfirman,

وَهُوَ يُطْعِمُ وَلا يُطْعَمُ


“..Padahal Dia memberi makan dan tidak memberi makan?..." (Al-An’am: 14)

Kebutuhan manusia akan makan menunjukan bahwa manusia itu penuh dengan kekurangan sehingga tidak ada yang bisa disombongkan oleh mereka. Demikian juga seorang yang tidak bisa memakan makanan karena ada pantangan, penyakit, atau hal yang lain juga merupakan kekurangan. [7]

 

BEBERAPA ADAB PENTING KETIKA MENIKMATI MAKANAN DAN MINUMAN


 

Bisa menyantap berbagai menu masakan setiap harinya dengan berbagai variasi benar-benar sesuatu hal yang menyenangkan hati sebagian orang. Namun satu hal yang patut diingat seorang muslim bahwasanya dalam kita menyantap makanan, Islam telah memberikan kita contoh bagaimanakah adab yang harus dilakukan. Dengan melakukan adab ini, acara santap makan yang awalnya sekedar untuk mengenyangkan perut dan menguatkan badan, tentu akan lebih bertambah berkah (barokah). Sebagai bentuk kesempurnaan syariat dan hikmah Allah di dalam menentukan urusan-urusan-Nya, Islam telah menjelaskan tatacara dan adab di dalam memenuhi kebutuhan jasmani setiap orang beriman agar mereka mendapatkan nilai yang besar di sisi Allah dan bernilai ibadah ketika melaksanakan hal ituKebaikan yang banyak akan diperoleh saat itu karena merutinkan adab dalam makan ini. Ditambah lagi ia akan lepas dari gangguan musuhnya yaitu setan ketika ia menyantap secuil makanan. Apa sajakah adab-adab makan yang diajarkan oleh Islam? Berikut beberapa adab di antaranya:

 

  1. 1.      MEMAKAN MAKANAN DAN MINUMAN YANG HALAL


Agama Islam adalah agama yang sangat sempurna, komprehensip dan mudah syariatnya. Di antara bukti kebaikan dan kemudahan syari’at Islam, Allah Ta’ala menghalalkan semua makanan dan minuman yang mengandung maslahat dan manfaat bagi badan, ruh maupun akhlak manusia. Demikian pula sebaliknya, Allah mengharamkan semua makanan dan minuman yang menimbulkan mudharat atau yang mengandung mudharat lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad manusia.

Bagi seorang muslim, makanan bukan sekedar pengisi perut dan penyehat badan saja, sehingga diusahakan harus sehat dan bergizi, tetapi di samping itu juga harus halal. Baik halal pada zat makanan itu sendiri, yaitu tidak termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah, dan halal pada cara mendapatkannya.

Di dalam Al-Quran Al-Karim Allah Ta’ala memerintahkan seluruh hamba-Nya yang beriman dan yang kafir agar mereka makan makanan yang baik lagi halal, sebagaimana firman-Nya:

{ يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا }


“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah: 168)

Dan firman-Nya pula:

{ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ}


“Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik dari yang telah Kami rizkikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172).

Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Perintah ini (yakni memakan makanan yang halal lagi baik) ditujukan kepada seluruh manusia, baik dia seorang mukmin ataupun kafir. Mereka diperintahkan memakan apa yang ada di bumi, baik berupa biji-bijian, buah-buahan, dan binatang yang halal. Yaitu diperolehnya dengan cara yang halal (benar), bukan dengan cara merampas atau dengan cara-cara yang tidak diperbolehkan. Dan Tayyiban (yang baik) maksudnya bukan termasuk makanan yang keji atau kotor, seperti bangkai, darah, daging babi, dan lainnya”.[8]

Di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu’alaihi wasallam memberikan ancaman masuk neraka kepada siapa saja yang mengkonsumsi makanan yang haram, sebagaimana sabda beliau:

أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ


“Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu (makanan) yang haram, maka neraka lebih pantas (sebagai tempat tinggal, pent) baginya.”

Demikian pula orang yang mengkonsumsi makanan yang haram, ia terancam ibadah (doa)nya tidak diterima dan dikabulkan oleh Allah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam menceritakan ada seorang laki-laki yang sedang musafir rambutnya kusut dan penuh debu. Dia menadahkan kedua tangannya ke langit sembari berdo’a: “Wahai Tuhanku , wahai Tuhanku, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan perutnya diisi dengan makanan yang haram, maka kata Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: “Bagaimana mungkin permohonannya dikabulkan? [9]

Beberapa Contoh Makanan Yang Diharamkan

Makanan yang dikonsumsi oleh seseorang digolongkan oleh syari’at ini menjadi dua kelompok:

Pertama: Haram Lidzatihi (makanan yang haram karena dzatnya). Maksudnya hukum asal dari makanan itu sendiri memang sudah haram.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala di dalam Al Qur’an dan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam di dalam hadits-hadits beliau, maka dapat diketahui beberapa jenis makanan yang haram dikonsumsi manusia karena memang dzat makanan itu sendiri telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya, di antaranya ialah:
1. Darah
Darah yang mengalir dari binatang atau manusia haram dikonsumsi, baik secara langsung maupun dicampurkan pada bahan makanan karena dinilai najis, kotor, menjijikkan, dan dapat mengganggu kesehatan. Demikian juga darah yang sudah membeku yang dijadikan makanan dan diperjualbelikan oleh sebagian orang. Adapun darah yang melekat pada daging halal, boleh dimakan karena sulit dihindari. Hal ini berdasarkan firman Allah,


قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ


“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145)

  1. Daging Babi
    Para ulama telah sepakat, daging babi haram dikonsumsi. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:


{ إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّه}


“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Dan juga firman-Nya:

{ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ}


“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah…” (QS. Al-Ma`idah: 3)

Demikian pula lemak babi yang dipergunakan dalam industri makanan yang dikenal dengan istilah shortening, serta semua zat yang berasal dari babi yang biasanya dijadikan bahan campuran makanan (food additive). Seluruh makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika yang mengandung unsur babi dalam bentuk apapun, haram dikonsumsi.[10]

3. Khamar (minuman keras)
Allah Ta’ala berfirman:

 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

 

 “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma`idah: 90)

Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma  secara marfu’:

كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ

“Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram.”[11]

Dan dapat dianalogikan dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya.

4. Semua Binatang Buas Yang Bertaring, Yang Dengan Taringnya Ia Memangsa Dan Menyerang Mangsanya
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

“Semua binatang buas yang bertaring, maka mengkonsumsinya adalah haram.” [12]

Juga apa yang diriwayatkan oleh Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu’anhu, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melarang memakan semua binatang buas yang mempunyai taring.” [13]

Yang dimaksudkan di sini adalah semua binatang buas yang bertaring dan menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan binatang lainnya. [14]

5. Semua Jenis Burung Yang Bercakar, Yang Dengan Cakarnya Ia Mencengkeram Atau Menyerang Mangsanya.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِى مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring dan semua burung yang mempunyai cakar.” [15]

Yang dimaksud burung yang memiliki cakar di atas adalah yang buas, seperti burung Elang dan Rajawali. Sehingga tidak termasuk sebangsa ayam, burung merpati dan sejenisnya. Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu berkata:
رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَأْكُلُ دَجَاجًا

“Saya melihat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memakan daging ayam.” [16]

6. Semua Binatang Yang Diperintahkan Untuk Dibunuh
Di antara binatang-binatang yang diperintahkan untuk dibunuh adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi r bersabda:

خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

“Lima binatang jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah haram (Mekkah dan Madinah, pent) atau di luarnya: tikus, kalajengking, burung buas, gagak, dan anjing hitam.” [17]

Demikian pula cecak, termasuk binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu’anhu, dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا

“Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh cecak, dan beliau menamakannya Fuwaisiqah (binatang jahat yang kecil).” [18]

Pada riwayat lain Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِي أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِي الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِي الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ

“Barangsiapa membunuh cecak dengan sekali pukulan, ditulis baginya seratus kebajikan, barangsiapa yang membunuhnya pada pukulan yang kedua maka baginya kurang dari itu, dan pada pukulan yang ketiga baginya kurang dari itu.” [19]

Di dalam hadits-hadits yang telah lalu, Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan agar membunuh binatang -binatang tersebut, maka itu sebagai isyarat atas larangan untuk memakannya. Sebab, jika sekiranya binatang itu boleh dimakan, maka akan menjadi mubadzir (sia-sia) kalau sekedar dibunuh, padahal Allah melarang hamba-Nya untuk melakukan hal-hal yang mubadzir, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Isra’ ayat 26-27.

7. Semua Binatang Yang Dilarang Untuk Dibunuh.
Di antara binatang yang dilarang untuk dibunuh adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang membunuh empat jenis binatang, yaitu: semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad (sejenis burung gereja).”[20]

Menurut pendapat sebagian ulama, kodok juga termasuk binatang yang tidak boleh dibunuh. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Utsman radhiyallahu’anhu, ia berkata:
أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا
“Bahwa ada seorang thabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tentang kodok yang dia racik sebagai obat, maka Nabi r melarangnya untuk membunuhnya.” [21]

Di dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang membunuh binatang-binatang itu, berarti dilarang pula memakannya. Sebab, jika binatang itu termasuk yang boleh dimakan, bagaimana cara memakannya kalau dilarang membunuhnya?

8. Keledai jinak (bukan yang liar)

Ini merupakan pendapat Empat Imam madzhab selain Imam Malik dalam sebagian riwayat darinya. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, ia berkata: Bahwa ada seorang pesuruh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang berseru:

إِنَّ الله ورسوله يَنْهَيَاكُمْ عَنْ لُحُوْمِ ِالْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ, فَإِنَّهَا رِجْسٌ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging-daging keledai yang jinak, karena dia adalah najis.” [22]

Adapun keledai liar, maka halal dikonsumsi. Sebagaimana hadits Jabir radhiyallahu’anhu, ia berkata:

أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرٍ اَلْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ ، وَنَهَانَا النبي صلى الله عليه وسلم عَنِ الْحِمَارِ الْأَهْلِيْ

“Saat (perang) Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi r melarang kami dari (memakan) keledai jinak.”[23]

9. Binatang Yang Lahir Dari Perkawinan Dua Jenis Binatang Yang Berbeda, Yang Salah Satunya Halal Dan Yang Lainnya Haram.

Hal ini karena menggolongkannya kepada binatang yang haram lebih baik dan utama daripada menggolongkannya kepada induknya yang halal. Seperti Bighal, yaitu hewan hasil peranakan antara kuda yang halal dimakan dan keledai jinak yang haram dimakan.
Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu berkata:

حَرَّمَ رسول الله صلى الله عليه وسلم – يَعْنِي يَوْمَ خَيْبَرٍ  لُحُوْمَ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ، وَلُحُوْمَ الْبِغَالِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengharamkan -yakni pada saat perang Khaibar- daging keledai jinak dan daging bighal.” [24]

Dan keharaman ini berlaku untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan hewan yang haram dimakan.

10. Anjing
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, karena ia termasuk binatang buas yang bertaring. Di samping itu Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah mengharamkan harga jual-beli anjing dan menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu’anhu, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melarang dari harga (jual-beli) anjing, upah pelacuran dan hasil praktek perdukunan.” [25]

Dan diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:


ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ وَمَهْرُ الْبَغِىِّ خَبِيثٌ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ


“Harga (jual-beli) anjing adalah buruk, upah pelacur adalah buruk, dan pendapatan tunkang bekam adalah buruk.” [26]

Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:


إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ ثَمَنَهُ


“Sesungguhnya jika Allah Ta’ala mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia akan mengharamkan harganya.” [27]

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, ia berkata: “Kami diperintahkan untuk membunuh anjing, kecuali anjing untuk berburu dan anjing untuk menjaga tanaman.”[28]

11. Semua makanan yang bermudharat terhadap kesehatan manusia -apalagi kalau sampai membunuh diri- baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya, rokok, dan yang sejenisnya.
Allah Ta’ala berfirman:


{ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ}


“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Juga Nabi shallallahu’alaihi wasallam  bersabda:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ


“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” [29]

12. Semua yang menjijikkan –baik hewani maupun nabati- diharamkan oleh Allah. Sebagaimana firmanNya:

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ


“Dan dia (Muhammad shallallahu’alaihi wasallam) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf: 157)

Namun kriteria binatang yang buruk dan menjijikkan pada setiap orang dan tempat pasti berbeda. Ada yang menjijikkan bagi seseorang misalnya, tetapi tidak menjijikkan bagi yang lainnya. Maka yang dijadikan standar oleh para ulama’ adalah tabiat dan perasaan orang yang normal dari orang Arab yang tidak terlalu miskin yang membuatnya memakan apa saja. Karena kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan pertama kali dan dengan bahasa merekalah semuanya dijelaskan. Sehingga merekalah yang paling mengetahui mana binatang yang menjijikkan atau tidak. [30]

Kalau binatang itu tidak diketahui oleh orang Arab, karena tidak ada binatang sejenis yang hidup di sana, maka dikiyaskan (dianalogikan) dengan binatang yang paling dekat kemiripannya dengan binatang yang ada di Arab. Jika ia mirip dengan binatang yang haram maka diharamkan, dan sebaliknya. Tetapi jika tidak ada yang mirip dengan binatang tersebut maka dikembalikan kepada urf (tradisi/penilaian) masyarakat setempat. Kalau mayoritas mereka menganggapnya tidak menjijikkan, maka Imam at-Thabari membolehkan untuk dimakan, karena pada asalnya semua binatang boleh dimakan, kecuali kalau itu mengandung mudharat.

Kedua: Haram Lighairihi (makanan yang haram karena faktor eksternal). Maksudnya hukum asal makanan itu sendiri adalah halal, akan tetapi dia berubah menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri atau dibeli dengan uang hasil korupsi, transaksi riba, upah pelacuran, sesajen perdukunan, dan lain sebagainya.

  1. Binatang Disembelih Untuk Sesaji
    Hewan ternak yang disembelih untuk sesaji atau dipersembahkan kepada makhluk halus, misalnya kerbau, yang disembelih untuk ditanam kepalanya sebagai sesaji kepada dewa tanah agar melindungi jembatan atau gedung yang akan dibangun, hewan ternak yang disembelih untuk persembahan Nyai Roro Kidul dan sebagainya adalah haram dimakan dagingnya, karena itu merupakan perbuatan syirik besar yang membatalkan keislaman, sekalipun ketika disembelih dibacakan basmalah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala….” (QS. Al-Ma’idah: 3)

  1. Binatang Yang Disembelih Tanpa Membaca Basmalah
    Hewan ternak yang disembelih tanpa membaca basmalah adalah haram dimakan dagingnya kecuali jika lupa. Allah Ta’ala berfirman: Al An’am, 6:121.



وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ


“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)

3. Bangkai
Yaitu semua binatang yang mati tanpa penyembelihan yang syar’i dan juga bukan hasil perburuan. Allah Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.” (QS. Al-Ma`idah: 3)

Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat di atas:

1. Al-Munhaniqoh, yaitu binatang yang mati karena tercekik.
2. Al-Mauqudzah, yaitu binatang yang mati karena terkena pukulan keras.
3. Al-Mutaroddiyah, yaitu binatang yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
4. An-Nathihah, yaitu binatang yang mati karena ditanduk oleh binatang lainnya.
5. Binatang yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
6. Semua binatang yang mati tanpa penyembelihan, seperti disetrum.
7. Semua binatang yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
8. Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah.
9. Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu’anhu secara marfu’:

مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ، فَهُوَ مَيْتَةٌ


“Apa saja yang terpotong dari binatang dalam keadaan binatang itu masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai.”[31]

Diperkecualikan darinya 3 bangkai, ketiga bangkai ini halal dimakan:

1. Ikan, karena dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok.
2. Belalang. Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limpa.” [32]

  1. Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:



ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ


“Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya.” [33]

Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang.

  1. Makanan Halal Yang Diperoleh Dengan Cara Haram
    Pada dasarnya semua makanan (nabati dan hewani) yang ada di muka bumi ini halal dikonsumsi sepanjang tidak berbahaya bagi fisik dan psikis manusia. Akan tetapi akan dapat berubah menjadi haram, jika diperoleh dengan cara yang diharamkan Allah Ta’ala. Misalnya, makanan hasil curian, atau dibeli dari uang hasil korupsi, manipulasi, riba (rentenir), perjudian, pelacuran, dan sebagainya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:



وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ


“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

5. Jallalah
Yaitu binatang yang sebagian besar makanannya adalah feses (kotoran manusia atau hewan lain atau najis), baik berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung, seperti: garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan selainnya.
Hukumnya adalah haram, walaupun pada awalnya ia adalah binatang yang halal dimakan, tetapi menjadi tidak boleh dimakan apabila binatang tersebut tidak mau makan atau lebih banyak memakan sesuatu yang kotor. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin umar radhiyallahu’anhuma, ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا


“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melarang memakan Jallalah dan meminum susunya.” [34]

Dalam riwayat lain, Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْجَلاَّلَةِ فِى الإِبِلِ أَنْ يُرْكَبَ عَلَيْهَا أَوْ يُشْرَبَ مِنْ أَلْبَانِهَا

“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melarang memakan Jallalah dari onta, menunggangnya, dan meminum susunya.” [35]

Agar Jallalah tersebut menjadi halal diharuskan untuk dikurung minimal tiga hari, dan diberi makanan yang bersih atau suci, sebagaimana yang dicontohkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa ia pernah mengurung ayam yang suka makan feses (kotoran atau najis) selama tiga hari. [36]
Hanya saja para ulama berselisih pendapat mengenai berapa lamanya jallalah itu dibiarkan atau dikurung agar binatang tersebut menjadi normal kembali, yaitu memakan makanan bersih yang biasa ia makan? Menurut pendapat yang benar adalah dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. [37]

6. Semua Makanan Halal Yang Tercampur Najis
Contohnya seperti mentega, madu, susu, minyak goreng atau selainnya yang kejatuhan tikus atau cecak. Hukumnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Maimunah -radhiallahu ‘anha- bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam ditanya tentang minyak samin (lemak) yang kejatuhan tikus, maka beliau bersabda:

أَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوهُ . وَكُلُوا سَمْنَكُمْ


“Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya lalu makanlah (sisa) lemak kalian.”[38]

Jadi jika yang kejatuhan najis adalah makanan padat, maka cara membersihkannya adalah dengan membuang najisnya dan makanan yang ada di sekitarnya, adapun sisanya boleh untuk dimakan. Akan tetapi jika yang kejatuhan najis adalah makanan yang berupa cairan, maka hukumnya dirinci; jika najis ini merubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, rasa, dan warna), maka makanannya dihukumi najis sehingga tidak boleh dikonsumsi, demikian pula sebaliknya.

 

  1. 2.      JADIKANLAH AKTIVITAS MAKAN DAN MINUM UNTUK MENGUATKAN IBADAH KEPADA ALLAH TA’ALA


Diantara bentuk kemurahan Allah Ta’ala kepada manusia dalam hal makan dan minum, disamping kedua hal tersebut perkara yang dicintai oleh manusia, kedua hal tersebut juga bisa menjadi sarana penunjang ibadah yang menyebabkan seseorang mendapatkan pahala dengannya. Sebagaimana juga Allah memberikan pahala pada suatu ibadah seperti shalat dan ibadah-ibadah yang lain. Namun makan dan minum tidaklah  bernilai ibadah kecuali dengan dua syarat:

(A)    Benar dalam Niatnya

Maksudnya adalah seorang tatkala sedang melakukan aktivitas makan dan minum maka dia meniatkan keduanya untuk memperkuat diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah seperti jihad, shalat, dan berbagai macam ibadah yang lainnya. Hal ini berdasarkan keumuman dari sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ


“Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (balasan) dari apa yang diniatkannya.”[39]

(B)    Berusaha Untuk Meneladani Sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam Dalam Makan dan Minum.

Hal diatas akan terwujud dengan menerapkan adab-adabnya sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan didalam nash-nash dalil. Diantaranya terdapat di dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا


“Sesungguhnya Allah ridho’ kepada seseorang manakala ia selesai dari makannya mengucapkan hamdalah (pujian) kepada Allah, dan setelah meminum minuman ia memuji Allah Ta’ala.”[40]

  1. 3.      TIDAK MAKAN KETIKA PERUT MASIH KENYANG


Jangan makan ketika perut kenyang. Ini adalah pola makan yang salah dan termasuk perbuatan yang berlebihan. Bahkan dapat merusak pencernaan dan dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Disamping itu bisa membuat perut semakin bertambah besar. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلاتٍ يُقِمْنِ صُلْبَهُ ، فَإِنْ كَانَ لاْ مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعامِهِ ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ


“Tidak ada kantung yang lebih buruk diisi oleh bani Adam selain perutnya sendiri, cukuplah baginya beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika terpaksa maka sepertiga untuk makanan, sepertiga  untuk minuman dan sepertiga untuk bernapas.”[41]

Berkata Fudhail bin ‘Iyadh, “Ada dua perkara yang dapat mematikan hati. Pertama, banyak tidur. Kedua, banyak makan.”[42]

Farqaq As-Sabkhi berkata, “Malang banar nasib siperut besar, jika tidak diisi ia menjadi lemah, dan jika dibuat kenyang ia menjadi berat (susah bergerak).”[43]

Imam Asy Syafi’i berkata,

ما شبعت منذ ست عشرة سنة إلا مرة، فأدخلت يدي فتقيأتها


“Aku tidaklah pernah kenyang selama 16 tahun kecuali sekali. Ketika kenyang seperti itu aku memasukkan tanganku (dalam mulut) agar aku bisa memuntahkan (makanan di dalam).”[44]

Ibnu Abi Hatim dari Ar Robi’ menambahkan (perkataan Imam Syafi’i),

لأن الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم، ويضعف عن العبادة


“Karena yang namanya kenyang membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, kecerdasan berkurang, lebih banyak tidur dan malas ibadah.” [45]

Disana terdapat hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut yang bunyi lafadznya,

نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع


Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.“

Berkata Asy-Syaikh Al-Albani tentang hadits tersebut, bahwa hadits “Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang“ adalah  ‘laa ashla lahu’ (tidak ada asalnya). Istilah ‘laa ashla lahu’ dalam mustholah hadits ada dua makna: (1) tidak ada sanadnya, (2) memiliki sanad tetapi tidak shahih.[46]

 

  1. 4.      LARANGAN UNTUK BERLEBIH-LEBIHAN (ISRAF DAN MUBADZIR)


Syahwat perut adalah faktor utama dari kebinasaan, munculnya berbagai macam penyakit baik penyakit hati ataupun badan, kemudian menjalar kepada syahwat farji (kemaluan). Sehingga kemudian muncullah ketamakan dalam diri seseorang untuk mewujudkan dua ketamakan tersebut, yaitu syahwat perut dan kemaluan. Dari kedua penyakit itu pula akan muncul berbagai macam penyakit yang lain diantaranya: hasad, saling membenci, dan bersaing dalam urusan duniawinya. Oleh karena itu orang-orang arab dahulu pernah berkata:

اْلمِعْدَةُ بَيْتُ الدَّاءِ ، وَالحِمْيَةُ رَأْسُ الدَّوَاءِ


Perut adalah sumber penyakit, Sedangkan mengosongkannya (tidak banyak makan) adalah sumber obatnya.

Oleh karena itu Allah berfirman,

( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ )


“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)

وعَنْ نَافِعٍ قَالَ : كَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يَأْكُلُ حَتَّى يُؤْتَى بِمِسْكِينٍ يَأْكُلُ مَعَهُ ، فَأَدْخَلْتُ رَجُلًا يَأْكُلُ مَعَهُ ، فَأَكَلَ كَثِيرًا ، فَقَالَ : يَا نَافِعُ ! لاَ تُدْخِلْ هَذَا عَلَيَّ ، سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاء.


Dari Nafi’ ia berkata: ‘Ibnu Umar tidak akan makan sampai didatangkan kepadanya seorang miskin yang makan bersamanya, maka akupun memasukkan seorang untuk makan bersamanya kemudian orang ini makan dengan porsi yang banyak’, maka Ibnu Umar berkata, ‘Wahai Nafi’! jangan engkau ikut sertakan orang ini untuk makan bersamaku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,  “Seorang mu’min makan dengan satu lambung sedang orang kafir makan dengan tujuh lambung.”[47]

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلاتٍ يُقِمْنِ صُلْبَهُ ، فَإِنْ كَانَ لاْ مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعامِهِ ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ


“Tidak ada kantung yang lebih buruk diisi oleh bani Adam selain perutnya sendiri, cukuplah baginya beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika terpaksa maka sepertiga untuk makanan, sepertiga  untuk minuman dan sepertiga untuk bernapas.”[48]

Berkata imam Ibnul Qayyim rahimahullah, “Merupakan tauladan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan siroh beliau dalam makan, bahwasanya beliau tidak menolak makanan yang ada, tidak membebani untuk makanan yang tidak ada. Tidaklah ada makanan yang didekatkan kepada beliau melainkan beliau akan memakannya, kecuali karena beliau tidak menginginkannya maka beliau meninggalkannya bukan karena itu diharamkan. Beliau tidak pernah mencela makanan pun, jika beliau menginginkannya maka beliau memakannya, namun apabila beliau tidak menginginkannya beliau tidak memakannya, sebagaimana tatkala beliau tidak mau makan dhob karena beliau tidak terbiasa untuk memakannya namun beliau tidak mengharamkan hal tersebut kepada umatnya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam senang untuk makan manisan dan madu, senang memakan daging unta, kambing, ayam, daging burung-burung tertentu, daging keledai liar, kelinci, makanan laut, makanan yang dipanggang, dan juga memakan ruthob (kurma basah) dan tamr (kurma kering...beliau tidaklah menolak wangi-wangian, tidak suka membebani diri, bahkan beliau memakan makanan yang mudah baginya, jika hal tersebut menyulitkan maka beliau bersabar sampai-sampai beliau pernah mengikatkan batu di perutnya untuk menahan rasa lapar. Pernah berlalu bulan demi bulan namun di rumah beliau tidak pernah terlihat kompor yang menyala.” [49]

Para ulama menyatakan bahwa sederhana dalam makanan memiliki beberapa faedah antaralain:

1)      Bersihnya hati, menghilangkan berbagai macam penyakit, dan menajamkan pengetahuan. Adapun terlalu kenyang akan menyebabkan kebodohan, membutakan hati. Hal itu sebagaimana perkataan seorang yang bijak:

مَن أجاعَ بطنَه عظُمت فكرتُه وفَطُن قلبُه


Barang siapa yang mengosongkan perutnya maka akan menjadi tajam pemikirannya dan cerdas hatinya.

2)      Memiliki sifat merendah hati dan menjadi hilang kesombongan dan kecongkakan, yang mana kedua hal tersebut adalah poros dari perbuatan melampaui batas terhadap Allah Ta’ala.

3)      Akan membuat seseorang tidak lupa terhadap musibah dan siksaan Allah, tidak melupakan seorang yang terkena musibah. Karena sesungguhnya rasa kenyang akan melupakan seorang yang sedang kelaparan dan melupakan rasa lapar. Sedangkan seorang yang cerdas adalah seorang yang tatkala melihat musibah yang ada pada orang lain, maka ia akan ingat terhadap musibah akhirat.

4)      Menghilangkan seluruh gejolak syahwat yang mengarah kepada perbuatan maksiat dan sebagai penakluk dari hawa nafsu yang selalu memerintahkan kepada kejelekan. Karena sejatinya sumber dari berbagai macam maksiat adalah syahwat, sedangkan munculnya syahwat berasal dari makanan. Oleh karena itu berkata Dzun Nun,

ما شبعتُ قطُّ إلا عصيتُ أو هممتُ بمعصية


“Tidaklah aku merasakan suatu kekenyangan kecuali aku akan berbuat maksiat atau (minimal) terbetik dalam diriku untuk berbuat maksiat.”

  1. Mencegah tidur yang berkepanjangan dan mengalihkannya untuk melakukan ibadah di malam hari. Karena sejatinya seorang yang terlalu kenyang akan banyak minum, barang siapa yang banyak minumnya maka akan banyak tidurnya, sedangkan terlalu banyak tidur adalah bentuk menyia-nyiakan umur. Serta hal tersebut akan menyebabkan seseorang tidak mampu melakukan shalat tahajjud, serta akan meyebabkan kerasnya hati.


 

  1. Akan menyebabkan badan menjadi sehat dan bebas penyakit. Karena sumber dari penyakit adalah banyaknya sumber makanan yang bercampur di dalam alat pencernaan. Oleh karena itu para pakar kesehatan menyatakan:


البِطْنةُ أصلُ الداء ، والحِميةُ أصلُ الدواء

 

“Mengisi perut (terlalu berlebihan) adalah pokok dari segala penyakit, sedangkan mengosongkannya adalah sumber obatnya.” [50]

 

  1. 5.      LARANGAN UNTUK MENCELA MAKANAN


Disebutkan didalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :

مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ


“ Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela makanan sekalipun juga. Apabila beliau menghendaki suatu makanan maka beliau akan memakannya dan apabila beliau tidak menyukainya maka beliau meninggalkannya.” [51]

Berkata imam An-Nawawi rahimahullah, “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak diperkenankan mencela makanan, yang mana hal tersebut adalah merupakan bagian dari adab dalam makan. Ucapan yang termasuk mencela makanan, diantaranya: makanan ini terlalu asin; asam; hambar; terlalu matang; atau yang semisalnya.[52]

Dan sebab larangan itu, dikarenakan makanan adalah ciptaan Allah yang tidak boleh dicela. Dan ada alasan lainnya yaitu bahwa mencela makanan akan menyakiti perasaan pembuat makanan hingga dia bersedih dan tersinggung, dikarenakan dialah yang mempersiapkan dan menyajikannya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup pintu ini agar jangan rasa sedih mendapati pintu untuk masuk kedalam hati seorang muslim Dan Syariat Islam selalu datang dengan hal serupa ini.

As-Syaikh Muhammad Sholeh al-Utsaimin mengatakan, “Tha’am (yang sering diartikan dengan makanan) adalah segala sesuatu yang dinikmati rasanya, baik berupa makanan ataupun minuman. Sepantasnya jika kita diberi suguhan berupa makanan, hendaknya kita menyadari betapa besar nikmat yang telah Allah berikan dengan mempermudah kita untuk mendapatkannya, bersyukur kepada Allah karena mendapatkan nikmat tersebut dan tidak mencelanya. Jika makanan tersebut enak dan terasa menggiurkan, maka hendaklah kita makan. Namun jika tidak demikian, maka tidak perlu kita makan dan kita tidak perlu mencelanya. Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah. Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukainya, maka beliau memakannya. Jika beliau tidak menyukainya, maka beliau meninggalkannya dan tidak mencela makanan tersebut. Misalnya ada orang yang diberi kurma dan kurma yang disuguhkan adalah kurma yang jelek, orang tersebut tidak boleh mengatakan kurma ini jelek. Bahkan kita katakan pada orang tersebut jika engkau suka silakan dimakan dan jika tidak suka, maka janganlah dimakan. Adapun mencela makanan yang merupakan nikmat Allah kepada kita dan hal yang Allah mudahkan untuk kita dapatkan, maka hal ini adalah hal yang tidak sepantasnya dilakukan. Begitu juga jika ada orang yang membuat satu jenis makanan kemudian disuguhkan kepada kita. Namun ternyata makanan tersebut tidak kita sukai, maka kita tidak boleh mencelanya. Jika masakan ini kau sukai silakan dimakan, dan jika tidak, maka biarkan saja.” [53]

Mencela makanan tidak diperbolehkan, bahkan kita dianjurkan untuk memuji makanan. Dalam Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi mengatakan, “Bab tidak boleh mencela makanan dan anjuran untuk memujinya.”

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta lauk kepada salah seorang istrinya, lalu sang istri mengatakan, “Kami tidaklah punya lauk kecuali cuka.” Nabi lantas minta diambilkan cuka tersebut. Nabi mengatakan sambil memulai menyantap dengan lauk cuka,

نِعْمَ الْإِدَامُ الْخَلُّ


“Sebaik-baik lauk adalah cuka, sebaik-baik lauk adalah cuka.” [54]

Syekh Muhammad al-Utsaimin mengatakan, “Khol (cuka) adalah sejenis cairan. Jika kurma dimasukkan ke dalamnya, cairan tersebut akan terasa manis sehingga bisa diminum. Perkataan Nabi dalam hadits di atas merupakan sanjungan terhadap makanan, meskipun sebenarnya cuka adalah minuman. Akan tetapi minuman boleh disebut tha’am (makanan) mengingat firman Allah dalam surat al-Baqarah: 249.

Minuman disebut Tha’am karena dia mengandung rasa yang dalam bahasa Arab disebut tha’mun. Hadits di atas menunjukkan bahwa di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika, kita menyukai suatu makanan, hendaklah kita memujinya. Misalnya memuji roti dengan mengatakan, “Roti yang paling enak adalah buatan Fulan.” Atau ucapan pujian semacam itu. Hal ini adalah di antara sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [55]

 

  • Apakah hadits ini bertentangan dengan keengganan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dhabb – kadal gurun -[56]. Dan apakah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dhabb yakni : “ Saya merasa kasihan kepadanya ‘ dan dalam riwayat lainnya : “ Daging serupa ini saya tidak makan sama sekali “, tergolong mencela makanan ?


Jawab : Bahwa tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut. Dan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dhabb tidak tergolong mencela makanan. Melainkan pemberitahuan sebab mengapa beliau tidak memakannya. Yaitu bahwa beliau tidak menyukai makan jenis ini dan bukan kebiasaan beliau memakannya. An-Nawawi mengatakan : “ Adapun hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan memakan dhabb bukan termasuk dalam kategori mencela makanan, melainkan merupakan pemberitahuan bahwa ini adalah makan yang spesifik yang beliau tidak menyukainya.[57]

 
 








[1]  HR. Muslim: no. 57.




[2]  Zadul Ma’ad: 4/213-215.




[3]  Pembahasan ini banyak mengambil dari kitab Zadul Ma’ad 4/215 dan kitab Adabul Ghida’ Fil Islam: hal. 13-14 karya Asy-Syaikh Sa’ad Al-Humaid hafidzahullah.




[4]  HR. Bukhari: no. 6412




[5]  Hadits shahih dikeluarkan oleh At-Tirmidzi: no. 3358 dan Ibnu Hibban didalam shahihnya no. 7364.




[6]  HR. Ahmad didalam kitab Musnadnya: 1/3,5 dan Ibnu Majah didalam kitab Sunannya: no. 3849.




[7]  As-Syarhul Mumti’: 15/9.




[8]  Taisir Al-Karimur Rahman: hal. 63.




[9]  HR. Muslim: no. 1015.




[10]  Ahkam al-Ath’imah, karya Ath-Thuraiqi, hal: 307-314.




[11]  HR. Muslim: no. 2003.




[12]  HR. Muslim: no. 1933.




[13]  HR. Bukhari: no.5210, dan Muslim: no.1932.




[14]  I’lamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qayyim: 2/117.




[15]  HR. Muslim: no. 1934.




[16]  HR. Bukhari: no. 5198.




[17]  HR.Bukhari: No.3136, dan Muslim: no.1198.




[18]  HR. Muslim: no. 2238.




[19]  HR. Muslim: no. 2240.




[20]  HR. Abu Dawud no.5267. Dan Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya.




[21]  HR. Abu Daud : no.3871 dan no.5269. dan Syaikh Al-Albani men-Shahih-kannya.




[22] HR. Bukhari: no.5208, dan Muslim: no.1940.




[23]  HR. Muslim: no.1941, dan Imam Ahmad: no.14490.




[24]  HR. Ahmad: no.14503, dan At-Tirmidzi: no.1478.




[25]  HR. Bukhari: no.2122, dan Muslim: no.1567.




[26] HR. Muslim: no.1568, dan Ahmad: no.17309.

 




[27]  HR. Ahmad: no. 2678.




[28]  HR. Muslim: no. 1571.




[29]  HR. Ahmad I/313 no.2867, dan Ibnu Majah no.2431.




[30]  lihat penjelasan syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 11/26, dan seterusnya.




[31]  HR. Ahmad: no.21953, Abu Daud: no.2858, At-Tirmidzi: no.1480, dan ia men-shahih-kannya




[32]  HR. Ahmad: no. 5723, Ibnu Majah: no.3314. dan di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani.




[33]  HR. Ahmad: no.11361, Abu Daud: no.2828, At-Tirmidzi: no.1476, dan Ibnu Majah: no.3199.




[34]  HR. Abu Dawud: No. 3785, dan di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani.




[35]  HR. Abu Dawud: no. 3787.




[36]  Hadits Shahih riwayat Ibnu Abi Syaibah. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, karya Syaikh Al-Albani No.2504.




[37]  Al-Majmu’: 11/28.




[38]   HR. Bukhari: no.233, 234.




[39]  HR. Bukhari: no.1 dan Muslim: no. 155.




[40]  HR. Muslim: no. 89.




[41]  HR. Ahmad: 2/132, At-Tirmidzi: no. 2380, Ibnu Majah: no. 3349 Al-Hakim: 4/331. Lihat Shahihul Jami’ karya Syaikh Al-Albani: no. 5674.




[42]  Syu’abul Iman: no. 5705, karya Al-Baihaqi.




[43]  Hilyatul Auliya: 3/45. Lihat Panduan Amal Sehari Semalam: hal. 221.




[44]  As-Siyar: 10/36.




[45]  Ibid.





[47]  HR. Bukhari: no. 5393 dan 5394 dan Muslim: no. 2060. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma.




[48]  HR. Ahmad: 2/132, At-Tirmidzi: no. 2380, Ibnu Majah: no. 3349 Al-Hakim: 4/331. Lihat Shahihul Jami’ karya Syaikh Al-Albani: no. 5674.




[49]  Zadul Ma’ad: 1/147.




[50]  Diringkas dari kitab Ihya’ Ulumuddin: 3/104-109.




[51]  HR. Al-Bukhari: no. 5409  , Muslim: no. 2064 , Ahmad: no. 9882 , At-Tirmidzi: no. 2031 , Abu Daud: no. 3763 , Ibnu Majah: no. 3259  dan Al-Baghawi didalam Syarh As-Sunnah: no. 2843




[52]  Syarah Shahih Muslim: 7/275.




[53]  As-Syarhul Mumti’: 7/209-210.




[54]  HR. Muslim: no. 2052.




[55]  Syarah Riyadhus Shalihin: 6/210-211




[56] HR. Al-Bukhari : no. 5537 , Muslim:  1946 , Ahmad:  6678 , An-Nasa`I:   4316 , Abu Daud: no. 3794 , Ibnu Majah: no. 3241  , Malik: no. 1805  dan Ad-Darimi: no. 2087.




[57]  Syarh Muslim jilid 7( 14 / 22 ).


Rabu, 28 November 2012

Lanjutan...

3. Budak yang lari dari majikannya sampai dia kembali lagi

Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
....ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى يَرْجِع

“Tiga golongan manusia yang shalatnya tidak sampai telinga mereka, yakni: budak yang kabur sampai dia kembali …

Apa maksud “shalatnya tidak sampai telinga mereka” ? Berkata Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah:
وهو كناية عن عدم القبول

Itu adalah kiasan dari tidak diterimanya shalat. (Mir’ah Al Mafatih, 4/55)

4. Istri yang tidur sementara suami marah kepadanya

Lanjutan hadits di atas:
....وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِط

Isteri yang tidur sementara suaminya marah kepadanya

Bahkan ini merupakan dosa besar. Syaikh Waliyuddin At Tibrizi, mengutip dari Imam Asy Syaukani Rahimahullah, katanya:


إن اغضاب المرأة لزوجها حتى يبيت ساخطاً عليها من الكبائر. وهذا إذا كان غضبها عليها بحق


Sesungguhnya wanita yang membuat marah suaminya sampai dia tertidur masih marah kepadanya, ini adalah termasuk dosa besar. Ini jika marahnya disebabkan alasan yang haq (benar). (Misykah Al Mashabih, 4/109)

Marah kenapa? Yaitu marah disebabkan alasan yang syar’i, marah karena buruknya perangai istri, tidak mentaati Allah, tidak mentaati suaminya dalam kebaikan, dan semisalnya. Sedangkan marahnya suami dengan sebab yang tidak benar, misalnya istri menolak ajakan keburukan suami lalu suami marah kepadanya, maka ini bukan termasuk yang dimaksud hadits di atas. Justru wajib menolak ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Allah Ta’ala.

Imam Ali Al Qari Rahimahullah mengatakan:


هذا إذا كان السخط لسوء خلقها أو سوء أدبها أو قلة طاعتها. أما إن كان سخط زوجها من غير جرم فلا إثم عليها

Marahnya ini jika disebabkan buruknya akhlak istri, atau jeleknya adab, atau sedikit ketaatannya. Ada pun jika kemarahan suaminya itu bukan karena kejelekan ini maka tidak ada dosa bagi si istri. (Misykah Al Mashabih, 4/109)

5. Pemimpin yang dibenci kaumnya

Lanjutan hadits di atas:
وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ


dan pemimpin sebuah kaum yang kaum itu membencinya (HR. At Tirmidzi No. 360, dan At Tirmidzi berkata: hasan gharib. Syaikh Al Albani menghasankan dalam beberapa kitabnya, Misykah Al Mashabih No. 1122. Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/117/487, Shahihul Jami’ No. 3057)

Yaitu kebencian yang disebabkan bukan urusan dunia antara pemimpin dengan kaumnya itu, tetapi urusan agama. Baik karena pemimpin itu fasik, suka bermaksiat, koruptor, ahli bid’ah, dan sebagainya.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:
لأمر مذموم في الشرع وإن كرهوا لخلاف ذلك فلا كراهة قال بن الملك كارهون لبدعته أو فسقه أو جهله أما إذا كان بينه وبينهم كراهة عداوة بسبب أمر دنيوي فلا يكون له هذا الحكم

Yaitu disebabkan urusan tercela dalam pandangan syariat. Jika kaumnya membencinya pada masalah yang diperselisihkan maka tidak dibenci (kepemimpinannya itu). Ibnu Al Malik berkata: mereka membencinya karena kebid’ahannya, atau kefasikannya, atau kebodohannya. Ada pun jika antara dirinya dan kaumnya ada kebencian yang disebabkan urusan duniawi, maka dia tidak terkena hukum ini. (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/288)

Misal seseorang berkata: “Saya tidak menyukai dia menjadi imam bagi saya karena dia sudah dua bulan belum bayar kontrakan rumah kepada saya ..,” maka ini alasan kebencian yang tidak syar’i. Tetapi jika seseorang berkata: “Saya tidak menyukai dia menjadi imam bagi saya karena dia laki-laki pemabuk dan penjudi ..”, maka ini kebencian yang syar’i.

Hadits ini menunjukkan, menurut para ulama, dimakruhkannya seorang menjadi imam dalam keadaan dia dibenci oleh kaumnya. Tetapi jika pemimpin tersebut bukan orang zhalim, maka kaumnyalah yang berdosa. Sementara Ahmad dan Ishaq mengatakan seandainya yang membenci pemimpin tersebut hanya satu, dua, atau tiga orang maka tidak mengapa pemimpin tersebut shalat bersama mereka, kecuali jika yang membenci lebih banyak. (Sunan At Tirmidzi No. 360)

6. Orang yang memutuskan silaturrahim

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ

“Ada tiga manusia yang Shalat mereka tidaklah naik melebihi kepala mereka walau sejengkal: yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya, dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan silaturahim.” (HR. Ibnu Majah No. 971, Imam Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi mengatakan sanadnya shahih dan semua rijalnya tsiqat (kredibel). Lihat Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibni Majah, 2/338. Syaikh Al Albani mengatakan hasan. Lihat Misykah Al Mashabih, 1/249/1128. Imam Al ‘Iraqi juga mengatakan hasan. Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 2/289. Syaikh Ala’uddin bin Qalij bin Abdillah Al Hanafi mengatakan sanad hadits ini laa ba’sa bihi (tidak apa-apa). Abu Hatim berkata: Aku belum melihat ada orang yang mengingkarinya. Dalam sanadnya terdapat ‘Ubaidah, berkata Ibnu Namir: dia tidak apa-apa. Ad Daruquthni berkata: baik-baik saja mengambil ‘ibrah darinya. Abu Hatim mengatakan: menurutku haditsnya tidak apa-apa. Sanadnya juga terdapat Al Qasim. Menurut Al ‘Ijili dan lainnya dia tsiqah (kredibel), Lihat dalam Syarh Sunan Ibni Majah No. 172, karya Syaikh Ala’uddin Al Hanafi. Al Maktabah Al Misykat)

Imam Al Munawi Rahimahullah memberikan penjelasan:
 وأخوان ) من نسب أو دين ( متصارمان ) أي متهاجران متقاطعان في غير ذات الله تعالى

(Akhwaani - dua orang bersaudara) baik dari saudara karena nasab atau agama (mutashaarimaani) yaitu saling memboikot (hajr) dan memutuskan hubungan bukan karena Allah Ta’ala. (At Taisir bisy Syarhil Jaami’ Ash Shaghiir, 1/969)

Hal ini adalah jika terjadi karena urusan dunia, seperti merebutkan warisan, persaingan bisnis, dan semisalnya, yang membuat mereka memutuskan silaturrahim.

Namun, jika memutuskan hubungan karena faktor kepentingan agama, seperti memutuskan hubungan terhadap ahli bid’ah dan ahli maksiat, dalam rangka memberikan pelajaran kepada mereka, maka ini tidak apa-apa. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat pernah memboikot tiga sahabat nabi yang tidak ikut perang tabuk, yaitu Ka‘ab bin Malik, Murarah bin Ar Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah. Para sahabat mendiamkannya, tidak menegurnya, tidak mengajaknya bercakap-cakap, bahkan tidak menjawab salamnya. Ini berlangsung sampai lima puluh hari lamanya. Hingga akhirnya mereka bertaubat dan Allah Ta’ala menerima taubat mereka dengan turunnya ayat:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka nyaris berpaling (tergelincir), namun kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesunguhnya Allah Mahaya Penyayang terhadap mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya) sehingga bumi yang luas ini mereka rasakan amat sempit, dan jiwa mereka pun dirasa sempit oleh mereka, kemudian mereka menyadari bahwa tidak ada temapt lari dari (siksaan) Allah selain kepada-Nya, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hari orang-orang yang beriman, tetapi bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang selalu benar“.(QS At-Taubah(9):117-119).

Demikian. Was Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shabihi ajmain

Sabtu, 24 November 2012



Berikut ini adalah deretan manusia yang shalat mereka sia-sia alias tidak diterima oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala. Sia-sianya shalat mereka bukanlah faktor intrinsik seperti salahnya atau mereka meninggalkan syarat dan rukun shalat. Tetapi faktor ekstrinsik yakni perbuatan mereka di luar shalat, yaitu perbuatan yang melanggar aturan Allah dan RasulNya.

Di sini kita tidak membicarakan amal seorang muslim yang menjadi kafir, murtad, dan musyrik, karena untuk mereka semua amalnya sia-sia, bukan hanya shalat. Begitu pula orang yang tidak ikhlas dalam beramal, tentu yang sia-sia adalah amal yang dia lakukan secara tidak ikhlas itu, tidak terbatas pada shalat. Ada pun di sini, kita hanya membatasi siapa saja dan sebab apa saja yang membuat shalat seorang muslim menjadi sia-sia. Tentunya dalam hal ini kita hanya menggunakan dasar dan rujukan yang bisa dipercaya.

1. Orang yang mendatangi dukun dan mempercayainya

Mereka adalah orang yang mendatangi peramal, paranormal, “orang pintar”, cenayang, atau apa pun istilahnya. Mereka mendatangi dalam berbagai kepentingan; seperti meramal nasib, meminta perlindungan, pengobatan, pesugihan, jodoh, supaya bisnis dan karir lancar, pelet (teluh), sihir, dan sebagainya. Di antara dukun-dukun ini ada yang mengelabui pasiennya dengan menambahkan dan membungkus amal sihir mereka dengan berbagai ayat dan dzikir agar terkesan apa yang dilakukannya adalah benar. Padahal itu hanya bagian dari jenis talbisul iblis (perangkap syetan) kepada manusia. Justru ini lebih bahaya dibanding dukun yang tidak memakai ayat-ayat dan dzikir, sebab dengannya banyak orang awam tertipu olehnya. Sayangnya mereka merasa berjalan di atas kebenaran!

Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi: 103-104)

Dari Shafiyah Radhiallahu ‘Anha, dari sebagian istri nabi, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

Barang siapa yang mendatangi peramal, lalu dia menanyainya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam. (HR. Muslim No. 2230, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 16287, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 12/182)

Menurut Imam An Nawawi maksud shalatnya tidak diterima adalah shalatnya tidak mengandung pahala. Begitulah yang dikatakan mayoritas Syafi’iyah. Para ulama sepakat bahwa orang tersebut tidak wajib mengulangi shalatnya yang empat puluh malam tersebut, tetapi wajib baginya taubat. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/227)

2. Para peminum khamr

Golongan selanjutnya adalah para peminum khamr (minuman keras). Baik dia meminumnya hingga mabuk atau tidak, baik meminumnya sedikit atau banyak. Semua keadaan ini, baik yang mabuk atau tidak, diterangkan secara tegas bahwa keadaan mereka sama saja.

Ada beberapa riwayat yang menerangkan hal itu dari beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di antaranya sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةُ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَإِنْ عَادَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةُ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَإِنْ عَادَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةُ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، فَإِنْ عَادَ الرَّابِعَةَ ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، فَإِنْ تَابَ ، لَمْ يَتُبِ اللَّهُ عَلَيْهِ ، وَكَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ ، قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ ؟ قَالَ : صَدِيدُ أَهْلِ النَّارِ

Barang siapa yang meminum khamr maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu jika dia bertaubat maka Allah terima taubatnya, lalu jika dia kembali minum maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu jika dia taubat maka Allah terima taubatnya, lalu jika dia kembali minum maka shalatnya tidak diterima empat puluh malam, lalu jika dia taubat maka Allah terima taubatnya, jika keempat kalinya dia minum lagi, maka tidak akan diterima shalatnya empat puluh malam, dan jika dia bertaubat tidak akan diterima taubatnya oleh Allah. Dan, Allah akan meminumkan dia dengan Thinatul Khabaal. Mereka bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman (Ibnu Umar), apakah Thinatul Khabaal?” Beliau menjawab: “Nanah yang bercampur darah dari penduduk neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 1785, katanya: hasan, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 11/357-358. Katanya: hasan)

Ada pun dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ فَشَرِبَ فَسَكِرَ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا فَإِنْ مَاتَ دَخَلَ النَّارَ فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَإِنْ عَادَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ رَدَغَةِ الْخَبَالِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا رَدَغَةُ الْخَبَالِ قَالَ عُصَارَةُ أَهْلِ النَّارِ

Barang siapa yang meminum khamr dan dia mabuk, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, dia minum dan mabuk lagi, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, dia minum dan mabuk lagi, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh pagi, jika dia mati maka akan masuk neraka, jika dia bertaubat akan Allah terima taubatnya. Jika dia kembali mengulanginya, maka Allah akan menuanginya dengan Radaghatul Khabaal pada hari kiamat nanti. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah apa itu Radaghatul Khabaal? Beliau bersabda: air keringat penduduk neraka. (HR. Ibnu Majah No. 3377, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 13206, 13227. Al Bazzar No. 2429, dengan lafaz: “empat puluh malam,” dan ‘Ainul Khabaal atau Nahrul Khabaal. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam beberapa kitabnya seperti Ash Shahihah No. 709, Ta’liq ‘Ala Ibni Khuzaimah No. 939, dll)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ مُخَمِّرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ مُسْكِرًا بُخِسَتْ صَلَاتُهُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا فَإِنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَإِنْ عَادَ الرَّابِعَةَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ قِيلَ وَمَا طِينَةُ الْخَبَالِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ صَدِيدُ أَهْلِ النَّارِ وَمَنْ سَقَاهُ صَغِيرًا لَا يَعْرِفُ حَلَالَهُ مِنْ حَرَامِهِ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يَسْقِيَهُ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ

Semua khamr dan semua yang memabukkan adalah haram, dan barang siapa yang minum dan dia mabuk, maka shalatnya akan lepas selama empat puluh pagi, dan jika dia taubat maka Allah akan terima taubatnya, lalu jika dia mengulangi keempat kalinya maka Allah akan menuanginya dengan Thinatul Khabaal. Ada yang bertanya: “Apa itu Thinatul Khabaal? Beliau bersabda: “Nanah yang bercampur darah dari penduduk neraka.” Barang siapa yang meminumkannya kepada anak kecil, dan anak itu tidak tahu kehalalan dari yang haram itu, maka Allah akan menuanginya dengan Thinatul Khabaal. (HR. Abu Daud No. 3680, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah No. 2039)

Bersambung...
 



I.                    Mukadimah

Bagi  seorang muslim, lihatlah di luar sana, sangat banyak manusia berusaha meraih impian mereka, dengan beragam usaha, bahkan tak peduli benar salah dan halal haram dari cara yang mereka tempuh. Diperburuk lagi, tidak sedikit dari tujuan-tujuan itu adalah tujuan yang  dibenci agama dan manusia, serta ditolak oleh nurani.  Hari- hari mereka, waktu dan terjaganya mata mereka, didedikasikan untuk tujuan dan impian tersebut, walau itu kejahatan. Ada pun anda, saat ini tengah mendambakan prestasi akademis; dambaan yang benar dan mulia. Maka, apa yang membuat anda kalah  dibanding usaha mereka? Apa yang membuat anda diam padahal mereka bergerak, dan apa yang membuat anda tertunduk ketika mereka tegak? Padahal anda sedang memperjuangkan kemuliaan, yaitu ilmu, iman dan amal. Anda sedang memperjuangkan warisan kenabian, yaitu ilmu, iman dan amal. Dan, Anda sedang  memperjuangkan syarat mutlak bagi kemakmuran dunia dan akhirat, yaitu ilmu, iman dan amal. Maka, berusahalah dan berjuanglah.

II.                  Kenapa Harus Ada Usaha?

1.       Karena Berusaha untuk Sukses adalah  Perintah agama.

Islam adalah agama yang memanggil umatnya untuk bergerak, tidak statis.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

Dan Katakanlah: "Bekerjalah kalian , maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu …” (QS. AT Taubah (9): 105)

Ayat ini menggunakan kata kerja perintah (Fi’il Amr) yaitu I’maluu (bekerjalah kalian), dan hukum dasar dari perintah adalah menunjukkan wajib (Al Ashlu fil Amr lil Wujub). Maka, adalah suatu yang terlarang (haram) dalam agama bagi seorang muslim menyengaja atas dirinya untuk diam, tidak bergerak, dan menganggur dari perbuatan-perbuatan yang produktif dan positif! Anehnya, di saat saat yang sama dia masih merindukan kesuksesan hidup ….

Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengomentari ayat di atas sebagai berikut:

فيه تخويف وتهديد : أي إن عملكم لا يخفى على الله ، ولا على رسوله ولا على المؤمنين ، فسارعوا إلى أعمال الخير ، وأخلصوا أعمالكم لله عزّ وجلّ ، وفيه أيضاً ترغيب وتنشيط ، فإن من علم أن عمله لا يخفى سواء كان خيراً أو شرّاً رغب إلى أعمال الخير ، وتجنب أعمال الشرّ


                Di dalam ayat ini terdapat sesuatu untuk menakut-nakuti dan ancaman, yaitu sesungguhnya pekerjaan kalian tidaklah tersembunyi bagi Allah, tidak pula bagi RasulNa dan orang-orang beriman. Maka, bersegeralah melakukan pekerjaan yang baik dan ikhlaskanlah pekerjaan kalian hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam ayat ini juga terdapat sesuatu untuk menyemangatkan dan  menggiatkan, maka siapa saja yang tahu bahwa perbuatannya tidaklah  tersembunyi (dari penglihatan Allah, pen), baik pekerjaan yang baik atau buruk, maka hendaknya dia bersegera melaksanakan pekerjaan yang baik dan menjauhi yang buruk.” (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 3/311. Mauqi’ Ruh Al Islam)

2.       Karena Usaha Adalah Sunatullah Kehidupan di Dunia

Benar, bahwa sukses dan gagal adalah ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi kita dituntut untuk mengusahakan sebab-sebabnya. PLN telah menentukan bahwa rumah anda terang benderang karena sudah dialirkan listrik, tetapi anda selaku pemilik rumah diam saja dan  tidak tergerak menyalakan lampu, tidak menekan stop kontak, maka rumah anda tetap akan padam. Begitulah sunatullah kehidupan di dunia.   Anda tak bisa mengandalkan kepasrahan semata tanpa mempersiapkan sesab-sebabnya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

                Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar Ra’du (13): 11)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan merubah suatu kaum kecuali jika kaum itu mau merubah sebab-sebab yang membuat mereka mundur. Sebab-sebab itu ada dua macam, yakni sabab syar’i dan sabab kauni

  1. Sabab Syar’i, yaitu  sebab yang dilakukan seorang hamba atau kaum,  berupa merubah hubungannya  dengan Allah ‘Azza wa Jalla.   Jika dia merubah hubungan dengan Allah ‘Azza wa Jalla semakin buruk, tadinya taat menjadi maksiat, rajin ibadah menjadi malas, berbakti kepada orang tua menjadi durhaka,  dan lain sebagainya,  maka Allah ‘Azza wa Jalla pun akan merubahnya kearah yang buruk,  sesuai perubahan yang dibuatnya. Jika dia merubah hubungan dengan Allah ‘Azza wa Jalla semakin baik, sebelumnya maksiat menjadi taat, malas ibadah menjadi rajin, melawan orang tua menjadi berbakti, dan lain sebagainya, maka Allah  ‘Azza wa Jalla  pun merubahnya menjadi  baik hasilnya, sesuai sebab yang diperbuatnya.


Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan tentang ayat di atas:

{ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ } من النعمة والإحسان ورغد العيش { حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ } بأن ينتقلوا من الإيمان إلى الكفر ومن الطاعة إلى المعصية، أو من شكر نعم الله إلى البطر بها فيسلبهم الله عند ذلك إياها.
وكذلك إذا غير العباد ما بأنفسهم من المعصية، فانتقلوا إلى طاعة الله، غير الله عليهم ما كانوا فيه من الشقاء إلى الخير والسرور والغبطة والرحمة،


“(Sesungguhnya Allah tidaklah merubah keadaan suatu kaum) berupa kenikmatan, kebaikan, dan kelapangan hidup (sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri)  dengan berubahnya keimanan mereka menjadi kufur (ingkar), dari taat  menjadi maksiat, atau dari bersyukur atas nikmat Allah  menjadi sikap bangkang terhadapnya, maka Allah mencabut ketika itu atas semuanya. Demikian juga jika seorang hamba merubah apa yang ada pada diri mereka, dari maksiat  menjadi taat kepada Allah, maka Allah akan merubah apa-apa yang ada padanya, dari kemalangan menjadi kebaikan, kebahagiaan, kegembiraan, dan kasih sayang.” (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisirul Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan,  Hal. 414.  Cet. 1. 1420H-2000M. Muasasah Ar Risalah)

 

  1. Sebab Kauni yaitu sebab yang dilakukan oleh seorang hamba atau kaum sebagai tuntutan rasional kehidupan di dunia (sunatullah kehidupan/orang sekuler mengatakan Hukum Alam).


Kehamilan adalah kehendak Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi sabab kauni-nya adalah kehamilan mesti didahului bertemunya dua benih; sel telur dan sperma. Musibah banjir dan tanah longsor memang kehendak Allah ‘Azza wa Jalla,  tetapi sunatullah juga menetapkan bahwa jika manusia membuang sampah sembarang serta membuat pemukiman penduduk di daerah resapan air, maka yang terjadi adalah banjir. Begitu juga  menggunduli hutan sehingga air tidak lagi mampu dipikul oleh tanah, maka yang terjadi adalah longsor. Sembuh dari penyakit adalah atas kehendak Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi ada sabab kauni-nya, yakni berobat.

Lulus tidaknya sesorang siswa dalam ujian memang kehendak Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi sabab kauni-nya adalah karena kerja kerasnya. Belajar yang teratur dan terstruktur, menjaga stamina fisik dan psikis, serta tetap menjaga kehati-hatian dalam mengerjakan soal. Adapun, jika dia tidak melakukan hal ini, atau biasa-biasa saja, maka sunatullahnya adalah dia akan gagal. Begitulah  ….

Sabab kauni ini jelas diakui oleh Islam. Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati sebuah kaum yang sedang menyerbukkan kurma, lalu beliau bersabda: “Seandainya kalian tidak melakukan itu niscaya hasilnya baik.” (lalu mereka mengikuti anjurannya) Ternyata hasilnya jelek. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: “Bagaimana pohon Kurma kalian?” Mereka menjawab begini dan begitu. Lalu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أنتم أعلم بأمر دنياكم


                “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” (HR. Muslim No. 2363)

                Artinya, mereka adalah petani kurma, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan petani kurma,  melainkan pedagang dan penggembala, maka petani lebih tahu urusan pertanian dibanding pedagang dan penggembala. Inilah sabab kauni yang mesti kita perhatikan dalam kandungan kisah ini. Apa yang dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sebatas pendapat pribadi yang diketahuinya saja, namun karena para sahabat adalah kaum yang sangat taat kepadanya, maka mereka tetap mengikutinya, sebab  khawatir  jika ternyata perintah itu adalah wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla.

III.                Kenapa Harus Berdoa?

Bagi  orang  yang berilmu, maka kesuksesan mesti diraih dengan usaha rasional. Tapi, tidak cukup itu saja, sebab bagi orang yang beriman kesuksesan juga mesti diraih dengan doa. Maka, perpaduan antara keilmuan dan keimanan seseorang, akan membentuk wujud nyata sikap dan perilaku yang seimbang, tidak pincang, dan utuh; yakni usaha dan doa. Orang bijak juga mengatakan, “Usaha tanpa doa adalah sombong, doa tanpa usaha adalah mimpi yang kosong.”

Ya, usaha tanpa doa, seakan dialah yang menentukan hasil akhir dari usahanya itu, padahal banyak manusia yang tidak berdaya ketika menghadapi badai besar di akhir dari usahanya. Inilah kesombongan dan keangkuhan ditengah kelemahan manusia. Lihatlah petani, sehari lagi mereka panen besar dan sudah banyak khayalan yang mereka buat jika nanti selesai panen. Namun, dia tidak berdaya tatkala keesokkan harinya hujan besar menenggelamkan  sawah dan rumahnya.

Ya, doa tanpa usaha adalah mimpi kosong, seakan untuk menuju puncak cukup sekali lompat dan sekali teriakan.  Berdoa, lalu  merintih dalam doanya, bahkan menangis tersedu-sedu, tapi setelah itu kembali sibuk dengan dunia permainannya, dunia yang melalaikannya, maka bagaimana bisa apa yang dimintanya terwujud? Ibarat seorang yang meminta langsing tapi makan dan tidur tak pernah dikontrol. Meminta selamat dari api neraka, tapi dia justru mendekati api  neraka dengan maksiatnya. Jika seperti ini, maka tak akan pernah sama antara permintaan dan kenyataan! Sebab,  itu tidak rasional dan hanya omdo (omong doang).

Berikut ini letak urgensitas (kepentingan) doa bagi seorang muslim.

1.        Berdoa adalah perintah Allah ‘Azza wa Jalla.

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin untuk meminta kepadaNya jika mereka memiliki hajat (kebutuhan) bagi hajat dunia maupun akhirat. Bukan meminta kepada dukun, paranormal, peramal, cenayang, ‘orang pintar’, atau  yang semisalnya. Baik mendatangi langsung atau sekedar menanyakannya melalui kirim REG (spasi) NAMA(spasi)MBAH JIBRUT atau NYI BLORONG, yang justru menjatuhkan mereka dalam jurang kesyirikan yang menghacurkan ketauhidan.

Allah Ta’ala  memrintahkan hambaNya untuk berdoa:

“Memintalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan permintaanmu.” (QS. Al Mu’min (40): 60)

Lihatlah hamba Allah yang shalih, Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam, dia mengadukan kesedihannya hanya kepada Allah Ta’ala tentang keadaan putranya, Yusuf ‘Alaihissalam.

"Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (QS. Yusuf  (12): 86)

2.       Berdoa merupakan tanda pengabdian dan bukti pengesaan kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla

Di ayat yang sama, Allah Ta’ala menyebut orang yang tidak mau berdoa sebagai orang yang menyombongkan dirinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al Mu’min (40): 60)

Para ahli tafsir mengatakan, diantaranya Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan bahwa maksud “orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu” adalah orang yang enggan berdoa kepadaNya dan tidak mengesakanNya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/155. Dar Nasyir wat Tauzi’ Lith Thiba’ah)

3.       Berdoa merupakan perilaku orang-orang mulia

Dalam Al Quran banyak dikisahkan doa para nabi dan shalihin yang sangat menggunggah.  Status mereka sebagai Nabi dan Rasul, tidaklah melupakan kebutuhan mereka untuk tetap memohon kepada Allah Ta’ala ketika menghadapi kesulitan dalam dakwah, ujian hidup, dan juga peperangan.

4.       Berdoa adalah bagian dari usaha dan sukses itu sendiri

Berdoa pada hakikatnya juga usaha. Bahkan sebagian ulama menyebut berdoa adalah sebagian dari kesuksesan. Keinginan seorang muslim untuk berdoa merupakan kemenangannya atas hawa nafsu kesombongan yang potensial ada dalam diri manusia. Bisa jadi – dan nampaknya ini sudah sering terjadi- manusia sudah merasa cukup, puas, dan kuat dengan usaha rasional yang telah diupayakannya, yang dengannya membuat ia melupakan peran Allah ‘Azza wa Jalla atas masa depannya. Maka, berbahagialah bagi orang-orang yang berdoa, sebab mereka telah melewati setengah kemenangan yang dinanti-nantikannya.

IV.                Kenapa Doa Tidak Dikabulkan?

Ini adalah kenyataan yang nampaknya tidak mengenakkan di tengah janjiNya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-hamaNya. Tetapi hal ini memang ada, kenapa bisa terjadi? Apa yang harus dievaluasi?

Ada banyak sebab doa kita di tolak, diantaranya:

1.       Makan dan Minum dari yang Haram

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ


 

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan, seorang laki-laki yang panjang perjalanannya, berambut kusut, berdebu, dan menengadahkan tangannya ke langit: “Ya Rabb .. Ya Rabb .., tetapi dia suka makan yang haram, minum   yang haram, pakaiannya juga haram, dan dikenyangkan dengan yang haram. Maka, bagaimana doanya bisa dikabulkan?” (HR. Muslim No. 1015)

2.       Tergesa-gesa dalam Berdoa

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu,  dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Doa salah seorang di antara kalian pasti akan dikabulkan selama dia tidak tergesa-gesa, yaitu dia mengatakan: Saya sudah berdoa akan tetapi belum dikabulkan.” (HR. Bukhari No. 6340)

Bukan hanya itu, dia juga tidak menjaga adab-adab doa yang lainnya.

 

3.       Meninggalkan Kewajiban

Dari Huzaifah Radhiallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus betul-betul memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, kalau tidak maka betul-betul dikhawatirkan Allah akan menjatuhkan kepada kalian semua siksaan dari-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya akan tetapi Dia tidak mengabulkannya.” (HR. At Tirmidzi No. 2169, katanya: hasan)

Hadits ini menyebutkan bahwa meninggalkan salah satu kewajiban agama  yakni kewajiban untuk  amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), merupakan salah satu penyebab ditolaknya doa.

4.       Menjalankan Larangan dan Maksiat

Inilah keanehan manusia. Ketika mereka membutuhkan sesuatu atau dalam keadaan sulit, mereka mencari-cari Tuhannya, mereka memohon dan menangis, serta mengakui semua kesalahan dan kelemahanna. Tetapi ketika kesulitan hilang, mereka melupakanNya dan kembali maksiat kepadaNya. Bagaimana yang seperti ini dikabulkan doanya?

Ada jawaban sangat bagus dari Imam Ibrahim bin Adham Rahimahullah atas pertanyaan ini. Ketika beliau ditanya kenapa doa tidak dikabulkan dia menjawab:

1. Seseorang yang meyakini adanya Allah, tetapi ia tidak menunaikan hak-hakNya.

2. Seseorang yang telah membaca ( mengerti ) kitab Allah, tetapi tidak mengamalkanya.

3. Seseorang yang mengetahui bahwa  syetan adalah musuhnya yang nyata, tetapi ia justru mengikuti langkah-langkahnya.

4. Seseorang yang mengaku mencintai  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi meninggalkan atsar dan sunnahnya.

5. Seseorang yang mencita-citakan masuk surga namun meninggalkan amalan - amalan masuk surga.

6. Seseorang mengatakan takut adzab neraka, tetapi ia tidak berhenti melakukan dosa dan maksiat.

7. Seseorang yang yakin tentang kepastian datangnya ajal, tetapi ia tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

8. Seseorang yang sibuk dengan aib dan cacat orang lain, tetapi ia melupakan cacat dan aibnya sendiri.

9. Seseorang yang makan rizki Allah, tetapi tidak mensyukurinya.

10. Seseorang yang mengubur orang mati, tetapi ia tidak mengambil pelajaranya dari padanya.

 

5.       Allah Ta’ala Sedang menguji hambaNya

Sebenarnya Allah Ta’ala punya banyak cara untuk menguji keimanan hambaNya, di antaranya dengan tidak dikabulkannya doa, khususnya di dunia. Apakah dengan itu dia semakin beriman atau justru lari dariNya.

Hamba yang mukmin dan shabirin (sabar) akan meyakini bahwa Allah Ta’ala punya rencana lain untuknya, dan itu pasti lebih baik. Sebab Dia lebih tahu dibanding hambaNya sendiri tentang apa yang terbaik bagi hambaNya. Hamba minta A, Allah ‘Azza wa Jalla memberinya B, dan B itu ternyata lebih baik baginya. Atau, Allah Ta’ala menundanya sebagai ujian kesabaran dan sekaligus memang itulah momen yang pas baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2): 216)

Wallahu A’lam

Artikel Terbaru

Popular Posts