Sabtu, 24 November 2012

 



I.                    Mukadimah

Bagi  seorang muslim, lihatlah di luar sana, sangat banyak manusia berusaha meraih impian mereka, dengan beragam usaha, bahkan tak peduli benar salah dan halal haram dari cara yang mereka tempuh. Diperburuk lagi, tidak sedikit dari tujuan-tujuan itu adalah tujuan yang  dibenci agama dan manusia, serta ditolak oleh nurani.  Hari- hari mereka, waktu dan terjaganya mata mereka, didedikasikan untuk tujuan dan impian tersebut, walau itu kejahatan. Ada pun anda, saat ini tengah mendambakan prestasi akademis; dambaan yang benar dan mulia. Maka, apa yang membuat anda kalah  dibanding usaha mereka? Apa yang membuat anda diam padahal mereka bergerak, dan apa yang membuat anda tertunduk ketika mereka tegak? Padahal anda sedang memperjuangkan kemuliaan, yaitu ilmu, iman dan amal. Anda sedang memperjuangkan warisan kenabian, yaitu ilmu, iman dan amal. Dan, Anda sedang  memperjuangkan syarat mutlak bagi kemakmuran dunia dan akhirat, yaitu ilmu, iman dan amal. Maka, berusahalah dan berjuanglah.

II.                  Kenapa Harus Ada Usaha?

1.       Karena Berusaha untuk Sukses adalah  Perintah agama.

Islam adalah agama yang memanggil umatnya untuk bergerak, tidak statis.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

Dan Katakanlah: "Bekerjalah kalian , maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu …” (QS. AT Taubah (9): 105)

Ayat ini menggunakan kata kerja perintah (Fi’il Amr) yaitu I’maluu (bekerjalah kalian), dan hukum dasar dari perintah adalah menunjukkan wajib (Al Ashlu fil Amr lil Wujub). Maka, adalah suatu yang terlarang (haram) dalam agama bagi seorang muslim menyengaja atas dirinya untuk diam, tidak bergerak, dan menganggur dari perbuatan-perbuatan yang produktif dan positif! Anehnya, di saat saat yang sama dia masih merindukan kesuksesan hidup ….

Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengomentari ayat di atas sebagai berikut:

فيه تخويف وتهديد : أي إن عملكم لا يخفى على الله ، ولا على رسوله ولا على المؤمنين ، فسارعوا إلى أعمال الخير ، وأخلصوا أعمالكم لله عزّ وجلّ ، وفيه أيضاً ترغيب وتنشيط ، فإن من علم أن عمله لا يخفى سواء كان خيراً أو شرّاً رغب إلى أعمال الخير ، وتجنب أعمال الشرّ


                Di dalam ayat ini terdapat sesuatu untuk menakut-nakuti dan ancaman, yaitu sesungguhnya pekerjaan kalian tidaklah tersembunyi bagi Allah, tidak pula bagi RasulNa dan orang-orang beriman. Maka, bersegeralah melakukan pekerjaan yang baik dan ikhlaskanlah pekerjaan kalian hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Dalam ayat ini juga terdapat sesuatu untuk menyemangatkan dan  menggiatkan, maka siapa saja yang tahu bahwa perbuatannya tidaklah  tersembunyi (dari penglihatan Allah, pen), baik pekerjaan yang baik atau buruk, maka hendaknya dia bersegera melaksanakan pekerjaan yang baik dan menjauhi yang buruk.” (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 3/311. Mauqi’ Ruh Al Islam)

2.       Karena Usaha Adalah Sunatullah Kehidupan di Dunia

Benar, bahwa sukses dan gagal adalah ketentuan Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi kita dituntut untuk mengusahakan sebab-sebabnya. PLN telah menentukan bahwa rumah anda terang benderang karena sudah dialirkan listrik, tetapi anda selaku pemilik rumah diam saja dan  tidak tergerak menyalakan lampu, tidak menekan stop kontak, maka rumah anda tetap akan padam. Begitulah sunatullah kehidupan di dunia.   Anda tak bisa mengandalkan kepasrahan semata tanpa mempersiapkan sesab-sebabnya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

                Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar Ra’du (13): 11)

Para ahli tafsir mengatakan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan merubah suatu kaum kecuali jika kaum itu mau merubah sebab-sebab yang membuat mereka mundur. Sebab-sebab itu ada dua macam, yakni sabab syar’i dan sabab kauni

  1. Sabab Syar’i, yaitu  sebab yang dilakukan seorang hamba atau kaum,  berupa merubah hubungannya  dengan Allah ‘Azza wa Jalla.   Jika dia merubah hubungan dengan Allah ‘Azza wa Jalla semakin buruk, tadinya taat menjadi maksiat, rajin ibadah menjadi malas, berbakti kepada orang tua menjadi durhaka,  dan lain sebagainya,  maka Allah ‘Azza wa Jalla pun akan merubahnya kearah yang buruk,  sesuai perubahan yang dibuatnya. Jika dia merubah hubungan dengan Allah ‘Azza wa Jalla semakin baik, sebelumnya maksiat menjadi taat, malas ibadah menjadi rajin, melawan orang tua menjadi berbakti, dan lain sebagainya, maka Allah  ‘Azza wa Jalla  pun merubahnya menjadi  baik hasilnya, sesuai sebab yang diperbuatnya.


Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan tentang ayat di atas:

{ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ } من النعمة والإحسان ورغد العيش { حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ } بأن ينتقلوا من الإيمان إلى الكفر ومن الطاعة إلى المعصية، أو من شكر نعم الله إلى البطر بها فيسلبهم الله عند ذلك إياها.
وكذلك إذا غير العباد ما بأنفسهم من المعصية، فانتقلوا إلى طاعة الله، غير الله عليهم ما كانوا فيه من الشقاء إلى الخير والسرور والغبطة والرحمة،


“(Sesungguhnya Allah tidaklah merubah keadaan suatu kaum) berupa kenikmatan, kebaikan, dan kelapangan hidup (sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri)  dengan berubahnya keimanan mereka menjadi kufur (ingkar), dari taat  menjadi maksiat, atau dari bersyukur atas nikmat Allah  menjadi sikap bangkang terhadapnya, maka Allah mencabut ketika itu atas semuanya. Demikian juga jika seorang hamba merubah apa yang ada pada diri mereka, dari maksiat  menjadi taat kepada Allah, maka Allah akan merubah apa-apa yang ada padanya, dari kemalangan menjadi kebaikan, kebahagiaan, kegembiraan, dan kasih sayang.” (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisirul Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan,  Hal. 414.  Cet. 1. 1420H-2000M. Muasasah Ar Risalah)

 

  1. Sebab Kauni yaitu sebab yang dilakukan oleh seorang hamba atau kaum sebagai tuntutan rasional kehidupan di dunia (sunatullah kehidupan/orang sekuler mengatakan Hukum Alam).


Kehamilan adalah kehendak Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi sabab kauni-nya adalah kehamilan mesti didahului bertemunya dua benih; sel telur dan sperma. Musibah banjir dan tanah longsor memang kehendak Allah ‘Azza wa Jalla,  tetapi sunatullah juga menetapkan bahwa jika manusia membuang sampah sembarang serta membuat pemukiman penduduk di daerah resapan air, maka yang terjadi adalah banjir. Begitu juga  menggunduli hutan sehingga air tidak lagi mampu dipikul oleh tanah, maka yang terjadi adalah longsor. Sembuh dari penyakit adalah atas kehendak Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi ada sabab kauni-nya, yakni berobat.

Lulus tidaknya sesorang siswa dalam ujian memang kehendak Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi sabab kauni-nya adalah karena kerja kerasnya. Belajar yang teratur dan terstruktur, menjaga stamina fisik dan psikis, serta tetap menjaga kehati-hatian dalam mengerjakan soal. Adapun, jika dia tidak melakukan hal ini, atau biasa-biasa saja, maka sunatullahnya adalah dia akan gagal. Begitulah  ….

Sabab kauni ini jelas diakui oleh Islam. Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati sebuah kaum yang sedang menyerbukkan kurma, lalu beliau bersabda: “Seandainya kalian tidak melakukan itu niscaya hasilnya baik.” (lalu mereka mengikuti anjurannya) Ternyata hasilnya jelek. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: “Bagaimana pohon Kurma kalian?” Mereka menjawab begini dan begitu. Lalu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أنتم أعلم بأمر دنياكم


                “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” (HR. Muslim No. 2363)

                Artinya, mereka adalah petani kurma, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan petani kurma,  melainkan pedagang dan penggembala, maka petani lebih tahu urusan pertanian dibanding pedagang dan penggembala. Inilah sabab kauni yang mesti kita perhatikan dalam kandungan kisah ini. Apa yang dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sebatas pendapat pribadi yang diketahuinya saja, namun karena para sahabat adalah kaum yang sangat taat kepadanya, maka mereka tetap mengikutinya, sebab  khawatir  jika ternyata perintah itu adalah wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla.

III.                Kenapa Harus Berdoa?

Bagi  orang  yang berilmu, maka kesuksesan mesti diraih dengan usaha rasional. Tapi, tidak cukup itu saja, sebab bagi orang yang beriman kesuksesan juga mesti diraih dengan doa. Maka, perpaduan antara keilmuan dan keimanan seseorang, akan membentuk wujud nyata sikap dan perilaku yang seimbang, tidak pincang, dan utuh; yakni usaha dan doa. Orang bijak juga mengatakan, “Usaha tanpa doa adalah sombong, doa tanpa usaha adalah mimpi yang kosong.”

Ya, usaha tanpa doa, seakan dialah yang menentukan hasil akhir dari usahanya itu, padahal banyak manusia yang tidak berdaya ketika menghadapi badai besar di akhir dari usahanya. Inilah kesombongan dan keangkuhan ditengah kelemahan manusia. Lihatlah petani, sehari lagi mereka panen besar dan sudah banyak khayalan yang mereka buat jika nanti selesai panen. Namun, dia tidak berdaya tatkala keesokkan harinya hujan besar menenggelamkan  sawah dan rumahnya.

Ya, doa tanpa usaha adalah mimpi kosong, seakan untuk menuju puncak cukup sekali lompat dan sekali teriakan.  Berdoa, lalu  merintih dalam doanya, bahkan menangis tersedu-sedu, tapi setelah itu kembali sibuk dengan dunia permainannya, dunia yang melalaikannya, maka bagaimana bisa apa yang dimintanya terwujud? Ibarat seorang yang meminta langsing tapi makan dan tidur tak pernah dikontrol. Meminta selamat dari api neraka, tapi dia justru mendekati api  neraka dengan maksiatnya. Jika seperti ini, maka tak akan pernah sama antara permintaan dan kenyataan! Sebab,  itu tidak rasional dan hanya omdo (omong doang).

Berikut ini letak urgensitas (kepentingan) doa bagi seorang muslim.

1.        Berdoa adalah perintah Allah ‘Azza wa Jalla.

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin untuk meminta kepadaNya jika mereka memiliki hajat (kebutuhan) bagi hajat dunia maupun akhirat. Bukan meminta kepada dukun, paranormal, peramal, cenayang, ‘orang pintar’, atau  yang semisalnya. Baik mendatangi langsung atau sekedar menanyakannya melalui kirim REG (spasi) NAMA(spasi)MBAH JIBRUT atau NYI BLORONG, yang justru menjatuhkan mereka dalam jurang kesyirikan yang menghacurkan ketauhidan.

Allah Ta’ala  memrintahkan hambaNya untuk berdoa:

“Memintalah kepadaKu niscaya Aku kabulkan permintaanmu.” (QS. Al Mu’min (40): 60)

Lihatlah hamba Allah yang shalih, Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam, dia mengadukan kesedihannya hanya kepada Allah Ta’ala tentang keadaan putranya, Yusuf ‘Alaihissalam.

"Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (QS. Yusuf  (12): 86)

2.       Berdoa merupakan tanda pengabdian dan bukti pengesaan kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla

Di ayat yang sama, Allah Ta’ala menyebut orang yang tidak mau berdoa sebagai orang yang menyombongkan dirinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al Mu’min (40): 60)

Para ahli tafsir mengatakan, diantaranya Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan bahwa maksud “orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu” adalah orang yang enggan berdoa kepadaNya dan tidak mengesakanNya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/155. Dar Nasyir wat Tauzi’ Lith Thiba’ah)

3.       Berdoa merupakan perilaku orang-orang mulia

Dalam Al Quran banyak dikisahkan doa para nabi dan shalihin yang sangat menggunggah.  Status mereka sebagai Nabi dan Rasul, tidaklah melupakan kebutuhan mereka untuk tetap memohon kepada Allah Ta’ala ketika menghadapi kesulitan dalam dakwah, ujian hidup, dan juga peperangan.

4.       Berdoa adalah bagian dari usaha dan sukses itu sendiri

Berdoa pada hakikatnya juga usaha. Bahkan sebagian ulama menyebut berdoa adalah sebagian dari kesuksesan. Keinginan seorang muslim untuk berdoa merupakan kemenangannya atas hawa nafsu kesombongan yang potensial ada dalam diri manusia. Bisa jadi – dan nampaknya ini sudah sering terjadi- manusia sudah merasa cukup, puas, dan kuat dengan usaha rasional yang telah diupayakannya, yang dengannya membuat ia melupakan peran Allah ‘Azza wa Jalla atas masa depannya. Maka, berbahagialah bagi orang-orang yang berdoa, sebab mereka telah melewati setengah kemenangan yang dinanti-nantikannya.

IV.                Kenapa Doa Tidak Dikabulkan?

Ini adalah kenyataan yang nampaknya tidak mengenakkan di tengah janjiNya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-hamaNya. Tetapi hal ini memang ada, kenapa bisa terjadi? Apa yang harus dievaluasi?

Ada banyak sebab doa kita di tolak, diantaranya:

1.       Makan dan Minum dari yang Haram

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ


 

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan, seorang laki-laki yang panjang perjalanannya, berambut kusut, berdebu, dan menengadahkan tangannya ke langit: “Ya Rabb .. Ya Rabb .., tetapi dia suka makan yang haram, minum   yang haram, pakaiannya juga haram, dan dikenyangkan dengan yang haram. Maka, bagaimana doanya bisa dikabulkan?” (HR. Muslim No. 1015)

2.       Tergesa-gesa dalam Berdoa

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu,  dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Doa salah seorang di antara kalian pasti akan dikabulkan selama dia tidak tergesa-gesa, yaitu dia mengatakan: Saya sudah berdoa akan tetapi belum dikabulkan.” (HR. Bukhari No. 6340)

Bukan hanya itu, dia juga tidak menjaga adab-adab doa yang lainnya.

 

3.       Meninggalkan Kewajiban

Dari Huzaifah Radhiallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus betul-betul memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, kalau tidak maka betul-betul dikhawatirkan Allah akan menjatuhkan kepada kalian semua siksaan dari-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya akan tetapi Dia tidak mengabulkannya.” (HR. At Tirmidzi No. 2169, katanya: hasan)

Hadits ini menyebutkan bahwa meninggalkan salah satu kewajiban agama  yakni kewajiban untuk  amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), merupakan salah satu penyebab ditolaknya doa.

4.       Menjalankan Larangan dan Maksiat

Inilah keanehan manusia. Ketika mereka membutuhkan sesuatu atau dalam keadaan sulit, mereka mencari-cari Tuhannya, mereka memohon dan menangis, serta mengakui semua kesalahan dan kelemahanna. Tetapi ketika kesulitan hilang, mereka melupakanNya dan kembali maksiat kepadaNya. Bagaimana yang seperti ini dikabulkan doanya?

Ada jawaban sangat bagus dari Imam Ibrahim bin Adham Rahimahullah atas pertanyaan ini. Ketika beliau ditanya kenapa doa tidak dikabulkan dia menjawab:

1. Seseorang yang meyakini adanya Allah, tetapi ia tidak menunaikan hak-hakNya.

2. Seseorang yang telah membaca ( mengerti ) kitab Allah, tetapi tidak mengamalkanya.

3. Seseorang yang mengetahui bahwa  syetan adalah musuhnya yang nyata, tetapi ia justru mengikuti langkah-langkahnya.

4. Seseorang yang mengaku mencintai  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi meninggalkan atsar dan sunnahnya.

5. Seseorang yang mencita-citakan masuk surga namun meninggalkan amalan - amalan masuk surga.

6. Seseorang mengatakan takut adzab neraka, tetapi ia tidak berhenti melakukan dosa dan maksiat.

7. Seseorang yang yakin tentang kepastian datangnya ajal, tetapi ia tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

8. Seseorang yang sibuk dengan aib dan cacat orang lain, tetapi ia melupakan cacat dan aibnya sendiri.

9. Seseorang yang makan rizki Allah, tetapi tidak mensyukurinya.

10. Seseorang yang mengubur orang mati, tetapi ia tidak mengambil pelajaranya dari padanya.

 

5.       Allah Ta’ala Sedang menguji hambaNya

Sebenarnya Allah Ta’ala punya banyak cara untuk menguji keimanan hambaNya, di antaranya dengan tidak dikabulkannya doa, khususnya di dunia. Apakah dengan itu dia semakin beriman atau justru lari dariNya.

Hamba yang mukmin dan shabirin (sabar) akan meyakini bahwa Allah Ta’ala punya rencana lain untuknya, dan itu pasti lebih baik. Sebab Dia lebih tahu dibanding hambaNya sendiri tentang apa yang terbaik bagi hambaNya. Hamba minta A, Allah ‘Azza wa Jalla memberinya B, dan B itu ternyata lebih baik baginya. Atau, Allah Ta’ala menundanya sebagai ujian kesabaran dan sekaligus memang itulah momen yang pas baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2): 216)

Wallahu A’lam

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts