Sabtu, 22 Desember 2012




    6. Mencuci Tangan Sebelum Dan Sesudah Makan.[1]

Berkata imam Al-Baihaqi, “Hadits yang menunjukan disunnahkannya makan setelah makan adalah hadits yang hasan, akan tetapi tidak ada satu hadits pun yang menjelaskan (disunnakannya) mencuci tangan sebelum makan.[2] Akan tetapi disenangi hal itu untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kedua tangan dan yang semisalnya yang akan memberi mudharat kepada tubuh. Dan Imam Ahmad berkaitan dengan masalah itu terdapat dua riwayat dari beliau. Yaitu riwayat yang menganggap hal itu makruh dan yang satunya sebagai Sunnah. Dan Imam Malik merinci hal itu, dan mengkaitkan membasuh kedua tangan sebelum makan apabila ada kotoran. Adapun amalan Ibnu Muflih didalam kitab Al-Adab karya beliau, menunjukkan bahwa beliau cenderung berpendapat bahwa amalan tersebut Sunnah sebelum makan, dan ini adalah pendapat sejumlah besar ulama.[3]

Dan permasalahan ini suatu yang lapang walhamdu lillah Rabbil ‘Alamiin.

Adapun membasuh kedua tangan setelah makan, tentang hal itu telah diriwayatkan beberapa atsar yang shahih, diantaranya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhialahu ‘anhu, bahwa beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ نَامَ وَفِي يَدِهِ أَثَرُ غُمْرٍ فَأَصَابَتْهُ بَلِيَّةٌ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ


 “ Barang siapa yang tidur dan pada tangannya masih melekat ghamar[4] dan tidak membasuhnya kemudian dia terkena sesuatu makan janganlah dia menyesali kecuali pada dirinya sendiri.[5]

Dan dari abu Hurairah, beliau berkata ,“ Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan bagian punggung kambing, kemudian beliau berkumur-kumur dan membasuh kedua tangannya lalu shalat.”[6]

Dan dari Aban bin ‘Utsman, bahwa ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu pernah makan roti dengan danging kemudian berkumur-kumur dan membsuh kedua tangannya lalu membasuh wajahnya, dan kemudian beliau mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi.”[7]

Faedah : Sebagian ulama menganggap sunnah wudhu’ yang syar’i sebelum makan apabila dalam keadaan junub. Dan hal itu disebutkan dalam sebuah hadits dan sebuah atsar. Adapun hadits yang dimaksud adalah hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata : “Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam junub dan hendak makan atau tidur beliau terlebih dahulu berwudhu’ sebagaimana wudhu’ untuk shalat.”[8]

Adapun atsar , adalah asar dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa apabila beliau hendak tidur atau makan dalam keadaan junub, beliau mencuci wajahnya, kedua tangannya hingga sampai ke siku, dan membasuh kepadalnya, lalu beliau makan atau tidur.[9]

Al-Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah mengatakan : “ Dan kami tidak mengetahui seorangpun yang beranggapan sunnahnya berwudhu’ sebelum makan, kecuali apabila dia dalam keadaan junub.”[10]

Perhatian :Al-Muhadist Al-Albani beragumen denga hadits ‘Aisyah : “ apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub maka beliau berwudhu’ dan apabila hendak makan maka beliau membasuh kedua tangannya.”[11]

Bahwa disyariatkan untuk membasuh kedua tangan sebelum makan secara mutlak berdasarkan hadits ini.[12]

Akan tetapi hukum secara mutlak ini perlu diteliti lagi, dikarenakan beberapa hal :

Pertama : Hadits tersebut menerangkan tentang amalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disaat beliau junub ketika tidur, makan dan minum.

Kedua : Sebagian riwayat-riwayat hadits tersebut datang dengan lafazh wudhu’ dan sebagian lainnya dengan penyebutan membasuh kedua tangan yang menerangkan boleh kedua amalan itu. As-Sindi didalam Hasyiyah-nya mengatakan : “ Sabda beliau : (( membasuh kedua tangan )) yaitu terkadang beliau mencukupkannya dengan hal itu untuk menerangkan pembolehan, dan terkadang beliau berwudhu’ sebagai keadaan yang lebih sempurna.”[13]

Ketiga : Bahwa para Imam Ahlul Hadist, seperti Malik, Ahmad, Ibnu Taimiyah, An-Nasa`I rahimahumullah[14] dan juga selain mereka – dan kami telah mengutip perkataan mereka – tidaklah berpendapat bahwa hadits Aisyah diatas berlaku secara mutlak sebagaimana pendapat Al-‘Allamah Al-Albani – rahimahullah – yang menganggap berlaku secara mutlak, sedangkan mereka meriwayatkan hadits ini, yang menguatkan bahwa permasalahan ini menurut mereka hanya berlaku pada saat junub, sehingga wudhu’ dan membasuh tangan sebelum makan pada hadits ini berlaku hanya pada saat junub. Wallahu a’lam.

7.       Mendahulukan Makan Daripada Shalat Ketika Makanan Telah Dihidangkan[15]

Pada hadits Anas radhiallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  , beliau bersabda :

“ Apabila hidangan makan malam telah dihidangkan dan shalat telah didirikan makan kalian mulailah dengan makan malam.”[16]

Dari Ibnu Umar radhiallahu ;anhuma, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda :

“ Apabila makan malam salah seorang diantara kalian telah dihidangkan sementara shalat telah didirikan, maka mulailah dengan makan malam kalian dan janganlah seseorang tergesa-tergesa hingga dia selesai dari makannya.”[17]

Dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma , apabila dihidangkan makan malam beliau sementara waktu shalat telah datang, beliau tidak beranjak dari makan malamnya hinga  menyelesaikannya. Imam Ahmad meriwayatkan didalam Musnad-nya dari Nafi’ bahwa Inu Umar seringkali mengutus beliau sementara beliau dalam keadaan berpuasa, dan dihidangkan kepada beliau makan malamnya sementara panggilan shalat maghrib telah dikumandangkan, lalu kemudian iqamah shalat dan beliau mendengarkannya, namun beliau tidaklah meninggalkan makan malam beliau dan tidak juga trgesa-gesa hingga beliau menyelesaikan makan malamnya, lalu beliau keluar untuk mengikuti shalat . Dan beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  Allah bersabda :

“ Janganlah kalian tergesa-gesa menyantap makan malam kalian apabila telah dihidangkan bagi kalian.”[18]

Dan sebab dari hal tersebut, agar jangan sampai seseorang mengerjakan shalat namun hatinya teringat akan makanannya yang mana akan menyebabkan kerisauan yang menghilangkan rasa khusyu’nya.

Ibnu Hajar mengatakan : Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari hadist Abu Hurairah dan Ibnu Abbas : “ Bahwa mereka berdua tengah menyantap makanan dipemanggangan. Lalu muadzdzin hendak meng-iqamahi shalat, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya : Janganlah  engkau tergesa-gesa agar kami tidak berdiri mengerjakan shalat sementara pada hati kami ada ganjalan “Dan pada riwayat Ibnu Abi Syaibah : “ Agar tidak memalingkan kami disaat mengerjakan shalat.”[19]

Dan perintah semacam ini tidaklah khusus sebatas pada makan malam saja, melainkan pada setiap makanan yang mana hati tertarik untuk menyantapnya. Dan yang menguatkan hal tersebut adalah larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengerjakan shalat disaat makan telah dihidangkan, dan disaat menahan air kencing dan buang air besar. Dan sebabnya sangatlah jelas.

Dari Aisyah – ummul mukminin – radiallahu ‘anha, beliau berkata : Saya telah mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  , beliau bersabda :

“ Tidak sempurna shalat disaat makanan telah dihidangkan dan tidak sempurna jikalah seseorang dalam keadaan menahan kencing dan hajat besar.”[20]

Faedah : Sebagian ulama mengatakan : Bagi siapa yang makanannya telah dihidangkan kemudian shalat di-iqamahi, maka sepatutnya dia memakan beberapa suap untuk mengatasi rasa laparnya. An-Nawawi membantah hal tersebut , dan beliau mengatakan : “ Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  ; Da janganlah seseorang tergesa-gesa hingga menyelesaikan makannya, adalah dalil yang menunjukkan bahwa dia makan menyelesaikan kebutuhannya dengan menyempurnakan makannya. Dan inilah pendapat yang shahih. Adapun penafsiran sebagian dari ulama Asy-Syafi’iyah bahwa dia cukup makan sesuap untuk mengatasi rasa laparnya yang amat sangat, bukanlah pendapat yang shahih. Dan hadits ini sangat jelas menolaknya.”[21]

Masalah : Apabila makanan telah dihidangkan sementara shalat telah di-iqamahi, apakah wajib untuk makan terlebih dahulu berdasarkan zhahir hadits ataukah perintah pada hadits sebatas menunjukkan suatu yang Sunnah ?

Jawab :  Amalan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, pada riwayat Ahmad dan selainnya menunjukkan pendahuluan makan secara mutlak. Dan sebagian ulama mengkhususkan hal itu apabila hati tertarik dan terbayang dengan makanan tersebut. Apabila hatinya terbayangkan akan makanan tersebut maka yang lebih utama baginya adalah mengambil makanan tersebut hingga  dia mengerjakan shalat dalam keadaan khusyu’. Dan juga diriwayatkan dari hadits Abu Ad-Darda`a radhiallahu ‘anhu beliau berkata : “ Diantara bentuk pemahaman seseorang adalah dengan menyelesaikan hajatnya hingga dia menuju shalat dengan hati yang tenang.”[22]

Pendapat yang tepat berkaitan dengan masalah itu adalah yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Haja -  dimana setelah beliau mengutip atsar Ibnu Abbas dan Atsar Al-Hasan bin Ali : “ Makan malam sebelum mengerjakan shalat akan menghilangkan hati yang tercela“, beliau mengatakan : Pada atsar ini semuanya mengisyaratkan bahwa sebab pengutamaan makan dari pada shalat itu adalah karena bayangan maka sepatutnyalah hukum diikutkan pada sebabnya, baik ketika sebab itu ada atau tidak, dan tidak terikat dengan seluruhnya atau sebagiannya.[23]

8.       Membaca Bismalah Sebelum Makan

Hadits yang Membicarakan tentang Membaca “Bismillah”antara lain:

Dari ‘Umar bin Abi Salamah, ia berkata, “Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

« يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ » . فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِى بَعْدُ


"Wahai Ghulam, bacalah “bismilillah”, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu." Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu. [24]

Dari Wahsyi bin Harb dari ayahnya dari kakeknya bahwa para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ. قَالَ « فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ ». قَالُوا نَعَمْ. قَالَ « فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ »


"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang?" Beliau bersabda: "Kemungkinan kalian makan sendiri-sendiri." Mereka menjawab, "Ya." Beliau bersabda: "Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya." [25]

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ


"Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta'ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta'ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”." [26]

Dari Hudzaifah, ia berkata, "Jika kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menghadiri jamuan makanan, maka tidak ada seorang pun di antara kami yang meletakkan tangannya hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memulainya. Dan kami pernah bersama beliau menghadiri jamuan makan, lalu seorang Arab badui datang yang seolah-oleh ia terdorong, lalu ia meletakkan tangannya pada makanan, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memegang tangannya. Kemudian seorang budak wanita datang sepertinya ia terdorong hendak meletakkan tangannya pada makanan, namun beliau memegang tangannya dan berkata,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ الَّذِى لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذَا الأَعْرَابِىِّ يَسْتَحِلُّ بِهِ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ وَجَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ يَسْتَحِلُّ بِهَا فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنَّ يَدَهُ لَفِى يَدِى مَعَ أَيْدِيهِمَا


"Sungguh, setan menghalalkan makanan yang tidak disebutkan nama Allah padanya. Setan datang bersama orang badui ini, dengannya setan ingin menghalalkan makanan tersebut, maka aku pegang tangannya. Dan setan tersebut juga datang bersama budak wanita ini, dengannya ia ingin menghalalkan makanan tersebut, maka aku pegang tangannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya tangan setan tersebut ada di tanganku bersama tangan mereka berdua." [27]

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu anhuma: Sesungguhnya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ وَإِذَا لَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ

 

“Jika seseorang menyebut nama Allah ketika hendak masuk rumahnya dan ketika hendak makan, maka setan berkata, “Kalian (bangsa setan) tidak mempunyai tempat menginap dan makan malam.” Jika seseorang tidak menyebut nama Allah ketika hendak masuk rumahnya, maka setan berkata, “Kalian sudah mendapatkan tempat menginap.” Dan jika seseorang tidak menyebut nama Allah sewaktu hendak makan, maka setan berkata, “Kalian sudah mendapatkan tempat menginap dan makan malam.” [28]

Di antara adab yang wajib diketahui oleh setiap muslim sebelum makan adalah disyariatkan untuk membaca ‘BISMILLAH’ sebelum makan. Hukum membacanya adalah wajib berdasarkan perintah dalam hadits Aisyah di atas dan hadits-hadits lain. Sementara hukum asal dari sebuah perintah adalah wajib kecuali jika ada dalil yang memalingkannya kepada hukum sunnah, dan di sini tidak ada satupun dalil yang bisa memalingkan hukum wajib ini. Wajibnya membaca basmalah sebelum makan adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Al-Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (1/132). Imam Ibnu Al-Qayyim berkata, “Yang benarnya, wajib membaca basmalah ketika akan makan…. Hadits-hadits yang memerintahkannya shahih lagi tegas. Tidak ada dalil lain yang bertentangan dengannya dan tidak ada pula ijma’ yang diperbolehkan untuk menyelisihinya dan mengeluarkannya dari hukum asalnya.”[29]

Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya membaca basmalah sebelum makan adalah pengabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Jabir di atas bahwa setan akan makan bersama orang yang tidak membaca basmalah. Jika menjauh dari gangguan setan hukumnya adalah wajib maka itu menunjukkan membaca basmalah sebelum makan hukumnya juga wajib. Karenanya sudah sepatutnya setiap muslim memperhatikan hal ini dan jangan sampai dia lalai dari membacanya.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat (berijma’) bahwa disunnahkan membaca “bismillah” di awal ketika hendak makan.”[30]

Namun ijma’ (kata sepakat) yang diklaim oleh An Nawawi rahimahullah menuai kritikan dari Ibnu Hajar rahimahullah.

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Al Fath mengatakan, “Penukilan ijma’ (sepakat ulama) yang diklaim oleh An Nawawi bahwa disunnahkan membaca “bismillah” di awal makan adalah klaim yang kurang tepat. Karena jika itu hanya perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata, maka ada kemungkinan dihukumi sunnah. Namun ulama lain menyatakan bahwa hukum membaca “bismillah” adalah wajib. Alasannya, hal ini adalah konsekuensi dari pendapat yang menyatakan bahwa makan dengan tangan kanan adalah wajib. Jika demikian, maka membaca “bismillah” itu wajib karena sama-sama menggunakan kata perintah dan disebutkan dalam satu kalimat.” [31]

Dan di antara rahmat Islam adalah diberikannya uzur bagi mereka yang lupa membaca basmalah sebelum makan, akan tetapi dia disunnahkan untuk membaca BISMILLAHI FII AWWALIHI WA AKHIRIHI ketika dia mengingatnya, walaupun dia tengah makan.

Masalah:
Apakah yang dibaca cukup BISMILLAH ataukah boleh menambahnya menjadi BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM?
Jawab:
Yang lebih selamat adalah mencukupkan diri sesuai dengan yang tersebut dalam nash-nash yang ada yaitu hanya membaca BISMILLAH, berdasarkan dalil-dalil di atas. Dan di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits:
كَانَ إِذَا قُرِّبَ إَلَيْهِ طَعَاماً قال:بِسْمِ اللهِ
“Jika beliau disuguhi makanan, beliau membaca: BISMILLAH.”[32]

Masalah: Mengenai Do’a Makan “Allahumma baarik lanaa ...”

Sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,

روينا في كتاب ابن السني عن عبد اللّه بن عمرو بن العاص رضي اللّه عنهما عن النبيّ صلى اللّه عليه وسلم أنه كان يقول في الطعام إذا قُرِّبَ إليه : " اللَّهُمَّ بارِكْ لَنا فِيما رَزَقْتَنا وَقِنا عَذَابَ النَّارِ باسم اللَّهِ "


Telah diriwayatkan dalam kitab Ibnus Sunni dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ketika makanan didekatkan kepadanya, beliau biasa mengucapkan “Allahumma baarik lanaa fii maa rozaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban naar, bismillah”.

Do’a di atas yang biasa kita dengar dipraktekkan oleh kaum muslimin di sekitar kita. Namun apakah benar hadits di atas bisa diamalkan? Padahal jika kita lihat dari hadits-hadits yang ada, cuma dinyatakan ucapkanlah “bismillah”. Artinya, yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup sederhana.

Berikut penjelasan mengenai derajat hadits di atas:

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa di dalam riwayat tersebut terdapat Muhammad bin Abi Az Zu’ayzi’ah, dan Bukhari mengatakan bahwa ia adalah munkarul hadits.[33]

Adz Dzahabi mengatakan bahwa di dalam riwayat tersebut terdapat Muhammad bin Abi Az Zu’ayzi’ah, dan Abu Hatim mengatakan bahwa ia adalah munkarul hadits jiddan. Begitu pula hal ini dikatakan oleh Imam Al Bukhari.[34]

‘Ishomuddin Ash Shobabthi menjelaskan dalam takhrij Al Adzkar, “Hadits tersebut dikeluarkan oleh Ibnu As Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (459) dan sanadnya dho’if. Di dalamnya terdapat ‘Isa bin Al Qosim ibnu Sami’. Dia adalah perowi yang shoduq akan tetapi sering membuat kesalahan dan sering melakukan tadlis serta ia dituduh berpaham qodariyah. Juga diriwayatkan dari Muhammad bin Abi Az Zu’ayzi’ah. Ibnu Hibban mengatakan bahwa Muhammad bin Abi Az Zu’ayzi’ah adalah dajjal (pendusta besar).”[35]

Kesimpulan: Dari penjelasan keadaan perowi di atas, kita dapat simpulkan bahwa hadits di atas adalah hadits yang dho’if, sehingga tidak bisa diamalkan. Oleh karena itu, hendaklah kita cukupkan dengan bacaan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum makan yaitu bacaan “bismillah”.

9.  Do’a Sesudah Makan

Di antara do’a yang shahih yang dapat diamalkan dan memiliki keutamaan luar biasa adalah do’a yang diajarkan dalam hadits berikut.

Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ. غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


"Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath'amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu." [36]

Namun jika mencukupkan dengan ucapan “alhamdulillah” setelah makan juga dibolehkan berdasarkan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا


Sesungguhnya Allah Ta'ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum.[37]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang mencukupkan dengan bacaan “alhamdulillah” saja, maka itu sudah dikatakan menjalankan sunnah.[38]

Faedah: Disunnahkan bagi seorang yang diundang makan untuk mendo’akan orang yang mengundangnya makan. Diantara do’a yang dianjurkan adalah:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُمْ، وَارْحَمْهُمْ، وَبَاِرِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka” [39]

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ، وَاغْفِرْ لَهُم،ْ وَارْحَمْهُمْ

“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.” [40]

Atau dengan lafazh:

اَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي، وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku.” [41]

Atau bagi seorang yang diundang berbuka puasa mendo’akan dengan lafazh:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ، وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ، وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ

“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.” [42]

Faedah: Apabila seseorang hendak meminum susu, hendaknya kitamembaca do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَطْعَمَهُ اللَّهُ الطَّعَامَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ وَأَطْعِمْنَا خَيْرًا مِنْهُ. وَمَنْ سَقَاهُ اللَّهُ لَبَنًا فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ وَزِدْنَا مِنْهُ


"Barang siapa yang Allah beri makan hendaknya ia berdoa: “Allaahumma baarik lanaa fiihi wa ath'imnaa khoiron minhu” (Ya Allah, berkahilah kami padanya dan berilah kami makan yang lebih baik darinya). Barang siapa yang Allah beri minum susu maka hendaknya ia berdoa: “Allaahumma baarik lanaa fiihi wa zidnaa minhu” (Ya Allah, berkahilah kami padanya dan tambahkanlah darinya). Rasulullah shallallahu wa 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada sesuatu yang bisa menggantikan makan dan minum selain susu." [43]

Kemudian disunnahkan juga setalahnya untuk berkumur-kumur.

Dari Suwaid bin Nu’man radhiyallahu’anhu:

“Dirinya pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pada tahun penaklukan khaibar. Ketika mereka sampai di daerah Shahba’, yakni daerah terdekat Khaibar, beliau mengerjakan shalat Ashar. Setelah itu, belaiau memerintahkan untuk mengeluarkan perbekalan makanan. Tak adayang disuguhkan melainkan hanyalah sebuah adonan gandum dan jelai. Lalu beliau memerintahkan agar adonan itu dicampur air. Lantas Rasulullah dan kami memakannya. Seusai makan, kami bersiap-siap mengerjakan shalat maghrib. Beliau berkumur-kumur dan kami pun ikut berkumur-kumur. Setelah itu, beliau mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi.”[44]

Berkata imam Ibnu Hajar rahimahullah, “Al-Bukhari menjadikan hadits ini sebagai dalil kebolehan menjadikan dua shalat atau lebih dengan satu kali wudhu’ dan sunnahnya berkumur-kumur setelah makan.”[45]

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,

“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berkumur-kumur setelah meminum susu. Beliau lantas bersabda, “Susu itu mengandung lemak.”[46]

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari no: 211 dengan Bab. Hal yumadhmidhu minal laban (haruskah berkumur-kumur setelah meminum air susu).

Berkata imam Ibnu Hajar, “Dalam hal ini terdapat illah (alasan) dari anjuran berkumur-kumur setelah minum air susu yaitu mengandung lemak, sehingga dianjurkan untuk berkumur-kumur setelah mengkonsumsi segala sesuatu yang mengandug lemak.”[47]

Berkata imam Ibnul Muflih, “Disunnahkan berkumur-kumur seusai meminum susu.” Ia juga mengatakan, “Dianjurkan untuk berkumur-kumur dari setiap makanan yang mengandung lemak lantaran alasan yang telah dikemukakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam.”[48]

10. Memperhatikan Posisi Duduk Ketika Makan[49]

Sungguh agama Islam yang mulia ini telah mengatur tentang bagaimana pisisi duduk yang benar dalam menyantap makanan atau minum.

Abu Juhaifah meriwayatkan , bahwa beliau berkata : “ Saya pernah berada disisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda kepada seseorang yang berada disampingnya :

“Tidaklah sekali-kali aku makan sambil bertelekan.”[50]

Ibnu Hajar mengatakan : “ Cara bertelekan yang dilarang telah terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan : Dengan bersandar sewaktu makan dengan posisi apapun juga. Ada yang berpendapat : Duduk serong kesalah satu sisi tubuhnya . Ada yang berpendapat : Duduk dengan menopang kepada tangan kirinya diatas tanah …

Beliau berkata : Ibnu Adiy meriwayatkan dengan sanad yang dha’if : “ Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang bersandarkan dengan tangan kirinya ketika makan.”

Malik berkata : “ Ini adalah salah satu bentuk bertelekan.”

Saya – Ibnu Hajar – berkata : “ Dan ini adalah isyarat dari Malik bahwa makruh setiap yang termasuk dalam bertelekan sewaktu makan, dan tidak mengkhususkannya dengan posisi tertentu …

Ibnu Hajar mengatakan : “ Dan apabila hal ini suatu ketetapan bahwa makruh atau termasuk khilaf aula – menyalahi amalan yang utama – , maka posisi duduk yang sunnah disaat makan adalah dengan duduk berjingkat pada lutut dan menegakkan tumit, dengan melipat kaki kanan dan duduk diatas kaki kiri.”[51]

Dan tinjauan makruhnya posisi duduk ini dikarenakan merupakan posisi duduk para penguasa yang angkuh dan raja-raja negeri asing. Dan merupakan posisi duduk orang-orang yang berkeinginan memperbanyak makannya.[52]

Dan posisi yang kedua dari cara makan seseorang yang terlarang adalah makan sambil duduk bersandar/bertelungkup di atas perutnya.

Dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu , beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang orang-orang berbuat tamak, dan melarang duduk diatas meja yang terhidang khamar, dan melarang seseorang duduk bertelungkup diatas perutnya.” [53]

  Faedah : Cara duduk ketika makan : Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan posisi muq’in dan disebutkan dari beliau, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk ketika makan dengan duduk tawarruk, yaitu duduk diatas kedua lutut dan meletakkan telapak kaki kiri beliau atas punggung kaki kanan beliau, sebagai bentuk sikap tawadhu’ – rendah diri – kepada Rabb-nya ‘azza wajalla. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim.[54]

  Adapun posisi duduk ketika makan yang pertama adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, belaiu berkata : “ Saya telah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dengan posisi muq’in[55], sedang memakan kurma.”[56]

  Adapun posisi duduk yang kedua : Diriwayatkan dari Abdullah bin Busr radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi hadiah seekor kambing, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertopang dengan kedua lututnya menyantap kambing tersebut. Maka seorang Arab Badui berkata kepada beliau : Posisi duduk apakah ini ?. Beliau bersabda : Sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai seorang hamba yang mulia dan tidak menjadikan aku sebagai seorang penguasa angkuh lagi pembangkang.”[57]

Faedah: Termasuk gaya makan yang terlarang adalah makan sambil tengkurap. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jenis makanan: yaitu duduk dalam jamuan makan yang menyuguhkan minum-minuman keras dan makan sambil tengkurap.” [58]

 

11.      Makan Dan Minum Dengan Tangan Kanan

 

Kita perhatikan banyak kaum muslimin yang belum tahu atau menganggap sepele adab makan minum dalam Islam. Di antara yang masih banyak dilakukan adalah makan dan minum menggunakan tangan kiri. Padahal telah jelas perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam untuk makan dan minum dengan tangan kanan dan itu bukan sekedar keutamaan.

Allah berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS An-Nur: 63)

Allah Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mengingatkan orang-orang yang menentang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam yang itu merupakan jalan, manhaj, cara dan sunnahnya. Barangsiapa menyelisihinya secara lahir dan batin berarti dia berada di mulut jurang kebinasaan dan berada dalam bahaya bahwa hatinya akan ditimpa kekufuran dan kemunafikan serta ancaman adzab Allah ‘Azza wa Jalla. Na’udzubillah.

Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih,

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ


Wahai anak, sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah yang ada di hadapanmu." [59]

Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat,

« إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ ».


"Jika seseorang di antara kalian makan, maka hendaknya dia makan dengan tangan kanannya. Jika minum maka hendaknya juga minum dengan tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula." [60]

Dalam kitab yang sama disebutkan riwayat lainnya,

أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.


Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Dia malah menjawab, 'Aku tidak bisa.' Beliau bersabda, ‘Benarkah kamu tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.” [61]

Berkata imam Ibnul Jauzi, “Tatkala tangan kiri dijadikan sebagai alat untuk cebok dan langsung bersentuhan dengan hal-hal yang najis, sedangkan tangan kanan digunakan untuk makan, maka tidaklah pantas kemudian dialih fungsikan salah satu dari keduanya...barang siapa menyelisihi hal tersebut berarti dia telah meniru perbuatan setan.”[62]

Oleh karena itu bagi seseorang yang masih tetap makan dan minum dengan tangan kiri perhatikanlah hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam berikut. Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِينِكَ قَالَ لَا أَسْتَطِيعُ قَالَ لَا اسْتَطَعْتَ مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ

 

“Ada seorang laki-laki yang makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tangan kirinya. Maka Rasulullah bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Dia menjawab, “Aku tidak bisa.” Beliau bersabda, “Semoga kamu tidak bisa?” -padahal tidak ada yang mencegah dia makan dengan tangan kanan kecuali karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa dia angkat sampai ke mulutnya.” [63]

Dalil-dalil di atas tegas menunjukkan haramnya makan dengan tangan kiri dari beberapa sisi:
a).    Perintah untuk makan dengan tangan kanan, dan hukum asal perintah adalah wajib. Bahkan dalam hadits riwayat Ahmad no. 16756 disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada seorang wanita:
لَا تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَكِ يَمِينًا
“Janganlah kamu makan dengan tangan kirimu, padahal Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menciptakan tangan kanan untukmu.” [64]

b).    Makan dengan tangan kiri menyerupai setan, dan sudah dimaklumi seorang muslim diharamkan untuk menyerupai orang kafir, apalagi setan.
c).    Nabi shallallahu alaihi wasallam mendoakan kejelekan kepada orang yang makan dengan tangan kirinya. Seandainya hukumnya bukan haram, tidak mungkin beliau shallallahu alaihi wasallam mendoakan kejelekan atasnya.

Karenanya, pendapat haramnya makan dengan tangan kiri adalah pendapat yang dikuatkan oleh sejumlah ulama di antaranya: Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (11/113), Ibnu Al-Qayyim dalam Zaad Al-Ma’ad (2/405), Asy-Syaukani dalam Nail Al-Authar (8/167), Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (9/522), dan beliau menukil dari bahwa Imam Asy-Syafi’i menegaskan dalam Al-Umm dan Ar-Risalah akan haramnya.

Namun jika ada udzur (halangan) menggunakan tangan kanan kala itu, maka dimaafkan jika harus menggunakan tangan kiri. Ibnu Baththol menukil perkataan Ath Thobari, di mana beliau berkata, “Tidak boleh makan dan minum dengan tangan kiri kecuali bagi orang yang tangan kanannya dalam kesulitan untuk digunakan karena mesti melakukan hal lainnya seperti digunakan untuk mengambil, memberi, mengangkat, meletakkan atau membentangkan sesuatu.” Lalu Ath Thobari menyebutkan riwayat ‘Ali yang mendukung hal ini.[65]

Masalah: Minum Dengan Tangan Kiri Dan Tangan Kanan Diletakkan Di Bawah Gelas


Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya.

Fadhilatusysyaikh…Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Amma ba’dau

Pertanyaan:
Ditengah-tengah kaum muslimin saat ini tersebar fenomena minum dengan tangan kiri. Mereka beralasan (minum dengan tangan kanan) itu mengotori gelas. Ada juga yang minum dengan tangan kiri dan meletakkan tangan kanan dibawah gelas. Bagaimana hukum dua perbutan tersebut?

Semoga Allah memberimu kebaikan dan menjadikan ilmumu bermanfaat bagi kaum muslimin.

Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim
Wa’alaikummussalam warahmatullah wabarakatuh.

Minum dengan tangan kiri hukumnya haram berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

لا يَأْكُلْ أَحَدُكُمْ بِشِمَالِهِ، وَلا يَشْرَبْ بِشِمَالِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَيَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَ يَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Janganlah salah seorang diantara kalian makan degan tangan kiri dan minum dengannya karena setan makan dan minum dengan tangan kiri.”

Nabi melarang perbuatan tersebut dan menjelaskan bahwa makan minum dengan tangan kiri termasuk perbuatan setan. Dan semua perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan setan, wajib untuk dijauhi. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan tersebut) agar kamu beruntung.”(QS. Al-Maidah: 90)

Juga larangan Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam sabda beliau,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka.”

Padahal sesuatu yang haram itu tidak boleh dilakukan kecuali karena alasan darurat. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Dan Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkanNya padamu. Kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa.” (QS. Al- An’am :119)

Sementara kita ketahui bersama, kekhawatiran akan mengotori gelas dengan sisa makanan, ketika seseorang minum dengan tangan kanan, sama sekali bukan keadaan darurat. Karena batasan daruat ialah sesuatu yang menyebabkan seseorang mendapatkan bahaya bila ia tinggalkan. Dan mengotori gelas sama sekali tidak mengandung bahaya bagi seseorang. Terlebih jika dia bisa memegang gelas dari bawah, sehingga sama sekali tidak mengotori gelas.

Adapun minum dengan tangan kiri sementara tangan kanan diletakkan di bawah gelas maka perbuatan ini tidak bisa dikatakan murni minum dengan tangan kiri atau minum dengan tangan kanan murni. Karena itu yang menjadi acuan adalah mana yang paling dominan. Jika kondisinya lebih dominan tangan kiri maka dikuatkan hukum larangan. Dan jika yang lebih dominan tangan kanan maka dikuatkan hukum bolehnya.

Dan meninggalkan perbuatan tersebut lebih utama. Dia bisa pegang dengan tangan kanan dengan tetap berusaha tidak mengotori gelas. Dan kalaupun harus mengotori gelas, memang apa susahnya? Paling-paling hanya nambahi tugas mencucinya atau membersihakannya jika gelasnya kertas. [66]

12.       Makan Dengan Tiga Jari[67]

Diantara Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau makan dengan mempergunakan tiga jari. Dan juga menjilati jarinya setelah makan. Didala hadits Ka’ab bin Malik dari bapaknya, beliau berkata : “ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika makan beliau mempergunakan tiga jari dan menjilati jarinya sebelum mengelapnya.”[68]

Ibnul Qayyim mengatakan : “ Dikarenakan makan dengan satu atau dau jari tidaklah menjadikan seorang yang makan menikmatinya dan tidak juga memuaskannya dan tidak mengenyangkannya kecuali setelah lama berselang dan juga tidak mengenakkan organ mulut dan pencernaan dengan yang masuk kedalamnya dari setiap makanan … Sedangkan makan dengan lima jari dan telapak tangan akan menyebabkan makan memenuhi organ mulut dan juga pencernaan. Dan terkadang akan menyumbat saluran makan dan memaksakan organ-organ makan untuk mendorongnya dan juga pencernaan akan terbebani. Dan dia tidak akan mendapatkan kelezatan dan juga kepuasan. Dengan begitu maka cara makan yang paling bermanfaat adalah cara makan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan cara makan yang meneladani beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu dengan mempergunakan tiga jari.”[69]

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا


“ Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka janganlah dia membasuh tangannya hingga dia menjilatnya atau dijilatkan kepada orang lain.” Dan pada riwayat Ahmad dan Abu Daud :

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَمْسَحَنَّ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَهَا، أَوْ يُلْعِقَهَا


“ Janganlah dia mengelap tangannya dengan kain lap, hingga dia menjilatnya atau dijilatkan kepada orang lain.”[70]

Dan sebab hal itu diperintahkan diterangkan pada hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjilat jari dan piring makanan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ


Sesungguhnya kalian tidak mengetahui dimanakah turunnya berkah .”[71]

Dan pada sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ Kalian tidak mengetahui dimanakah turunnya”  , maknanya – wallahu a’lam – bahwa makanan yang berada dihadapan seseorang mengandung berkah, dan dia tidaklah mengetahui apakah berkah itu yang dimakannya ataukah yang tersisa dijari-jarinya atau yang tersisa dibagian bawah piring ataukah pada butiran makanan yang terjatuh. Maka sepatutnyalah seseorang menjaga hal ini semuanya agar dia mendapatkan berkah. Dan asal suatu berkah adalah tambahan dan kebaikan yang selalu ada serta senantiasa dirasakannya. Dan yang dimaksud disini –wallahu a’lam – adalah yang dapat mengenyangkan dan akhirnya memberi keselamatan dari segala gangguan dan memperkuat ketaatan kepada Allah dan lain sebagainya, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.[72]

Akan tetapi jika makanan itu susah untuk diambil dan dimakan dengan tiga jari, boleh menggunakan lebih dari tiga jari. Telah berkata Al-Qadliy ‘Iyadl rahimahullah, “Makan dengan lebih dari tiga jari termasuk keburukan dan jeleknya adab. Hal itu dikarenakan tidak ada kebutuhan yang mengharuskan menggunakan lebih dari tiga jari untuk mengumpulkan suapan makanan dan memegangnya. Namun jika ada kebutuhan untuk makan lebih dari tiga jari, karena ringan/lembutnya makanan dan tidak dapat diambil dengan tiga jari, maka ia boleh menggunakan jari yang keempat atau kelima.” [73]

 

Illat (alasan) hukum menggunakan lebih dari tiga jari adalah karena ada kebutuhan. Hal itu sama dengan penggunaan sendok, ia pun boleh dipakai karena kebutuhan (untuk makan makanan yang berkuah, sup, dan yang lain sebagainya). Oleh karenanya, makan dengan sendok tidaklah lebih utama daripada makan lebih dari tiga jari dengan melihat ‘illat hukum yang sama. Wallahu ta’ala a’lam.

 

13.   Makan Dari Makanan Yang Dekat

 

Umar bin Abi Salamah meriwayatkan, “Suatu hari aku makan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku mengambil daging yang berada di pinggir nampan, lantas Nabi bersabda,

وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ


“Makanlah makanan yang berada di dekatmu.” [74]

Hikmah dari larangan mengambil makanan yang berada di hadapan orang lain, adalah perbuatan kurang sopan, bahkan boleh jadi orang lain merasa jijik dengan perbuatan itu.

Anas bin Malik meriwayatkan, “Ada seorang penjahit yang mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikmati makanan yang ia buat. Aku ikut pergi menemani Nabi. Orang tersebut menyuguhkan roti yang terbuat dari gandum kasar dan kuah yang mengandung labu dan dendeng. Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengambil labu yang berada di pinggir nampan.” [75]

Kalau lihat hadits ini, Nabi pernah tidak hanya memakan makanan yang berada di dekat beliau, tetapi juga di depan orang lain. Sehingga untuk kompromi dua hadits tersebut, Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Jika dalam satu jamuan ada dua jenis atau beberapa macam lauk, atau jenis makanan yang lain, maka diperbolehkan untuk mengambil makanan yang tidak berada di dekat kita. Apabila hal tersebut dimaksudkan untuk memilih makanan yang dikehendaki. Sedangkan maksud Nabi, “Makanlah makanan yang ada di dekatmu” adalah karena makanan pada saat itu hanya satu jenis saja. Demikian penjelasan para ulama.”[76]

 14.  Anjuran Makan dari Pinggir Piring

Diriwayatkan dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلَا يَأْكُلْ مِنْ أَعْلَى الصَّحْفَةِ، وَلَكِنْ لِيَأْكُلْ مِنْ أَسْفَلِهَا، فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ مِنْ أَعْلَاهَا


“Jika kalian makan, maka janganlah makan dari bagian tengah piring, akan tetapi hendaknya makan dari pinggir piring. Karena keberkahan makanan itu turun dibagian tengah makanan.” [77]

Hikmah larangan makan dari bagian tengah piring adalah, agar kita mendapatkan keberkahan yang berada di tengah-tengah makanan. Jika sedang makan bersama (baca: kembulan -Jawa, sepiring berdua atau lebih) terdapat hikmah yang lain, yaitu orang yang mengambil makanan berada di tengah, di nilai orang yang tidak sopan dan memilih yang enak-enak saja untuk dirinya sendiri.

15.   Makan Dan Minum Dengan Duduk

Merupakan adab yang benar dari adab makan dan minum adalah makan dan minum sambil duduk, sebagaimana telah lalu penjelasan hal tersebut.

Adapun berkaitan dengan hukum makan sambil berdiri maka itu diperbolehkan sebagaimana perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ


“Dahulu kami pernah makan di zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam keadaan berjalan, dan kami pernah minum dalam keadaan berdiri.”[78]

Berkata imam Ibnu Hajar rahimahullah, “Tidak ada khilaf tentang bolehnya bagi seseorang untuk makan dengan berdiri.”[79]

Disana terdapat hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,

أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا "، قَالَ: فَقُلْتُ: فَالْأَكْلُ، قَالَ: " أَشَرُّ وَأَخْبَثُ "


 “Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang seseorang minum dengan berdiri.” Maka Qatadah berkata, “Bagaimana dengan makan?” maka Anas berkata itu lebih jelek.”[80]

Namun riwayat diatas tidaklah menunjukan akan keharaman makan dengan berdiri, dikarenakan para shahabat pernah melakukan hal tersebut.

Adapun tentang minum sambil berdiri maka ada beberapa dalil yang menunjukan akan larangannya antara lain:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا، فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ


Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan.” [81]

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri.[82]

Namun disana terdapat beberapa dalil yang menunjukan pembolehan minum dengan berdiri antara lain:

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

سَقَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا


Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي، وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ


Kami dahulu pernah makan di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sambil berjalan dan kami minum sambil berdiri.” [83]

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " يَصُومُ فِي السَّفَرِ وَيُفْطِرُ، وَرَأَيْتُهُ يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا، وَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي حَافِيًا وَمُنْتَعِلًا، وَرَأَيْتُهُ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ "


Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan berbuka ketika safar, minum sambil berdiri dan duduk, shalat dengan telanjang kaki dan memakai sandal, serta berpaling dari arah kanan dan kirinya (setelah selesai shalat).” [84]

Dalam menyikapi beberapa hadits di atas yang (kelihatan) saling bertentangan, para ulama terkelompok dalam 3 metode :

  1. Tarjih (menguatkan pendapat).


Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan:

a). Mengunggulkankan hadits pelarangan daripada pembolehan sebagai langkah hati-hati sebagaimana pengamalan terhadap sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

دَعْ ما يريبُكَ إلى ما لاَ يرِيبُكَ


 

“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu.” [85]

Selain itu, hadits-hadits pelarangan datang melalui ucapan beliau, sedangkan hadits-hadts pembolehan datang melalui perbuatan beliau. Dalam hal ini, perkataan lebih didahulukan daripada perbuatan, karena ada kemungkinan bahwa perbuatan beliau minum sambil berdiri merupakan kekhususan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja, bukan untuk yang lainnya.

b). Mengunggulkan hadits pembolehan daripada pelarangan karena dianggap lebih kuat, lebih shahih, dan lebih banyak jumlahnya. Abu Bakr Al-Atsram dalam salah satu perkataannya mengungkapkan pendapat ini. Ini juga salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal dan yang masyhur dalam madzhabnya, serta jumhur Malikiyyah.
Pembolehan minum sambil berdiri secara mutlak merupakan pendapat jumhur tabi’in seperti : Sa’iid bin Jubair, Thaawus, Zaadzaan Abu ‘Umar Al-Kindiy, dan Ibrahim bin Yaziid An-Nakha’iy.[86]

2. Nasakh.
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan :
a. Hadits-hadits larangan telah mansukh oleh hadits-hadits pembolehan, dengan bukti yang dilakukan oleh Khulafaaur-Raasyidiin, sebagian besar shahabat, dan tabi’in yang membolehkannya. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Atsram[9] dan Ibnu Syaahin[10]. Al-Qurthubi[11] juga menguatkan pendapat ini dan menisbatkannya kepada jumhur shahabat dan ulama setelahnya.

b. Hadits-hadits pembolehan telah mansukh oleh hadits-hadits pelarangan, dengan dasar bahwa pembolehan adalah hukum asal, sedangkan pelarangan adalah hukum yang datang kemudian sebagai satu ketetapan syar’iy. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Hazm[12].

3. Al-Jam’u wat-Taufiiq (Kompromi).
Pada metode ini, ada banyak perkataan dan penafsiran dari para ulama. Akan disebutkan beberapa diantaranya yang utama :
Ada yang mengatakan bahwa bolehnya minum sambil berdiri hanya jika ada hajat/keperluan; selain dari itu, maka dibenci. Ini merupakan pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim rahimahumallah. Ibnu ‘Utsaimin termasuk yang bersepakat dengan mereka berdua.[87]

Ada yang memahami bahwa pelarangan minum sambil berdiri bukanlah pelarangan yang bermakna tahriim (pengharaman). Pelarangan tersebut bukan pelarangan yang bersifat syar’iy, namun dengan pelarangan atas pertimbangan kedokteran (thibbiy) yang akan menimbulkan bahaya/mudlarat. Disebutkan oleh Ibnul-‘Arabiy dalam ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/73. Ath-Thahawiy juga menyebutkan hal semakna dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/274 & 276 dan Syarh Musykilil-Aatsaar 5/347.

Ada yang mengatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri ini khusus ketika minum air zamzam dan kelebihan/sisa air wudlu. Ini merupakan pendapat ‘Ali Al-Qaariy dan sebagian ulama Hanafiyyah lainnya.[88]

Ada yang mengatakan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini adalah jika lupa saja sebagaimana dikatakan oleh Abul-Faraj Ats-Tsaqafiy.[89]

Ada pula yang berpendapat bahwa perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai pelarangan itu hanyalah makruh saja, sedangkan perbuatan beliau (yang minum sambil berdiri) menjelaskan tentang kebolehannya. Hadits-hadits pelarangan dibawa kepada makna disukainya minum sambil duduk, serta dorongan kepada amal-amal yang lebih utama lagi sempurna. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya adalah : Al-‘Aini dari kalangan Hanafiyyah, Al-Maaziri dari kalangan Maalikiyyah, dan Ibnu Jariir Ath-Thabari. Jumhur ulama Syafi’iyyah[90], juga menyepakati pendapat ini, diantaranya adalah : Al-Khaththaabiy, Al-Baghawi, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.[91]

Mana yang terpilih dan terkuat dari pendapat-pendapat tersebut ?

 

Tidak ragu lagi bahwasannya pendapat yang terpilih dan paling kuat adalah pendapat jumhur ulama yang menempuh metode al-jam’u wat-tawfiiq (kompromi) dengan menggunakan semua dalil (tanpa meninggalkan salah satu di antaranya), dimana mereka mengatakan : Pelarangan minum sambil berdiri hanya bermakna makruh saja. An-Nawawi telah memberikan penjelasan yang sangat baik, “Tidak ada kontradiksi dalam hadits-hadits ini, segala puji bagi Allah ta’ala. Tidak ada pula kelemahan padanya, bahkan semua hadits-hadits tersebut adalah shahih. Dan yang benar di dalamnya adalah : Larangan dalam hadits tersebut dibawa kepada hukum makruh tanziih. Adapun minumnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri merupakan penjelasan bolehnya perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam memahaminya dan tidak pula ada pertentangan. Inilah yang perlu dikatakan dalam persoalan ini.
Apabila dikatakan : “Bagaimana minum sambil berdiri bisa dikatakan makruh dengan kenyataan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya?”.
Jawabannya adalah : Perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang kebolehannya, bukan kemakruhannya. Bahkan menjelaskan tentang segala hal tersebut adalah wajib bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lantas bagaimana bisa dikatakan makruh ? Telah shahih dari beliau bahwa beliau pernah wudlu sekali-sekali (dalam basuhan anggota badan) dan thawaf di atas onta yang bersamaan itu para ulama telah bersepakat bahwa wudlu tiga kali-tiga kali (dalam basuhan) dan thawaf dengan berjalan kaki lebih sempurna (lebih baik). Ada banyak contoh serupa dalam hal ini. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kebolehan membasuh sekali atau berkali-kali, namun di sisi lain beliau tetap mengerjakan yang utama. Dan memang seperti itulah kebiasaan ( yang sering dilakukan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika wudlu dengan membasuh sebanyak tiga kali-tiga kali, berjalan kaki ketika thawaf, dan duduk ketika minum. Perkara ini sangat jelas tanpa ada permasalahan meskipun bagi orang yang rendah nisbatnya kepada ilmu. Wallaahu a’lam. [92]

Tidak bisa dikatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri itu hanya dikhususkan bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini terjawab oleh perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي، وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ


“Kami pernah makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [telah berlalu takhrij-nya].

Walaupun teks redaksinya adalah mauquf, namun ia dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Para shahabat melakukannya ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Dan itu senantiasa mereka lakukan setelah beliau wafat.

Hadits ini juga menjawab sebagian besar pendapat-pendapat yang keliru di atas.
Adapun anggapan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini jika hanya ada hajat, maka itu terjawab oleh hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dimana ia mengingkari ketidaksukaan sebagian orang minum sambil berdiri. Banyak nukilan shahabat dan tabi’in dimana mereka minum sambil berdiri tanpa ada hajat. Oleh karena itu, kebolehan ini adalah bersifat umum (dalam segala keadaan).
Metode tarjih dan klaim adanya nasakh juga harus ditinggalkan selama metode kompromi bisa dilakukan. Wallahu A'lam

Bersambung Insya Allah.....

 

 

 

 








[1]  Point ini meruju’ pada Kitabul Adab: hal. 150-153. Fuad Abdul Aziz Asy-Syalhub.




[2]  Al-Adab Asy-Syar’iyah: 3/214, Kitabul Adab: hal. 150-151. Fuad Abdul Aziz Asy-Syalhub.




[3]  Al-Adab: 3/212.




[4]  Didalam Lisanul ‘Arab : Al-Ghamar yaitu bau daging dan lemak yang melekat pada tangan ( 5 / 32 ) , pada pembahasan ; Ghamara.




[5]  HR. Ahmad: no. 7515 ,Abu Daud: no. 3852 , di shahihkan oleh syaikh Al-Albani Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi: no. 1860 , Ibnu Majah: no. 3297 dan Ad-Darimi: no. 2063 .




[6]  HR. Ahmad: no. 27487 , Ibnu Majah: no. 493  dan Al-Albani menshahihkannya: no. 498 .




[7]  HR. Malik: no. 53.




[8] HR. Al-Bukhari: no. 286 , Muslim: no. 305 , dan lafazh hadits ini adalah lafazh riwayat Muslim, Ahmad : no.  24193 , An-Nasa`I:no.  255 , Abu Daud: no. 224 , Ibnu Majah: no. 584 danAd-Darimi: no. 757 .




[9]  HR. Malik: no. 111.




[10]  Al-Adab Asy-Syar’iyah: 3/214.




[11]  HR. An-Nasa`I: no. 256 , Ahmad: no. 24353  dan selain mereka berdua.




[12]  Lihat : As-Silsilah Ash-Shahihah ( 1 / 674 ) no. ( 390 ).




[13]  Syarh Sunan An-Nasa`I karya As-Suyuthi dan Hasyiyah As-Sindi, Daar Al-Kitab Al-Arabi ( 1 / 138 – 139 )




[14]  Yang mencantumkan hadits ini pada tiga judul bab, yaitu : Pertama : Wudhu’ seorang yang junub apabila hendak makan. Kedua : Seorang yang junub mencukupkan dengan membasuh kedua tangan apabila hendak makan. Ketiga : Seorang yang junub mencukupkan mencuci kedua tangan apabila hendak makan atau minum. Lhat : Kitab Ath-Thaharah pada Sunan An-Nasa’i.




[15]  Pembahsan ini banyak mengambil dari Kitabul Adab karya Fuad Abdul Azizi Asy-Syalhub hal. 148-150 dengan beberapa tambahan dari sumber lain.




[16]  HR. Al-Bukhari: no. 5464 , Muslim: no. 557 , Ahmad: no. 12234 , At-Tirmidzi: no. 353 ), An-Nasa`I : no. 853 ) dan Ad-Darimi: no. 1281.




[17]   HR. Al-Bukhari: no. 673 , Muslim: no. 559 , ahmad: no. 5772 , At-Tirmidzi: no. 354 , Abu Daud: no. 3757, Ibnu Majah: no. 934, dan Ad-Darimi: no. 1281.




[18]  Al-Musnad: no. 6323.




[19]  Fathul Bari: 2/189.




[20]   HR. Muslim: no. 560 , Ahmad: no. 23646  dan Abu Daud: no. 89.




[21] HR. Muslim dengan Syarh An-Nawawi Jilid 3 ( 5 / 38 ).




[22]  Diriwayatkan secara mu’allaq oleh Al-Bukhari didalam Kitab Al-Adzan, bab. Idzaa Hadhara Ath-Tha’am wa Uqiimat Ash-Shalat. Ibnu Al-Mubarak meriwayatkan atsar ini secara maushul didalam kitab Az-Zuhd. Dan Muhammad bin Nashr Al-Marruzi meriwayatkannya didalam Kitab Ta’dziim Qadri Ash-Shalat, dari jalan Ibnu Al-Mubarak. Sebagaimana pernyataan Ibnu Hajar didalam Fathul Bari ( 2 / 187 )




[23]   Fathul Bari:  2 / 189 – 190.




[24]  HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022.




[25]  HR. Abu Daud no. 3764. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan.




[26]  HR. Abu Daud no. 3767 dan At-Tirmidzi no. 1858. At-Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih.

 




[27] HR. Abu Daud no. 3766. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih.




[28]  HR. Muslim: no. 2018.




[29]  Zaad Al-Ma’ad: 2/396.




[30]  Al-Adzkar: hal. 219.




[31]  Fathul Bari: 9/522




[32]  HR. Ahmad: no. 19179, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 71.

 




[33]  Lisanul Mizan: 7/136.




[34] Mizanul I’tidal:  3/549.




[35]  catatan kaki kitab Al Adzkar: hal. 217.




[36]  HR. Tirmidzi no. 3458. Tirmidzi berkata, hadits ini adalah hadits hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.




[37]  HR. Muslim: no. 2734.




[38] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi: 17/51.




[39]  Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad: 4/187-188, dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.




[40]  Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim: no. 2042), At-Tirmidzi: no. 3576, Abu Dawud: no. 3729, dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.




[41]  Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim: no. 2055, Ahmad: 6/2, 3, 4, 5, dari Sahabat al-Miqdad bin al-Aswad radhiyallaahu ‘anhu. Do’a tersebut diucapkan pula bila kita diundang makan atau makan di rumah orang lain ketika bertamu atau lainnya.




[42]  Diriwayatkan oleh Ahmad: 3/118, 138, Abu Dawud: no. 3854, al-Baihaqi: 7/287, an-Nasa'i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah: no. 299 dan Ibnu Sunni: no. 482, dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Do’a ini diucapkan ketika seseorang berbuka puasa di rumah orang lain, juga ketika kita diundang makan. Lihat Adabuz Zifaf: hal. 171.




[43]  HR. Tirmidzi no. 3455, Abu Daud no. 3730, Ibnu Majah no. 3322. At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

 




[44]  HR. Bukhari: no. 209.




[45]  Fathul Bari: 1/374.




[46]  HR. Muslim: no. 358.




[47]  Fathul Bari: 1/374.




[48]  Al-Adabusy Syar’iyyah: 3/211.




[49]  Lihat Kitabul Adab: hal. 147-148.




[50]  HR. Al-Bukhari: no. 5399 , dan lafazh diatas adalh lafazh hadits Al-Bukhari, Ahmad: no. 18279 , At-Tirmidzi: no. 1830 , Abu Daud: no. 3769 , Ibnu Majah: no. 3262  dan Ad-Darimi: no. 2071 .




[51]  Fathul Bari: 9 / 452 , Saya berkata : Posisi ini yaitu dengan menegakkan kaki kanan dan duduk diatas kaki kiri, diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Muqriy didalam Asy-Syamail dari hadits beliau – Abu Juhaifah – :” Apabila beliau duduk, maka beliau melipat lututnya yang kiri dan menegakkan kaki kanannya … “ Sanadnya dha’if. Al-‘Iraqi mengatakannya didalam Takrij Ihya’ ‘Ulumuddin: 2 / 6, cet. Daar Al-Hadith, cet. I 1412.




[52]  Lihat : Zaad Al-Ma’ad:  4 / 222  dan Fathul Bari : 9 / 452 .




[53]  HR. Abu Daud : no. 3774  dan Al-Albani menshahihkanya dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah : no. 3370 .




[54] Zadul Ma’ad: 4/221.




[55]  Yaitu duduk diatas kedua dubur nya dengan menegakkan kedua lutut beliau. Syarh Muslim Jilid 7 ( 13/ 188 ).




[56]  HR. Muslim: no. 2044 , Ahmad: no. 12688 , Abu Daud: no. 3771  dan Ad-Darimi: no. 2062 .




[57] HR. Ibnu Majah: no. 3263 dan lafazh hadits tersebut lafazh riwayat Ibnu Majah. Ibnu Hajar didalam Al-Fath : 9 / 452  menghasankan sanadnya. Al-Albani berkata : Shahih ( 5464 ). Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Abu Daud: no. 3773  tanpa menyebutkan kedua lutut.




[58]  HR. Abu Daud dan Ibnu Majjah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani.

 




[59]  HR. Bukhari no. 5376, Bab Membaca Basmalah ketika Makan dan Makan dengan Tangan Kanan; Muslim no. 2022, Bab Adab Makan-Minum dan Hukumnya.




[60] HR. Muslim no. 2020.




[61]  HR. Muslim no. 2021.




[62] Kaysful Musykil: 2/594 (1227)




[63]  HR. Muslim: no. 2021.




[64]  Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah no. 71




[65]  Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah: 18/27.




[66] Ditulis oleh Muhammad Ash Shalih Al ‘Utsaimin pada tanggal 13/4/1414 H.
Maraji’ : Makhthtuthun Biqalami Fadhilatisy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Ustaimin. Artikel muslimah.or.id.




[67]  Kitabul Adab: hal. 160-161.




[68]  HR. Muslim: no.  20232 , Ahmad : no. 26626 , Abu Daud: no. 3848  dan Ad-Darimi : no. 2033.




[69]  Zadul Ma’ad: 4/222, dengan sedikit perubahan.




[70]  HR. Al-Bukhari : no. 5456 , Muslim : no. 2031 , Ahmad : no. 3224 , Abu Daud : no. 3847 , Ibnu Majah: no.  3269  dan Ad-Darimi : no. 2026 .




[71]  HR. Muslim : no. 2033  dan lafazh hadits diatas adlah lafazh beliau, Ahmad : no. 13809 , dan Ibnu Majah : no. 3270 .




[72]  Syarh Muslim jilid 7 ( 13 / 172 )




[73]  Fathul Bari: 9/578.




[74]  HR. Muslim: no. 2022.




[75] HR. Bukhari, no. 5436, dan Muslim no. 2041.




[76]  At-Tamhiid : I /277.




[77]  HR Abu Dawud no. 3772, Ahmad, 2435, Ibnu Majah, 3277 dan Tirmidzi, 1805. Imam Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini hasan shahih.”

 




[78]  HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi. Dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani di dalam Al-Misykat: no. 4275 dan Ash-Shahihah: no. 3178.




[79]  Fathul Bari: 10/83.




[80]  HR. Muslim: no. 2024.




[81]  HR. Muslim: no. 2026.




[82]  HR. Muslim: no. 2024.




[83]  HR. Tirmidzi no. 1880 dan Ibnu Majah no. 3301. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.




[84]  HR. Ahmad 2/206, At-Tirmidziy no. 1883 , dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/332-333.




[85]  HR. An-Nasa’i: 8/327 dan At-Tirmidzi: no. 2518.




[86]  Lihat Al-Muntaqaa Syarh Al-Muwaththa’ oleh Al-Baajiy 7/237, ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/72-73, Syarh Al-Bukhariy oleh Ibnu Baththaal 6/72, Al-Mufhim oleh Al-Qurthubiy 5/285-286, Haasyiyyah Al-‘Adawiy 2/609, Fawaakihud-Dawaaniy oleh Ahmad bin Ghaniim An-Nafraawiy 2/319.




[87] Syarh Riyaaldush-Shaalihiin – باب كراهة الشرب من فم القربة ونحوها وبيان أنه كراهة تنزيه لا تحريم – http://www.islamspirit.com.




[88]  Mirqaatul-Mafaatih: 8/165-166, Al-Fatawa Al-Hindiyyah: 1/8 & 5/341, Haasyiyyah Ibni ‘Abidin: 1/129-130, Tabyinul-Haqaiq: 1/7, Al-Bahrur-Raiq: 1/30, Ad-Durrul-Mukhtar: 1/129, Bada’iush-Shanai:’ 1/23, Hasyiyyah Ath-Thahthawialaa Maraqil-Falah: 1/51, Syarh Fathil-Qadir: 1/36, Nurul Idlah 1/19, dan Majma’ul-Anhar 1/30. Artikel abul jauza.com.




[89]  Sebagaimana dalam Fathul-Bari: 10/84. Dinukil pula oleh Al-‘Ainiy dalam ‘Umdatul-Qaariy: 21/193 dari Ibnut-Tin dan semisalnya.




[90]  Sebagaimana dalam Syarh Shahih Al-Bukhariy oleh Ibnu Baththaal 6/72. Lihat Al-Bahjatul-Wardiyyah dan penjelasanya : Al-Ghararul-Bahiyyah oleh Zakariyya Al-Anshariy 4/214, Tuhfatul-Muhtaj oleh Ibnu Hajar Al-Haitamiy 7/438, Raudlatuth-Thalib dan penjelasannya : Asnal-Mathalib oleh As-Suyuthiy 3/228, Mughnil-Muhtaj oleh Al-Khathiib Muhammad Asy-Syarbiniy 4/412, dan Hasyiyyah Al-Jamal oleh Sulaiman bin Manshuur Al-Jamal 1/36 & 4/278.




[91]  Umdatul-Qaari: 21/193, Al-Mu’lim: 3/68, Ma’alimus-Sunan: 5/281-282. Syarhus-Sunnah: 11/381.
Syarh Shahih Muslim: 13/195. Fathul-Bari: 10/84.




[92]  Syarh Shahih Muslim: 13/195.


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts