Selasa, 30 Agustus 2011

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,
“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai)
Pertanyaan, “Aku membeli rumah dari uang utangan yang didapat dengan pinjam uang di bank ribawi. Aku ingin membuat Allah ridho dengan menjual rumah tersebut lalu ngontrak rumah. Akan tetapi yang jadi masalah, ngontrak adalah suatu hal yang tidak memungkinkan untuk dilakukan. Demikian pula menjual rumah tersebut berarti mendapatkan keuntungan karena aku tidak akan menjualnya dengan harga yang sama dengan harga pembelian lalu akan kulunasi hutangku di bank dan masih ada selisih keuntungan. Aku hukum syariat dalam masalah ini”.

Jawaban Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir al Ubaikan, “Transaksi untuk membeli rumah tersebut adalah transaksi yang sah dan tidak ada hubungannya dengan uang yang anda dapatkan dengan cara berhutang di bank yang mengunakan sistem bunga ribawi.
Anda telah berbuat dosa dengan menjadi nasabah riba. Anda tidak memiliki pilihan selain bertaubat kepada Allah dari perbuatan ini. Anda tidak memiliki kewajiban untuk menjual rumah yang telah anda beli tersebut. Jika anda mau anda boleh menjualnya, boleh pula tidak anda jual. Kewajiban anda hanyalah bertaubat kepada Allah dari dosa menjadi nasabah riba yang telah anda lakukan.
Jika anda mampu membebaskan diri dari keharusan membayarkan bunga ribawi dengan tidak membayarkan bunga tersebut kepada bank maka ini adalah pilihan yang ideal. Akan tetapi jika anda tidak mampu karena anda dipaksa untuk membayarkan bunga riba maka anda berkewajiban untuk bertaubat kepada Allah”.

Sumber: http://al-obeikan.com/show_fatwa/267.html

Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allâh,mereka membacakan kitabullâh dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allâh memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu oleh :
  • Imam Muslim rahimahullâh, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).
  • Abu Daud rahimahullâh dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.
  • Ibnu Majah rahimahullâh dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala Thalabul Ilmi nomor 225.

BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS
Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu adalah salah seorang sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Nama lengkapnya Abdurrahman bin Shahr Diberi gelar Abu Hurairah karena beliau menyukai seekor kucing yang dimilikinya. Meskipun baru masuk Islam pada tahun ke tujuh hijriah, akan tetapi keilmuannya diakui oleh banyak sahabat.
Selama tiga atau empat tahun bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam betul-betul dimanfaatkan oleh beliau. Senantiasa bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam pada saat banyak para shahabat sibuk di pasar atau di tempat yang lain.
Lelaki yang berperangai lembut dengan kulit putih serta jenggot agak kemerahan ini, sangat gigih menggali ilmu dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tanpa memperdulikan rasa lapar yang dialaminya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullâh dan Imam Muslim rahimahullâh secara bersama sebanyak 326 hadits. Sedangkan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullâh tanpa Imam Muslim rahimahullâh sebanyak 93 hadits dan diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullâh tanpa Imam Bukhari rahimahullâh 98 hadits.


MAKNA KOSA KATA HADITS
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ
“Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allâh”, yaitu masjid. Sedangkan madrasah dan tempat-tempat lain yang mendapatkan keutamaan ini, juga dengan dasar hadits yang diriwayatkan Imam Muslim rahimahullâh dengan lafadz:
«لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ»
“Tidaklah duduk suatu kaum berdzikir kepada Allâh, kecuali para malaikat mengelilinginya, rahmat menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allâh memujinya di hadapan makhluk yang berada di sisinya.” (Riwayat Muslim, no. 6795 dan Ahmad)
السَّكِينَةُ
“ketenangan”
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ
“diselimuti rahmat Allâh”
وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ
“dikelilingi malaikat rahmah”
وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Allâh memuji dan memberikan pahala di hadapan para malaikat-Nya.”
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“siapa yang kurang amalannya tidak akan mencapai martabat orang yang beramal sempurna, walaupun memiliki nasab ulama.”


FAIDAH HADITS
Pertama: Arti Penting Majelis Ilmu
Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama rabbani. Bahkan mengadakan majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim. Karena hal itu merupakan martabat tertinggi para ulama rabbani, sebagaimana firman Allâh Ta'âla :
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَٰكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ79
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allâh berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, ”Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allâh”. Akan tetapi (dia berkata), ”Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”(QS Ali Imran:79)

Hal ini pun dilakukan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam menganjurkan kita untuk menghadiri majelis ilmu dengan sabdanya :
«إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الجَنَّةِ فَارْتَعُوا»
“Jika kalian melewati taman syurga maka berhentilah. Mereka bertanya, ”Apakah taman syurga itu?” Beliau menjawab, ”Halaqoh dzikir (majlis Ilmu)." (Riwayat At Tirmidzi dan dishahihkan Syeikh Salim bin Ied Al Hilali dalam Shahih Kitabul Adzkar 4/4)

Demikian juga para salafush shalih sangat bersemangat mengadakan dan menghadirinya. Oleh karena itu kita dapatkan riwayat tentang majelis ilmu mereka. Di antaranya majelis Abdillâh bin Mas’ud di Kufah, Abu Hurairah di Madinah, Imam Malik di masjid Nabawi, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun, Imam Syafi’i, Imam Ahmad di Baghdad, Imam Bukhari dan yang lainnya.

Kedua: Faidah dan Keutamaan Majelis Ilmu.
Di antara faidah majelis ilmu ialah :
  1. Mengamalkan perintah Allâh Ta'âla dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan mencontoh jalan hidup para salafush shalih.
  2. Mendapatkan ketenangan.
  3. Mendapatkan rahmat Allâh Ta'âla .
  4. Dipuji Allâh di hadapan para malaikat.
  5. Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul.
  6. Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.

Ketiga. Adab Majelis Ilmu.
Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah :
Ikhlas.
Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allâh semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata:
“Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.” (Tadzkiratus Sâmi’ wal Mutakallim, hal.68)

Bersemangat menghadiri majelis ilmu
Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.
Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab rahimahullâh, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi rahimahullâh:
“Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun”.
Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran.
Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullâh :
“Ilmu adalah karunia yang diberikan Allâh kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam ”.
Demikian juga Imam Malik rahimahullâh, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain :
“Alhamdulillâh, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris”.
Abul Hasan Al Karkhi rahimahullâh berkata :
“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya”.
Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.

Bersegera datang ke majelis ilmu dan tidak terlambat, bahkan harus mendahuluinya dari selainnya.
Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi rahimahullâh ketika ditanya : “Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?” Beliau menjawab : “Tidak bergantung kepada orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang”. (Rihlah Fi Thalabil Hadits, hal.196)

Mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang ada di majelis ilmu yang tidak dapat dihadirinya.
Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu, seperti sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.


Mencatat faidah-faidah yang didapatkan dari kitab.
Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak memasukkannya ke perpustakaan, kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis dan pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan membaca (sesuai dengan kecukupan waktu) sebagian pokok bahasan kitab.

Tenang dan tidak sibuk sendiri dalam majelis ilmu.
Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabî rahimahullâh menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata : “Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Suara pena tidak terdengar. Tidak ada yang bangkit, seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat”. (Tadzkiratul Huffâdz: 1/331)
Dan dalam riwayat yang lain: “Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar”. (Siyar A’lâmin Nubala: 4/1470)

Tidak boleh berputus asa.
Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk disana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan.
Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum teh hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah problem tersebut”. Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya.

Jangan memotong pembicaraan guru atau penceramah
Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada kita dengan sabdanya :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama.” (Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’)
Imam Bukhari rahimahullâh menulis di Shahihnya, orang yang ditanya satu ilmu dalam keadaan sibuk berbicara, hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ القَوْمَ، جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ، حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ: «أَيْنَ - أُرَاهُ - السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ» قَالَ: هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ» ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: «إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»
Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Ketika Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam berada di majelis menasihati kaum, datanglah seorang A’rabi dan bertanya : ”Kapan hari kiamat?” (Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai. Lalu (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam) bertanya : “Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari kiamat?” Dia menjawab: ”Saya, wahai Rasûlullâh.” Lalu beliau berkata: “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”. Dia bertanya lagi: “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab: “Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”. (Riwayat Bukhâri)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Kapan saja ada yang tidak dapat dipahami dari perkataan guru oleh muridnya, hendaklah dia bersabar sampai sang guru menyelesaikan ucapannya, baru kemudian dia meminta penjelasan gurunya dengan penuh adab dan kelembutan dan tidak memotong di tengah-tengah pembicaraannya.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah, jilid 2, hlm. 163)
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya untuk mendidiknya.

Beradab dalam bertanya
Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allâh Ta'âla dalam firmanNya:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ43
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS An Nahl/16 : 43)
Demikian pula Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabda beliau:
أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ
“Tidakkah mereka bertanya, ketika mereka tidak tahu? Sesungguhnya obat ketidak mengertian adalah bertanya.” (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174)
Imam Ibnul Qayim rahimahullâh berkata:
”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.” (Miftâh Dâris Sa’âdah 1/169)
Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi rahimahullâh memberikan pernyataan:
”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.” (Al Faqîh Wal Mutafaqqih: 1/143)
Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, diantaranya:
  1. Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji.
    Hal ini dijadikan syarat oleh Allâh Ta'âla dalam firman-Nya di atas (QS An Nahl/16 : 43).
    Dalam ayat ini Allâh Ta'âla menyebutkan syarat dalam mengajukan pertanyaan adalah karena tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Namun demikian seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, dengan tujuan untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril 'alaihissalam kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits Jibril yang masyhur.
  2. Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin.
    Hal ini dinyatakan oleh Allâh Ta'âla dalam firman-Nya:
    وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ ۗ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ101
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allâh mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al Mâidah : 101)
    Dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda:
    «إِنَّ أَعْظَمَ المُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ»
    “Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan karena pertanyaannya.“ (Riwayat Bukhâri, Muslim, Abu Daud dan Ahmad)

    Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi.
    Rabî’ bin Khaitsam rahimahullâh berkata: “Wahai Abdullâh, apa yang Allâh berikan kepadamu dalam kitabnya (ilmu) maka syukurilah, dan yang Allâh tidak berikan kepadamu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan mengada-ada. Karena Allâh Ta'âla berfirman kepada NabiNya:
    86قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
    87إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ
    88وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ
    Katakanlah (hai Muhammad): ”Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur’an ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur’an setelah beberapa waktu lagi”.
    (QS Shâd : 86-88) (Jâmi’ Bayânil ‘ilmi Wa Fadhlihi: 2/136)
  3. Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya.
    Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi rahimahullâh dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih 2/148:
    “Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.
  4. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas.
    Hal ini berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
    صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً، فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ ، قُلْنَا: وَمَا هَمَمْتَ؟ قَالَ: هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَذَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
    “Saya shalat bersama Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu kejelekan. Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud: “Apa yang engkau niatkan?” Beliau menjawab: “Saya ingin duduk dan meninggalkannya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
  5. Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain.
  6. Tidak mengadu domba di antara ahli ilmu seperti mengatakan: Tapi ustadz fulan (dengan menyebut namanya) mengatakan demikian.
    Maka yang demikian termasuk kurang beradab. Kalau memang harus bertanya, maka hendaklah mengatakan: "Apa pendapatmu tentang ucapan ini?" Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan....
    (Lihat Hilyah Thalibil Ilmi, Syaikh Bakr Abu Zaid dengan syarh Syaikh 'Utsaimin, hal: 178).
Mengambil akhlak dan budi pekerti guru.
Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru.
Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia.
Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau. (Siyar A’lamin Nubalâ: 11/316)
Abu Bakar Al Muthâwi’i rahimahullâh berkata:
“Saya menghadiri majelis Abu Abdillâh –beliau mengimla’ musnad kepada anak-anaknya– duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”. (Siyar A’lamin Nubalâ: 11/316)

Dengan demikian kehadiran kita dalam majelis ilmu, hendaklah bukan semata-mata mengambil faidah ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah yang ada.

Inilah sebagian faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Mudah-mudahan bermanfaat.


Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.....أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ
“Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi, hadits ini hasan shohih)
Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Qudsi:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’âlâ, maka lakukanlah puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawwal.
Dianjurkan untuk Puasa Enam Hari di Bulan Syawal
Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dari sahabat Abu Ayyub Al Anshorî, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)
Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah menyatakan makruh. Namun pendapat mereka ini lemah karena bertentangan dengan hadits yang tegas ini. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)
Puasa Syawal, Puasa Seperti Setahun Penuh
Dari Tsauban, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barang siapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barang siapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal].” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwâ’ul Gholîl)
Orang yang melakukan satu kebaikan akan mendapatkan sepuluh kebaikan yang semisal. Puasa ramadhan adalah selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa syawal adalah enam hari berarti akan semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465). Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat ini bagi umat Islam.
Apakah Puasa Syawal Harus Berurutan dan Dilakukan di Awal Ramadhan ?
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.” Oleh karena itu, boleh saja seseorang berpuasa syawal tiga hari setelah Idul Fithri misalnya, baik secara berturut-turut ataupun tidak, karena dalam hal ini ada kelonggaran. Namun, apabila seseorang berpuasa syawwal hingga keluar waktu (bulan Syawwal) karena bermalas-malasan maka dia tidak akan mendapatkan ganjaran puasa syawal.
Catatan: Apabila seseorang memiliki udzur (halangan) seperti sakit, dalam keadaan nifas, sebagai musafir, sehingga tidak berpuasa enam hari di bulan syawal, maka boleh orang seperti ini meng-qodho’ (mengganti) puasa syawal tersebut di bulan Dzulqo’dah. Hal ini tidaklah mengapa. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin, 3/466)
Tunaikanlah Qodho’ (Tanggungan) Puasa Terlebih Dahulu
Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” Jadi apabila puasa Ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa Syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa Syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barang siapa berpuasa Ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Catatan: Adapun puasa sunnah selain puasa Syawal, maka boleh seseorang mendahulukannya dari mengqodho’ puasa yang wajib selama masih ada waktu lapang untuk menunaikan puasa sunnah tersebut. Dan puasa sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Tetapi perlu diingat bahwa menunaikan qodho’ puasa tetap lebih utama daripada melakukan puasa sunnah. Hal inilah yang ditekankan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -semoga Allah merahmati beliau- dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’, 3/89 karena seringnya sebagian orang keliru dalam permasalahan ini.
Kita ambil permisalan dengan shalat dzuhur. Waktu shalat tersebut adalah mulai dari matahari bergeser ke barat hingga panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Kemudian dia shalat di akhir waktu misalnya jam 2 siang karena udzur (halangan). Dalam waktu ini bolehkah dia melakukan shalat sunnah kemudian melakukan shalat wajib? Jawabnya boleh, karena waktu shalatnya masih lapang dan shalat sunnahnya tetap sah dan tidak berdosa. Namun hal ini berbeda dengan puasa syawal karena puasa ini disyaratkan berpuasa ramadhan untuk mendapatkan ganjaran seperti berpuasa setahun penuh. Maka perhatikanlah perbedaan dalam masalah ini!
Boleh Berniat di Siang Hari dan Boleh Membatalkan Puasa Ketika Melakukan Puasa Sunnah
Permasalahan pertama ini dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah masuk menemui keluarganya lalu menanyakan: “Apakah kalian memiliki sesuatu (yang bisa dimakan, pen)?” Mereka berkata, “tidak” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu sekarang, saya puasa.” Dari hadits ini berarti seseorang boleh berniat di siang hari ketika melakukan puasa sunnah.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga terkadang berpuasa sunnah kemudian beliau membatalkannya sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dan terdapat dalam kitab An Nasa’i. (Lihat Zadul Ma’ad, 2/79)
Semoga dengan sedikit penjelasan ini dapat mendorong kita melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, semoga amalan kita diterima dan bermanfaat pada hari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyina Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam.

Senin, 29 Agustus 2011

Lebaran adalah hari yang tidak asing bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Hari yang penuh suka cita, di mana kaum muslimin dibolehkan kembali makan dan minum di siang hari setelah satu bulan penuh berpuasa. Namun, jika kita tinjau perayaan lebaran (’Iedul Fitri) yang telah kita laksanakan, sudah sesuaikah apa yang kita lakukan dengan keinginan Alloh dan Rosul-Nya? Atau malah kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya, dengan sekedar ikut-ikutan kebanyakan manusia? Untuk mengetahui perihal ini, mari kita simak bersama bahasan berikut.

Jumat, 26 Agustus 2011

Telah kita ketahui bahwa tauhid merupakan sebuah pohon di dalam hati yang cabangnya adalah amalan yang shalih dan buahnya adalah kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ24
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا ۗ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ25

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap saat dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk ma-nusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibra-him: 24-25)

Ilmu Tauhid ini merupakan dasar yang dibangun di atasnya amalan-amalan shalih. Maka tentu saja merupakan prioritas dakwah para nabi dan para rasul, termasuk nabi kita Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam.

Dakwah Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya adalah dakwah tauhid dan tidak pernah beliau shalallahu 'alaihi wa sallam lepas daripadanya. Dakwah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam diawali dengan tauhid, diiringi dengan tauhid dan diakhiri pula dengan tauhid.
Diawali dengan ucapan beliau shalallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dikisahkan oleh Abu Sufyan radhiallahu 'anhu ketika dia bersama rombongan dagang kaum Quraisy tiba di Romawi dan dipanggil oleh raja Heraklius. Sang raja bertanya tentang orang yang mengaku sebagai Nabi di Mekah. Di antara pertanyaannya adalah: “Apakah yang dia dakwahkan?” Abu Sufyan menjawab: “Dia berkata:
قُوْلُوْالآإِلَهَ إِلاَّاللهُ تُفْلِحُوْا
“Ucapkanlah لا إله إلا الله kalian akan selamat.” (HR. Bukhari)
Dan dalam perjalanan dakwahnya beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam selalu mengingatkan dengan tauhid. Setiap menyampaikan satu hukum atau perintah ibadah kepada umatnya senantiasa Beliau mengingatkan bahwa hal itu adalah ibadah kepada Allah yang harus diberikan kepada-Nya dengan ikhlas dan tidak boleh dicampur dengan tujuan-tujuan lain seperti riya’ atau kesyirikan-kesyirikan lainnya. Seperti ketika memerintahkan tentang ibadah shalat dan berqurban:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ2
“Maka dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan berkurbanlah.”(al-Kautsar: 2)
Demikian pula setiap beliau berangkat bersama para shahabat berjihad, beliau selalu mengingatkan agar mereka jangan memakai jimat, kalung atau gelang-gelang tertentu un-tuk tolak bala dan kekebalan atau menggan-tung-gantungkan pedangnya di pohon terten-tu untuk mencari kehebatan dan kekuatan.
Kita lihat pada satu riwayat, ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dalam satu perjalanan jihad, Rasulullah bersabda kepada Ruwaifi’:
يَا رُوَيْفِعُ، لَعَلَّ الْحَيَاةَ تَطُوْلُ بِكَ، فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وِتْرًا أَوِ اسْتَنْجِي بِرَجِيْعِ دَابَّةٍ اَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا بَرِيْئٌ مِنْهُ
“Wahai Ruwaifi’, barangkali engkau akan menjalani kehidupan yang panjang. Kabar-kanlah kepada manusia bahwa barangsiapa yang memintal jenggotnya, menggantung-kan jimat, atau beristinja’ (bersuci) dengan kotoran hewan dan tulang, maka sesungguh-nya Muhammad berlepas diri darinya.” (HR. Ahmad dari Ruwaifi’)
Ini semua dalam rangka menjaga tauhid mereka dari noda-noda syirik.
Demikian pula di akhir kehidupan beliau shalallahu 'alaihi wa sallam. Ketika beliau shalallâhu 'alaihi wa sallam akan wafat, beliau ber-wasiat dengan tauhid.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ قَالَتْ فَلَوْلَا ذَاكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خُشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
“Ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam terkena sakit yang menyebabkan beliau tidak dapat bangun. Beliau shalallahu 'alaihi wa sallambersabda: “Allah telah mengutuk orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka telah menjadikan kubur Nabi-nabi mereka sebagai masjid”. Aisyah radhiallahu 'anha berkata: “Jika tidak karena itu tentu kuburan beliau akan ditempatkan (di Baqie’). Namun Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam khawatir akan dijadikan sebagai masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat lain dalam al-Muwattha’:

أَللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهُ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ. (رواه مالك في الموطأ
Ya Allah janganlah Engkau menjadikan ku-burku berhala yang disembah. Sungguh besar kemurkaan Allah terhadap kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabinya sebagai masjid. (HR. Malik dalam Muwatha’)

Demikianlah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memulai dak-wahnya dengan tauhid, mengiringi dengan tauhid dan mengakhirinya pula dengan tau-hid. Dan beliau shalallahu 'alaihi wa sallam senantiasa mewasiatkan umatnya dengan tauhid.

Wasiat merupakan pesan terakhir dalam kehidupan seseorang. Tentunya yang akan disampaikan adalah perkara yang paling utama dan paling penting. Karena ia tidak akan sempat lagi menyampaikan sesuatu apapun setelah itu. Maka disinilah terlihat apa yang dianggap paling penting oleh seseorang da-lam hidupnya. Sebagian manusia mewasiatkan tentang hartanya. Sebagian lainnya me-wasiatkan untuk menjaga keluarga-keluarga-nya. Sebagian lainnya ada yang mewasiatkan dengan perusahaannya, karena itulah yang terpenting dalam kehidupan mereka.

Adapun wasiat para nabi adalah tauhid, yang menunjukkan bahwa yang paling pen-ting bagi mereka adalah tauhid. Allah Azza Wa Jalla berfirman:
وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ132
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’-qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kalian mati kecuali dalam (keadaan) islam.” (al-Baqarah: 132)

Berkata Ibnu Katsier dalam tafsirnya bahwa makna islam adalah pasrah dan berserah diri dengan beribadah hanya kepada Allah saja.

Demikian pula wasiat Luqman al-Hakim kepada anaknya, diawali dengan tauhid:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ13
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata ke-pada anaknya, di waktu ia memberi pela-jaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguh-nya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar”. (Luqman: 13)

Yang demikian karena para nabi seluruhnya mementingkan dan mengutamakan tauhid. Bahkan inti dakwah mereka adalah tauhid. Yaitu memerintahkan kepada kaumnya agar beribadah kepada Allah saja.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ 36

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”… (an-Nahl: 36)

Allah menjelaskan dakwah para rasul-Nya dengan rinci pada berbagai firman-Nya, di antaranya tentang nabi Nuh alaihis sallam:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ أَفَلَا تَتَّقُونَ23

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah (ka-rena) sekali-kali tidak ada sesembahan bagi-mu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?" (al-Mu’minun: 23)

Kemudian nabi Ibrahim, bapak para nabi alaihis sallam:
وَإِبْرَاهِيمَ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ ۖ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ16
Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: "Beribadahlah kepada Allah dan bertaqwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (al-Ankabut: 16)
Sedangkan tentang nabi Isa alaihis salam Allah berfirman:
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ72
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al- Masih putera Maryam", padahal Al-Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, ber-ibadahlah kepada Allah Rabb-ku dan Rabb-mu". Sesungguhnya orang yang memperse-kutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong-pun.” (al-Maidah: 72)

Dan tentang Nabi Hud alaihis sallam Allah berfirman:
وَإِلَىٰ عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۚ أَفَلَا تَتَّقُونَ65
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak ber-taqwa kepada-Nya ?" (al-A’raaf: 65)

Tentang Nabi Shalih diterangkan dalam ayat-Nya:
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ هَٰذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً ۖ فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ ۖ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ73
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: "Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang buk-ti yang nyata kepadamu dari Rabb-mu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kalian mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih." (al-A’raaf: 73)

Dan Nabi Syu’aib Allah kisahkan juga dengan ucapan yang sama, yaitu: “beribadahlah kepada Allah dan tidak ada bagi kalian sesembahan kecuali Dia”.
وَإِلَىٰ مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۗ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ85
“Dan (Kami telah mengutus) kepada pendu-duk Madyan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepada-mu bukti yang nyata dari Rabb-mu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kalian ku-rangkan bagi manusia barang-barang ta-karan dan timbangannya, dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah Rabb-mu memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". (al-A’raaf: 85)

Demikianlah kenyataan dakwah para nabi di dalam sejarah mereka yang dise-butkan dalam al-Qur’an maupun dalam ha-dits yang shahih. Inti dakwah mereka adalah tauhid. Hal ini tidak seperti apa yang ditaf-sirkan oleh para politikus yang mengesankan bahwa dakwah para nabi adalah dakwah po-litik. Seperti pertikaian nabi Ibrahim dengan Raja Namrud, nabi Musa dengan raja Fir’aun dan lain-lainnya. Mereka mengesankan bah-wa perjuangan para nabi tersebut adalah per-juangan pemberontakan dan perebutan ke-kuasaan. Seperti dalam buku yang ditulis oleh muhammad Surur bin Naif Zaenal Abidin “Minhâj al-Anbiyâ’ fi ad-Da’wati ilallâh”. Namun alhamdulillah buku tersebut sudah dibantah oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dalam buku beliau “Manhaj al-Anbiyaa’ fi da’wati ilallah fiihi al-Hikmah wal ‘Aql” (Manhaj Para Nabi Dalam Berdakwah Kepada Allah, di dalamnya ada hikmah dan akal)” dan juga karya Syaikh Ahmad Salam dalam tulisannya yang berjudul “Nadharaat fii Kitab “Minhajul Anbiya’ fi ad-Dakwati Ilallâh”” (Koreksi Ulang terhadap kitab “Manhaj Para Nabi Dalam Berdakwah Kepada Allah”

Oleh karena itu sudah sepantasnya dakwah para rasul tersebut dijadikan sebagai teladan bagi seluruh dakwah-dakwah kaum muslimin yakni memulainya dari tauhid dan terus mengingatkan dengan tauhid. Karena semua dakwah yang tidak dimulai dengan tauhid dan tidak mementingkan tauhid selalu berakhir dengan penyimpangan dan kesesatan.

Akan tetapi mengapa kaum muslimin harus tersinggung ketika diajarkan kepada mereka makna لا إله إلا الله. Mengapa mereka ha-rus marah ketika disampaikan bahaya kesyi-rikan-kesyirikan seperti tawasul kepada orang-orang yang sudah mati, jimat-jimat, perdukunan-perdukunan, atau mencari ber-kah di kuburan walisongo atau kuburan-kuburan lainnya, mencari jodoh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti sumur tujuh, gunung kemukus dan lain-lainnya? Mereka selalu melecehkan dakwah tauhid dengan menjulukinya wahabi, tekstual, kaku, membuat perpecahan dan lain-lain. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Semoga Allah memberikan petunjuk ke-pada kita dan seluruh kaum muslimin kepada tauhid dan sunnah. Dan semoga hati-hati kita ditetapkan di atasnya sampai hari kiamat, amien.
Segala puji bagi Alloh yang membangkitkan para ulama pada setiap zaman di saat kekosongan para rosul, mereka menunjuki orang yang tersesat jalan, sabar
menghadapi rintangan, menghidupkandakwah dengan al-Qur‘an, dan menyalakan cahaya Alloh kepada orang-orang yang lelap dalam kebutaan.

Alangkah besarnya jasa mereka terhadap manusia, tetapi alangkah jeleknya balasan manusia kepada mereka! Mereka menepis segala penyelewengan orang-orang
yang berlebih-lebihan, kedustaan pembela kebatilan, dan penafsiran orang-orang jahil yang kebingungan — yang melepaskan tali fitnah dan mengibarkan
bendera kebid’ahan, mereka berselisih dalam al-Qur‘an, menyelisihi kandungan al-Qur‘an, dan bersatu untuk meninggalkan al-Qur‘an, mereka berkata
tentang Alloh dan kitab-Nya tanpa dasar ilmu, menyebarkan syubhat untuk menipu manusia yang dungu. Kita berlindung kepada Alloh dari fitnah yang
menyesatkan. (Ar-Rodd ’ala al-Jahmiyyah wa Zanâdiqoh hlm. 85)

Di antara deretan para ulama tersebut—insya Alloh—adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullâh, yang namanya tidak asing lagi bagi kita semua. Alloh telah mengangkat derajat beliau dan mengharumkan nama beliau sampai detik ini.

Imam Syafi’i rahimahullâh termasuk ulama reformis agama yang menyeru manusia untuk kembali kepada al-Qur‘an dan Sunnah serta meninggalkan ilmu kalam dan filsafat. Oleh karenanya, dalam setiap karya beliau di penuhi ayat-ayat dan hadits-hadits dengan ditunjang oleh dalil-dalil akal dan bantahan terhadap setiap yang
menyelisihinya.

Pentingnya Pembahasan


Ada beberapa faktor yang mendorong kami untuk menulis pembahasan ini, diantaranya:
  1. Imam Syafi’i adalah seorang imam madzhab empat yang pendapat-pendapatnya menjadi pedoman banyak umat Islam, di antaranya adalah negeri kita
    Indonesia ini yang mayoritas penduduknya bermadzhab Syafi’i. Maka menjelaskan landasan-landasan agama Imam Syafi’i sangatlah penting sekali agar
    mereka mengetahuinya dan mencontohnya.
  2. Meluruskan klaim kebanyakan orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Syafi’i dalam fiqih, tetapi dalam aqidah berpaham Asy’ari, karena ini
    termasuk kontradiksi yang amat nyata, sebab Imam Syafi’i tidaklah berpaham Asy’ariyyah, bahkan beliau adalah seorang salafi yang mengikuti dalil,
    baik dalam masalah aqidah dan lainnya.
  3. Banyak orang menganggap bahwa manhaj salaf hanyalah dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, atau al-Albani dan Ibnu Baz. Maka
    penjelasan ini membantah dugaan tersebut karena semua imam panutan umat—termasuk Imam Syafi’i—mereka satu aqidah dan manhaj.
  4. Membantu saudara-saudara kami para da’i dan para penuntut ilmu ketika berdakwah di masyarakat hendaknya sering menukil ucapan Imam Syafi’i kepada
    mereka, sebab termasuk cara hikmah dalam berdakwah adalah mengutip perkataan ulama Ahli Sunnah yang dikenal baik di masyarakat luas, serta
    menghindari penyebutan nama ulama tertentu yang mereka fobia dengan nama-nama tersebut. (14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah hlm. 56
    oleh al-Ustadz Abdullah Zaen, M.A)
Sumber Aqidah Menurut Imam Syafi’i

Sesungguhnya pedoman hukum dalam beragama adalah al-Qur‘an, hadits shohih, dan ijma’. Tentang hujjahnya al-Qur‘an dan hadits, Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا59

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur‘an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya .
(QS. an-Nisa’ [4]: 59)
Imam Abdul Aziz al-Kinani rahimahullâh berkata,
“Tidak ada perselisihan di kalangan orang yang beriman dan berilmu bahwa maksud mengembalikan kepada Alloh adalah kepada kitab-Nya dan maksud mengembalikan kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat adalah kepada sunnah beliau. Tidak ada yang meragukan hal ini
kecuali orang-orang yang menyimpang dan tersesat. Penafsiran seperti yang kami sebutkan tadi telah dibawakan juga dari Ibnu Abbasradhiyallâhu ‘anhu dan sejumlah para imam yang berilmu. Semoga Alloh merahmati mereka semua.”  (Al-Haidah wal I’tidzarr fir Roddi ’ala Man Qola Bikholqil Qur‘an hlm. 32, tahqiq Dr. Ali al-Faqihi)

Adapun dalil yang di pakai oleh Imam Asy Syafi’I bahwa ijma’ (kesepakatan ulama) merupakan hujjah adalah firman Alloh:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا115
“Dan barang siapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
(QS. an-Nisa’ [4]: 115)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا يَجْمَعُ اللّٰهَ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا
“Sesungguhnya Alloh tidak akan menjadikan umatku bersepakat dalam kesesatan.”
(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrok 1/116, al-Baihaqi dalam Asma‘ wa Shifât: 702. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam ash-Sh ahîhah: 1331 dan Shahîhul Jâmi’: 1848)

Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Syafi’i rahimahullâh juga sebagaimana beliau tegaskan dalam banyak ucapannya, di antaranya adalah sebagai berikut:
  • Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
  • وَلَمْ يَجْعَلِ اللّٰهُ لِأَحَدٍ بَعْدَ رَسُوْلِ اللّٰهِ أَنْ يَقُوْلَ إِلَّا مِنْ جِهَةِ عِلْمٍ مَضَى قَبْلَهُ وَجِهَةُ الْعِلْمِ بَعْدُ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالإِجْمَاعُ وَالآثَارُ وَمَا وَصَفْتُ مِنَ الْقِيَاسِ عَلَيْهَا
    “Alloh tidak memberikan kesempatan bagi seorang pun selain Rosululloh shallallâhu’alaihi wasallam untuk berbicara soal agama kecuali berdasarkan ilmu yang telah ada sebelumnya, yaitu Kitab, Sunnah, ijma’, atsar sahabat, dan qiyas (analogi) yang telah kujelaskan maksudnya.” (Ar-Risâlah hlm. 508)
  • Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
  • كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْجِدُّ، وَمَا سِوَاهُمَا فَهُوَ هَذَيَانُ
    “Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur‘an dan Sunnah maka dia sungguh-sungguh. Adapun selain keduanya maka dia mengigau.” (Tawali Ta‘sis hlm. 110 Ibnu Hajar)
  • Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
  • فَقَدْ جَعَلَ اللّٰهُ الْحَقَّ فِيْ كِتَابِهِ، ثُمَّ سُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَّ
    “Sungguh Alloh menjadikan al-haq (kebenaran) berada di dalam al-Kitab dan Sunnah Nabi-Nya.” (Al-Umm 7/493)
Imam Syafi’i Lebih Mendahulukan Dalil Daripada Akal
Termasuk pokok-pokok Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa akal bukanlah pedoman untuk menetapkan hukum dan aqidah. Namun, patokannya adalah dalil yang bersumber dari al-Qur‘an dan Sunnah. Adapun akal hanyalah alat untuk memahami.
Maka amatlah salah jika manusia menjadikan akal sebagai hakim terhadap dalil al-Qur‘an dan hadits sebagaimana dilakukan oleh sebagian kalangan, karena akal manusia terbatas. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i rahimahullah tatkala berkata:
إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ
Sesungguhnya akal itu memiliki batas sebagaimana pandangan mata juga memiliki batas.”
(Adab Syafi’i hlm. 271 Ibnu Abi Hatim, Tawali Ta‘sis hlm. 134 Ibnu Hajar)

Imam Syafi’i dan Ilmu Kalam/Filsafat
Disebut ilmu kalam karena ilmu ini hanyalah dibangun di atas ucapan, pendapat, dan logika semata, tanpa dibangun di atas dalil al-Qur‘an dan Sunnah yang shohih. Ilmu kalam sangat banyak dipengaruhi oleh ilmu manthiq dan filsafat Yunani yang muncul berabad-abad sebelum datangnya Islam.
Islam tidak membutuhkan ilmu ini sama sekali karena ilmu ini hanyalah berisi kejahilan, kebingungan, kesesatan, dan penyimpangan. [2]
Oleh karena itu, para ulama telah mengingatkan kepada kita agar waspada dan menjauhi ilmu ini sejauh-jauhnya. Al-Hafizh as-Suyûthî menyebutkan tiga alasan di balik larangan ulama salaf terhadap mempelajari ilmu kalam:  
Pertama: Ilmu kalam merupakan faktor penyebab kebid’ahan.  
Kedua: Ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh al-Qur‘an dan hadits serta ulama salaf.  
Ketiga: Merupakan sebab meninggalkan al-Qur‘an dan Sunnah. (Lihat Shânul Manthiq hlm. 15–33)

Di antara deretan para ulama tersebut adalah Imam Syafi’i.[3]
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Telah mutawatir dari Imam Syafi’i bahwa beliau mencela ilmu kalam dan ahli kalam. Beliau adalah seorang yang semangat dalam mengikuti atsar (sunnah) baik dalam masalah aqidah atau hukum fiqih.”  (Hilyatul Auliya‘ 9/111)

Ucapan Imam Syafi’i begitu banyak, di antaranya:
الْعِلْمُ بِالْكَلَامِ جَهْلٌ
“Mempelajari ilmu kalam adalah kejahilan (kebodohan).”
(Hilyatul Auliya‘ 9/111)
حُكْمِيْ فِيْ أَهْلِ الْكَلاَمِ أَنْ يُضْرَبُوْا بِالْجَرِيْدِ، وَيُحْمَلُوْا عَلَى الإِبِلْ، وَيُطَافُ بِهِمْ فِي الْعَشَائِرِ، يُنَادَى عَلَيْهِمْ: هٰذَا جَزَاءُ مَنْ تَرَكَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَأَقْبَلَ عَلَى الْكَلَام

“Hukumanku bagi ahli kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, dan dinaikkan di atas unta, kemudian diarak keliling kampung seraya dikatakan pada khayalak: ‘Inilah hukuman bagi orang yang berpaling dari al-Qur‘an dan Sunnah lalu menuju ilmu kalam/filsafat.’ ”

(Manâqib Syâfi’i 1/462 al-Baihaqi, Tawali Ta‘sis hlm. 111 Ibnu Hajar, Syarof Ashhabil Hadits hlm. 143 al-Khothib al-Baghdadi. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam Siyar A’lam Nubala‘ 3/3283: “Ucapan ini mungkin mutawatir dari Imam Syafi’i.”)

Imam as-Sam’ani rahimahullah berkata — setelah membawakan ucapan-ucapan seperti di atas: “Inilah ucapan Imam Syafi’i tentang celaan ilmu kalam dan anjuran untuk mengikuti Sunnah.
Dialah imam yang tidak diperdebatkan dan tidak terkalahkan.”( Al-Intishor li Ashhabil Hadits hlm. 8)

Wal hamdulillâhi Rabbil’âlamîn.

[1] Ayat ini dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i tentang hujjahnya ijma’ ulama, sebagaimana dalam kisah yang panjang. (Lihat Manaqib Imam Syafi’i hlm. 83 al-Aburri, Thobaqot Syafi’iyyah 2/243 Ibnu Subki, Siyar A’lam Nubala‘ 3/3295 adz-Dzahabi)
[2]Lihat tulisan al-Ustadz Armen Halim Naro rahimahullâh “Filsafat Islam Konspirasi Keji” yang dimuat dalam Majalah Al Furqon Edisi 2 Tahun 6 rubrik Aqidah.
[3]Lihat peringatan para ulama tentang ilmu kalam dan ahli kalam secara panjang dalam kitab Dzammul Kalam wa Ahlihi oleh Imam al-Harowi dan Shounul Manthiq oleh al-Hafizh as-Suyuthi.

Selasa, 23 Agustus 2011

Zakat Emas dan Perak
Jika emas dan perak serta pemiliknya telah memenuhi syarat-syarat zakat, lalu ditambah dengan memenuhi nishob dan telah mencapai haul (masa satu tahun hijriyah,[1] maka wajib ketika itu untuk mengeluarkan zakat. Emas dan perak tersebut nantinya akan dikeluarkan zakatnya setiap tahun sekali.
.
Nishab Emas dan Perak
Nishab atau ukuran minimal dikenai zakat pada emas dan perak serta berapa persen zakat yang ditarik diterangkan dalam hadits berikut ini.
Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ - يَعْنِى فِى الذَّهَبِ - حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
"Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikit pun –maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu."  (HR. Abu Daud no. 1573. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari sahabat Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
"Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima uqiyah ". (HR. Bukhari no. 1447 dan Muslim no. 979)
Dan pada hadits riwayat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dinyatakan,
وَفِى الرِّقَةِ رُبْعُ الْعُشْرِ
"Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %)." (HR. Bukhari no. 1454)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya kita dapat simpulkan beberapa hal:
  1. Nishab adalah batas minimal dari harta zakat yang bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu pada hadits riwayat Ali radhiyallahu ‘anhu di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,  "Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu."
  2. Harta emas dan perak yang telah mencapai nishob harus telah mencapai haul (masa satu tahun hijriyah).
  3. Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah 1/40 atau 2,5 %.
  4. Nishab emas adalah 20 (dua puluh) dinar, setara dengan 70 gram emas.[2]
  5. Nishab perak yaitu sebanyak 5 (lima) uqiyah, setara dengan 460 gram perak.[3]
Perlu diingat bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak di atas adalah emas dan perak murni (24 karat). Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.
Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, maka ia dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut:
Cara pertama: Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua: Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu. Sehingga yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menanyakan harga beli emas atau perak per gram saat dikeluarkannya zakat. Jika ternyata telah memenuhi nishob dan haul, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5 % (1/40) dari berat emas atau perak yang dimiliki dan disetarakan dalam mata uang di negeri tersebut.
Info yang kami peroleh (28 Juli 2010 pagi), harga emas murni Rp338.000,-/gram dan perak murni Rp5400,-/gram.
Nishob emas = 70 gr x Rp338.000,-/gr = Rp23.660.000,-
Nishob perak = 460 gr x Rp5400,-/gr = Rp2.484.000,-
Contoh 1: Harta yang dimiliki adalah 100 gram emas (24 karat) dan telah bertahan selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishob.
Zakat yang dikeluarkan (emas) = 1/40 x 100 gr emas = 2,5 gr emas
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 2,5 gr emas x Rp338.000,-/gr emas = Rp845.000,-
Contoh 2: Harta yang dimiliki adalah 600 gram perak murni dan telah bertahan selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishob.
Zakat yang dikeluarkan (perak) = 1/40 x 600 gr perak = 15 gr perak
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 15 gr emas x Rp5.400,-/gr perak = Rp81.000,-
.
Zakat Mata Uang
Zakat mata uang ini tetap ada karena sebagai alat tukar pengganti emas dan perak untuk saat ini. Namun masalahnya bagaimana dengan nishob zakatnya?
Sebagian ulama saat ini semacam Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Tetap Penelitian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia) menyatakan bahwa yang jadi patokan dalam zakat mata uang adalah nishob perak. Karena inilah yang bisa mencakup antara nishob emas dan perak, juga jika kita mendekatinya dengan perak, maka itu akan lebih menyenangkan fakir miskin.
Pendapat lainnya, menyatakan bahwa yang jadikan patokan dalam zakat mata uang adalah nishob emas. Di antara alasannya:
  1. Nilai perak akan jauh berbeda antara zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman setelahnya. Hal ini berbeda dengan emas.
  2. Jika disetarakan dengan nishob emas, maka itu akan mendekati nishob zakat lainnya seperti nishob pada zakat hewan ternak. Contohnya saja, zakat kambing adalah 40 ekor. Kalau kita perkirakan, nishob kambing setara dengan = 40 ekor x Rp600.000,-/ekor = Rp24.000.000,-. Lihatlah hampir mendekati dengan nishob emas. Namun coba jika yang jadi patokan adalah nishob perak, yaitu Rp2.484.000,-. Nishob perak semacam ini setara dengan 6 ekor kambing. Coba bayangkan, sungguh aneh jika hanya memiliki  6 ekor kambing saja dikatakan ghoni (sudah berkecukupan) dan dikenai zakat.
Dari dua pendapat di atas, penulis lebih cenderung pada pendapat kedua karena alasannya yang begitu kuat.  (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/23)
Jika kita memilih pendapat yang menyatakan bahwa zakat mata uang memakai nishob emas, maka berarti:
Nishob mata uang = 70 gr x Rp338.000,-/gr = Rp23.660.000,-
Contoh: Ahmad memiliki simpanan uang sebesar Rp40.000.000,- pada akhir tahun. Nishob mata uang sekitar Rp23 juta. Harta tersebut bertahan masih di atas nishob mulai sejak 28 Ramadhan 1430 H s/d 28 Ramadhan 1431 H. Berarti harta tersebut wajib dikenai pajak.
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 1/40 x Rp40.000.000,- = Rp1.000.000,-.
.
Zakat Penghasilan
Yang tepat tentang masalah ini, zakat penghasilan barulah ada jika telah mencapai nishob dan telah mencapai masa satu tahun (bukan setiap bulan) sebagaimana diterangkan dalam syarat-syarat zakat. Jadi tidak tepat jika dikeluarkan tiap bulan Hijriyah.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah yang pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah, pernah berkata, “Jika gaji telah mencapai haul (gaji bertahan setahun) dan telah mencapai nishob, maka ketika itu wajib dikenai zakat. Namun jika gaji tersebut tidak memenuhi dua hal tadi, maka tidak ada zakat.” (Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 14/135)
Apalagi jika ada kebutuhan setiap bulannya, padahal telah kita ketahui bersama bahwa zakat merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok. Jika gaji tersebut masih dibutuhkan untuk kebutuhan pokok bulanan, maka tentu saja hal itu lebih didahulukan. Sehingga untuk perhitungan zakat penghasilan, kita total setahun penghasilan yang ada dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran (kebutuhan pokok).
Rumus zakat penghasilan = 1/40 x (total gaji dalam setahun – pengeluaran)
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Wallahu a’lam bish showab. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



[1]  Patokan satu tahunnya adalah tanggal Hijriyah dan bukan tanggal Masehi.
[2]  Lihat Az-Zakâh, hal. 92, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyar. Ukuran ini lebih lebih sedikit daripada pendapat sebagian ulama yang menyatakan nishob zakat emas jika disetarakan menjadi 85 gram emas (dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin), ada pula yang mengatakan 91 3/7 gram (dipilih oleh Al Lajnah Ad Daimah dalam Fatawa no. 5522, 9/255).  Nishob emas dengan 70 gr emas kami rasa lebih baik karena lebih hati-hati dan nantinya lebih menyenangkan si miskin atau orang yang berhak menerimanya.
[3]  Lihat Az-Zakâh, hal. 92. Ukuran ini lebih lebih sedikit daripada pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, yang menyatakan zakat perak setara dengan 595 gram perak murni.

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad sallallâhu’alaihi wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Yang dimaksud dengan barang dagangan di sini adalah yang diperdagangkan untuk mencari keuntungan. (Al-Fiqhul Muyassar: hal 130 dan Syarh Al-Minhâj: 2/27)
Dalil disyari’atkannya zakat barang dagangan adalah firman Allah Ta’âla,
            يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 267).
Imam Bukhari meletakkan Bab dalam kitâbuz Zakât dalam shahîhnya, di mana beliau berkata,
باب صَدَقَةِ الْكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ
Bab: Zakat hasil usaha dan tijaroh (perdagangan)  
setelah itu beliau rahimahullâh membawakan ayat di atas. Sebagai dalil disyariatkannya zakat perdagangan.
Berkata al-Imam Ibnul ‘Arobî,
{ مَا كَسَبْتُمْ } يَعْنِي : التِّجَارَةَ
“Yang dimaksud ‘hasil usaha kalian’ adalah perdagangan”.  (Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arobi, 1/469)
.
Syarat Zakat Barang Perdagangan
Pertama: Bukan termasuk harta yang sudah masuk kategori zakat yang lain.
Kalau yang dimiliki adalah kambing yang didagangkan, itu dimasukkan ke zakat kambing. Kalau yang didagangkan adalah emas dan perak, itu dimasukkan pada zakat emas dan perak.
Kedua: Telah mencapai nishôb (ukuran minimal dikenai zakat).
Nishob zakat barang dagangan disamakan dengan emas (bukan dengan perak). Alasan kenapa disetarakan dengan emas.[1]
Harga emas per gram untuk saat ini (03/01/2011) USD45,45/gram = Rp454.500 (kurs 10.000). Nishob emas, ada yang mengatakan 70 gr, ada juga ulama yang berpendapat 85 gr. Kalau kita menggunakan nishob terendah dengan asumsi harga emas murni per gramnya Rp454.500 , nishob emas = Rp454.500/gr x 70gr = Rp 31.815.000. Artinya jika nilai barang dagangan di atas kira-kira 30 juta barulah dikenai zakat.
Ketiga: Telah mencapai haul (masa satu tahun hijriyah, bukan masehi).
Artinya di sini, barang dagangan tersebut berada di atas nishob dan telah bertahan selama satu tahun (haul).
Haul yang dianggap di sini adalah seluruh haul. Artinya jika nilai barang dagangan di tengah-tengah haul kurang dari nishôb, maka tidak dikenai zakat. Demikian pendapat mayoritas (jumhur) ulama.  {Shahih Fiqhus Sunnah, Abu Mâlik, Al Maktabah At Taufiqiyah, 2/57}
Catatan: Jika modal mulai usaha sudah berada di atas nishob sejak awal usaha, maka haul sudah dihitung sejak awal usaha. Jika modal tidak mencapai nishob sejak awal usaha, maka haul baru dihitung sejak nilai barang dagangann di atas nishob.
.
Perhitungan Zakat Perdagangan
Perhitungan zakat perdagangan sama dengan emas dan perak yaitu 2,5%.
Perhitungan zakat barang dagangan = nilai barang dagangan* + uang dagang yang ada + piutang yang diharapkan – utang**.
* dengan harga saat itu, bukan harga saat beli.
** utang yang dimaksud adalah utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut (tahun pengeluaran zakat). Jadi bukan dimaksud seluruh hutang pedagang yang ada. Karena jika seluruhnya, bisa jadi ia tidak ada zakat bagi dirinya.
Kalau mencapai nishob, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5%. {Shahih Fiqhus Sunnah, 2/57}
Contoh:
Pak Yusuf  mulai membuka toko dengan modal 100 juta pada bulan Muharram 1432 H. Pada bulan Muharram 1433 H, perincian zakat barang dagangan Pak Muhammad sebagai berikut:
-          Nilai barang dagangan  = Rp.40.000.000
-          Uang yang ada               = Rp.10.000.000
-          Piutang                            = Rp.10.000.000
-          Utang                               = Rp.20.000.000 (yang jatuh tempo tahun 1433 H)
Perhitungan Zakat
= (Rp.40.000.000 + Rp.10.000.000 + Rp.10.000.000 – Rp.20.000.000) x 2,5%
= Rp.40.000.000 x 2,5%
= Rp.1.000.000
 Demikian pembahasan ringkasan mengenai zakat perdagangan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat
Bontang, 2 Ramadhan 1432 H/ 2 Agustus 2011.


[1]  Di antara alasannya:
  1. Nilai perak akan jauh berbeda antara zaman Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan zaman setelahnya. Hal ini berbeda dengan emas.
  2. Jika disetarakan dengan nishôb emas, maka itu akan mendekati nishob zakat lainnya seperti nishôb pada zakat hewan ternak { Lihat Shahîh Fiqh Sunnah, 2/23}.

Artikel Terbaru

Popular Posts