Minggu, 25 Maret 2012

Tatkala perlawanan Ramawi berkecamuk dalam perang Yarmuk, sebagian mujahidin mundur, maka para mulimah menegur mereka dan memerintahkan mereka agar kembali ke arena peperangan.Mereka berkata, "Kemanakah kalian akan pergi? apakah kalian ingin agar kami menjadi tawanan mereka?" maka serta merta para mujahidin pu kembali ke medan jihad. (Al-Bidayah Wa An-Nihayah: 7/13)

Hindun bintu Utbah melihat Abu Sufyan mundur kebelakang, maka dia memukul kudanya dengan tongkatnya, seraya berkata,"Mau kemanakah dirimu wahai Ibnu Shakr?! kembalilah ke medan jihad, kemudian kerahkanlah segala daya dan kemampuanmu, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dalam memusuhi Raslullah. (Al-Futuh: 1/202-203)

lihatlah betapa besarnya peran wanita tersebut dalam jihad, bagaimana mereka dapat menguatkan langkah para mujahidin untuk maju melanjutkan peperangan dan menggoyahkan semangat musuh. Demi Allah suatu umat tidaklah akan mengalami kehinaan apabila wanitanya seperti itu!! (Huququs Mar'ah fi Dho'i Sunnah An-Nabawiyah: 331-332)
As-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut :

بعض الناس يكتبون حرف "ص" بين قوسين ويقصدون به الرمز لجملة صلى الله عليه وسلم ، فهل يصح استعمال حرف "ص" رمزًا لكلمة صلى الله عليه وسلم؟


“Sebagian orang menulis huruf “ص” di antara dua tanda kurung yang mereka maksudkan dengan itu sebagai simbol dari kalimat shallallaahu ‘alaihi wa sallam (صلى الله عليه وسلم). Apakah hal ini dapat dibenarkan menulis huruf “ص” sebagai simbol dalam penulisan shalawat ?

Maka beliau rahimahullah menjawab sebagai berikut :

من آداب كتابة الحديث كما نص عليه علماء المصطلح ألا يرمز إلى هذه الجملة بحرف "ص" وكذلك لا يعبر عنها بالنعت مثل "صلعم"، ولا ريب أن الرمز أو النعت يفوت الإنسان أجر الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم فإنه إذا كتبها ثم قرأ الكتاب من بعده وتلا القارئ هذه الجملة صار للكاتب الأول نيل ثواب من قرأها، ولا يخفى علينا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فيما ثبت عنه: "أن من صلى عليه صلى الله عليه وسلم مرة واحدة صلى الله عليه بها عشرًا". فلا ينبغي للمؤمن أن يحرم نفسه الثواب والأجر ؛ لمجرد أن يسرع في إنهاء ما كتبه.


Termasuk bagian dari adab-adab menulis hadits sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama mushthalah (hadits), adalah tidak menyingkat penulisan kalimat shalawat dengan huruf “ص”. Begitu pula tidak dituliskan dengan singkatan “صلعم” Tidak diragukan lagi bahwasannya penulisan simbol atau singkatan akan menyebabkan seseorang luput dari pahala bershalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[1]

Apabila ia menulis kalimat shalawat dan kemudian ada orang yang membaca tulisan tersebut, maka Penulis pertama akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang membacanya. Tidaklah samar bagi kita apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara shahih :

“Barangsiapa yang bershalawat kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali”. [Shahih; diriwayatkan oleh Muslim no. 384, Abu Dawud no. 523, dan An-Nasa’i no. 678]

Tidak sepatutnya bagi seorang mukmin untuk menghalangi dirinya perolehan pahala dan ganjaran akibat ketergesa-gesaannya untuk menyelesaikan apa yang akan ia tulis (dari kalimat shalawat).

[Kitaabul-‘Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin rahimahullah].

 

 


 






[1] Demikian juga masyhur di Indonesia dengan tulisan saw.


Syaikh Muhammad Sa'id Al-Adeni


Segala puji adalah milik Allah, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada penghulu para rasul, kepada keluarganya dan para shahabatnya. Amma ba’du:

Agama Islam ibarat suatu bangunan yang sempurna pondasi dan bagian-bagiannya, mencakup seluruh aspek kehidupan baik politik, ekonomi dan seterusnya...Allah berfirman,

مَا فَرَّطْنا فِي الْكِتابِ مِنْ شَيْءٍ


“Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab.” (Al-An’am: 38)

Tidak ada satu kebaikanpun melainkan telah diarahkan oleh syariat yang mulia ini dan tidak ada kejelekan pun melainkan telah dijelaskan.

Sebelum kita memulai pembahasan ini maka terlebih dahulu kita memahai makna Al-Iqthishad (ekonomi).

Iqthishad (ekonomi) secara bahasa adalah: Terambil dari kata Al-Qasdhu yaitu jalan yang lurus dan adil, sedangkan adil itu lawan dari berlebih-lebihan. Yaitu jalan tengah antara berlebih-lebihan dan kikir.

Adapun maknanya secara istilah: Yaitu hukum-hukum dan kaedah-kaedah syar’i yang membahas tentang profesi penghasilan, pengeluaran harta, dan tata cara pengembangannya.

Adapun hukum-hukum yang terkait dengan perekonomian Islam, adakalanya hukum tersebut adalah hukum yang tetap dan tidak berobah dan adakalanya terkait dengan hukum yang berubah-rubah. Dapat disimpulkan bahwa perekonomian Islam secara global dibagi menjadi dua macam:

Pertama: Yang terkandung didalamnya hukum-hukum yang tetap dan tidak berubah-rubah, yaitu suatu hukum yang tetap berdasarkan dalil yang pasti yang merujuk kepada dalil asasi yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ contohnya: haramnya riba, atau bagian warisannya laki-laki dua kali bagian perempuan, sebagaimana firman-Nya,

لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ


“Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.” (an-Nisa: 11)

 

Keharaman darah dan harta seorang muslim, sebagaimana didalam hadits,

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ


“Sesungguhnya darah-darah kalian dan harta-harta kalian adalah haram atas kalian (untuk dilanggar).”

Keistimewaan dari hukum syariat, bahwasanya hukum ini tidak akan berubah-rubah meskipun berubah waktu dan tempat, serta bersifat universal dan menyeluruh dalam praktek penerapannya pada seluruh manusia tanpa mengandung kesulitan dan beban. Maka (undang-undang) inilah yang menjadi hakim bagi manusia bukan yang dihakimi oleh mereka.

Kedua: Hukum-hukum yang selalu berubah-rubah.

Yaitu hukum-hukum yang didasari oleh dalil-dalil yang bersifat Dzanniyyah (dugaan kuat) baik didalam sanadnya maupun kandunagnnya, yang mana hal tersebut disesuaikan dengan tuntutan kemaslahatan. Hukum-hukum semacam ini terkadang berubah-rubah tergantung dari situasi dan kondisi sesuai dengan ijtihad para ulama. Perubahannya pun disesuaikan dengan kemaslahatan yang berbeda disesuaikan dengan keadaan individu, zaman, maupun tempat. Maka diperbolehkan bagi para ahli ijtihad maupun para ulama untuk memilah hal ini disesuaikan dengan era globalisasi dengan tetap mengacu kepada syar’iat yang benar.

Diantara contoh-contoh penerapannya antara lain:

  1.  Ganti rugi oleh pelaku usaha dalam suatu perserikatan dagang. Sebagaimana kebijakan yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, padahal sebelumnya tidak diperlakukan ganti rugi ini. Kemudian tatkala pada masanya mulai disia-siakan amanah maka diberlakukanlah ganti rugi ini dalam rangka menjaga harta manusia.

  2. Kebijakan Umar radhiyallahu’anhu yang mana ia tidak menyalurkan zakat kepada para muallaf dengan alasan karena Nabi shallallahu’alaihi wasallam dahulu tatkala menyalurkan zakat kepada para muallaf  karena waktu itu Islam masih lemah, maka tatkala Allah telah menguatkan Islam tidak ada keperluan untuk (penyaluran zakat) kepada para muallaf. Kemudian hal tersebut disetujui oleh para shahabat sehingga jadilah hal tersebut adalah suatu ijma’. Islam benar-benar mengatur kehidupan individu hal itu demi keberlangsungan kehidupan mereka dan tercapainya penghambaan kepada Allah dimuka bumi, demikian juga untuk mengatur pendapatan harta manusia dan terpenuhinya kebutuhan primer mereka secara khusus.


Sungguh terdapat pada kehidupan Nabi shallallahu’alaihi wasallam suatu teladan yang utama dalam penerapan perekonomian syariat, demikian juga pada kehidupan para khulafa’ur Rasyidin.

Hanya saja kehidupan perekonomian dimasa generasi awal memiliki 2 karakteristik utama:

  1. Masyarakatnya yang masih didominasi oleh kefaqiran serta belum bergeliatnya pertumbuhan perekonomian disebabkan keterbatasan dan minimnya barang perdagangan.

  2. Kuatnya unsur-unsur agama yang menancap dalam jiwa, yang mana hampir-hampir tidak ada dimasa tersebut penipuan, manipulasi, atau ketidak jelasan status...


Adapun di zaman kita ini maka telah menyebar berbagai macam transaksi yang berlaku diantara manusia, menggeliatnya perdagangan, perekonomian, terjadinya era perdagangan bebas antara satu negara dengan negara yang lain, lunturnya unsur-unsur keagamaan yang ada pada manusia, serta kuatnya dominasi perekonomian nagara-negara asing terhadap perekonomian umat Islam sehingga memberikan pangaruh yang sangat segnifikan terhadap pertumbuhan perekonomian Islam, hingga muncullah berbagai macam problem yang amat kompleks.

URGENSI PEREKONOMIAN ISLAM


Sejatinya keberadaan undang-undang (islami) yang mengatur perekonomian di zaman kita ini jauh lebih dibutuhkan dari pada masa-masa sebelumnya, hal ini di sebabkan oleh beberapa faktor:

  1. Keberadaan (undang-undang Islami) tersebut akan menjadi solusi yang dapat memperbaiki hati manusia dan kondisi rohaninya, sehingga hatinya akan selalu merasa diawasi oleh Allah Ta’ala, serta hati akan selalu tertaut dengan keimanan kepada Allah dan hari akhir.

  2. Terealisasinya sebuah kedilan dan kesejahteraan baik sektor individu maupun masyarakat dan terwujudnya sebuah kebaikan bagi setiap individu atau masyarakat.

  3. Menjadi solusi dari krisis moneter.


DASAR-DASAR PEREKONOMIAN ISLAM


Perekonomian Islam memilki 3 landasan penting:

Landasan Pertama:  Islam mengakui adanya kepemilikan mutlak, Maksudnya Islam mengakui adanya kepemilikan secara pribadi yang tidak dimiliki dan di ganggu gugat oleh yang lainnya serta kepemilikan yang sifatnya kolektif yaitu kepemilikan untuk seluruh individu masyrakat. Islam mengakui adanya dua kepemilikan tersebut secara sekaligus dan mengkorelasikannya demi kebaikan individu dan masyarakat. Islam menetapkan dua kemaslahatan ini selama tidak ada kontradiktif yang terjadi diantara keduanya serta mungkin untuk dikompromikan antara keduanya. Namun apabila telah terjadi kontradiktif antara keduanya maka Islam lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Diantara dalil yang menunjukan demikian adalah sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

 “Janganlah orang kota menjualkan barang-barang milik orang kampung, (yaitu jangan menjadi calo baginya).”  Yang mana nanti ia akan melambungkan harganya melebihi harga yang dijual oleh orang kampung itu sendiri.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ


“Janganlah engkau menghadang para pembawa barang dagangan (dari kampung).” Yang mana pembeli tadi tentu akan membeli barang tersebut dengan harga dibawah standar kemudian menjualnya dengan harga yang melambung tinggi. Yang dampaknya para pembeli tidak bisa langsung membelinya dari orang kampung tersebut, yang seharusnya mereka bisa membelinya dengan harga yang lebih murah.

KEPEMILIKAN SECARA KOLEKTIF DAN RUANG LINGKUP-RUANG LINGKUPNYA.

  1. Waqaf-waqaf kebaikan.


Adapun definisi dari waqaf adalah: Tertahannya pokok suatu  benda (yang diwaqafkan) dan berkesinambunagannya manfaat tersebut. Dan manfaat ini tidak hanya dikhususkan kepada perorangan, bahkan manfaatnya bersifat umum untuk setiap orang yang berhak mendapatkan manfaat dari waqaf tersebut.

  1. 2.      Al-Himâ


Yaitu: Pemerintah memberdayakan pengolahan tanah yang tidak dimiliki oleh seorang pun untuk kemaslahatan kaum muslimin, bukan hanya kemaslahatan perorangan. Jadi Al-Himâ adalah: Pengolahan tanah yang tidak dimiliki oleh seorang pun untuk kemaslahatan kaum muslimin. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam beliau memberdayakan tanah An-Naqi’ yang ada dikota Madinah yang kemudian digunakan oleh kaum muslimin untuk menggembalakan kuda-kuda mereka. Demikian juga Abu Bakr dan Umar radhiyallahu’anhuma memberdayakan tanah yang ada di Rabadzah.

  1. Kebutuhan yang bersifat asasi seperti air, rumput-rumput, dan api.


Hal-hal diatas sifatnya dimiliki secara kolektif untuk seluruh masyarakat tidak boleh bagi seseorang untuk memilikinya secara pribadi tanpa bersama-sama, karena hal tersebut adalah kebutuhan yang bersifat darurat. Yang mana hal-hal tersebut diatas ada tanpa usaha dari manusia untuk mengeluarkannya, maka tidak boleh dimiliki secara pribadi tanpa dimiliki oleh orang lain, berdasarkan hadits,

النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ


“Manusia berserikat dalam tiga hal”.

Kemudian beliau shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan tiga hal diatas.

  1. Hasil-hasil penambangan bumi.


Yaitu berupa kekeyaan alam yang Allah sediakan didalam lapisan bumi, baik di darat maupun di lautan agar manusia dapat merasakan manfaat tersebut baik itu berupa besi, kuningan, gas alam, emas, perak, garam dst...tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama bahwa apabila ada emas yang berada di sebuah tanah yang tidak dimiliki oleh seorang pun, maka hasil buminya masuk kedalam baitul mal yang dialokasikan oleh negara untuk kepentingan kaum muslimin yang bersifat menyeluruh.

  1. Zakat


Yaitu harta yang harus dikeluarkan oleh kelompok-kelompok yang khusus (penyebutannya didalam Al-Qur’an) dan pada waktu yang khusus. Dan ini merupakan sumber utama dalam kepemilikan secara bersama, yang mana Nabi shallallahu’alaihi wasallam pun memerintahkan hal tersebut dalam sabdanya,

تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ


“(zakat itu) terambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan di salurkan kepada orang-orang yang miskin diantara mereka.”

Maka (zakat) ini masuk kedalam hal-hal yang masuk kedalam kepemilikan secara kolektif terkhusus kepada pihak-pihak yang mereka berhak untuk mendapatkannya sebagaimana telah tercantum didalam ayat,

  1. Al-Jizyah (upeti)


Yaitu harta yang ditarik dari orang-orang baligh dari kalangan ahli dzimmah dan orang-orang Majusi sebagai timbal balik dari apa yang mereka nikmati dari hak-hak yang mereka dapatkan di negeri kaum muslimin. Dan jizyah ini tidaklah wajib dibayar kecuali hanya sekali dalam setahun. Dan pemberlakuan hukum ini haruslah disertai dengan kasih sayang dan tidak membebani mereka diatas kemampuan mereka.

  1. 7.      Al-Kharaj


Yaitu harta yang harus disetorkan pada waktu-waktu tertentu, yang itu berasal dari hasil bumi yang telah dikuasai oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir atau tanah-tanah yang ditinggalkan oleh orang-orang kafir setelah terjadi perdamaian dengan mereka. Sedangkan hasil-hasil tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir tidaklah dikenakan zakat padanya namun cukup dikeluarkan Al-Kharaj padanya.

  1. Seperlima dari harta ghanimah (harta rampasan perang orang-orang kafir)


Harta-harta rampasan perang dari orang-orang kafir dibagi menjadi lima bagian, diantara satu bagian darinya telah dijelaskan dalam sebuah ayat,

وَاعْلَمُوا أَنَّما غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبى وَالْيَتامى وَالْمَساكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ


“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil.”

Dan itulah yang dinamakan dengan seperlima dari harta ghanimah hal itu sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam tatkala beliau , mengambil bulu wol dari punuk onta beliau bersabda,

لَا يَحِلُّ لِي مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ قَدْرُ هَذِهِ إِلَّا الْخُمُسُ، وَالْخُمُسُ مَرْدُودٌ عَلَيْكُمْ


“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidaklah halal bagiku untuk mengambil apa-apa yang telah Allah titipkan kepadaku ini kecuali hanya seperlima saja, yang mana harta seperlima ini akan kembali lagi untuk kepentingan kalian.”

  1. Harta  yang tidak ada yang memilikinya.


Apabila suatu harta tidak ada yang memilikinya, maka statusnya seperti pusaka peninggalan yang tidak ada pewarisnya dan seperti barang titipan atau barang hilang yang tidak diketahui status kepemilikannya. Maka hal tersebut dikembalikan ke baitul mal muslimin untuk kemudian disalurkan demi kepentingan umum.

  1. Sepersepuluh harta yang diambil dari harta orang-orang kafir harbi.


Apabila ada seorang kafir harbi yang berprofesi sebagi pedagang masuk kedalam negeri kaum muslimin dengan rasa aman, maka setiap harta perdagangannya diambil sepersepuluh, kemudian disetorkan ke baitul mal muslimin.

TUJUAN-TUJUAN DARI KEPEMILIKAN SECARA KOLEKTIF

  1. Terealisasinya pemenuhan hak bagi seluruh manusia berupa kekayaan alam yang bersifat umum dan memiliki manfaat secara kebersamaan, baik itu berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan primer maupun yang lainnya, yang bersifat menyeluruh bagi kaum muslimin secara umum. Maka air, rumput, dan apib adalah bagian dari hal-hal yang yang menopang kehidupan manusia, apabila hal-hal diatas dimonopoli oleh salah satu dari kedua pihak , maka ia akan memberikan pengaruh buruk bagi manusia.

  2. Memberikan jaminan keamanan bagi pembiayaan negara: Maka negara bertugas untuk menjaga hak-hak, menunaikan kewajiaban, menjaga daerah perbatasan, mempersiapkan pasukan, dan memberikan pelayanan kepada orang-orang yang lemah, orang-orang yatim, orang-orang miskin, keamanan, pendidikan, pengobatan serta hal-hal yang menunjukan kepentingan umum. Dan suatu negara tidak dapat melakukan hal-hal yang penuh berkah diatas kecuali dengan adanya harta-harta yang bersifat umum ini.

  3. Memberikan semangat lebih dalam amal-amal kebaikan dan penyebarannya yang lebih kepada orang-orang yang membutuhkan dari kalangan kaum muslimin. Maka waqaf dan zakat memberikan andil yang besar dan berkah didalam memenuhi kebutuhan masyarakat, dan proyek amal-amal kebaikan seperti pembangunan masjid, sekolahan-sekolahan, perpustakaan-perpustakaan, rumah sakit-rumah sakit maupun hal-hal yang lainnya.

  4. Pemanfaatan kekayaan negara dengan cara yang terbaik untuk kemaslahatan manusia, terutama proyek-proyek yang tidak mampu dikerjaan secara orang perorang atau perusahaan tertentu bisa karena tidak adanya kemampuan memadai yang mereka miliki atau karena beban biaya yang amat besar seperti sarana prasarana pembangunan tempat, pembangunan kota perindustrian, pemanfaatan tanah yang luas untuk lahan pertanian. Namun tatkala baitul baitul mal memilki sumber-sumber kekayaan, maka ia akan mampu untuk mendirikan proyek-proyek yang besar.


Kedua: Beberapa ruang lingkup kepemilikan umum

  1. Jual beli.


Dalilnya firman Allah Ta’ala

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا


“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

وَأَشْهِدُوا إِذا تَبايَعْتُمْ


“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” (Al-Baqarah: 282)

  1. Menjadi pegawai bayaran.


إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ


“Sesunguhnya sebaik-baik yang engkau jadikan sebagai pekerja adalah seorang yang kuat dan amanah.”

Dan didalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ


“Tidaklah seorang memamakan suatu makanan pun yang lebih baik dari pada seseorang memakan dengan hasil tangannya sendiri, karena sesungguhnya Nabiyullah Dawud makan dari hasil tangannya sendiri.”

  1. Pertanian.


Pertanian adalah bagian dari kepemilikan khusus yang yang dianjurkan oleh syariat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَناكِبِها وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.”(Al-Mulk: 15)

Terdapat juga didalam suatu hadits, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ، إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ


 “Tidaklah seorang muslim menanam suatu tumbuhan atau menanam suatu tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang ternak kecuali itu akan menjadi shodaqah bagi dia.”

Berkata imam Al-Mawardi, “Pokok dari penghisilan adalah: pertanian dan perdagangan, yang lebih baik menurut saya adalah pertanian karena manfaatnya yang menyeluruh dan lebih mengantarkan kepada tawakkal kepada Allah.”

  1. Membudidayakan tanah mati.


Yang dimaksud dengan tanah mati disini adalah tanah yang tidak di garap dan tanah yang tidak ada status kepemilikannya dari salah satu pihak . berdasarkan hadits,

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ


“Barang siapa yang mengolah tanah yang tidak berpemilik, maka dia lebih berhak dalamnya.”

Syarat-syarat penberdayaan tanah kosong tak berpemilik:

  1. Tanah tersebut bukanlah kepemilikan orang-perorang dari kalangan kaum muslimin ataupun yang lainnya.

  2. Tanah tersebut tidak termasuk kekuasaan negera.

  3. Tanah tersebut bukanlah tempat rekreasi umum, seperti tempat pariwisata.

  4. Tanah tersebut benar-benar dia olah paling tidak dalam kurun minimal tiga tahun.

  5. Seorang yang melakukan perawatan tanah adalah orang-orang yang ahli.

  6. Adanya izin dari dari pemerintah, inilah syarat yang ditambahkan oleh Abu Hanifah, adapun imam Malik maka mensyaratkan tambahan yaitu tanah tersebut dekat dengan kota.

  7. Perindustrian dan kerajinan.


Inilah hal yang dianjurkan dalam Islam. Nabi shallallahu’alaihi wasallam menghabarkan bahwa zakaria adalah tukang kayu.

  1. Penjualan kayu.


Atau segala yang mengkin untuk untuk dimiliki secara person. Hal ini berdasarkan hadits,

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ


“Sungguh salah seorang diantara kalian menggendong seikat kayu dipunggungnya, kemudian ia menjualnya, kemudian Allah mencukupkan dirinya dengannya itu lebih baik dari pada ia meminta kepada seseorang baik dia diberi maupun tidak diberi.”

  1. Binatang buruan


Allah berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعامُهُ مَتاعاً لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ


“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.”

  1. Sumbangan dari pemerintah maupun pemberian darinya

  2. Hibah, pemberian, dan hadiah

  3. Upah atas profesi tertentu dan hadiah perlombaan.

  4. Barang temuan

  5. Wasiat dan warisan

  6. Mahar dan pemberian

  7. Apa-apa yang diambil dari orang-orang yang membutuhkan baik berupa harta-harta zakat maupun shadaqah.

  8. Apa-apa yang diambil dari nafkah yang wajib.


DIANTARA TUJUAN-TUJUAN KEPEMILIKAN YANG WAJIB

  1. Membantu kerjasama antar negara melalui perantaraan orang tertentu maupun instansi tertentu tanpa harus melibatkan pemerintah secara langsung, yang mana itu bisa dikukan dengan memanfaatkan orang tertentu yang dipekerjakan oleh negara untuk pengembangan proyek pertanian maupun perindustrian.

  2. Merealisasikan kenyamanan dan kebahagiaan bagi seluruh individu dan manfaat menyeluruh bagi seluruh masyarakat dengan metode oersaingan yang sehat antar para produsen.

  3. Tidak membebani negara dengan hasil produksi yang dilakukan oleh orang perorang.

  4. Menghilangkan keserakahan terhadap harta dan memurnikannya dalam ruang lingkup yang sesuai dengan apa yang difitrahkan oleh Allah padanya.


Islam memberikan kebebasan dalam urusan perekonomian akan tetapi hal tersebut haruslah sejalan dengan rambu-rambu berikut ini:

  1. Program perekonomian yang dicanangkan haruslah dalam hal yang disyariatkan. Sesungguhnya ruang lingkup kehalalan dalam perekonomian itu luas namun itu semua disyaratkan agar tidak bertentangan dengan nash yang menunjukan akan keharaman program tersebut. Diantaranya:-


-          Riba

-          Praktek manipulasi

-          Perjudian dan mengundi nasib

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ISLAM MEMBATASI KEBEBASAN EKONOMI




  1. Dikarenakan pemilik hakiki adalah Allah ‘Azza wa Jalla, maka Allah lah yang berhak untuk mengatur penggunaan harta tersebut sesuai dengan apa yang diketahui-Nya berkaitan dengan kondisi manusia dan keadaan-keadaan mereka.

  2. Tidak bolehnya membahayakan hak-hak orang lain atau kemaslahatan yang bersifat umum.

  3. Menjaga kemaslahatan sebagian kelompok yang membutuhkannya dari pada yang seliannya, sebagaimana dalam permasalahan penyaluran zakat serta keharusan untuk memberikan nafkah kepada para kerabat.


RUKUN YANG KETIGA: TOLONG MENOLONG SECARA KEBERSAMAAN.

Merupakan realita yang tidak bisa di pungkiri, bahwa secara individu manusia bertingkat-tingkat baik dalam struktur tubuh, sifat-sifat kejiawaan, dan pemikirannya. Berangkat dari perbedaan anugerah Allah baik berupa kemampuan maupun ketermpilan maka ini akan memberikan suatu pengaruh dalam pekerjaan yang ditekuninya serta memberikan pengaruh berkaitan dengan pendapatan harta yang diperoleh, bahkan yang lebih segnifikan yaitu adanya individu masyarakat yang mengalami kekurangan harta dalam pemenuhan kebutuhan mereka yang bersifat primer. Oleh karena itu diperlukan adanya berbagai macam, proyek dalam rangka perwujudan kerja sama, tolong menolong, dan memenuhi kebutuhan indivudu-individu masyarakat yang diantara bentuk kongkritnya antara lain:

  1. Zakat

  2. Menyalurkan harta baitul mal untuk orang-orang yang membutuhkan.

  3. Mewajibkan infaq kepada orang-orang yang kaya.

  4. Pemberlakuan kaffarat (denda), pundi-pundi shadaqah, pegadaian-pegadaian, pemberian-pemberian secara Cuma-Cuma, dan hal-hal yang lain dalam rangka merealisasikan gotong royong dan kerjasama antar individu masyarakat.


METODE-METODE ASASI DALAM PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN

Pertama: Adanya rasa kepercayaan diri.

Islam sangatlah memberikan arahan dan rambu-rambu agar seseorang merasa memiliki tanggung jawab dalam setiap medan yang ia hadapi. Oleh karena itu setiap muslim haruslah memiliki tanggung jawab dalam profesi yang ia jalani dan tanggung jawab terhadap penghidupan keluarganya. Hal inilah yang harus selalu ia camkan, bahwa sebelum seseorang meminta bantuan kepada orang lain terlebih dahulu ia haruslah mengintrospeksi dirinya.

Kedua: Pengadaan pengembangan teknologi masa kini.

Hal ini sangatlah memberikan pengaruh terhadap pengembangan perekonomian dalam negeri ataupun manca negara, yang mana hal itu dengan pemengembangan teknologi moderen.

Ketiga: Adanya penjagaan dari hilang dan hancurnya suatu harta.

Allah berfirman,

وَالَّذِينَ إِذا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا


“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan.” (Al-Furqan: 67)

Keempat: Adanya rancangan yang sempurna dan paripurna dalam pengembangan perekonomian.

Adanya rancangan inilah merupakan modal utama pengembangan perekonomian yang mana satu sektor dengan sektor yang lain janganlah sampai terabaikan, serta tidak hanya fokus pada rancangan-rancangan tentang perkara tertentu, tingkatan tertentu atau waktu tertentu.  Dan juga tidak hanya fokus pada hasil tertentu atau kepada problem tertentu yang terkadang muncul dan hilang.

Washallallahu’alaa Nabiyyina Muhammad wa’alaa aalihi washahbihi wasallam.

Jumat, 23 Maret 2012

Syaikh Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i  rahimahullah mengatakan: “Kita beribadah kepada Allah dengan pemahaman salafus soleh yang sesuai dengan dalil. Dan kita katakan: Sesungguhnya mereka telah mendahului kita dalam setiap kebaikan. Apalagi sudah jelas sanjungan terhadap mereka, seperti firman Allah Subhanahu wa Taala:
وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.” (At-Taubah: 100)

Berikut ini adalah Kitab Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i Rahimahullahu Ta’ala dapat antum download (klik gambar)

Selasa, 13 Maret 2012


Arti penting Umur Manusia

Seorang yang akan bepergian jauh tentu akan mempersiapkan bekal dengan sebaik-baiknya dan perbekalan yang cukup. Ambil contoh seseorang yang hendak melakukan perjalanan haji, tentulah ia akan mempersiapkan bekal yang cukup dan mengumpulkan bekal yang cukup lama, yang mana ibadah haji hanya berlangsung sebentar saja, hanya beberapa hari. Sama juga seorang yang hendak menikah akan mempersiapkan bekal pernikahan dan biaya pernikahan yang itu terkadang didapat setelah ia bekerja keras dan lama mengumpulkannya. Lalu yang menjadi buah pertanyaan bagi kita sudahkah kita mempersiapkan perbekalan untuk suatu perjalanan yang tiada akhirnya? Yakni perjalanan akhirat. Dunia ini tidak lain hanyalah tempat singgah sementara, yang mana manusia akan melanjutkan perjalanannya kenegeri akherat yang tiada akhirnya.

Maka sudah semestinya kita mempersiapkan perbekalan untuk kehidaupan panjang yann tiada akhirnya. Allah berfirman,

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِما تَعْمَلُونَ


“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaknya setiap diri memperhatikan tentang apa yang akan diperbuat olehnya untuk esok hari (akherat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang engkau kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah tentang apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan. Serta (hal-hal) yang dinampakkan kepada Rab kaliaan.”[1]

Namun amat sangat disayangkan masih ada sebagian kaum muslimin yang berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah setelah berusia senja, setelah pensiun, atau purna tugas, padahal dia tidak tahu umur berapa ia akan meninggal.

Bersegeralah Dalam Beramal


“Mumpung masih muda mas puas-puasin aja dan nikmati masa muda, kan gampang setelah tua nanti baru sadar.” Inilah ucapan yang acap kali kita dengar dari orang-orang yang bergelimang dengan maksiat dan jauh dari ketaatan. Padahal tahukah dia kalau umurnya bakalan panjang? Apakah punya rekomendasi dari Allah dengan tanda tangan malakat yang menyatakan umurnya bakal panjang? Kalau seandainya ia ditakdirkan panjang apakah ada jaminan bahwa dia akan sadar? Ayau jesteru malah makin tua makin menjadi maksiatnya?! Allah ta’ala berfirman,

وَما تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَداً وَما تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ


“Dan tiada seseorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan untuk hari esok. Dan tiada seorang pun yang mengetahui dibumi mana dia akan mati. Sesunguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (Luqman: 34)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya banyak berangan-angan adalah modalnya orang-orang yang bangkrut.”[2]

Abdullah bin Umar berkata,

إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ المَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ


“Apabila engkau berada diwaktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) diwaktu pagi. Dan jika berada diwaktu pagi, janganlah (menunda beramal) diwaktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu, dan hidupmu untuk matimu.”[3]

Maka janganlah lewatkan kesempatan hidup ini sebelum datangnya kematian. Allah berfirman,

حَتَّى إِذا جاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قالَ رَبِّ ارْجِعُونِ


لَعَلِّي أَعْمَلُ صالِحاً فِيما تَرَكْتُ كَلاَّ إِنَّها كَلِمَةٌ هُوَ قائِلُها وَمِنْ وَرائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلى يَوْمِ يُبْعَثُونَ


“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata: ‘wahai Rabku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat beramal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan.’sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkan saja.” (Al-Mu’minun: 99-100)

Umur Akan Dimintai Pertanggung Jawaban


Waktu adalah sesuatu yang sangat berharga, jika berlalu maka ia tidak akan kembali lagi. Setiap kali waktu bergulir, maka semakin dekatlah ajal kita. Dan umur adalah nikmat yang akan dimintai pertanggungjawaban disisi Allah. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَسْأَلَهُ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَمَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ


“Tidak akan bergeser kaki manusia pada hari kiamat dari sisi Rabnya sehinga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya untuk apa ia pergunakan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia infakkan, dan tentang ilmunya apa yang ia amalkan (darinya).”[4]

Manfaatkanlah nikmat umur ini untuk beramal


Amat banyak orang-orang yang melewati harinya dengan hura-hura, foya-foya dan perbuatan sia-sia. Bahkan banyak diantara mereka yang manjadikan umurnya untuk ajang berbuat dosa danm kemurkaan Allah. Dia tidak mau memanfaatkan umurnya sebagai bekal di akherat atau tidak mau memanfaatkan umurnya utuk mengisi sesuatu yang berfaat bdalam dunianya. Seolah olah keadaannya mengatakan hidup itu Cuma sekali didunia saja maka manfaatkanlah untuk foya-foya. Tidak ada yang terbayang didalam benaknya kecuali menuruti hawa nafsunya. Maka kondisi orang yang seperti ini seperti binatang ternak bahkan lebih jelek. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ


“(Ada) dua nikmat  yang kebanyakan orang tertipu olehnya, yaitu nikmat sehat, dan waktu senggang.”[5]

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,

اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ


“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa kayamu sebelum,masa fakirmu.”[6]

Berkata Al-Munawi, “Lakukanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakanlah (hidupmu pada) hal-hal yang akan memberikan manfaat setelah matimu, karena orang yang telah mati telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni manfaatkanlah (kesempatan) senggangmu didunia ini sebelum disibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah alam kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat gdari siksa dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum masa tuamu”, yakni lakukan ketaatan saat kamu mampu sebelum datang usia tu manghinggapimu., sehingga engkau akan menyesali perbuatan yang telah engkau sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah ta’ala. “Dan masa kayamun sebelum masa faqirmu” yakni ,memanfaatkan dengan bersedekah atas kelebihan hartamu sebelum engkau jatuh kepa musibah yang menjadikanmu faqir, (jika demikian) maka engkau akan menjadi faqir di dunia dan di akherat. Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah hilang.”[7]

Telah Datang peringatan


Terkadang telah datang peringatan  dari tubuhnya sendiri. Hal ini menjadi peringatan akan dekatnya ajal menjemputnya. Sungguh uban yang telah menyelimuti kepala, kulit yang sudah mulai keriput, badan yang sudah mulai lemah merupakan tanda akan dekat ajal menjemputnya. Allah berfirman,

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَما لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ


“Dan apakah kami telah memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir nbagi ourang-orang yang mau berpikir, dan (apakah) tidak datng kepadamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37)

Sebagian ahliu tafsir menjelaskan arti, “Telah datang kepadamu peringatkan” yakni: uban.

Demikian juga apabila Allah telah memberikan umur hingga seorang mencapai umur 60 tahun, berarti Allah tidak meninggalkan sebab lagi agar seseorang memilki alasan. Kesempatan telah Allah berikan dan umur telah dipanjangkan. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ، حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً


“Allah telah memberikan puncak udzur/alasan bagi seseorang yang diakhirkan ajalnya hingga mencapai usia enampuluh tahun.[8]

Maksud hadits ini adalah bahwa tidak ada lagi alasan baginya, seperti mengatakan, “Kalau umurku dipanjangkan, maka aku akan melakukan apa yang aku diperintahkan untuknya.” Dijadikannya umur empat puluh tahun sebagai batas udzur seseorang karena umur tersebut adalah umur yang mendekati ajal dan umur yang seharusnya seseorang kembali kepada Allah, khusyu’, dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang lebih berumur enam puluh tahun hendaknya ia lebih menekuni amalan akherat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali dalam kondisinya yang pertama ketika dalam kondisi kuat dan semangat.”[9]

Umur Umat Ini


Allah telah mentakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur-umur umat terdahulu. Hal ini mengandung sebuah hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh para hamba. Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda didalam hadits yang telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,

أَعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى السَّبْعِينَ، وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ


   “Umur-umur umatku antara 60 sampai 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi dari itu.”[10]

Maksud hadits ini adalah bahwa keumuman umur umat ini antara 60 hingga 70 tahun, dengan realita yang bisa disaksikan. Dimana ada juga diantara umat ini yang (mati) sebelum umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah dan kasih sayangnya supaya umat ini tidak terlibat dalam kehidupan dunia kecuali hanya sebentar. Karena umur, badan, dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai sekitar 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah. Dan manusia pun terus mengalami bentuk penurunan fisik, rizki, dan ajal. Maka jadilah umat ini sebagai umat yang terakhir, yang mengambil rizki yang sedikit, dengan badan yang lemah, dan pada masa yang pendek supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah ta’ala kepada mereka.”[11]

Orang Yang Paling Baik


Manusia yang terbaik adalah manusia yang mengisi waktunya dengan amalan untuk kebaikan dunia dan akheratnya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ وَشَرَّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ


“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah yang panjang umurnya dan jelek amalannya.”[12]

Seorang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya, maka akan banyak amalannya dan bertambajh pahala kebaikannya,

Dahulu ada dua orang yang datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih bersemangat untuk beramal dari pada yang lainnya. Orang yang bersemanagat tersebut ikut pertempuran dan terbunuh. Temennya yang satu masih hidup satu tahun setelahnya, lalu meninggal diatas ranjangnya. Maka ada shahabat bernama Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya keduanya berada dipintu sorga. Maka orang yang matinya diatas ranjangnya dipersilahkan masuk sorga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilahkan masuk. Pada pagi jharinya Thalhah bercerita kepada orang-orang dan mereka merasa takjub dengan hal tersebut, berita mimpi Thalhah dan takjubnya manisia pun sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Bukankah (orang yang mati diranjangnya) ini masih hidup setahun setelah (kematian temennya yang terbunuh dijalan Allah) itu? Para shahabat menjawab, “Benar”. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertanya lagi, “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” para shahabat menjawab, “Benar”. Rasulullah bersabda, “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh dari pada jarak antara langit dan bumi.”[13]

Karena mat berharga dan mahalnya umur seorang mu’min, maka dahulu ada seorang salaf mengatakan, “Sungguh satu jam kamu hidup padanya dengan kamu beristighfar kepada Allah lebih baik dari pada kamu mati selama setahun.

Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya, “Apakah kamu ingin mati?” jawabnya, “Tidak. Karena masa masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam kedaan seperti ini.”

Dan ada juga seorang salaf lainnya yang sudah tua ditanya, “Apa yang masih masih tersisa dari keinginanmu didunia ini?” Dia menkjawab, “Menangisi dosa-dosa yang telah aku perbuat.”

Oleh karena itu banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena sedih berpisah dengan kenikmatan dunia, mnamun bersedih lkarena terputus dengan amalan-amalan shalat malam yang dia lakukan, puasa, tilawatul Qu’an dan yang lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi rahimahullah.[14]

Larangan Meminta Kematian


Tidak seyogianya seorang meminta kematian tanpa ada sebab yang dibenarakan. Diantara sebab yang diperbolehkan adalah ketika ia merasa yakin apabila ia masih hidup maka ada indikasi yang kuat bahwa cobaan yang menderanya akan menyesatkannya dari agama Allah. Mnamun apabila alasannya tidak diperbiolehkan semisal seorang yang ditimpa penyakit dan sudah berobat namun penyakitnya tidak kunjung sembuh, atau dililit hutang dan semisalnya, maka meminta mati dalam hal ini adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan. Mnabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ، فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ مُتَمَنِّيًا فَلْيَقُلْ: اللهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي


“Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan kematian karena penderitaan yang menimpanya. Jika mau tidak mau harus berbuat, maka ucapkanlah, ‘Wahai Allah hidupkanlah aku jika memang hidup itu lebih baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika memang wafat itu lebih baik bagiku.”[15]

Seorang mu’min selalu meminta yang terbaik kepada Allah. Karena seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau justeru sebaliknya. Dengan kematian, seorang telah terputus dari amalannya dan tidak bermanfaat lagi taubat dan penyesalan.

Habib bin ‘Isa Al-Farisi rahimahullah merasa gusar ketika kematian menjemputnya. Ia mengatakan, “Sunguh akan akan pergi dengan menempuh perjalanan jauh yang belum pernah aku tempuh. Aku akan menelusuri suatu jalan yang belum pernah aku telusuri. Akau akan berjalan menunggu kekasihku (Allah ta’ala) yang belum pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku melihat sebelumnya”[16]

Memohon Agar Dipanjangkan Umur


Panjangnya umur bukanlah jaminan selamatnya seseorang dari adzab. Lihatlah bagaimana orang-orang Yahudi amat sangat beranbisi agar mereka diberi umur yang panjang. Sebagaimana Allah berfirman,

يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَما هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذابِ أَنْ يُعَمَّرَ


“Masing-masing mereka berangan-angan agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang tersebut tidaklah sekali-kali menjauhkan dari siksa.” (Al-Baqarah: 96)

Adapun seorang mu’min tidaklah bertambah umur kecuali akan bertambah baginya kebaikan. Oleh kerena itu diperbolehkan bagi seseorang untuk meminta kepada Allah agar dipanjangkan umur. Sebagai mana Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah mendoakan Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَولَدَهُ وَأدْخِلْهُ الْجَنَّةَ


Wahai Allah perbanyaklah hartanya, anaknya, dan panjangkanlah umurnya.” [17]

Berkata Syaikh Al-Albani, “Pada hadits diatas, terdapat faedah tentang bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi seseorang.”[18]

Namun seyogyanya doa meminta panjang umur tersebut dibarengi dengan permohonan kebaikan dan barakah. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Tidak sepantasnya seseorang mengucapkan (selamat) panjang umur, karena panjangnya umur terkadang baik dan terkadang jelek. Orang yang jelek adalah seorang yang panjang umurnya lagi jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa seseorang mendoakan, ‘Semoga Allah panjangkan umurmu diatas ketaatan kepada Allah atau yang semisalnya’.”[19]

Tauladan Para Salaf Didalam Menjaga Waktu Diatas Ketaatan


   Apabila kita membuka lembaran generasi para salaf dan kesungguhan mereka di dalam memanfaatkan waktu untuk ketaatan, maka sungguh kita akan merasa takjub dan seolah-olah itu hanyalah dongeng semata yang tidak ada di alam nyata. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan kehidupan akherat dari pada dunia. Mereka adalah orang-orang yang siap berkorban dengan jiwa, harta, dan raganya dalam rangka membela agama Islam. Mereka akan sipa berkorban untuk semua itu walaupun dengan resiko dimurkai oleh manusia.

Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mencermati  lembaran-lembaran mereka didalam hal memanfaatkan waktu untuk ketaatan, agar semangat menjadi tumbuh dan kemalasan akan terenyahkan. Dalam Al-Qur’an Allah telah mensifati hamba-hamba-Nya yang diridhoi-Nya dengan firman-Nya,

كانُوا قَلِيلاً مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ  وَبِالْأَسْحارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ


“Mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan diakhir-akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 17-18)

Mereka melewati malam-malam yang panjang bukanah untuk begadang dalam hal-hal yang tidak bermanfaat atau tidur terlelap sepanjang malam, akan tetapi mereka melewatinya untuk beristighfar dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka. Demikian pula Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah yang termulia, ditempat yang paling mulia yaitu Makkah. Keduanya berdoa:

رَبَّنا تَقَبَّلْ مِنَّا


“Wahai Allah terimalah dari kami.” (Al-Baqarah: 127)

Berbeda dengan seorang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah.

Inilah shahabat Abdullah bin umar radhiyallahu’anhuma, ketika Abu Hurairah radhiyallahu’anhu memberitahukannya tentang hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa orang yang menshalati janazah akan mendapatkan pahala satu qirath, dan barang siapa yang mengantarkannya sampai kubur dia mendapatkan pahala dua qirath. Abdullah bin Umar belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia menjawab, “Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi telah pulang dan mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan penyesalan, “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.”[20]

Demikianlah Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma sangat menyesal karena telah terlewatkan untuk mendapat pahala yang besar. Namun pernahkah kita menyesalai atas terluputnya amalan ketaatan yang terluput pada diri kita? Atau justeru yang kita sesali adalah terluputnya kemewahan dunia.

Dahulu apabila seorang Ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya dalam rangka menulis hadits, ia memanfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.

Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahullah, “Tidaklah aku melihatnya kecuali ia sedang membaca, tersenyum atau sedang meneliti (suatu permasalahan agama).

Al-Imam Adz-Dzahabi menyebutkan tentang biografi Abdul Wahhab bin Al-Wahhab bin Al-Amin rahimahullah bahwa waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu suatu saat kecuali dia sedang membaca, berdzikir, tahajjud, atau setor hafalan.[21]

Berlindung Kepada Allah Dari Penyakit Pikun


        Semakin berlanjut usia seseorang semakin berkurang kekuatannya dan melemah fisiknya sehingga kembali kepada kondisi yang serupa dengan anak kecil yang lemah tubuhnya, sedikit akalnya, dan kurang pengetahuannya. Oleh karena itu diantara doa Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

“Wahai Allah aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.”[22]

 

Bersiap-siaplah Untuk Menghadapi Akherat

Ketahuilah bahwa setan senantiasa membisikan untuk mengakhirkan taubat hingga akhir umurnya. Sehingga apabila telah mati barulah ia merasa menyesal akibat apa yang telah ia sia-siakan dari umurnya untuk menuruti syahwat dunianya yang semu. Ia berangan-angan agar dikembalikan kedunia agar beramal shaleh namun itu sudah tidak bermanfaat lagi. Allah sudah memperingatkan para hamba untuk bersiap-siap menghadapi akherat. Dan memerintahkan mereka untuk segera bertaubat dari kesalahan-kesalahn dan dosa. Allah berfirman,

وَأَنِيبُوا إِلى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذا


بُ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ


وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ  أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتى عَلى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ


   “Dan kembalilah kamu kepada Rabmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong  (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu dari Rabmu sebelum datang kepadamu azab dari Rabmu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang menyatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah’.” (Az-Zumar: 54-56)

Berkata Ali bin Abi Thalib, “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akherat telah datang menyambut dan masing-masing dari keduanya memilki anak-anak (pecinta) nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akherat dan janganlah menjadi ahli dunia. Karena hari ini (kehidupan didunia) adalah tempat beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab bukan amal.”[23]

Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَزَالُ قَلْبُ الكَبِيرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ: فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الأَمَلِ


“Orang sudah tua akan senantiasa muda pada dua perkara: dalam cinta dunia dan panjangnya angan-angan (umur).”[24]

Oleh karena itu wahai kaum muslimin usia adalah hakekat hidup kita. Makin bertambah usia, makin berkurang umur kita. Mengherankan tingkah sebagian orang yang merayakan ulang tahunnya setiap tahun. Seringkali diiringi dengan hinggar binggar dan hura-hura. Lupa saat ajal tiba, tidak ada lagi “kesempatan kedua” untuk bertaubat dan mengayam kebaikan. Adapun orientasi hidup seorang mukmin adalah beribadah kapada Allah dengan semaksimal mungkin dan munggunakan waktunya untuk meningkatkan amal shalih, yang merupaka jalan menuju sorga. Wallahu a’lam Bish Shawwab.

 

 








[1]  Taisir Al-‘Aliyyir Qadir: 4/339.




[2]  Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi: hal.32.




[3] HR. Al-Bukhari: 6416.




[4]  HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu. Lihat As-Shahihah, no.946.




[5]  HR. Bukhari dan At-Tirmidzi. Lihat Shahih At-tirmidzi no.2304.




[6]  HR. Al-Hakim dan selainnya.dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihul Jami’ no.1077.




[7]  Faidhul Qadhir: 2/21.




[8]  HR. Al-Bukhari: no.6419.




[9]  Fathul Bari: 11/240.




[10]  Hadits ini dihasankan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar didalam Fathul Bari: 11/240.




[11]  Disadur secara makna dari perkataan Imam At-thibi didalan kitab Al-Faidhul Qadir: 2/15.




[12]  HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Bakrah radhiyallahu’anhu, lihat Shahihul Jami’ no: 3297.




[13]  Shahih Sunan Ibnu Majah: no.3185.




[14]  Lihat Syarah hadits Allahumma Bi’ilmika al-Ghaib. Karya Ibnu Rajab rahimahullah, hal.25-26.




[15]  HR. Al-Bukhari no.5671.




[16]  Syarah hadits Allahumma Bi’ilmika al-Ghaib. Karya Ibnu Rajab rahimahullah, hal.32 dan Hilyatul Auliya’: 149-155.




[17]  Shahih Al-Adab Al-Mufrad: no.508.




[18]  Syarah Shahih Al-Adab Al-mufrad: 2/311




[19]  Al-Manahi Al-Lafdziyyah, hal. 89.




[20]  Sunan Ath-Tirmidzi: 1040. Cet. Al-Ma’arif.




[21]  Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, karya Abdul Azizi As-sadhan. Hal. 33-37. Umur anegerah yang terabaikan tulisan Al-Ustadz Abdul Mu’thi Lc, majalah Asy-Syariah vol.III rubrik Akhlaq.




[22]  HR. Al-Bukhari: no.6367.




[23]  Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi.




[24]  HR. Al-Bukhari: no. 6420.


Artikel Terbaru

Popular Posts