Senin, 29 Oktober 2012

 



Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
Sampai pada firman-Nya:
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ  يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ
“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat, suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 13-17) Hingga dua ayat setelahnya.
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah mereka apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud no. 495)
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata:
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِخْ كِخْ لِيَطْرَحَهَا ثُمَّ قَالَ أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ
“Suatu hari Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma mengambil kurma dari kurma-kurma shadaqah lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hei, hei,” agar dia membuangnya dari mulutnya. Kemudian Beliau bersabda: “Tidakkah kamu mengetahui bahwa kita (ahlul bait) tidak boleh memakan zakat.” (HR. Al-Bukhari no. 1491 dan Muslim no. 1069)
Umar bin Abu Salamah berkata: “Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tanganku kesana kemari di nampan saat makan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai anak kecil, bacalah ‘bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu.” (HR. Al-Bukhari: 9/521 dan Muslim no. 2022)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dia berkata: Aku pernah berada di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari, lalu beliau bersabda:
يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
“Hai nak, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya kau akan menemui-Nya berada di hadapanmu. Bila kau meminta maka mintalah pada Allah dan bila kau meminta pertolongan maka mintalah kepada Allah. Ketahuilah sesungguhnya seandainya seluruh manusia bersatu untuk memberimu manfaat, niscaya mereka tidak akan memberi manfaat apa pun kepadamu selain yang telah ditakdirkan Allah untukmu. Dan seandainya mereka bersatu untuk membahayakanmu, niscaya mereka tidak akan membahayakanmu sama sekali kecuali yang telah ditakdirkan Allah atasmu. Pena-pena (penulis takdir) telah diangkat dan lembaran-lembaran (tempat menulis takdir) telah kering.” (HR. At-Tirmizi no. 2516)
Maksudnya: Takdir tidak akan bisa lagi berubah.

Penjelasan ringkas:
Di antara perkara yang dilalaikan oleh banyak orang tua adalah perkara yang berkenaan dengan pengajaran agama kepada anak-anak mereka, memberikan tuntunan kepada mereka, serta mengingatkan mereka ketika mereka melakukan kesalahan. Hal itu karena mereka berfikiran bahwa anak-anak itu bukanlah mukallaf (belum wajib mengerjakan syariat), karena itu tidak mengapa mereka meninggalkan perintah atau mengerjakan larangan, selama mereka belum balig.

Pikiran seperti ini -walaupun benar dari satu sisi- akan tetapi merupakan kesalahan dan kelalaian dari sisi yang lain. Hal itu karena membiasakan serta melatih anak-anak untuk mengerjakan apa yang diperintahkan atau menjauhi apa yang dilarang, merupakan termasuk wasilah terbesar guna mempersiapkan mereka agar bisa mematuhi aturan-aturan syariat setelah nanti mereka balig. Jika mereka tidak dibiasakan sejak usia tamyiz (mumayyiz) maka ketika mereka balig, mereka tentu akan kesulitan dan merasa berat untuk mematuhi aturan-aturan syariat yang secara umum sifatnya mengatur kehidupannya, karena sebelum itu dia tidak terbiasa untuk diatur.

Karenanya, seperti yang kita lihat dari dalil-dalil di atas, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sudah membiasakan anak kecil untuk menjalankan syariat serta memerintahkan setiap orang tua untuk melakukan hal yang sama. Bahkan sebelum beliau, Allah Ta’ala telah gambarkan bagaimana pengajaran yang luar biasa dari Luqman rahimahullah kepada anaknya yang masih kecil, sebuah pengajaran yang mencakup semua sisi ajaran Islam. Luqman mengajarkan kepada anaknya akan: Bahayanya kesyirikan, wajibnya berbakti kepada kedua orang tua terutama ibu dan beliau mengabarkan bahwa kekafiran orang tua tidaklah menggugurkan hak mereka untuk kita berbakti kepadanya, beliau juga mengajarkan wajibnya bersyukur kepada Allah, merasa selalu diawasi oleh Allah, wajibnya mengerjakan shalat, amar ma’ruf nahi mungkar, dan harusnya bersabar dalam menghadapi semua musibah yang Allah timpakan, semua ini berkenaan dengan muamalah hamba dengan Pencipta mereka. Adapun pengajaran Luqman yang berkenaan hubungan sesama manusia maka beliau memerintahkan untuk: Berbuat baik kepada manusia, tidak berlaku sombong, berjalan dengan tawadhu’, dan merendahkan suara ketika berbicara. Subhanallah, betapa indahnya semua wasiat di atas, wasiat yang mengumpulkan antara perintah dan larangan.

Adapun dalam As-Sunnah, maka juga telah diriwayatkan banyak pengajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada anak kecil, yang juga terdiri dari perintah dan larangan, di antaranya:
a.    Memerintahkan anak lelaki dan wanita untuk mengerjakan shalat, yang mana perintah ini dimulai dari mereka berusia 7 tahun. Jika mereka tidak menaatinya maka Islam belum mengizinkan untuk memukul mereka, akan tetapi cukup dengan teguran yang bersifat menekan tapi bukan ancaman.

b.    Jika mereka menaatinya maka alhamdulillah. Akan tetapi jika sampai usia 10 tahun mereka belum juga mau mengerjakan shalat, maka Islam memerintahkan untuk memukul anak tersebut dengan pukulan yang mendidik dan bukan pukulan yang mencederai. Karenanya, sebelum pukulan tersebut dilakukan, harus didahului oleh peringatan atau ancaman atau janji yang tentunya akan dipenuhi. Yang jelas pukulan merupakan jalan terakhir.
Sebagai tambahan: Diperbolehkan orang tua memberikan hadiah atau apresiasi atas ibadah yang dikerjakan oleh sang anak, hanya saja tentunya jangan dijadikan kebiasaan, karena membiasakan pemberian hadiah akan menjadikan mereka terbiasa melakukan amalan karena ada imbalan alias tidak ikhlas.

c.    Wajibnya memisahkan antara tempat tidur anak lelaki dengan anak wanita jika mereka sudah berumur 10 tahun. Hal ini dilakukan sebagai tindakan prefentif (pencegahan) terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Karenanya jika orang tua mampu maka hendaknya mereka menyediakan untuk setiap anaknya tempat tidur tersendiri, bahkan kalau bisa kamar tersendiri.
Jika orang tua tidak sanggup untuk memisahkan tempat tidur anak lelaki dengan anak perempuannya (karena factor ekonomi misalnya), maka harus meletakkan sesuatu (apakah bantal atau guling atau apa saja) yang menjadi pemisah di antara keduanya kalau memang mereka terpaksa tidur di atas satu tempat tidur.
Kalau ini sudah harus diberlakukan di antara anak-anak, maka tentunya lebih harus lagi diberlakukan pada orang-orang dewasa, walaupun mereka sama-sama lelaki atau sama-sama wanita. Karena kecendrungan kepada sesama jenis masih senantiasa terbuka lebar bagi siapa yang memberikan kesempatan kepada setan untuk menggodanya.

d.    Di antara pengajaran Nabi shallallahu alaihi wasallam -dan ini termasuk yang terhebat- adalah melarang dan menjauhkan anak-anak dari memakan harta yang haram dia makan. Baik makanan itu diharamkan karena zatnya maupun makanan yang diharamkan karena sebabnya. Di antara factor terbesar keengganan anak untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah karena hati mereka rusak sebagai akibat terbiasa mengonsumsi makanan yang haram.

e.    Demikian halnya Nabi shallallahu alaihi wasallam menuntunkan tata cara makan yang benar kepada anak kecil yang tidak beradab dalam makan. Beliau menyuruh mereka untuk membaca basmalah, makan dengan menggunakan tangan kanan, dan memulai makan dengan makanan yang terdekat.

f.    Juga pengajaran beliau shallallahu alaihi wasallam kepada Ibnu Abbas akan wajibnya menaati semua aturan Allah, wajibnya menyerahkan semua bentuk ibadah hanya kepada Allah, serta wajibnya beriman kepada semua takdir yang Allah telah tetapkan.




Mukadimah

                Bagi seorang muslim yang rajin shalat berjamah di masjid, pasti akrab dengan perintah imam sebelum shalat dimulai: “Lurus dan rapatkan shaf ..dst atau ada juga dengan bahasa Arabnya  “Sawwuu shufufakum .  dst.” Memang demikianlah seharusnya. Tetapi amat disayangkan kebanyakan shalat di masjid-masjid umumnya, barisan yang ada cukup longgar, bahkan ada yang teramat longgar. Mereka merasa risih,  aneh, dan menghindar  jika  ada yang ingin bersentuhan kaki, mata kaki,  paha, dan bahu. Padahal mereka mendengar dengan  jelas imam memerintahkan agar merapatkannya.

Hal ini disindir oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi sebagai berikut:
 لكن اليوم تركت هذه السنة، ولو فعلت اليوم لنفر الناس كالحمر الوحشية

                “Tetapi, hari ini sunah ini telah ditinggalkan. Seandainya sunah ini dilakukan, justru manusia menjauh bagaikan keledai liar.” (‘Aunul Ma’bud, 2/256. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Sebenarnya, bagaimanakah masalah ini dalam fiqih shalat? Seperti apakah cara merapatkannya? Mudah-mudahan tulisan ringkas ini bisa sedikit memberi penjelasan.

Hukum Merapatkan Shaf

Perintah merapatkan barisan adalah anjuran yang sangat kuat, dan itu bagian dari kesempurnaan shalat. Bahkan Imam Bukhari, Imam Ibnu Hajar, dan Imam Ibnu Taimiyah, mengatakan itu wajib.   Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya telah membuat Bab Itsmi Man Lam Yutimma Ash Shufuf  (Berdosa bagi orang yang tidak menyempurnakan shaf). Apa yang ditegaskan Imam Bukhari ini menunjukkan bahwa  menurutnya merapatkan shaf adalah wajib, sebab hanya perbuatan wajib yang jika ditinggalkan akan melahirkan dosa.

Hal ini disebabkan hadits-hadits tentang meluruskan dan merapatkan shaf menggunakan bentuk kalimat perintah (fi’il amr): sawwuu .. (luruskanlah ..!). Dalam kaidah fiqih disebutkan:
الأصل في الأمر الوجوب إلا إذا دلت قرينة على غيره

“Hukum asal dari perintah adalah wajib, kecuali jika adanya petunjuk yang merelasikannya kepada selain wajib.” (Imam Al ‘Aini, ‘Umdah Al Qari, 8/463. Maktabah Misykah)

Dari sekian banyak perintah merapatkan shaf, saya akan sampaikan dua saja sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ



Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah dia bersabda “:Lurus rapatkan  shaf kalian, karena lurus rapatnya  shaf adalah bagian dari kesempurnaan tegaknya shalat."   (HR. Bukhari No. 690. Muslim No. 433)

Dari Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَتُسَوُّنَّ صُفُوفكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّه بَيْن وُجُوهكُم

“Benar-benarlah kalian dalam meluruskan shaf,  atau (jika tidak) niscaya Allah akan membuat perselisihan di antara wajah-wajah kalian.” (HR. Muslim No. 436)

Hadits riwayat Imam Muslim ini menunjukkan ancaman keras bagi yang meninggalkannya, yakni Allah siksa mereka dengan adanya perselisihan di antara wajah-wajah mereka. Maksudnya –kata Imam An Nawawi-  adalah permusuhan, kebencian, dan perselisihan hati. (Al Minhaj Syrah Shahih Muslim, 2/178.  Mawqi’ Ruh Al Islam) Malah, Imam Ibnu Hazm menyatakan ‘batal’ orang yang tidak merapatkan shaf. Namun, Imam Ibnu Hajar menanggapinya dengan mengatakan:
وأفرط ابن حزم فجزم بالبطلان

“Ibnu Hazm telah melampui batas ketika menegaskan batalnya (shalat).” (Fathul Bari, 2/210. Darul Fikr)

Sedangkan, ulama lain mengatakan, merapatkan shaf adalah sunah saja. Inilah pendapat Abu Hanifah, Syafi’I, dan  Malik. (‘Umdatul Qari, 8/455).   Bahkan Imam An Nawawi  mengklaim para ulama telah ijma’ atas kesunahannya. Berikut perkataannya:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى اِسْتِحْبَاب تَعْدِيل الصُّفُوف وَالتَّرَاصّ فِيهَا

“Ulama telah ijma’ (aklamasi)  atas  sunahnya meluruskan shaf dan merapatkan shaf.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/384. Mauqi’ Ruh A Islam)

Apa yang dikatakan Imam An Nawawi ini, didukung oleh Imam Ibnu Baththal dengan perkataannya:
تسوية الصفوف من سنة الصلاة عند العلماء

                “Meluruskan Shaf merupakan sunahnya shalat menurut para ulama.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 2/344. Dar Ar Rusyd)

                Alasannya, menurut mereka merapatkan shaf adalah untuk penyempurna dan pembagus shalat sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang shahih.  Hal ini dikutip oleh Imam Al ‘Aini, dari Ibnu Baththal,  sebagai berikut:
لأن حسن الشيء زيادة على تمامه وأورد عليه رواية من تمام الصلاة

                “Karena, sesungguhnya membaguskan sesuatu hanyalah tambahan atas kesempurnaannya, dan hal itu telah ditegaskan dalam riwayat tentang kesempurnaan shalat.” (‘Umdatul Qari, 8/462)

                Riwayat yang dimaksud adalah:
أقيموا الصف في الصلاة. فإن إقامة الصف من حسن الصلاة

            Aqimush Shaf (tegakkan shaf) karena tegaknya shaf  merupakan diantara pembagusnya shalat.” (HR. Bukhari No. 689. Muslim No. 435)

                Imam An Nawawi mengatakan, maksud aqimush shaf adalah meluruskan menyeimbangkan, dan merapatkan shaf. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/177. Maktabah Misykah)

                Berkata Al Qadhi ‘Iyadh tentang hadits ini:
دليل على أن تعديل الصفوف غير واجب ، وأنه سنة مستحبة .

                “Hadits ini adalah dalil bahwa meluruskan shaf tidak wajib, dia adalah sunah yang disukai.” (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 2/193. Maktabah Misykah)

Demikianlah perselisihan para imam kaum muslimin tentang hukum merapatkan shaf dalam shalat.



Manakah Yang Benar?

Jika kita mengumpulkan semua dalil-dalil yang ada, berserta menelaah alasan anjuran merapatkan shaf, dan ancaman bagi yang meninggalkannya, maka pendapat yang benar adalah yang mengatakan wajib.

Ada pun alasan Imam Ibnu Baththal, bahwa merapatkan shaf itu hanyalah tambahan untuk memperbagus dan menyempurnakan shalat, sehingga hukumnya sunah, adalah pendapat yang perlu dikoreksi. Justru alasan yang dikemukakannya itu menjadi alasan buat  kelompok ulama yang mewajibkan. Sebab, sesuatu yang berfungsi  menjadi penyempurna sebuah kewajiban, maka sesuatu itu juga menjadi wajib hukumnya.

Hal ini ditegaskan oleh kaidah yang sangat terkenal:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

                “Kewajiban apa saja yang tidak bisa sempurna kecuali dengan ‘sesuatu’, maka sesuatu itu menjadi wajib  adanya.” (Imam As Subki, Al Asyhbah wan Nazhair, 2/90. Maktabah Misykah)

Jelas sekali bahwa kesempurnaan kewajiban shalat baru akan  terwujud dengan rapat dan lurusnya shaf, maka –menurut kaidah ini- rapat dan lurusnya shaf adalah wajib ada demi kesempurnaan kewajiban tersebut. Hanya saja, kewajiban merapatkan shaf ini bukanlah termasuk kewajiban yang jika ditinggalkan dapat merusak shalat. Longgarnya shaf tidaklah membatalkan shalat, sebab itu bukan termasuk rukun shalat.

Maka dari itu, Imam Al Karmani mengatakan:
الصواب أن يقول فلتكن التسوية واجبة بمقتضى الأمر ولكنها ليست من واجبات الصلاة بحيث أنه إذا تركها فسدت صلاته

“Yang benar adalah yang mengatakan bahwa meluruskan shaf adalah wajib sebagai  konsekuensi dari perintah yang ada, tetapi itu bukan termasuk kewajiban-kewajiban shalat yang jika ditinggalkan akan merusak shalat.” (‘Umdatul Qari, 8/455)

Yang pasti, merapatkan dan meluruskan shaf adalah budaya shalat pada zaman terbaik Islam. Sampai- sampai Umar memukul kaki Abu Utsman Al Hindi untuk merapatkan shaf. Begitu pula Bilal bin Rabbah telah memukul bahu para sahabat yang tidak rapat. Ini diceritakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, 2/210), dan  Imam Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 8/463. Maktabah Misykah)

Tata Cara Merapatkan shaf

Tentang rapatnya kaki dan bahu, dalilnya amat jelas yakni:
 قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ وَحَاذُوا بَيْنَ مَنَاكِبِكُمْ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ وَسُدُّوا الْخَلَلَ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Luruskan barisan kalian, rapatkanlah paha-paha kalian, bersikap lembutlah terhadap saudara kalian, dan tutuplah celah yang kosong ..”   (HR. Ahmad,   No. 21233. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir,    No. 7629. Syaikh Al Albany menshahihkannya dalam Shahihul Jami’ No.1840)

 

Dan hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ



Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Luruskan shaf kalian, sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku.“ Maka salah seorang di antara kami menempelkan bahunya dengan bahu kawannya, dan kakinya dengan kaki kawannya. (HR. Bukhari No.692)

Riwayat lain:
  فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ

“Maka, aku melihat ada seseorang yang merapatkan bahunya dengan bahu kawannya, lututnya dengan lutut kawannya, dan mata kakinya dengan mata kaki kawannya.” (HR. Abu Daud No. 662. namun riwayat ini di dho'ifkan oleh Asy-Syaikh Abul Hasan Hafidzahullah )



Wallahu A’lam

Maraji’:

-           Shahih Bukhari

-           Shahih Muslim

-           Sunan Abi Daud

-           Musnad Ahmad

-           Al Mu’jam Al Kabir  karya Imam Ath Thabarani

-           Fathul Bari, karya Imam Ibnu Hajar

-            ‘Umdatul Qari , karya Imam Badruddin Al ‘Aini

-           Syarh Shahih Bukhari, karya Imam Ibnu Baththal

-           Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, karya Imam An Nawawi

-           Ikmalul Mu’allim Syarh Shahih Muslim, karya Al Qadhi ‘Iyadh

-           ‘Aunul Ma’bud, karya Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi

-           Al Asybah wan Nazhair, karya Imam As Subki

-           As Silsilah Ash Shahihah, karya Syaikh Al Albani

-           Shahih Jami’ Ash Shaghir, karya Syaikh Al Albani
Mukadimah

            Semua Imam Ahlus Sunnah sepakat bahwa siksa kubur adalah benar adanya dan tidak boleh diragukan. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua dari siksa kubur. Amin ya Rabbal ‘Alamin. Bahkan Imam Ahmad mengatakan -sebagaimana yang dikutip oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Ar ruh- bahwa tidak ada yang mengingkari siksa kubur melainkan orang yang sesat dan menyesatkan.  Bahkan para ulama ada yang mengkafirkan bagi pengingkar nikmat dan azab kubur, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh ‘Athiyah Shaqr. Berikut ini Fatwa beliau:

Setelah menyebutkan berbagai dalil ayat dan hadits, dia berkata;
هذه بعض الأدلة القوية على ثبوت النعيم والعذاب فى القبر، فذلك ثابت بالسنة وظاهر الآية، وأهل السنة مجمعون عليه ، والإِجماع حجة عند أكثر الأصوليين ، وأنكره جماعة من المعتزلة، ومهما يكن من شىء فإن العقائد لا تثبت إلا بالنص القطعى فى ثبوته ودلالته ، والحديث الصحيح الذى دل على نعيم القبر وعذابه اعتبره بعض العلماء من قطعى الثبوت الذى يفيد العلم اليقينى ، واعتبره آخرون ظنى الثبوت الذى لا يفيد العلم اليقينى، ومن هنا كان الخلاف فى الحكم على من أنكر نعيم القبر- وعذابه ، هل هو كافر أو غير كافر .



Ini adalah sebagian dalil-dalil yang kuat atas kepastian nikmat dan azab kubur. Hal ini dikuatkan oleh sunah dan zahir ayat, dan Ahlus Sunnah telah ijma’ atas hal ini, dan ijma’ merupakan hujjah menurut mayoritas para ulama ushul, namun kaum mu’tazilah mengingkarinya dan mengingkari apa saja yang terjadi di dalamnya. Sesungguhnya perkara aqidah tidaklah ditetapkan kecuali oleh nash yang qath’iuts tsubut dan qath’iud dalalah, dan hadits shahih yang menunjukkan adanya nikmat dan azab kubur menurut sebagian ulama adalah qath’iuts tsubut yang membawa faedah bagi ilmu dan keyakinan, dan yang lainnya menganggapnya sebagai  zhanniuts tsubut yang tidak berfaedah membawa ilmu dan keyakinan. Dari sinilah terjadinya perbedaan pendapat tentang hukumnya orang-orang yang mengingkari nikmat dan azab kubur, apakah dia kafir atau bukan kafir.” (Fatawa Al Azhar, Juz. 8, Hal. 286)

Ghundar mengatakan bahwa azab kubur adalah haq (benar adanya). (Shahih Bukhari, Kitab Al Janaiz Bab Maa Ja’a fi Azabil Qabri, Juz. 5, Hal. 163. No. 1283)

Tidaklah ada kitab-kitab matan hadits dan syarahnya melainkan pasti ada bab tentang adzab kubur, tidaklah ada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar melainkan ada pembahasan tentang adzab kubur. Begitu pula tentang kitab-kitab aqidah.  Maka, meyakini adanya azab kubur bukan sekadar untuk menakut-nakuti, melainkan bagian dari konsekuensi dari iman kepada yang ghaib, baik yang telah dijelaskan dalam Al Quran dan As Sunnah secara global (jumlatan) atau rinci (tafshilan).

Bagaimana mungkin masalah aqidah ini, dianggap tidak penting oleh aktifis Islam? Lalu mereka ditenggelamkan oleh kesibukkan politik, padahal –betapa pun pentingnya masalah khilafah- dia bukan masalah ushuluddin dan itu menjadi kesepakatan para imam ahlus sunnah. Hanya Syi’ah Imamiyah yang menganggap bahwa masalah kepemimpinan adalah masalah ushuluddin. Demikian dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Syaikh al Qaradhawy.

Dalil-Dalil Al Quran

  1. 1.       Surat As Sajadah ayat 21

 
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (21)

 

“Dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat  sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Berkata  Mujahid tentang maksud ‘azab yang dekat’:
الأدنى في ألقبور وعذاب الدنيا

“Yakni azab yang dekat di kubur dan di dunia.” (Imam At Thabari, Jami’ al Bayan fi Ta’wil al Quran, Juz. 20, Hal. 191. Al Maktabah Asy Syamilah)

Berkata Imam Ibnu Katsir:
وقال البراء بن عازب، ومجاهد، وأبو عبيدة: يعني به عذاب القبر.

 

Berkata Al Bara bin ‘Azib, Mujahid, dan Abu ‘Ubaidah, maksudnya adalah ‘azab kubur.(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal. 369. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

  1. Surat At Taubah ayat 101

وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ سَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَى عَذَابٍ عَظِيمٍ (101)

“Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.”

 

Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari berkata, tentang makna ‘mereka akan Kami siksa dua kali’ :


سنعذب هؤلاء المنافقين مرتين، إحداهما في الدنيا، والأخرى في القبر.



“Kami akan mengazab orang-orang munafik itu dua kali, azab satunya di dunia, dan yang lainnya di dalam kubur.” (Jami’ al Bayan fi Ta’wil Al Quran, Juz. 14, Hal. 441. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri menafsirkan ayat di atas adalah azab kubur. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, beliau menceritakan tentang khutbah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Jum’at, saat itu beliau mengusir mereka dari Mesjid,  di bagian akhir beliau bersabda:


  فقد فضح الله المنافقين اليوم ! فهذا العذاب الأول، حين أخرجهم من المسجد. والعذاب الثاني، عذاب القبر.



“Hari ini Allah telah menunjukkan keburukan orang-orang munafik! Ini adalah azab yang pertama ykni ketika mereka diusir dari mesjid. Sedangkan azab yang kedua adalah azab kubur.” (Ibid, Juz. 14, hal. 442)



Dari Abu Malik, dia berkata tentang ayat ‘mereka akan kami azab dua kali’:



كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخطب فيذكر المنافقين، فيعذبهم بلسانه، قال: وعذاب القبر.

 

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah dan menyebutkan tentang orang munafik bahwa mereka akan disiksa karena lisannya, dia bersabda: ‘Azab Kubur.’ (Ibid)

 

Begitu pula yang dikatakan oleh Qatadah, Al Hasan, dan  Ibnu Juraij, bahwa maksud dari ‘mereka akan Kami azab dua kali,’ adalah azab dunia dan azab kubur. (Ibid, Juz. 14, Hal. 443-444)  

 

Dari Ibnu Abbas, dia berkata tentang makna ayat ‘mereka akan Kami azab dua kali’:


  فهذا العذاب الأول حين أخرجهم من المسجد، والعذاب الثاني عذاب القبر

 

Maka azab pertamanya adalah ketika mereka (orang munafik) diusir dari mesjid, azab yang kedua adalah di kubur. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 4, hal. 205. Al MaktabahA sy Syamilah)

 

Sedangkan dalam satu riwayat disebutkan, bahwa maksud ayat tersebut adalah:  “lapar dan azab kubur.” (Ibid)

Begitu pula yang dikatakan oleh Mujahid dan Ibnu Ishaq, bahwa maksud ayat tersebut adalah azab kubur.(Imam Abul Husein bin Mas’ud al Baghawi, Ma’alim at Tanzil, Juz. 4, Hal. 89. Al Maktabah  Asy Syamilah)

 

Berkata Imam Ibnu Hajar al Asqalani Rahimahullah:
وَقَالَ الطَّبَرِيُّ بَعْد أَنْ ذَكَرَ اِخْتِلَافًا عَنْ غَيْر هَؤُلَاءِ : وَالْأَغْلَب أَنَّ إِحْدَى الْمَرَّتَيْنِ عَذَاب الْقَبْر ، وَالْأُخْرَى تَحْتَمِل أَحَد مَا تَقَدَّمَ ذِكْره مِنْ الْجُوع أَوْ السَّبْي أَوْ الْقَتْل أَوْ الْإِذْلَال أَوْ غَيْر ذَلِكَ .

 

Berkata Ath Thabari setelah dia menyebutkan berbagai perbedaan dari selain mereka; bahwa umumnya mereka menafsirkan makna satu di antara dua azab itu adalah azab kubur, sedangkan yang lainnya bisa salah satu yang telah disebutkan seperti kelaparan, terbunuh, terhina, dan lainnya. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 4, Hal. 443. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

  1. Surat Ibrahim ayat 27

 
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ (27)

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.”

 

Imam al Bukhari Radhiallahu ‘Anhu berkata:


نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ



“Ayat ini turun tentang azab kubur.” (Shahih Bukhari, Kitab Al Janaiz Bab Maa Ja’a fi Azabil Qabri, Juz. 5, Hal. 160. No Hadits. 1280. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

                Imam Muslim Radhiallahu ‘Anhu berkata:




 نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّيَ اللَّهُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَل

 

Ayat ini turun tentang azab kubur, maka akan dikatakan kepada penghuni kubur; “Siapa Tuhanmu?”, dia menjawab: “Tuhanku adalah Allah dan Nabiku adalah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Maka untuk itulah maksud ayat ini. “ (Shahih Muslim, Kitab Al Jannah wa Shifatu Na’imiha wa Ahliha Bab ‘Ardhi Maq’adil mayyit …., Juz.  14, Hal. 33, No hadits. 5117. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

Begitu pula yang dikatakan Imam An Nasa’i dan Imam Ibnu Majah bahwa ayat itu turun tentang azab kubur. Demikian dalil-dalil dari Al Quran.



 

 

Dalil-Dalil As Sunnah

 

Dalil-dalil Syar’i dari As Sunnah Ash Shahihah  tentang adanya azab kubur sangat banyak, di antaranya:



  1. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

أَنَّ يَهُودِيَّةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا فَذَكَرَتْ عَذَابَ الْقَبْرِ فَقَالَتْ لَهَا أَعَاذَكِ اللَّهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَسَأَلَتْ عَائِشَةُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَقَالَ نَعَمْ عَذَابُ الْقَبْرِ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ صَلَّى صَلَاةً إِلَّا تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

زَادَ غُنْدَرٌ عَذَابُ الْقَبْرِ حَقٌّ



Bahwa wanita Yahudi masuk kepada ‘Aisyah, lalu dia menyebutkan tentang azab kubur, maka dia berkata kepadanya: “Berlindunglah kamu kepada Allah dari azab kubur.” Maka ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang azab kubur. Rasulullah menjawab: “Benar, azab kubur ada.” ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata: “Maka aku tidaklah pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan  melainkan setelah shalat pasti ia meminta perlindungan dari azab kubur.” Ghundar menambahkan bahwa azab kubur adalah benar. (HR. Bukhari , Kitab Al Janaiz Bab Maa Ja’a fi Azabil Qabri, Juz. 5, Hal. 163. No. 1283)

2.       Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda::
أَيُّهَا النَّاسُ اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَإِنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ حَقٌّ


“Wahai manusia, berlindunglah kalian dari azab kubur, sesungguhnya azab kubur itu benar adanya.” (HR. Ahmad, juz. 50, hal. 35, No hadits. 23379)

 

Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini sesuai syarat (standar) Imam Bukhari. (Fathul Bari, Juz. 4, Hal. 447, No hadits. 1283. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

3.      Dari Asma’ binti Abu bakar Radhiallahu ‘Anha:
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطِيبًا فَذَكَرَ فِتْنَةَ الْقَبْرِ الَّتِي يَفْتَتِنُ فِيهَا الْمَرْءُ فَلَمَّا ذَكَرَ ذَلِكَ ضَجَّ الْمُسْلِمُونَ ضَجَّةً



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah dan menyebutkan tentang fitnah kubur, yang akan di alami oleh seseorang di dalm kubur, sehingga kaum muslimin merasakan ketakutan yang sangat. (HR. Bukhari, Kitab Al Janaiz Bab Maa Ja’a fi Azabil Qabri, Juz. 5, Hal. 163. No. 1284)



4.       Dari Ummu Mubasyir Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّهُمْ لَيُعَذَّبُونَ فِي قُبُورِهِمْ قَالَ نَعَمْ عَذَابًا تَسْمَعُهُ الْبَهَائِمُ

“Berlindunglah kalian kepada Allah dari Azab kubur!” Aisyah berkata: “Wahai Rasulullah apakah mereka akan di azab di kubur mereka?” Rasulullah menajwab: “Ya, dengan azab yang bisa di dengar oleh hewan. (HR. Ahmad, Juz. 54, hal. 484, No hadits. 25779. Syaikh al AlBany mengatakan shahih sesuai syarat Imam Muslim. As Silsilah Ash Shahihah, Juz. 4, Hal. 18, No hadits. 1444. Al Maktabah Asy Syamilah)



  1. Dari ‘Aisyah Radhilallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ



Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa di dalam shalat: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari azab kubur, aku berlindung kepadaMu dari fitnah Masih ad Dajjal, dan aku berlindung kepadaMu dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari, Kitab Al Adzan Bab Ad Du’a Qabla As Salam, Juz. 3, Hal. 332, no hadits. 789)  masih banyak lagi doa-doa seperti.



  1. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:


مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا



Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melewati dua buah kuburan, lalu berkata: “Kedua penghuni kubur ini sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena dosa besar, melainkan karena dia tidak cebok dari kencingnya, sedangkan yang lain karena suka mengadu domba.” Lalu beliau mengambil pelepah kurma basah, dan membelahnya menjadi dua dan masing-masing ditancapkannya di dua kuburan tersebut. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kenapa kau lakukan itu?” Beliau bersabda: “Semoga diringankan siksa keduanya, selama kedua pelepah ini belum kering.” (HR. Hukhari, Kitab Al Wudhu’ Bab Maa Ja’a fi Ghuslil Baul, Juz. 1, Hal. 365, No hadits. 211)



  1. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:




يرسل على الكافر حيتان واحدة من قبل رأسه والاخرى من قبل رجليه يقرصانه قرصا كلما فرغتا عادتا إلى يوم القيامة.



Diutus kepada orang kafir dua ular, yang satu diarahkan ke kepalanya, yang satu di kakinya. Kedua ular itu menggerogotinya sampai habis. Dan setiap selasai maka keduanya dikembalikan lagi pulih, dan digerogoti lagi, terus menerus  sampai kiamat. (HR. Ahmad, Juz. 51, Hal. 190, No. 24033. Al Haitsami mengatakan: hasan. Majma’ az Zawa’id, Juz. 3, hal. 55)

 

Sebenanya masih banyak yang belum saya sampaikan, seperti hadits Bukhari – Muslim tentang pertanyaan alam kubur, orang mu’min mampu menjawab dan selamat sedangkan orang kafir dan orang yang banyak dosanya tidak mampu menjawab dan mendapatkan pukulan dari malaikat, dan hadits-hadits lainnya. Namun apa yang saya paparkan di atas mudah-mudahan mencukupi bagi orang yang menghendaki kebenaran.



Apa kata Para Imam Ahlsu Sunnah Tentang Azab Kubur?



Dalam Fiqhus Sunnah tertulis:
وقال المروزي: قال أبو عبد الله يعني الامام أحمد -: عذاب القبر حق لا ينكره إلا ضال مضل.

وقال حنبل: قلت لابي عبد الله في عذاب القبر.

فقال: هذه أحاديث صحاح نؤمن بها ونقر بها، وكل ما جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم بإسناد جيد أقررنا به، فإنا إذا لم نقر بما جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم.

ودفعناه ورددناه، رددنا على الله أمره قال الله تعالى: (وما آتاكم الرسول فخذوه).

قلت له: وعذاب القبر حق؟ قال: حق.

يعذبون في القبور.

قال: وسمعت أبا عبد الله يقول: نؤمن بعذاب القبر، وبمنكر ونكير، وأن العبد يسأل في قبره: ف (يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الآخرة) في القبر.



Berkata Al Marwazi (Al Maruzi); berkata Abu Abdullah yakni Imam Ahmad: “Azab kubur adalah benar, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang sesat dan menyesatkan.”  Berkata Hambal: Aku bertanya kepada ayahku tentang azab kubur, dia menjawab: “Hadits-hadits ini adalah shahih dan kami beriman kepadanya dan menetapkan kebenarannya. Dan semua apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sanad yang baik maka kami membenarkannya, sebab jika kami tidak menetapkan kebenaran apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka sama saja kami menolak dan membantah perintah Allah Ta’ala: “Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambil-lah.”



Saya berkata kepadanya: “Apakah azab kubur benar adanya?” Dia menjawab: “Benar, meansia disiksa di dalam kuburnya.” Dia berkata; Aku mendengar Abu Abdullah (Imam Ahmad) berkata: “Kami beriman kepada azab kubur, munkar dan nakir, dan sesungguhnya seorang hamba akan ditanya di kuburnya. Maksud ayat “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat,” yaitu di dalam kubur. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 572. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:

 
وان عذاب القبر حق ومسألة الارواح بعد الموت حق ولا يحيا أحد بعد موته إلى يوم القيامة

 

“Sesungguhnya azab kubur adalah benar, dan ditanya-nya ruh setelah mati adalah benar, dan tak seorang pun dihidupkan setelah matinya hingga hari kiamat.” (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 1, Hal. 22. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

Imam Ibnu Hajar al Asqalani Rahimahullah berkata:


وَذَهَبَ اِبْن حَزْم وَابْن هُبَيْرَة إِلَى أَنَّ السُّؤَال يَقَع عَلَى الرُّوح فَقَطْ مِنْ غَيْر عَوْد إِلَى الْجَسَد ، وَخَالَفَهُمْ الْجُمْهُور فَقَالُوا : تُعَاد الرُّوح إِلَى الْجَسَد أَوْ بَعْضه كَمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيث ، وَلَوْ كَانَ عَلَى الرُّوح فَقَطْ لَمْ يَكُنْ لِلْبَدَنِ بِذَلِكَ اِخْتِصَاص ، وَلَا يَمْنَع مِنْ ذَلِكَ كَوْن الْمَيِّت قَدْ تَتَفَرَّق أَجْزَاؤُهُ ، لِأَنَّ اللَّه قَادِر أَنْ يُعِيد الْحَيَاة إِلَى جُزْء مِنْ الْجَسَد وَيَقَع عَلَيْهِ السُّؤَال ، كَمَا هُوَ قَادِر عَلَى أَنْ يَجْمَع أَجْزَاءَهُ

 

“Ibnu Hazm dan Ibnu Hubairah berpendapat bahwa pertanyaan dalam kubur hanya terjadi pada ruh saja, dia tidak kembali kepada jasadnya. Namun jumhur (mayoritas) ulama berbeda dengan mereka, jumhur mengatakan: “Ruh akan dikembalikan kepada jasad atau sebagiannya sebagaimana telah dikuatkan oleh hadits. Seandainya hanya ruh saja tanpa dikembalikan ke badan, maka hal itu harusnya mencegah terjadinya terbagi-baginya tubuh mayat, karena sesungguhnya Allah Maha Mampu untuk mengembalikan kehidupan kepada sebagian anggota jasad dan memberikan pertanyaan kepada mereka, sebagaimana Dia juga mampu mengumpulkan lagi bagian-bagian yang telah terpotong itu.”  (Fathul Bari, Juz. 4, hal. 446, No hadits. 1282. Al Maktabah Asy Syamilah)



Apa yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Hajar ini merupakan jawaban yang sangat telak bagi mereka yang mengatakan bahwa siksa kubur adalah majaz atau kiasan saja. Wallahu A’lam

Kamis, 18 Oktober 2012



Hari Arofah adalah hari yang sangat mulia di sisi Allah dan memiliki banyak keagungan dan keistimewaan dibandingkan dengan hari-hari selainnya. berikut ini kami akan sebutkan beberapa keutamaan hari Arofah berdasarkan hadits-hadits yang shohih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.

1) Hari Arofah adalah hari disempurnakannya agama dan nikmat Allah bagi kaum muslimin
Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

عن عمر بن الخطاب أن رجلاً من اليهود قال له: يا أمير المؤمنين، آية في كتابكم تقرؤونها، لو علينا معشر اليهود نزلت لاتخذنا ذلك اليوم عيداً، قال أي آية؟ قال : {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً}المائدة قال عمر: قد عرفنا ذلك اليوم والمكان الذي نزلت فيه على النبي ، وهو قائم بعرفة يوم الجمعة.

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu, bahwa ada seseorang Yahudi berkata kepadanya: “Wahai amirul mukminin,ada sebuah ayat di dalam kitab kalian (Al-Quran Al-Karim) yang kalian baca, yang sekiranya ayat tersebut diturunkan kepada kami (orang-orang Yahudi, pent) niscaya kami akan menjadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya.” Umar bertanya: “Ayat apakah itu?” ia jawab: “(yaitu firman Allah Ta’ala)

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.(QS. Al-Ma’idah: 3).

Umar berkata: “Kami telah mengetahui hari dan tempat turunnya ayat itu kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan beliau sedang berdiri di Arofah pada hari Jumat.” (HR. imam al-Bukhari dan imam Muslim di dalam kitab Shohih keduanya).
2) Hari Arofah adalah hari raya bagi kaum muslimin

Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:

عن عقبة بن عامر مرفوعاً بلفظ : يوم عرفة ويوم النحر وأيام التشريق عيدنا أهل الإسلام وهي أيام أكل وشرب


Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu secara marfu’ (yakni sanadnya tersambung kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, pent): “Hari Arofah, hari Nahr (hari Qurban), dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya bagi kita umat Islam, dan hari-hari itu adalah hari-hari untuk makan-makan dan minum.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Hadits ini dinyatakan SHOHIH oleh syaikh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-Gholil IV/130-131).

Dan diriwayatkan dari Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu, bahwa ia berkata: “Ayat ini (Maksudnya QS. al-Maidah: 3) telah diturunkan Allah pada hari Jumat dan pada hari Arofah, dan alhamdulillah kedua hari itu adalah hari raya bagi kami (umat Islam).



3) Hari Arofah adalah hari pembebasan dari api neraka

Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

عن عائشة عن النبي قال: (ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدأ من النار من يوم عرفة، وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة
Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Tidak ada satu haripun yang Allah lebih banyak membebaskan hamba dari neraka kecuali hari Arofah. Di hari itu Dia mendekat kemudian membanggakan mereka (yang wukuf) di hadapan para malaikat.” (HR. Muslim, an-Nasai, dan Ibnu Majah).

4) Doa terbaik adalah Doa pada Hari Arofah

Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال {خير الدعاء دعاء يوم عرفة وخير ما قلت أنا والنبيون من قبلي :  لا إله إلا الله وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ  شَيْءٍ قَدِيْرٌ  } ) .




Dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya (Abdullah bin Amr bin Al-Ash) radhiallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arofah. Dan ucapan terbaik yang saya & para nabi sebelumku pernah ucapkan adalah, “LAA ILAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIKA LAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAY`IN QADIR (Tidak ada sembahan yang hak selain Allah semata tak ada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya semua kekuasaan, hanya milik-Nya semua pujian, & Dia Maha Mampu atas segala sesuatu).” (HR. At-Tirmizi no. 3585 & dinyatakan Hasan oleh syaikh Al-Albani di dalam Shahih At-Tirmizi: III/184, dan Misykat Al-Mashobih no.2598).



5) Puasa pada hari Arofah dapat menghapuskan dosa-dosa selama 2 tahun

Hal ini berdasarkan hadits shohih berikut ini:

عن أبي قتادة أن رسول الله سئل عن صوم يوم عرفة فقال: (يكفر السنة الماضية والسنة القابلة) رواه مسلم


Dari Abu Qotadah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang (keutamaan) puasa pada hari Arofah, maka beliau menjawab:  “Dia menghapuskan (dosa) setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim).

Catatan: Puasa Arofah ini hanya disunnahkan bagi orang-orang yang tidak menunaikan ibadah haji. Adapun orang yang melaksanakan ibadah haji maka tidak dianjurkan. Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak berpuasa Arofah ketika beribadah haji dan beliau melarang puasa Arofah bagi orang yang berada di padang Arofah.

Demikianlah beberapa keutamaan dan keagungan hari Arofah berdasarkan hadits-hadits shohih yang dapat kami sebutkan. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Wabillahi at-Taufiq.

Sabtu, 13 Oktober 2012




Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

1. Dari Suhail bin Hanzhaliyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati unta yang kurus, lalu beliau bersabda,

اِتَّقُوا اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ الْمُعْجَمَةِ فَأَرْكَبُوْهَا صَالِحَةً ، وَكُلُوْهَا صَالِحَةً

“Bertaqwalah kepada Allah dari unta ini, dan kendarailah dengan baik serta beri makan yang baik”. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Arnauth).

2. Dari ‘Abdullah dari bapaknya, beliau berkata, “Dahulu kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar, lalu beliau berpaling sebentar untuk suatu hajat, kami melihat Humarah (burung berwarna merah) bersama dua anaknya. Kami pun mengambil dua anak tersebut dan datanglah induknya dengan kebingungan (mengepak-epak sayapnya). Tatkala itu datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersabda,

مَنْ فَجَعَ هَذِهِ بولدها ؟ رُدُّوا وَلَدَهَا إِلَيْهَا

“Siapa yang menyakiti burung ini? Kembalikan anaknya ini pada burung ini”.

Dan ketika beliau melihat sekumpulan semut yang kami bakar sarangnya, beliau bersabda,

مَنْ أَحْرَقَ هَذِهِ؟

“Siapa yang telah membakar ini?”

Kami menjawab, “Kami (yang telah membakarnya)”. Beliau bersabda,

لاَ يَنْبَغِي أَنْ يُعذب بِالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ

“Tidak sepantasnya mengadzab dengan api melainkan Rabbun Nar (yaitu Allah ta’ala)”. (HR. Ahmad dan selainnya dan dishahihkan oleh Al-Arnauth).

3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memiringkan bejana untuk seekor kucing sehingga kucing tersebut bisa minum air darinya. Kemudian beliau berwudhu dengan sisanya. (HR. Ath-Thabrani dengan sanad shahih.)

4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةِ ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ ، فََلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan ihsan (kebaikan) atas segala sesuatu, maka jika kalian membunuh, maka perbaguslah dalam membunuhnya, dan jika menyembelih, maka perbaguslah sembelihannya, dan hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sesembelihannya”. (HR. Muslim).

5. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seseorang yang menginjakkan kakinya di atas lambung seekor kambing sambil menajamkan pisaunya dan diperlihatkan di depan mata kambing itu. Beliau bersabda,

أَتُرِيْدُ أَنْ تميتها مَوْتَتَيْنِ ؟ هَلا حَدَّدْتَ شفرتَكَ قَبْلَ أَنْ تضجعَهَا

“Apakah kamu ingin membunuhnya dengan dua kematian? Tidakkah kamu tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkannya?” (HR. Al-Hakim dan beliau berkata hadits ini shahih atas syarat shahih Al-Bukhari dan Muslim, dan disepakati pula oleh Adz-Dzahabi)

6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلَا سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ

“Seorang wanita telah diazab karena mengurung seekor kucing sampai mati dan dia dimasukkan dalam neraka, karena dia tidak memberi makan dan minum ketika mengurungnya dan tidak pula dia melepaskannya sehingga bisa makan serangga”. (HR. Al Bukhari)

(Diterjemahkan dari Qutuf min Syamail Muhammadiyyah, karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)

Naskah Arab:

رحمة الرسول صلى الله عليه وسلم بالحيوان :
1- وعن سهيل بن الحنظلية قال : مرّ رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ببعير قد لحق ظهره ببطنه ، فقال : (اتقوا الله في هذه البهائم المعجمة فأركبوها صالحة ، وكلوها صالحة) . “المعجمة : التي لا تنطق” .
2- وعن عبدالله ، عن أبيه قال : كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر ، فانطلق لحاجته ، فرأينا (حُمرة) معها فرخان ، فأخذنا فرخيها ، فجاءت الحمرة ، فجعلت تُعرش ، فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : من فجع هذه بولدها ؟ ردوا ولدها إليها ، ورأى قرية نمل قد أحرقناها ، فقـال : من أحرق هذه ؟ قلنا : نحن ، قال : لا ينبغي أن يُذب بالنار إلا رب النار.
(الحمرة : طائر يشبه العصفور) ، ( تُعرش : ترفرف) .
3- كان صلى الله عليه وسلم ، يُصغي للهرة الإناء ، فتشرب ثم يتوضأ ، بفضلها ، (يصغي ، يميل) .
4- وقال صلى الله عليه وسلم : ( إن الله كتب الإحسان على كل شئ ، فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة ، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة ، وليحد أحدكم شفرته ، وليرح ذبيحته) .
5- وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال : مرّ رسول الله صلى الله عليه وسلم على رجل واضع رجله على صفحة شاة وهو يحد شفرته ، وهي تلحظ إليه ببصرها ، فقال : أتريد أن تميتها موتتين ؟ هلا حددت شفرتك قبل أن تضجعها ؟ (تلحظ : تنظر) .
6- وقال صلى الله عليه وسلم : ( عُذبت امرأة في هرة سجنتها حتى ماتت ، فدخلت فيها النار ، لا هي أطعمتها وسقتها إذ حبستها ، ولا هي تركتها تأكل خشاش الأرض) . ” خشاش الأرض : حشراتها








Firman Allah ta’ala :

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak” [QS. Al-Hajj : 28].

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya” [QS. Al-Baqarah : 203].


Tentang penafsiran ‘beberapa hari yang telah ditentukan’ (أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ) dan ‘beberapa hari yang terbilang’ (أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ), ada beberapa riwayat berkaitan, di antaranya :

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ وَالْأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ

Telah berkata Ibnu ‘Abbaas : “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang telah ditentukan, yaitu sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah), dan firman-Nya : ‘beberapa hari yang terbilang’, yaitu hari-hari tasyriq” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq di atas hadits no. 969].

أَخْبَرَنَاهُ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، وَمُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى، قَالا: نا أَبُو الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، نا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَرْزُوقٍ، نا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ هُشَيْمٍ، نا أَبُو بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " الأَيَّامُ الْمَعْلُومَاتُ أَيَّامُ الْعَشْرِ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh[1] dan Muhammad bin Muusaa[2], mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham[3] : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Marzuuq[4] : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Affaan bin Muslim[5], dari Husyaim[6] : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bisyr[7], dari Sa’iid bin Jubair[8], dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Beberapa hari yang telah ditentukan’ yaitu sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah), dan ‘beberapa hari yang terbilang’, yaitu hari-hari tasyriiq” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 2552; shahih].

أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ سَأَلَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ الأَيَّامِ الْمَعْلُومَاتِ، قَالَ جَابِرٌ: هِيَ أَيَّامُ الْعَشْرِ

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb[9], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Lahii’ah[10], dari Abuz-Zubair[11], bahwasannya ia pernah bertanya kepada Jaabir bin ‘Abdillah tentang makna ‘hari-hari yang telah ditentukan’. Jaabir berkata : “Ia adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dalam Al-Jaami’ fii Tafsiiril-Qur’aan, no. 191; hasan].

أَنْبَأَنِي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، إِجَازَةً عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ، عَنِ الرَّبِيعِ، قَالَ: قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: " الأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ مِنًى ثَلاثَةٌ بَعْدَ يَوْمِ النَّحْرِ وَهِيَ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ، وَالأَيَّامُ الْمَعْلُومَاتُ أَيَّامُ الْعَشْرِ فِيهَا يَوْمُ النَّحْرِ "

Telah memberitakan kepadaku Abu ‘Abdillah Al-Haafidh[12] dengan ijaazah, dari Abul-‘Abbaas[13], dari Ar-Rabii’[14], ia berkata : Telah berkata Asy-Syaafi’iy rahimahullah[15] : “Maksud ‘beberapa hari yang terbilang’ adalah hari-hari Mina, yaitu tiga hari setelah hari Nahr (‘Iedul-Adlhaa). Itulah hari-hari tasyriiq. Adapun ‘beberapa hari yang telah ditentukan’, maksudnya adalah sepuluh hari (bulan Dzulhijjah) yang termasuk di dalamnya hari Nahr” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Atsar no. 3275; shahih].

Dan yang lainnya.[16]

Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سُلَيْمَانَ، عَنْ مُسْلِمٍ الْبَطِينِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ الْعَشْرِ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ، قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ، قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ar’arah[17], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah[18], dari Sulaimaan[19], dari Muslim Al-Bathiin[20], dari Sa’iid bin Jubair[21], dari Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : “Tidak ada amal (yang dilakukan) dalam hari-hari lain yang lebih utama di dalamnya daripada (amal-amal) yang dilakukan pada sepuluh hari ini”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Tidak pula dengan jihad?”. Beliau menjawab : “Tidak pula dengan jihad, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu ia tidak kembali membawa apapun (yaitu ia syahid)” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 969].

Dalam riwayat Ad-Daarimiy, ditambahkan keterangan :

وَكَانَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ إِذَا دَخَلَ أَيَّامُ الْعَشْرِ، اجْتَهَدَ اجْتِهَادًا شَدِيدًا حَتَّى مَا يَكَادُ يَقْدِرُ عَلَيْهِ

“Dan Sa’iid bin Jubair apabila memasuki sepuluh hari bulan Dzulhijjah, ia sangat bersungguh-sungguh (dalam melaksanakan ibadah) hingga hampir tidak sanggup melaksanakannya” [Sunan Ad-Daarimiy no. 1774; shahih].

Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya manakah yang lebih utama antara sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dengan sepuluh hari terakhir bulan Ramadlaan. Beliau menjawab :

عشر الأواخر من رمضان أفضل من جهة الليل ؛ لأن فيها ليلة القدر ، والعشر الأول من ذي الحجة أفضل من جهة النهار ؛ لأن فيها يوم عرفة ، وفيها يوم النحر ، وهما أفضل أيام الدنيا ، هذا هو المعتمد عند المحققين من أهل العلم ، فعشر ذي الحجة أفضل من جهة النهار ، وعشر رمضان أفضل من جهة الليل ، لأن فيها ليلة القدر وهي أفضل الليالي، والله المستعان

“Sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan lebih utama dari sisi malamnya, karena padanya terdapat Lailatul-Qadr. Dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sisi siangnya, karena padanya terdapat hari ‘Arafah dan hari Nahr dimana keduanya merupakan seutama-tama hari di dunia. Inilah yang mu’tamad menurut para peneliti dari kalangan ulama. Maka, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sisi siangnya, dan sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan lebih utama dari sisi malamnya, karena padanya terdapat Lailatul-Qadr yang merupakan malam yang paling utama. Wallaahul-musta’aan” [sumber : sini].

Akan tetapi ada ulama lain yang menegaskan bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama sesuai dengan kemutlakannya.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

وهذا كله يدل على أن عشر ذي الحجة أفضل من غيره من الأيام من غير استثناء هذا في أيامه.
فأما لياليه فمن المتأخرين من زعم أن ليالي عشر رمضان أفضل من لياليه لاشتمالها على ليلة القدر وهذا بعيد جدا.

“Dan ini semua menunjukkan bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari hari-hari lain tanpa ada pengecualian dalam hari-harinya. Adapun malam-malamnya, di kalangan muta’khkhiriin ada yang menyangka bahwa malam-malam sepuluh hari terakhir lebih utama dari malam-malamnya (sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah) karena terdapat padanya lailatul-qadr. Pendapat ini sangat jauh dari kebenaran....” [Lathaaiful-Ma’aarif, hal. 267].

Lailatul-qadar adalah malam yang paling utama. Dikarenakan ia hanya satu malam saja, maka ia tidaklah meliputi hari-hari lain di sepuluh hari terakhir bulan Ramadlaan.

Pendapat Ibnu Raajab ini sesuai dengan dhahir hadits Ibnu ‘Abbaas di atas, dan juga dikuatkan oleh lafadh lain dari jalan Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhum :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ جَبَلَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَرْوَانَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا مِنْ أَيَّامٍ أَفْضَلُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ أَيَّامِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ ".

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Amru bin Habalah[22] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Marwaan[23], dari Hisyaam[24], dari Abuz-Zubair[25], dari Jaabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah ada hari-hari yang lebih utama di sisi Allah daripada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah” [Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 2090; hasan].

حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ، ثنا أَبُو النَّضْرِ، يَعْنِي: عَاصِمَ بْنَ هِلالٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا أَيَّامُ الْعَشْرِ "، يَعْنِي: عَشْرَ ذِي الْحَجَّةِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Kaamil[26] : Telah menceritakan kepada kami Abun-Nadlr, yaitu ‘Aashim bin Hilaal[27], dari Ayyuub[28], dari Abuz-Zubair[29], dari Jaabir, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Seutama-utama hari dunia adalah hari-hari sepuluh” – yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.... [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 1125 dengan sanad dla’iif karena ‘Aashim – ia perawi dla’iif - , namun menjadi hasan dengan penguat hadits sebelumnya].

Salah satu dzikir yang disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk memperbanyak pengucapannya ketika memasuki awal bulan Dzulhijjah (tanggal 1) hingga berakhirnya hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) adalah takbir.

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ

“Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar menuju pasar pada sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah). Mereka berdua bertakbir, dan kemudian orang-orang pun bertakbir mengikuti takbir mereka berdua. Dan Muhammad bin ‘Aliy bertakbir ketika selesai shalat sunnah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq di atas hadits no. 969].

حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ يَعْقُوبَ، عَنْ عَفَّانَ بْنِ مُسْلِمٍ، قَالَ: ثنا سَلامُ بْنُ سُلَيْمَانَ أَبُو الْمُنْذِرِ الْقَارِئُ، قَالَ: ثنا حُمَيْدٌ الأَعْرَجُ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: " كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ، وَابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَخْرُجَانِ أَيَّامَ الْعَشْرِ إِلَى السُّوقِ، فَيُكَبِّرَانِ، فَيُكَبِّرُ النَّاسُ مَعَهُمَا، لا يَأْتِيَانِ السُّوقَ إِلا لِذَلِكَ "

Telah mengkhabarkan kepadaku Ibraahiim bin Ya’quub[30], dari ‘Affaan bin Muslim[31], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sallaam bin Sulaimaan Abul-Mundzir Al-Qaariy[32], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Humaid Al-A’raj[33], dari Mujaahid[34], ia berkata : “Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pernah keluar pada waktu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah menuju pasar. Kemudian mereka bertakbir, lalu bertakbirlah orang-orang bersama mereka berdua. Mereka tidak mendatangi pasar kecuali dengan ucapan takbir itu” [Diriwayatkan oleh Al-Faakihiy dalam Akhbar Makkah no. 1643; hasan].

حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ، قَالَ: ثنا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ ثَابِتٍ، قَالَ: " كَانَ النَّاسُ يُكَبِّرُونَ أَيَّامَ الْعَشْرِ حَتَّى نَهَاهُمُ الْحَجَّاجُ " وَالأَمْرُ بِمَكَّةَ عَلَى ذَلِكَ إِلَى الْيَوْمِ، يُكَبِّرُ النَّاسُ فِي الأَسْوَاقِ فِي الْعَشْرِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr[35], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin ‘Umar[36], dari Hammaad bin Salamah[37], dari Tsaabit[38], ia berkata : “Orang-orang biasa bertakbir pada sepuluh hari pertama hingga Al-Hajjaaj (bin Yuusuf Ats-Tsaqafiy) melarang mereka”. Dan di Makkah hal itu masih dilakukan hingga hari ini, dimana orang-orang bertakbir di pasar-pasar pada waktu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah [Diriwayatkan oleh Al-Faakihiy dalam Akhbar Makkah no 1645; shahih].

Catatan :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، عَنْ شُعْبَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ الْحَكَمَ وَحَمَّادًا عَنِ " التَّكْبِيرِ أَيَّامَ الْعَشْرِ ؟ فَقَالَا: مُحْدَثٌ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy[39], dari Syu’bah[40], ia berkata : Aku bertanya kepada Al-Hakam[41] dan Hammaad[42] tentang takbir pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka mereka berdua menjawab : “Muhdats (bid’ah)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 14095; shahih].

Perkataan keduanya bahwa takbir pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah muhdats dilatarbelakangi karena ketidaktahuan mereka bahwa hal itu dilakukan oleh manusia, terutama salaf dari kalangan shahabat, sebagaimana ditunjukkan riwayat berikut :

حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ، قَالَ: ثنا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ شُعْبَةَ، قَالَ: " سَأَلْتُ الْحَكَمَ، وَحَمَّادًا عَنِ التَّكْبِيرِ، أَيَّامَ الْعَشْرِ، فَلَمْ يَعْرِفَاهُ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr[43], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin ‘Umar[44], dari Syu’bah[45], ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Hakam[46] dan Hammaad[47] tentang takbir pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah, dan mereka berdua tidak mengetahuinya [Diriwayatkan oleh Al-Faakihiy dalam Akhbar Makkah no. 1644; shahih].

è Orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui.

فَأَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بَالَوَيْهِ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، ثنا شُعْبَةُ بْنُ الْحَجَّاجِ، قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءً، يُحَدِّثُ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، قَالَ: كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ إِلَى صَلاةِ الظُّهْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ "

Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih[48] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal[49] : Telah menceritakan kepadaku ayahku[50] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far[51] : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Al-Hajjaaj[52], ia berkata : Aku mendengar ‘Athaa’[53] menceritakan dari hadits dari ‘Ubaid bin ‘Umair[54], ia berkata : “’Umar bin Al-Khaththaab bertakbir setelah shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga shalat Dhuhur pada akhir hari-hari tasyriiq” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 1/299; shahih].

فَحَدَّثَنَاهُ أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، أَنْبَأَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا هَنَّادٌ، ثنا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ شَقِيقٍ، قَالَ: كَانَ عَلِيٌّ " يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ غَدَاةَ عَرَفَةَ، ثُمَّ لا يَقْطَعُ حَتَّى يُصَلِّيَ الإِمَامُ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، ثُمَّ يُكَبِّرُ بَعْدَ الْعَصْرِ "

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq[55] : Telah memberitakan ‘Abdullah bin Muhammad[56] : Telah menceritakan kepada kami Hanaad[57] : Telah menceritakan kepada kami Husain bin ‘Aliy[58], dari Zaaidah[59], dari ‘Aashim[60], dari Syaqiiq[61], ia berkata : “’Aliy bertakbir setelah shalat Shubuh di hari ‘Arafah, lalu ia tidak menghentikannya hingga imam shalat di akhir hari-hari tasyriq, kemudian ia bertakbir setelah Ashar” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 1/299; hasan].

حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ نُبَيْطٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ: أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ

Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin ‘Aun[62], dari Salamah bin Nubaith[63], dari Adl-Dlahhaak[64] : Bahwasannya ia biasa bertakbir mulai shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga shalat ‘Ashar pada akhir hari-hari tasyriq [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 5688; shahih].

Sebagian ulama ada yang membagi takbir menjadi takbir muthlaq dan muqayyad. Yang dimaksud dengan takbir muthlaq adalah takbir yang diucapkan ketika masuk awal bulan Dzulhijjah hingga penghujung hari tasyriq. Adapun takbir muqayyad adalah takbir yang mulai diucapkan setelah shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga akhir shalat ‘Ashar atau shalat Maghrib pada akhir hari tasyriq, setiap selesai shalat wajib.

Al-Qaadliy Abu Ya’laa rahimahullah berkata :

التكبير في الأضحى مطلق ومقيد؛ فالمقيد عقيب الصلوات، والمطلق في كل حال في الأسواق وفي كل زمان

“Takbir pada hari Adlhaa itu ada yang muthlaq dan muqayyad. Takbir muqayyad diucapkan setelah shalat-shalat, dan takbir muthlaq diucapkan pada setiap keadaan, di pasar-pasar dan di semua waktu yang ada” [Al-Mughniy, 3/256].

Hal serupa di atas juga difatwakan oleh sebagian ulama kontemporer, semoga Allah menjaga dan memberikan rahmat kepada mereka.

Akan tetapi, pengkhususan takbir yang diucapkan setiap usai shalat wajib, maka itu tidak didasarkan pada dalil.

Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah berkata :

ليس -فيما نعلم- للتكبير المُعتاد دُبر الصَّلوات في أيامِ العيد؛ ليس له وقتٌ مَحدود في السُّنة؛ وإنما التَّكبير هو من شِعار هذه الأيام؛ بل أعتقد أن تقييدَها بدُبر الصلوات أمرٌ حادِث لم يكنْ في عهدِ النبي -صلى الله عليه وآله وسلم.
فلذلك يكون الجواب البدهي: أن تقديم الأذكار المعروفة دبر الصلوات هو السُّنة، أما التكبير؛ فيجوز له في كل وقت

“Sepanjang yang kami ketahui, takbir yang dibiasakan pada setiap akhir shalat pada hari-hari ‘Ied tidaklah mempunyai waktu yang ditentukan (khusus) dalam sunnah. Takbir itu merupakan syi’aar bagi hari-hari ini (yaitu hari ‘Ied – Abul-Jauzaa’). Bahkan aku meyakini bahwa membatasinya pada akhir shalat-shalat (wajib) merupakan perkara yang baru/diada-adakan yang tidak ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Oleh karena itu jawaban yang tidak memerlukan penjelasan : mendahulukan dzikir-dzikir yang ma’ruf pada akhir shalat-shalat (wajib) itulah yang sunnah. Adapun takbir, maka ia diperbolehkan pada setiap waktu” [Dari kaset Silsilatul-Hudaa wan-Nuur no. 392 – menit 00:46:27].

السائل: هل يقيد التكبير في أيام التشريق فيما بعد الصلوات
الشيخ: لا، لا يقيد؛ بل تقييدُه مِن البدع؛ إنما التكبير بكل وقتٍ من أيام التشريق.
السائل: وأيام العشر
الشيخ: وأيام العشر كذلك.

Penanya : “Apakah takbir pada hari-hari tasyriiq ditaqyid/dibatasi setelah selesai shalat-shalat (wajib) ?”.

Asy-Syaikh Al-Albaaniy : “Tidak, tidak dibatasi, bahkan membatasinya termasuk bid’ah. Takbir itu dilakukan di seluruh waktu pada hari-hari tasyriiq”.

Penanya : “Dan juga sepuluh hari bulan Dzulhijjah ?”.

Asy-Syaikh Al-Albaaniy : “Sepuluh hari bulan Dzulhijjah juga seperti itu”.

[Silsilatul-Hudaa wan-Nuur, kaset no. 410 – menit 00:36:12].

Baca juga penjelasan Asy-Syaikh Al-Firkuuz hafidhahullah yang semisal di sini.

Apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah tersebut kuat, karena riwayat-riwayat para shahabat yang disebutkan di atas tidak ada yang menjelaskan kekhususan takbir setelah selesai shalat fardlu. Bahkan ia diucapkan di semua waktu, termasuk padanya seusai shalat fardlu. Perhatikan juga beberapa atsar berikut :

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ: فَحَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ " كَانَ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ، فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ السُّوقِ فَيُكَبِّرُونَ، حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا وَاحِدًا "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh[65] : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ishaaq[66], ia berkata : Telah berkata Abu ‘Ubaid[67] : Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Sa’iid[68], dari Ibnu Juraij[69], dari ‘Athaa’[70], dari ‘Ubaid bin ‘Umair[71], dari ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah bertakbir di kubbahnya di Minaa, lalu orang-orang yang ada di masjid mendengarnya dan kemudian ikut bertakbir. Orang yang ada di pasar pun mendengarnya dan mereka ikut bertakbir, hingga Minaa bergemuruh oleh takbir yang satu. [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 3/312; shahih].

ثَنَا أَحْمَدُ، قَالَ: ثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ نَافِعٍ " أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُكَبِّرُ تِلْكَ الْأَيَّامَ بِمِنًى فِي دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَفِي فُسْطَاطِهِ وَفِي مَمْشَاهُ وَفِي طَرِيقِهِ، تِلْكَ الْأَيَّامَ جَمِيعًا "

Telah menceritakan kepada kami Ahmad[72], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid[73], dari Ibnu Juraij[74], dari Naafi’[75] : Bahwasannya Ibnu ‘Umar bertakbir pada hari-hari tersebut di Minaa di akhir shalat-shalatnya, di kemahnya, dan di jalannya pada hari-hari itu semuanya [Diriwayatkan oleh Abu Daawud dalam Masaail Ahmad no. 799; shahih. ‘An’anah Ibnu Juraij dari Naafi’ ini tidak merusak atsar ini, karena dalam riwayat yang dibawakan Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath, ia telah menjelaskan penyimakan riwayatnya dari Naafi’].

Atau jika kita coba memahami antara kedua pendapat tersebut secara bersamaan, maka tidaklah bertentangan, karena hanya perbedaan istilah saja. Sebab, jika seseorang jika bertakbir seusai shalat bersamaan itu juga ia juga bertakbir di waktu yang lain, maka pada hakekatnya ia tidak melakukan pembatasan. Wallaahu a’lam.

Bagaimana lafadh takbir tersebut ?.

Tidak ada lafadh takbir dalam bahasan ini yang marfuu’ lagi shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi yang ada adalah beberapa lafadh yang diucapkan oleh para shahabat (mauquuf). Di antaranya sebagai berikut :

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَارِثِ الْفَقِيهُ، أنبأ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، ثنا بُنْدَارٌ، ثنا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ " يُكَبِّرُ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ النَّفْرِ، لا يُكَبِّرُ فِي الْمَغْرِبِ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللَّهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin Al-Haarits Al-Faqiih[76] : Telah memberitakan Abu Muhammad bin Hayyaan[77] : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa[78] : Telah menceritakan kepada kami Bundaar[79] : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid[80], dari Al-Hakam[81], dari ‘Ikrimah[82], dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ia bertakbir mulai waktu pagi/shubuh hari ‘Arafah hingga akhir hari-hari nafar, dan tidak bertakbir pada waktu maghrib : Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar, wa lillaahil-hamd, Allaahu akbar wa ajallu, Allaahu akbar ‘alaa maa hadaanaa” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 3/315; shahih].

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ، عَنْ أَبِي بَكَّارٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: " أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ لَا يُكَبِّرُ فِي الْمَغْرِبِ: " اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ "

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan[83], dari Abu Bakkaar[84], dari ‘Ikrimah[85], dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ia (Ibnu ‘Abbaas) bertakbir mulai shalat Shubuh pada hari ‘Arafah hingga akhir hari-hari tasyriiq pada shalat Maghrib dengan mengucapkan : ‘Allaahu akbar kabiiraa, Allaahu akbar kabiiraa, Allaahu akbar wa ajallu, Allaahu akbar, wa lillaahil-hamd” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/73; shahih].

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ، قَالَ: ثنا ابْنُ عُلَيَّةَ، عَنِ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ، قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ، يَقُولُ: " اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ........

Telah menceritakan kepada kami Ahmad[86], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah[87], dari At-Taimiy[88], dari Abu Mijlaz[89], ia berkata : “Adalah Ibnu ‘Umar berkata : ‘Allaahu akbar wa lillaahil-hamd, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd, Laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul-Mulku wa lahul-hamdu…..(kemudian ia berdoa)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud dalam Al-Masaail no. 706; shahih].

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ حَسَنِ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ: " أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ "

Telah menceritakan kepada kami Wakii’[90], dari Hasan bin Shaalih[91], dari Abu Ishaaq[92], dari Abul-Ahwash[93], dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) : Bahwasannya ia bertakbir pada hari-hari tasyriiq : ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar, Laa ilaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/74; shahih – atsar ini mempunyai beberapa penguat].

Hukum takbir jama’iy ?

Para ulama dalam Lajnah Daaimah menjelaskan :

فالتكبير مشروع في ليلتي العيدين، وفي عشر ذي الحجة مطلقاً، وعقب الصلوات من فجر يوم عرفة إلى آخر أيام التشريق؛ لقوله تعالى: (وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ) (البقرة: من الآية185)، وقوله تعالى: (وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ) (البقرة: من الآية203)، ونقل عن الإمام أحمد - رحمه الله - أنه سئل: أي حديث تذهب إلى أن التكبير من صلاة الفجر يوم عرفة إلى آخر أيام التشريق؟ قال: بالإجماع. لكن التكبير الجماعي بصوت واحد ليس بمشروع بل ذلك بدعة؛ لما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: "من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد"، ولم يفعله السلف الصالح، لا من الصحابة، ولا من التابعين، ولا تابعيهم، وهم القدوة، والواجب الاتباع وعدم الابتداع في الدين. والله ولي التوفيق.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

“Takbir itu disyari’atkan diucapkan pada malam ‘Iedain, dan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah secara muthlaq dan setelah shalat-shalat (fardlu) mulai fajar hari ‘Arafah hingga akhir hari-hari tasyriiq. Hal itu berdasarkan firman Allah ta’ala : ‘Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu’ (QS. Al-Baqarah : 185), dan juga firman-Nya ta’ala : ‘Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang’ (QS. Al-Baqarah : 183). Dan ternukil dari Al-Imaam Ahmad – rahimahullah – bahwasannya ia pernah ditanya : ‘Berdasarkan hadits yang manakah engkau berpendapat bahwa takbir dilakukan mulai dari shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga akhir hari-hari tasyriiq ?’. Ia menjawab : ‘Dengan ijmaa’’.

Akan tetapi takbir jama’iy dengan suara yang satu tidaklah disyari’atkan, bahkan itu merupakan bid’ah, ketika shahih hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : ‘Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami yang bukan merupakan bagian darinya, maka tertolak’. Perbuatan itu tidak pernah dilakukan para as-salafush-shaalih, tidak dari kalangan shahabat, tabi’iin, dan taabi’ut-taabi’iin; dan mereka adalah panutan (dalam agama). Dan yang wajib adalah ittiba’ dan meniadakan ibtidaa’ (berbuat bid’ah) dalam agama. Wallaahu waliyyut-taufiiq. Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin” [Fatwa no. 9887 – dengan ketua Ibnu Baaz rahimahullah].

Ini saja yang dapat saya tuliskan, semoga ada manfaatnya.

Wallaahu a’lam bishs-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].

NB : Penomoran hadits/atsar dalam artikel ini sepenuhnya mengacu pada penomoran hadits pada software Jawaami’ul-Kalim 4.5, untuk menghemat waktu. Mohon untuk dimaklumi.







[1]      Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakam Adl-Dlabbiy Ath-Thuhmaaniy An-Naisaabuuriy, Al-Haafidh Abu ‘Abdillah Al-Haakim; seorang imam, tsiqah, pemilik banyak tulisan. Lahir tahun 321 H dan wafat tahun 405 H [lihat : Ittihaaful-Murtaqiy bi-Taraajimi Syuyuukh Al-Baihaqiy, hal. 460-462 no. 161].



[2]      Muhammad bin Muusaa bin Al-Fadhl bin Syaadzaan, Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru Ash-Shairafiy An-Naisaabuuriy; seorang yang tsiqah lagi ma’muun. Wafat tahun 421 H [lihat : Ittihaaful-Murtaqiy bi-Taraajimi Syuyuukh Al-Baihaqiy, hal. 500-503 no. 178].



[3]      Muhammad bin Ya’quub bin Yuunus bin Ma’qil bin Sinaan – terkenal dengan nama Al-Asham; seorang muhaddits di jamannya, tsiqah, ma’muun, tidak diperselisihkan tentang kejujuran dan keshahihan penyimakan haditsnya [lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/452-460 no. 258].



[4]      Ibraahiim bin Marzuuq bin Diinaar Al-Umawiy, Abu Ishaaq Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun 270 H di Mesir. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 115 no. 249].



[5]      ‘Affaan bin Muslim bin ‘Abdillah Al-Baahiliy, Abu ‘Utsmaan Ash-Shaffaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabt, lagi haafidh. Termasuk thabaqah 10, wafat tahun 219 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal.  681-682 no. 4659 dan Al-Kaasyif, 2/27-28 no. 3827].



[6]      Husyaim bin Basyiir bin Al-Qaasim As-Sulamiy Abu Mu’aawiyyah; seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 104/105 H, dan wafat tahun 183 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1023 no. 7362].



[7]      Ja’far bin Iyaas, Abu Bisyr Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 125/126 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 198 no. 938].



[8]      Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 95 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 374-375 no. 2291].



[9]      ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqahhaafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 125 H, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 556 no. 3718].



[10]     ‘Abdullah bin Lahii’ah bin ‘Uqbah Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Nashr Al-Mishriy; seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya setelah kitabnya terbakar. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 174 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 538 no. 3587].

Namun dalam riwayat ini, Ibnu Wahb meriwayatkan darinya sebelum kitabnya terbakar sehingga riwayatnya lurus.



[11]     Muhammad bin Muslim bin Tadrus Al-Qurasyiy Al-Asadiy Abuz-Zubair Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, namun sering melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 126 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 895 no. 6331].



[12]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[13]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[14]     Ar-Rabii’ bin Sulaimaan bin ‘Abdil-Jabbaar bin Kaamil Al-Muradiy Al-Muadzdzin, shaahibusy-Syaafi’iy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun 270 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 320 no. 1904].



[15]     Muhammad bin Idriis bin Al-‘Abbaas bin ‘Utsmaan bin Syaafi’ Al-Muthallibiy Al-Qurasyiy, Abu ‘Abdillah Asy-Syaafi’iy Al-Makkiy; seorang imam yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 204 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 823-824 no. 5754].



[16]     Ada beberapa penafsiran lain selain yang disebutkan di atas, di antaranya :

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُنْقِذٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، عَنْ حَيْوَةَ بْنِ شُرَيْحٍ، وَغَيْرِهِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلانَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، كَانَ يَقُولُ: " الأَيَّامُ الْمَعْلُومَاتُ يَوْمُ النَّحْرِ وَيَوْمَانِ بَعْدَهُ، يَعْنِي أَيَّامَ التَّشْرِيقِ، وَأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ هِيَ الأَيَّامُ الثَّلاثَةُ لَيْسَ فِيهَا يَوْمُ النَّحْرِ "

Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Munqidz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb, dari Haiwah bin Syuraih dan yang lainnya, dari Muhammad bin ‘Ajlaan, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia pernah berkata : “Beberapa hari yang telah ditentukan’, yaitu hari Nahr dan dua hari setelahnya, yaitu hari-hari tasyriiq. Adapun ‘beberapa hari yang terbilang’, yaitu hari-hari tasyriiq yang tiga tanpa mengikutkan hari Nahr” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath no. 2193; hasan].



[17]     Muhammad bin ‘Ar’arah bin Al-Barnad Al-Qurasyiy As-Saamiy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 213 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, dan Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 878 no. 6177].



[18]     Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdiy Abul-Busthaam Al-Waasithiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqahhaafidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 160 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2805].



[19]     Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy; seorang yang tsiqahhaafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 147/148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630].



[20]     Muslim bin ‘Imraan Al-Bathiin, Abu ‘Imraan/‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 940 no. 6682].



[21]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[22]     Muhammad bin ‘Amru bin ‘Abbaad bin Habalah bin Abi Ruwaad Al-‘Atakiy, Abu Ja’far Al-Bashriy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun 234 H. Dipakai oleh Muslim dan Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 883 no. 6226].



[23]     Muhammad bin Marwaan bin Qudaamah Al-‘Uqailiy, Abu Bakr Al-Bashriy – ma’ruf dengan laqab Al-‘Ijliy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-8. Dipakai oleh Abu Daawud dalam An-Naasikh dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 894 no. 6322].



[24]     Hisyaam bin Abi ‘Abdillah Sanbur Ad-Dastawaa’iy, Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 76 H, dan wafat tahun 154 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1022 no. 7349].



[25]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[26]     Fudlail bin Husain bin Thalhah Al-Bashriy, Abu Kaamil Al-Jahdariy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, wafat tahun 237 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 785 no. 5461].



[27]     ‘Aashim bin Hilaal Al-Baaraqiy, Abun-Nadlr Al-Bashriy; seorang yang padanya ada kelemahan (layyin). Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 474 no.3098 ].



[28]     Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sukhtiyaaniy, Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqahtsabat, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 131 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 158 no. 610].



[29]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[30]     Ibraahiim bin Ya’quub bin Ishaaq As-Sa’diy, Abu Ishaaq Al-Juuzajaaniy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-11, wafat tahun 259 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 118 no. 275].



[31]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[32]     Sallaam bin Sulaimaan Al-Muzanniy, Abul-Mundzir Al-Qaari’; seorang yang shaduuq, namun sering ragu (yahimu). Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 171 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 426  no. 2720].



[33]     Humaid bin Qais Al-A’raj Al-Makkiy, Abu Shafwaan Al-Qaari’ Al-Asadiy; seorang yang dikatakan : Laa ba’sa bih (tidak mengapa dengannya). Termasuk thabaqah 6, wafat tahun 130 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal.  275 no. 1565].

Akan tetapi penilaian padanya lebih condong pada ketsiqahan. Ia telah ditsiqahkan jumhur ahli hadits seperti : Ibnu Hibbaan, Abu Daawud, Ahmad dalam satu riwayat, Abu Zur’ah, At-Tirmidziy, Al-‘Ijliy, Al-Bukhaariy, Ibnu Sa’d, Ibnu Ma’iin dalam satu riwayat, Al-Fasawiy, Ibnu Khiraasy, Ibnu ‘Abdil-Barr, Adz-Dzahabiy.



[34]     Mujaahid bin Jabr, Abul-Hajjaaj Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah lagi imam di bidang tafsir. Termasuk thabaqah ke-3 dan wafat tahun 101/102/103/104 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 921 no. 6523].



[35]     Bakr bin Khalaf Al-Bashriy, Abu Bisyr; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-10 dan wafat setelah tahun 240 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Abu Daawud, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 175 no. 746].

Akan tetapi yang benar – wallaahu a’lam - , ia seorang yang tsiqah sebagaimana disimpulkan oleh Adz-Dzahabiy. Telah ditsiqahkan oleh Abu Haatim Ar-Raaziy, Ibnu Hibbaan, dan Maslamah bin Al-Qaasim. Tidak ada ulama yang memberikan jarh padanya, dan hanya Ibnu Ma’iin yang mengatakan shaduuq atau maa ba’sa bih (tidak mengapa dengannya).



[36]     Bisyr bin ‘Umar bin Al-Hakam bin ‘Uqbah Az-Zahraaniy Al-Azdiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun  207/209 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 170 no. 704].



[37]     Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Salamah bin Abi Sakhrah maulaa Rabii’ah bin Maalik bin Handhalah bin Bani Tamiim; seorang yang tsiqah, lagi ‘aabid, orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Tsaabit (Al-Bunaaniy). Berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 167 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara muallaq, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507].



[38]     Tsaabit bin Aslam Al-Bunaaniy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 123 H/127 H. Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 185 no. 818].



[39]     ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy bin Hassaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Anbariy Abu Sa’iid Al-Bashriy; seorang yang tsiqahtsabt, lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 135 H, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 601 no. 4044].



[40]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[41]     Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy, Abu Muhammad/’Abdillah/’Umar Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih, namun kadang melakukan tadlis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 113 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 263 no. 1461].



[42]     Hammaad bin Abi Sulaimaan Muslim Al-Asy’ariy, Abu Ismaa’iil Al-Kuufiy; seorang yang faqiih lagi shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 120 H atau sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 269 no. 1508]



[43]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[44]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[45]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[46]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[47]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[48]     Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih, Abu Bakr Al-Jalaab An-Naisaabuuriy; seorang imam di jamannya. Termasuk thabaqah ke-15, dan wafat tahun 340 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/419 no. 233].



[49]     ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Baghdaadiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 290 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 490 no. 3222].



[50]     Ahmad bin bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad Asy-Syaibaaniy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang imam yang tsiqah, haafidh, faqiih, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 164 H, dan wafat tahun 241 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 98 no. 97].



[51]     Muhammad bin Ja’far Al-Hudzaliy, Abu ‘Abdillah Al-Bashriy, dikenal dengan nama Ghundar; seorang yang tsiqah shahiihul-kitaab, namun padanya ada (sedikit) kelalaian (ghaflah). Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 293 H/294 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 833 no. 5824].



[52]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[53]     ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai banyak keutamaan. Termasuk thabaqah ke-3, lahir tahun 88 H, dan wafat tahun 114 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 677 no. 4623].



[54]     ‘Ubaid bin ‘Umair bin Qataadah bin Sa’d Al-Laitsiy, Abu ‘Aashim Al-Makkiy; seorang yang disepakati akan ketsiqahannya. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat tahun 68 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 651 no. 4416].



[55]     Abu Bakr Ahmad bin Ishaaq bin Ayyuub bin Yaziid An-Naisaabuuriy Asy-Syaafi’iy Ash-Shibghiy; seorang imam, mufti, muhaddits, syaikhul-Islaam, lagi tsiqah. Termasuk thabaqah ke-14, lahir tahun 258 H, dan wafat tahun 342 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/483-489 no. 274].



[56]     ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ubaid bin Sufyaan Al-Qurasyiy, Abu Bakr bin Abid-Dun-yaa Al-Baghdaadiy Al-Haafidh; seorang yang shaduuq, mempunyai banyak tulisan. Termasuk thabaqah ke-12, dan wafat tahun 281 H. Dipakai oleh Ibnu Maajah dalam At-Tafsiir [Taqriibut-Tahdziib, hal. 542 no. 3616].



[57]     Hanaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 152 H, dan wafat tahun 243 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1025 no. 7370].



[58]     Al-Husain bin ‘Aliy bin Al-Waliid Al-Ju’fiy, Abu ‘Abdillah/Muhammad Al-Kuufiy Al-Muqri’; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 203/204 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 249 no. 1344].



[59]     Zaaidah bin Qudaamah Ats-Tsaqafiy, Abush-Shalt Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi shaahibus-sunnah. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 160 H atau setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 333 no. 1993].



[60]     ‘Aashim bin Bahdalah, Ibnu Abi Nujuud Al-Asadiy Al-Kuufiy, Abu Bakr Al-Muqri’; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 127 H/128 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 471 no. 3071].



[61]     Syaqiiq bin Salamah Al-Asadiy, Abu Waail Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, wafat pada pemerintahan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 439 no. 2832].



[62]     Ja’far bin ‘Aun bin Ja’far bin ‘Amru bin Huraits Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy, Abu ‘Aun Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 120 H/130 H, dan wafat tahun 206 H/207 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 200 no. 956].

Bahkan, penilaian kepadanya cenderung pada ketsiqahan, karena ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibbaan, Ibnu Syaahiin, Al-‘Ijliy, Ibnu Qaani’, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Ma’iin tanpa diketahui adanya jarh kepadanya. Wallaahu a’lam.



[63]     Salamah bin Nubaith bin Syariith bin Anas Al-Asyja’iy, Abul-Farraas Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 402 no. 2524].



[64]     Adl-Dlahhaak bin Muzaahim Al-Hilaaliy, Abul-Qaasim/Muhammad Al-Khurasaaniy; seorang yang shaduuq, namun banyak melakukan irsaal. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat setelah tahun 100 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 459 no. 2995].



[65]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[66]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[67]     Al-Qaasim bin Salaam Al-Baghdaadiy Al-Harawiy, Abu ‘Ubaid Al-Faqiih Al-Qaadliy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 224 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Abu Daawud, dan At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 791 no. 5497].



[68]     Yahyaa bin Sa’iid bin Farruukh Al-Qaththaan At-Tamiimiy; seorang yang tsiqah, mutqin, haafidh, imaam, lagi qudwah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].



[69]     ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid; seorangyang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keutamaan; namun banyak melakukan tadliis dan irsaal. Termasuk thabaqah ke-6, lahir tahun 76 H, dan wafat tahun 149 H/150 H/151 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 624 no. 4221].



[70]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[71]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[72]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[73]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[74]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[75]     Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqahtsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].



[76]     Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah bin Al-Haarits Al-Faqiih, Abu Bakr At-Tamiimiy Al-Ashbahaaniy; seorang imam yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-18, dan wafat tahun 430 H [Ittihaaful-Murtaqiy bi-Taraajimi Syuyuukh Al-Baihaqiy, hal. 96-98 no. 21].



[77]     Namanya : ‘Abdullah bin Muhammad bin Ja’far bin Hayyaan – terkenal dengan nama Abusy-Syaikh; seorang imam yang tsiqah, ma’muun, lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-15, lahir tahun 274, dan wafat tahun 369 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/276-280 no. 196].



[78]     Muhammad bin Yahyaa bin Sulaimaan Al-Marwaziy Al-Baghdaadiy, Abu Bakr; seorang imam yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 298 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 14/48-49 no. 21].



[79]     Muhammad bin Basyaar bin ‘Utsmaan Al-‘Abdiy Abu Bakr Al-Bashriy yang terkenal dengan sebutan Bundaar; seorang perawi yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 167 H, dan wafat tahun 252 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 828 no. 5791].



[80]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[81]     Al-Hakam bin Farruukh, Abu Bakkaar Al-Ghazzaal Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 263 no. 1465].



[82]     ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsiqah,tsabat, lagi faqiih. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 104 H, atau dikatakan setelah itu, di Madinah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 687-688 no. 4707].



[83]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[84]     Telah lewat penyebutan keterangannya (catatan kaki no. 81).



[85]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[86]     Telah lewat penyebutan keterangannya.



[87]     Ismaa’il bin Ibraahiim bin Miqsam Al-Asadiy Al-Bashriy, yang terkenal dengan nama Ibnu ‘Ulayyah; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 110 H, dan wafat tahun 193 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 136 no. 420].



[88]     Sulaimaan bin Tharkhaan At-Taimiy, Abul-Mu’tamir Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-4, lahir tahun 46 H, dan wafat tahun 143 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 409 no. 2590].



[89]     Laahiq bin Humaid bin Sa’iid As-Saduusiy, Abu Mijlaz Al-Bashriy Al-A’war; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, wafat tahun 106 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1046 no. 7540].



[90]     Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabat, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 127 H/128 H/129 H, dan wafat tahun 196 H/197 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1037 no. 7464].



[91]     Al-Hasan bin Shaalih bin Shaalih bin Hay Al-Hamdaaniy Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, tertuduh ber-tasyayyu’. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 100 H, dan wafat tahun 169 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 239 no. 1260].



[92]     ‘Amru bin ‘Abdillah bin ‘Ubaid Al-Hamdaaniy Al-Kuufiy, Abu Ishaaq As-Sabii’iy; seorang yang tsiqah, banyak haditsnya, ‘aabid, namun bercampur hapalannya di akhir umurnya. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 129 H dalam usia 96 tahun. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 739 no. 5100].


[93]     ‘Auf bin Maalik bin Nadhlah Al-Asyja’iy Al-Jusyamiy, Abul-Ahwash Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 758 no. 5253].

Artikel Terbaru

Popular Posts