Selasa, 31 Desember 2013



Husnudzan kepada Allah adalah bagian dari ibadah hati yang sangat agung serta memiliki pengaruh positif terhadap seorang hamba baik dalam urusan dunianya maupun urusan akhiratnya. Sedangkan seorang hamba selalu membutuhkan Allah Ta’ala dalam segala kondisinya. Berhusnudzan kepada Allah adalah salah satu karakter dari orang-orang yang beriman, yang mana mereka berusaha untuk menempuh sebab kemudian mereka berhusnudzan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan berbuat kebajikanlah sesungguhnya Allah cinta terhadap orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-Ma’idah: 93)

Berkata Sufyan Ats-Tsauri ketika menjalaskan ayat diatas,
أي أحسنوا بالله تعالى الظن

 “Artinya, berbaik sangkalah kalian kepada Allah Ta’ala.”[1]

Husnudzan (berperasangkan baik) kepada Allah adalah meyakini Asma', sifat serta perbuatan Allah yang layak bagi-Nya. Sebuah keyakinan yang menuntut pengaruh yang  nyata. Misalnya, meyakini bahwa Allah merahmati semua hamba-Nya dan memaafkan mereka jika mereka bertaubat dan kembali kepada-Nya. Allah akan menerima amal ketaatan dan ibadah mereka. Serta meyakini, Allah mempunyai hikmah yang sempurna dalam setiap yang Dia takdirkan dan tentukan.

Sedangkan siapa yang menyangka, husnudzan kepada Allah Ta'ala tidak disertai amal apapun, maka ia salah besar dan tidak memahami ibadah agung ini sesuai dengan pemahaman yang benar. Sesungguhnya husnudzan tidak tegak dengan meninggalkan kewajiban-kewajiban dan menjalankan kemaksiatan-kemaksiatan. Maka siapa yang berperasangka baik kepada Allah semacam itu, ia telah tertipu, berharap yang salah, berpaham murji'ah yang tercela, serta merasa amal dari siksa Allah. Semua ini tercela dan membinasakan dirinya sendiri.

Berkata Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah (tentang orang-orang yang hanya berpangku tangan dengan alasan husnudzan kepada Allah),
كذبوا والله، لو أحسنوا الظن بالله لأحسنوا العمل

“Mereka berdusta demi Allah, seandainya mereka benar-benar husnudzan kepada Allah pastilah mereka akan beramal.”[2]

Ibnul Qayyim berkata,
وقد تبين الفرق بين حسن الظن والغرور ، وأن حسن الظن إن حمَل على العمل وحث عليه وساعده وساق إليه : فهو صحيح ، وإن دعا إلى البطالة والانهماك في المعاصي : فهو غرور ، وحسن الظن هو الرجاء ، فمن كان رجاؤه جاذباً له على الطاعة زاجراً له عن المعصية : فهو رجاء صحيح ، ومن كانت بطالته رجاء ورجاؤه بطالة وتفريطاً : فهو المغرور

"Telah nampak jelas perbedaan antara husnudzan dengan ghurur (tipuan). Adapun Husnuzan, jika ia mengajak dan mendorong beramal, membantu dan membuat rindu padanya: maka ia benar. Jika mengajak malas dan berkubang dengan maksiat: maka ia ghurur (tipuan). Husnuzan adalah raja' (pengharapan). Siapa yang pengharapannya mendorongnya untuk taat dan menjauhkannya dari maksiat: maka ia pengharapan yang benar. Sedangkan siapa yang kemalasannya adalah raja' dan meremehkan perintah: maka ia tertipu."[3]

Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, "Berhusnuzan kepada Allah harus disertai dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat. Jika tidak, ia termasuk merasa aman dari siksa Allah. Oleh sebab itu, behusnudzan kepada Allah harus disertai melaksanakan sebab-sebab kebaikan yang jelas dan mejauhi semua sebab yang menghantarkan kepada keburukan: Ini merupakan pengharapan yang terpuji. Adapun husnudzan kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban dan menerjang keharaman: maka ia pengharapan yang tercela, itu termasuk bentuk merasa aman dari adzab Allah."[4]

Oleh karena itu diantara do’a yang dipanjatkan oleh Sa’id bin Jubair –salah seorang tabi’in-,
اللهم إني أسألك صدق التوكل عليك، وحسن الظن بك

 “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kejujuran dalam bertawakkal kepada-Mu, serta kebaikan dalam berhusnudzan kepada-Mu.”[5]

Merealisasikan Husnudzan Kepada Allah

Ada beberapa kondisi dimana setiap muslim senantiasa meningkatkan husnudzannya kepada Allah Ta’ala dan yang terpenting adalah dalam dua kondisi:

Pertama: saat dia menjalankan ketaatan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Allah Ta'ala berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ في نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

"Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." [6]

Berdasarkan hadits di atas, husnudzan kepada Allah memiliki hubungan kuat dengan amal shalih. Karena sesudahnya disebutkan anjuran untuk berdzikir dan mendekatkan diri dengan amal ketaatan kepada-Nya'Azza wa Jalla. Maka siapa yang berprasangka baik kepada Allah pasti ia terdorong untuk berbuat baik.

Al-Hasan al-Bashri berkata,
المؤمن أحسنَ الظنّ بربّه فأحسن العملَ ، وإنّ الفاجر أساءَ الظنّ بربّه فأساءَ العمل

"Sesungguhnya seorang mukmin selalu berhusnudzan kepada Tuhannya lalu ia memperbagus amalnya. Dan sesungguhnya seorang pendosa berpesangka buruk kepada Tuhannya sehingga ia berbuat yang buruk." [7]

Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, siapa yang memperhatikan persoalan ni dengan benar akan tahu, husnudzan kepada Allah adalah baiknya amal itu sendiri. Karena seorang hamba terdorong menjalankan amal baik karena ia berperasangka bahwa Tuhan-nya akan memberi balasan dan pahala atas semua amal-amal baiknya, serta menerimanya. Husnuzan-lah yang mendorongnya beramal shalih. Maka jika prasangkanya baik, baik pula amalnya. Jika tidak, husnudzan bersamaan dengan mengikuti hawa nafsu adalah kelemahan.

Ringkasnya, husnudzan pasti disertai dengan menjalankan sebab-sebab menuju keselamatan. Sebaliknya, jika menjalankan sebab-sebab kehancuran, pasti ia tidak berperasangka baik. (Disarikan dari al-Jawab al-Kaafi: 13-15)

Abu al-Abbas al-Qurthubi rahimahullah berkata, dikatakan, maknanya: berperasangka (yakin) dikabulkan doa saat berdoa, diterima saat bertaubat, diampuni saat istighfar, dan berperasangka akan diterima amal-amal saat menjalankannya sesuai dengan syarat-syaratnya; ia berpegang teguh dengan Dzat yang janji-Nya benar dan karunia-Nya melimpah. Aku katakan, ini dikuatkan oleh Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
ادْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإجَابَةِ

"Berdoalah kepada Allah sementara kalian yakin diijabahi." (HR. Al-Tirmidi dengan sanad shahih).

Bagi orang bertaubat dan beristighfar, juga orang yang beramal agar bersungguh-sungguh dalam menjalankan niatan baiknya itu dengan disetai keyakinan bahwa Allah Ta'ala akan menerima amalnya dan mengampuni dosanya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berjanji akan menerima taubat yang jujur dan amal-amal yang shalih. Seandainya ia menjalankan amal-amal tersebut dengan keyakinan atau prasangka bahwa Allah tidak akan menerimanya dan amal-amal tersebut tak memberikan manfaat baginya, itu namanya putus asa dari rahmat Allah. Sedangkan berputus asa dari rahmat Allah termasuk dosa besar. Siapa meninggal di atasnya, baginya apa yang diperasangkakannya. Adapun merasa mendapat ampunan dan rahmat dengan mengerjakan maksiat-maksiat: itu adalah kejahilan dan tertipu. Mereka itulah yang akan masuk dalam jeratan paham murji-ah.

Kedua: Saat tertimpa musibah dan menghadapi kematian. Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda tiga hari menjelang wafatnya,
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ

"Janganlah salah seorang kalian meninggal kecuali ia berhusnuzan kepada Allah." (HR. Muslim)

Dalam kitab Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah (10/220) disebutkan, wajib atas seorang mukmin berperasangka baik kepada Allah Ta'ala. Tempat yang lebih banyak diwajibkan berhusnzan kepada Allah: Saat tertimpa musibah dan saat kematian. Dianjurkan berhusnudzan kepada Allah Ta'ala bagi orang yang menghadapi kematian. Terus memperbagus perasangka kepada Allah dan meningkatkannya walaupun itu terasa berat saat menghadapi kematian dan sakit. Karena seharusnya seorang mukallaf senantiasa husnudzan kepada Allah.



Jauhi Prasangka Buruk Kepada Alloh

Sikap berburuk sangka merupakan sikap orang-orang jahiliyah, yang merupakan bentuk kekufuran yang dapat menghilangkan atau mengurangi tauhid seseorang. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya,
يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الأمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الأمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَا هُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Alloh seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: ‘Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Alloh.’ Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: ‘Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.’ Katakanlah: ‘Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.’ Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (Ali-Imran: 154)

Perlu untuk kita ketahui bersama, berprasangka buruk kepada Alloh dapat terjadi pada tiga hal, yaitu:

  1. Berprasangka bahwa Alloh akan melestarikan kebatilan dan menumbangkan al haq (kebenaran). Hal ini sebagaimana persangkaan orang-orang musyrik dan orang-orang munafik. Alloh berfirman yang artinya,

بَلْ ظَنَنْتُمْ أَنْ لَنْ يَنْقَلِبَ الرَّسُولُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ أَبَدًا وَزُيِّنَ ذَلِكَ فِي قُلُوبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِ وَكُنْتُمْ قَوْمًا بُورًا



“Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya (terbunuh dalam peperangan, pen) dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa.” (Al-Fath: 12)

Perbuatan seperti ini tidak pantas ditujukan pada Alloh karena tidak sesuai dengan hikmah Alloh janji-Nya yang benar. Inilah prasangka orang-orang kafir dan Neraka Wail-lah tempat mereka kembali.



  1. Mengingkari Qadha’ dan Qadar Alloh yaitu menyatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi di alam ini yang di luar kehendak Alloh dan taqdir Alloh. Seperti pendapat Sekte Qodariyah.

  2. Mengingkari adanya hikmah yang sempurna dalam taqdir Alloh. Sebagaimana pendapat Sekte Jahmiyah dan Sekte Asy’ariyah. Wallahu a’lam bish shawwab









[1]  Tafsir Ats-Tsauri: hal, 59.




[2]  Tafsir Abu Su’ud: 2/235.




[3]  Al-Jawabul Kaafi: hal, 24.




[4]  Al-Muntaqa' min Fatawa Al-Syaikh al-fauzan: 2/269.




[5]  Hilyatul Auliya’: 4/274.




[6]  HR. Bukhari dan Muslim.




[7]  Diriwayatkan Imam Ahmad dalam al-Zuhd, hal. 402.




Jumat, 22 November 2013



BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG AMRAD (LAKI-LAKI; REMAJA/PEMUDA) YANG TIDAK BERJENGGOT?

Faishol bin ‘Abduh Qo’id Al-Hasyidi berkata dalam “Fitnatun Nadzor”: (Laki-laki) yang memandang laki-laki lain yang tidak berjenggot dengan pandangan karena syahwat adalah pintu yang kejelekan (yang dikhawatirkan akan menjurus kepada perbuatan liwath-pen), para ulama telah meberikan peringatan tentangnya dari zaman ke zaman. Al-Imam An-Nawawi –Rahimahullah- berkata: Sesungguhnya memandang pemuda tampan yang mencukur jenggotnya atau yang tidak tumbuh jenggotnya sama sekali dan memotong kumisnya adalah pandangan yang harom. Baik dengan syahwat atau dengan tanpa syahwat, atau merasa aman dari fitnah atau tidak merasa aman dari fitnah tetap harom, dan ini berdasarkan mazhab yang benar yang dipilih oleh ulama. Al-Imam Asy-Syafi’i dan ulama yang lainya –yang tidak terhitung jumlahnya- telah mengharamkannya. Dengan dalil perktaan Alloh –Ta’la-:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ [النور : 30]

“Katakanlah kepada orang-orang mukmin untuk menundukan pandangan-pandangann mereka” (An-Nuur: 30). Dan karena amrad (anak mudah yang tidak berjenggot) itu seperti wanita. Bahkan sebagian mereka atau kebanyakannya lebih cakap (tampan) dari pada wanita, mereka juga memungkinkan sebab-sebab fitnah yang tidak ada pada wanita, sehingga pengharaman mereka itu lebih utama. Oleh sebab itu perktaan ulama salaf tentang menjauh dari mereka terlalu banyak untuk di bilang, bahkan para ulama menamakan mereka busuk (al-antar) karena keadaan mereka yang dianggap kotor dalam syari’at.

Adapun memndang kepada mereka ketika jual beli, atau pengobatan, pengajaran dan lain-lain dari yang memang diperlukan maka boleh karena darurat. Akan tetapi tetap membatasi pandangan sesuai dengan keperluannya, dan tidak boleh memandang terus-menerus selain darurat. Bahkan pula seorang murid hanyalah dibolehkan memandang ketika diperlukan saja. Dan diharomkan kepada siapa saja dan pada keadaan bagaimana saja memandang dengan syahwat kepada setiap orang, baik laki-lakiataupun perempuan, apakah perempuan tersebut mahrom ataukah bukan mahrom. Hingga sahabat-sahabat kami mengatakan Diharomkan memnandang kepada mahromnya dengan syahwat seperti kepada anaknya atau ibunya. Wallahu a’lam. [“At-Tibyan fi Adabi Hamalat Al-Qur’an” (hal. 73-74)].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Diharomkan memandang dengan syahwat kepada wanita dan amrad dan barang siapa menganggapnya boleh memandangnya dengan syahwat maka dia kafir berdasarkan ijma’ [“Al-Ikhtiyaraat” (hal. 200)]. Sebagian ulama mengatakan: Takutlah memandang anak-anak raja karena fitnah mereka seperti fitnah gadis-gadis [Walaa Taqrabul Fawaahisy” (hal. 115)]. Dan berkata Al-Hasan bin Dzakwan: Janganlah kalian duduk-duduk dengan anak-anak hartawan karena paras-paras mereka bagaikan gadis sehingga mereka lebih besar fitnahnya daripada gadis [“Walaa Taqrabul Fawaahisy” (hal. 115)]. Sebagian tabi’in mengatakan: Tidaklah saya labih takutkan  atas seorang pemuda yang giat beribadah dari binatang buas yang menunggunya daripada seorang amrad yang duudk bersamanya. Dan dikatakan pula: Jangan sekali-kali seseorang bermalam dengan amrad di satu tempat, dan diharomkan hal itu karena di samakan dengan wanita. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Tidaklah seseorang berduaan dengan wanita melainkan syaithan yang pihak ketiga.” Sedangan amrad banyak yang lebih cakap daripada wanita, sehingga fitnahnya lebih dahsyat. Dan ucapan para salaf tentang menjauhi dan memperingatkan dari mereka terlalu banyak untuk dibatasai [“Mawaridul Zham’an” (Juz 5/Hal. 127)].

 

BAB VI

TAUBAT PARA HOMOSEKS

Pintu taubat akan selalu terbuka bagi siapa saja yang pernah melakukan dosa, baik itu dosa kecil ataupun dosa besar, dan bahkan setiap orang yang melakukan dosa wajib baginya untuk segera bertaubat. Al-Imam An-Nawawy Rahimahullah dalam “Riyadhus Sholihin Bab Taubat” berkata: “Taubat itu wajib bagi setiap [orang yang berbuat] dosa”.

Hal ini berdasarkan perintahnya Allah kepada kaum mukminah agar mereka menjaga kehormatan mereka, kemudian Allah –Ta’ala- memerintahkan untuk benar-benar bertaubat, Allah –Ta’ala- berkata dalam surat An-Nuur ayat 31:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.

Dan diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ary –Radhiyallahu ‘anhu-: Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:

«إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِىءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا».

“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam supaya orang-orang yang berbuat dosa pada siang hari bertaubat, juga Allah membentangkan tangannya pada siang hari, supaya bertaubat orang-orang yang berbuat dosa pada waktu malam hari. Allah akan terus membentangkan tangan-Nya sampai matahari terbit dari barat”.

Juga Allah –Ta’ala- tegaskan dalam Al-Qur’an pada surat Huud ayat 3:

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِير.

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat”.

Mengingat kita belum mendapatkan tentang sirah (perjalan hidup) orang-orang yang terdahulu yang pernah melakukan homoseks kemudian ada keterangan bahwa mereka bertaubat, maka dari sini bagi yang melakukan homoseks agar seharusnya benar-benar dan bersungguh-sungguh dengan kesungguhan yang paling puncaknya kesungguhan untuk bertaubat kepada Allah dan memohon kepada Allah –Ta’ala- kekuatan iman dan tekad. Sebagai penghibur dan kabar gembira Allah –Ta’ala- berkata dalam surat At-Tahrim ayat 8:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

 

 

6.1 INGIN TAUBAT DARI HOMOSEKS?

Penanya : Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Aku adalah seorang pemuda berusia 21 tahun. Semenjak usiaku 8 tahun, aku telah diuji dengan perbuatan liwath (gay). Hal itu terjadi karena ayahku disibukkan (dengan urusannya sehingga lalai) dari memberikan pendidikan yang baik kepadaku. Dan aku sekarang menjalani kehidupan yang penuh derita karena perbuatan liwath tersebut. Sekarangpun aku menyesali perbuatan itu, hingga rasa penyesalanku sampai pada tingkatan aku memikirkan untuk melakukan bunuh diri. Wal ‘iyaadzubillah. Dan yang menambah derita dan azab yang aku rasakan, keluargaku menghendaki aku untuk segera menikah.

Maka dari itu, aku mengharap dari engkau yang mulia, agar memberikan bimbingan kepadaku supaya bisa kembali ke jalan yang benar. Dan agar engkau memberikan obat menurut syar’i yang menyembuhkan aku dari masalahku ini sehingga aku bisa melepaskan diri dari kehidupan yang penuh azab, yang selama ini aku jalani karena melakukan perbuatan liwath (gay).

 

Samahatusy Syaikh Ibnu Bazz –Rahimahullah- menjawab:

Wa’alaikumsalam warahmatullaahi wabarakaatuh.

’Amma ba’du: Aku memohon kepada Allah, agar Allah memberikan penjagaan kepadamu dari hal-hal yang telah engkau sebutkan.

Tidak diragukan lagi, bahwa apa yang telah engkau sebutkan, berupa perbuatan liwath (gay) yang engkau lakukan, itu merupakan dosa yang besar. Akan tetapi, solusi untukmu bisa lepas dari perbuatan liwath tersebut adalah hal yang mudah. Al-Hamdulillah.

Solusi itu adalah bersegeralah kamu untuk melakukan taubat dengan taubat yang sebenar-benarnya. Taubat yang sebenar-benarnya yaitu dengan menyesali perbuatan dosa/maksiat yang telah dilakukan pada waktu yang lampau dan besegera meninggalkan perbuatan dosa/maksiat tersebut. Taubat yang sebanar-benarnya juga harus dengan tekad yang benar untuk tidak kembali melakukan perbuatan dosa tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan berteman dengan orang-orang yang shalih, menjauh dari perkara-perkara yang bisa menjadi perantara untuk melakukan dosa itu kembali, dan bersegeralah engkau untuk menikah.

Dan aku berikan kabar gembira dengan kebaikan, keberuntungan dan kesudahan yang terpuji jika kamu benar dalam taubat yang kamu lakukan. Hal ini sebagaimana perkataan Allah -Ta’ala-:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, supaya kalian mendapatkan keberuntungan”.

Dan perkataan Allah ‘azza wa jalla dalam surat At Tahrim:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا.

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat yang sebenar- benarnya”.

Dan perkataan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam: “Taubat yang benar itu menggugurkan dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya”.

Dan perkataan beliau Shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak mempunyai dosa “.

Dan semoga Allah memberikan taufiq kepadamu, meperbaiki hati dan amalanmu, serta semoga Allah mengaruniakan kepadamu taubat yang sebenar-benarnya taubat dan teman-teman yang shalih.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. (“Fataawa wa Maqaalaat bin Baaz”).

6.2 PENANGGULANGAN HOMOSEKS

Diantara upaya penanggulangan homoseks adalah:

v     Kembali kepada ajaran Islam dan merealisasikan konsekuensinya, sehingga tertanamlah pada diri aqidah shohihah, akhlakul karimah dan sifat-sifat yang terpuji lainnya. ketika seseorang telah melakukan hal ini, ia akan menemukan obat penyembuh yang paling ampuh, yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit [termasuk didalamnya penyakit homoseks], Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Allah menurunkan obatnya”. (Lihat “Shohihul Jami’”: 5558-5559).

v     Giat menghadiri majlis ilmu, memperbanyak membaca Al-Qur’an, menghayati dan merenungi makna-makna yang terkandung didalamnya dan memperbanyak mebaca siroh (perjalanan hidup umat terdahulu).

v        Apabila tidur dibuat pembatas dengan teman-temannya, hal ini untuk mengantisipasi adanya penyelewengan dan ini dalam rangka melaksanakan perkataan teladan kita Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari  Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:

«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ».

“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain.”

v     Menghindari ikhtilath, menundukkan pandangan dan menikah.

v     Pemberantasan kemungkaran-kemungkaran yang diindikasikan akan menimbulkan adanya homoseks, dan ini adalah wewenang penguasa, sebab kalau setiap individu melaksakan hal ini maka akan menimbulkan madhorat yang lebih besar, diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry, beliau berkata: Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُغَيَّرَهُ بِيَدِهِ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَان.

Barang siapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya; bila ia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan kalau juga tidak mampu maka dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”.

 

 

 

 

 

BAB VII

SEBAB UTAMA ADANYA HOMOSEKS DAN FREE SEX

 

Tidak diragukan lagi bahwa sebab utama seseorang terjatuh dalam kemaksiatan seperti homoseks dan free sex adalah karena beberapa faktor, diantaranya:

  1. Tidak bepegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah di atas bimbingan salaful ummah. Di dalam Al-Qur’an dalam banyak ayat memerintahkan kita untuk menjaga diri, menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan, di dalam As-Sunnah pun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas memerintahkan kita ketika akan tidur di antara sesama jenis agar membuat pembatas yang akan menghalangi kita ketika diluar kesadaran dalam tidur.

  2. Tidak memahami makna yang terkandung di dalam kalimatut tauhid “Laa Ilaha Illallah” serta tidak melaksanakan konsekuensi yang terkandung dalam makna tersebut.

  3. Bodoh terhadap Islam dan hukum-hukum yang ada di dalamnya, bodoh terhadap syari’at adalah pemicu utama seseorang untuk berani berbuat dosa, dan merupakan perkara yang disepakati bagi orang yang memiliki akal sehat.

  4. Mempelajari agama bukan pada ahlinya, dan pemicu utama kerusakan terbesar dan kebinasaan karena bermuara pada bergampangan menimba ilmu dari orang yang tidak jelas jati dirinya, hingga sampai ada yang menghalalkan homoseks dan berbagai kemaksiatan lainnya, jika apabila dipelajari ilmu dari orang semacam ini maka kemungkinan terjatuh pada perbuatan tersebut akan mudah karena sudah diyakini boleh-boleh saja.

  5. Mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu adalah kecenderungan jiwa kepada perkara yang haram. Dinamakan hawa karena menyeret pelakunya di dunia kepada kehancuran dan di akhirat kepada neraka Hawiyah”. (“Mufradat Alfazhil Qur’an” (hal. 848)]. Allah –‘azza wa jalla- berkata dalam surat Yusuf ayat 53:


إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ.

“Sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyeruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku”.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –Rahimahullah- berkata dalam “Taisîr Al-Karîmirrahmān” (hal. 400): “Kebanyakan hawa nafsu itu menyuruh pengekornya kepada kejahatan, yaitu kekejian dan seluruh perbuatan dosa”.

Dan hukuman yang di segerakan bagi pengekor hawa nafsu adalah sebagaimana perkatan Allah “Azza wa jalla- dalam surat Al-Mukminun ayat 55 sampai 56:

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ (55) نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ (56).

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan pada mereka (menunjukkan bahwa) Kami bersegera memeberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar”.

Allah –‘Azza wa jalla- juga berkata dalam surat Al-Isra’ ayat 18:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا.

“Barangsiapa menhendaki kehidupan dunia, maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami kehendaki baginya neraka Jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”.

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Ali Imran ayat 196 sampai 197:

لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ (196) مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ (197).

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam,dan Jahannam itulah seburuk-buruk tempat kembali”.

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Al-Jatsiyah ayat 23:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ.

“Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Al-Isra’ ayat 16:

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا.

“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”.

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Al-A’raf ayat 176:

وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.

“Dan mereka memperturutkan hawa nafsunya, maka perumpamaanya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya mengulurkan lidahnya. Dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga)”.

Ibnu Muqfi’ berkata sebagaimana dalam “Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an” (Juz 16/Hal. 166): Sesungguhnya hawa nafsu itu hina, Jika kamu ikut, maka kamu menjadi hina.

Orang yang senang dengan melakukan maksiat (homoseks, free sex, dan semisalnya) maka itu merupakan buah dari hawa nafsu yang akan melahirkan kehinaan dan kehinaan tidak akan lenyap kecuali dengan cara kembali kepada agama dan berpegang teguh dengannya, Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Jika kalian berjual beli dengan system ‘ienah, kalian tersibukkan dengan ternak dan ladang kalian dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan. Allah tidak akan mencabut kehinaan tersebut sampai kalian kembali kepada agama kalian”. [HR. Abu dawud (no. 3462) dan di shahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam “Ash-Shahihah” (no. 11)].

Al-Imam Ibnu Qayyim –Rahimahullah- berkata dalam “Ad-Da’ wad-Dawa’” (hal. 94): “Kemaksiatan akan mewariskan kehinaan, karena kemuliaan itu hanya dapat diraih dengan ketaatan kepada Allah”.

Orang yang menjerumuskan dirinya kedalam perbuatan yang hina seperti homoseks maka dia telah lalai dan telah lupa terhadap peringatan Rabbnya dalam surat Al-Baqarah ayat 195:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ.

“Janganlah kamu menjatuhkan dirimu kedalam kebinasaan”.

Sebagaimana telah lewat keterangan tentang akibat dari berbuat homoseks khususnya dan maksiat pada umumnya yang telah menjerumuskan kepada kebinasaan dan mengakibatkan banyak korban. Diantara pula ratap tangis para pengekor hawa nafsu adalah perkataan Allah –‘Azza wa jalla- dalam surat As-Sajdah ayat 12:

وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ.

“Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya dihadapan Rabbnya. (Mereka berkata): “Wahai Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikan kami (kedunia). Kami akan mengerjakan amal shalih. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”.

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Az-Zukhruf ayat 77:

وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ.

“Mereka menyeru: “Hai Malik, biarlah Rabbmu membunuh kami saja, “Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)”.

Allah –‘Azza wa Jalla- berkata dalam surat Ghafir ayat 47:

وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ.

“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantahan dalam neraka. Orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu mengidandarkan kami sebagian api neraka?”

Al-Hafidz Ibnu Katsir –Rahimahullah- berkata dalam “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim” (Juz 4/hal. 84): “Orang yang lemah yaitu para pengikut akan berkata kepada orang yang sombong yaitu pembesar dan tokohnya: “Kami di dunia mentaati seruanmu berupa kekufuran dan kesesatan, maka dapatkah kamu mengambil siksaan Allah ini sekalipun hanya sedikit.”

Al-Hafidz Ibnu Katsir –Rahimahullah- berkata dalam “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim” Juz 3/Hal. 540: “Allah akan membalas kamu disebabkan perbuatanmu. Masing-masing akan membalas kamu disebabkan perbuatanmu. Masing-masing akan disiksa sesuai dengan kezhalimannya.”

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Al-Mulk ayat 6 sampai10:

وَلِلَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (6) إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُ (7) تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ (8) قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ كَبِيرٍ (9) وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ (10).

“Dan orang-orang yang kufur kepada Rabbnya, (mereka memperoleh) azab jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. Apabila mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang mereka menggelagak, hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan kedalam sekumpulan (orang-orang yang kufur), penjaga-penjaga neraka itu bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepadamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “Benar ada, Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: “Allah tidak menurunkan sesuatu pun” Kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar.” Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penhuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”.

Allah –‘Azza wa jalla- berkata dalam surat Al-Ahzab ayat 66 sampai 67:

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا (67).

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan ke dalam neraka, mereka berkata: ‘Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul. Dan mereka berkata: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang lurus)”.

  1. Tasyabbuh (menyerupai) sesama jenis, khususnya ini terjadi pada “waria” yang awalnya mereka adalah laki-laki namun kemudian mereka melelang harga diri mereka dan berdandan seperti wanita yang akibatnya berani melakukan liwath.

  2. Membujang. Hidup membujang memiliki nilai tersendiri dikalangan sufyisme, yang tidak mau kalah tanding dengan para biarawan dan biarawati, tidak heran jika di dapati ada dari mereka “tidak hanya terjangkiti” bahkan pemain utama homoseks.

  3. Merasa bahwa dirinya aman dari fitnah. Orang yang merasa dirinya aman dari fitnah alias “PD” bahwa ia tidak mungkin akan terjatuh pada perbuatan semisal homoseks maka ini bertanda kalau justru ia yang akan condong ke arah sana, karena ini bentuk sikap bangga diri, angkuh dan sombong, apabila sifat seperti ini telah merasuki dirinya maka ia akan jauh dari muhasabah (intropeksi) diri, dan dia merasa seolah-oleh tidak butuh lagi dengan hidayah dari Allah ‘Azza wa jalla. Sekadar contoh betapa banyak orang yang dahulu istiqomah di atas manhaj salaf dan mereka merasa kalau diri-diri mereka akan terus konsisten namun ternyata justru mereka yang berjungkir balik terlebih dahulu dari orang yang biasa-biasa saja, Wallahul musta’an.

  4. Diantara wasilah utama terjerumusnya seseorang ke jurang homoseks, free sex dan semisalnya karena berawal dari ikhtilath. Sekali ber-ikhtilath setelahnya akan tergoreskan satu titik hitam pada hati seseorang, yang goresan tersebut berasal dari pandangan mata. Dan akan semakin besar goresan hitam pada hati tersebut apabila semakin terus terulang atau apabila sampai menyentuh apa yang harom untuk disentuh maka akan memperparah keruhnya goresan.  Nas-alullahas salamah wal ‘afiyah. [Untuk pembahasan ini silahkan merujuk ke tulisan kami “Ikhtilath Wabah yang Mengerikan”].


10.  Berkurangnya keimanan. Sudah menjadi keyakinan bagi setiap muslim, bahwasanya iman bertambah dan berkurang, bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan maksiat. Dan lenyapnya keimanan kaum Luth terhadap Allah dan Nabi-Nya (Luth ‘Alaihis salam) disebabkan karena berbuat fahisy (homoseks).

11.  Hilangnya rasa takut kepada Alloh ‘Azza wa Jalla, apabila rasa takut telah lenyap dari seseorang maka ia akan semakin gagah berani berbuat dosa walaupun terang-terangan melakukannya, baik dosa kecil maupun dosa besar ia terjang tanpa peduli apapun akibatnya.

12.  Tidak menundukkan pandangan. Pandangan adalah faktor yang paling mendominasi adanya keinginan untuk berbuat yang diingini oleh hati, homoseks berawal dari pandangan dan kemudian berakhir dengan pembenaran dengan seks.

13.  Tasyabbuh dengan orang-orang kafir. Pelaku utama homoseks adalah dari orang-orang yang kafir kepada Allah, berawal dari zaman nabi Luth ‘Alaihis salam hingga di zaman ini, kemudian banyak dari kaum muslimin terbawa arus perkembangan teknologi, mereka menyaksikan para homoseks di sinetron, di internet dan di berbagai macam media yang kemudian menuntut mereka untuk memperaktekkannya. Nasalullahassalamah wal ‘afiyah.

14.  Meremehkan dosa homoseks.

15.  Adanya keyakinan bahwa ia sudah terbebas dari beban syari’at, ia boleh melakukan apa saja yang ia kehendaki. Apabila keyakinan semacam ini telah menjalar pada diri seseorang maka dosa sebesar apapun teranggap suatu mainan biasa yang tidak ada apa-apanya.

16.  Merasa dirinya pasti akan diampuni walaupun terus menerus di atas maksiat dengan dalil hadits Mu’adz bin Jabal: …….dan hak hamba atas Alloh adalah Allah tidak akan mengazab orang yang tidak menyekutukan dengan-Nya seseuatu apapun.” Akhirnya dengan pemahamannya yang dangkal terhadap dalil tersebut ia semakin giat bermaksiat yang pada akhirnya iapun binasa.

17.  Kebiasaan menjima’i isteri pada dubur (anal), yang kemudian disaat-saat tidak ada istrinya iapun mencari pengganti dengan prinsip “yang penting berdubur atau berlubang” yang akibatnya laki-laki lain, anak-anak, orang tua jompo, binatang bahkan sesuatu yang berlubang menjadi obyek prakteknya.

18.  Putus asa, merupakan pemicu utama seseorang semakin giat berbuat homoseks, sebagaimana hal ini terjadi pada waria, karena mereka telah diperdaya oleh keadaan yang pada akhirnya mereka putus asa dan kemudian mereka meneruskan pekerjaan keji mereka dengan terus menerus.

Sabtu, 31 Agustus 2013



Diriwayatkan dalam sebuah hadits maudhu’ (palsu):

حب الوطن من الإيمان

 “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman.”

Berkata syaikh Al-Albani ketika mengomentari hadits diatas:

ومعناه غير مستقيم إذ إن حب الوطن كحب النفس والمال ونحوه، كل ذلك غريزي في الإنسان لا يمدح بحبه ولا هو من لوازم الإيمان، ألا ترى أن الناس كلهم مشتركون في هذا الحب لا فرق في ذلك بين مؤمنهم وكافرهم؟ !

“Hadits tersebut (Disamping maudhu’), ditinjau dari segi makna pun tidak lurus, hal itu dikarenakan cinta kepada tanah air seperti halnya cinta kepada jiwa, harta dan semisalnya. Yang mana kecintaan terhadap hal-hal tersebut adalah bagian dari tabi’at manusia tidak terpuji seorang ketika mencintainya dan tidak pula tercela, serta bukan juga bagian dari kensekuensi keimanan. Hal itu sebagaimana anda lihat, bahwa seluruh manusia cinta kepada tanah airnya baik yang mukmin maupun kafir.”

[1]Beliau rahimahullah juga berkata ditempat yang lain, “Cinta tanah air adalah hal yang bersifat fitrah, seperti kecintaan seorang terhadap kehidupan dan benci mati. Oleh karena itu jika seorang cinta terhdap kehidupan maka itu tidaklah terpuji atau pun tercela secara dzatnya, akan tetapi akan menjadi terpuji atau tercela tergantung dari pemanfaatan hidupnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

خيركم من طال عمره وحسن عمله وشركم من طال عمره وساء عمله

“Sebaik-baik kalian adalah seorang yang panjang umurnya lagi baik amalannya, dan sejelek-jelek kalian adalah seorang yang panjang umurnya lagi jelek amalannya.” [2]

  Oleh karena itu cinta kepada tanah air adalah bagian dari tabi’at manusia; Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang Yahudi,

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ

“Dan Sesungguhnya kalau kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya ...” (An-Nisa’: 66)

 Kenapa mereka sampai demikian? Hal itu dikarenakan setiap orang memiliki tabi’at cinta dan memiliki kecenderungan terhadap tanah airnya. Namun tidak boleh semata- mata seorang cinta kepada tanah airnya seperti cinta kepada negara Palalestin -karena itu adalah tanah airnya misalnya- kemudian seorang mengatakan cinta Paletin adalah bagian dari agama, ini jelas tidak diperbolehkan”.....kemudian beliau melanjutkan, “Benar Nabi shallallahu’alaihi wasallam tatkala pergi hijrah ke Madinah beliau melihatat kearah Makkah sembari mengatakan “Engakau adalah negeri yang paling aku cintai....” namun perlu diketahui bahwa hadit tersebut tidak ada kaitannya dengan anjuran cinta kepada tanah air, Nabi mengatakan demikian dikarenakan konteksnya berkaitan dengan mencintai negeri yang paling utama di sisi Allah. Kemudian Nabi bersabda, “Kalau bukan karena penduduk mengusirku, aku tidak akan keluar.”[3] Mengapa Nabi mengatakan demikian? Apakah karena semata-mata cinta tanah airnya? Tentu tidak, akan tetapi Nabi mengucapkan demikian dikarenakan Makkah adalah negeri yang paling dicinti oleh Allah, kemudian negeri yang dicintai oleh beliau sendiri sebagai Rasul-Nya. Oleh karena itu sabda Nabi di atas tidak bisa dipraktekkan untuk seluruh negeri.

  Sebagai contoh: Apabila seorang berasal dari negeri Mesir, kemudian dia diusir dari negeri tersebut dengan paksa tidak boleh baginya untuk mengatakan, ‘Engkau adalah negeri yang paling dicintai oleh Allah, dan negeri yang paling aku cintai, kalau seandainya bukan karena penduduk mengusirku aku tidak akan keluar darimu’, jelas ini adalah ucapan yang tidak diperbolehkan. Oleh karena itu wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkahimu-  sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya, oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu dikarenakan Allah berfirman,

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤادَ كُلُّ أُولئِكَ كانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً (36)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 36)















[1]  Adh-Dho’ifah: 1/110.




[2] lihat Shahihul Jami’: no. 3297.




[3]  Shahihul Jami’: no. 7089.



Jumat, 30 Agustus 2013



 

BAB III


JENIS-JENIS HOMOSEKS


Para ahli di bidang kesehatan telah melakukan penelitian dan peninjauan tentang jenis-jenis homoseks berdasarkan penyebabnya ada tiga, yaitu:


Yang pertama: Biogenik yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kelainan di otak atau kelainan genetik. Jenis ini yang paling sulit untuk disembuhkan karena sudah melekat dengan eksistensi hidup bagi yang melakukannya. Mereka sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk menyukai orang lain yang sejenis, sehingga benar-benar ini di luar kontrol dan keinginan sadar mereka.


Kedua: Psikogenetik yaitu homoseksual yang disebabkan oleh kesalahan dalam pola asuh atau mereka mengalami pengalaman dalam hidupnya yang mempengaruhi orientasi seksualnya di kemudian hari. Kesalahan pola asuh yang dimaksud adalah ketidak tegasan dalam mengorientasikan sejak dini kecenderungan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Pengalaman yang dapat membentuk perilaku homoseks diantaranya adalah pengalaman pernah disodomi atau waktu kecil orang itu mencoba-coba melakukan hubungan seks dengan temannya yang sejenis. Pengalaman-pengalaman seperti ini berpengaruh cukup besar terhadap orientasi seksual tersebut di kemudian hari.


Ketiga: Sosiogenetik yaitu orientasi seksual yang dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya. Kaum Nabi Luth yang melakuan homoseks adalah contoh dalam sejarah umat manusia bagaimana faktor sosial-budaya homosexual oriented mempengaruhi orang yang ada dalam lingkungan tersebut untuk berperilaku yang sama.


 


BAB IV


EFEK BERBUAT HOMOSEKS


 


Di dalam “Qawa’idul Fiqhiyah Lisyaikh Abdurrahman As-Si’di –Rahimahullah-” disebutkan bahwa setiap apa yang diperintahkan oleh syari’at itu pasti berakibat kemaslahatan dan apa yang dilarang oleh syari’at itu pasti berakibat kemafsadatan.


Syariat Islam telah mengharamkan homoseks, dikarenakan homoseks itu pasti terdapat mafsadah yang mengerikan yang akan menimbulkan dampak yang buruk dan kerusakan yang besar kepada pribadi dan masyarakat.


 


Diantara efek-efeknya adalah:


 




  • Tidak Memiliki Hasrat untuk Menikahi Selain Jenis


Kaum nabi Luth –‘Alaihis salam- berpaling dari isteri-istri mereka dan bahkan nabi Luth –‘Alaihis salam- menawarkan putri-putrinya untuk mereka nikahi namun mereka enggan sebagaimana Allah Ta’ala kisahkan dalam surat Huud ayat 78:


وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ.


“Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antara kalian seorang yang berakal?”


Dengan keadan seperti ini maka pasti akan lenyaplah arti sebuah pernikahan yang memiliki tujuan untuk memperbanyak keturunan. Seandainya pun mereka menikah, maka istrinya akan menjadi korban, ia tidak akan mendapatkan kepuasan, ketenangan dan cinta kasih.


 




  • Efek Terhadap Syaraf


Kebiasaan melakukan homoseks akan memberikan efek yang dahsyat terhadap kejiwaan dan memberikan efek yang sangat terhadap syaraf. Yang akibatnya dia cenderung untuk melakukan penyelewengan. Apabila telah terukir kembali penyakit ini dalam benaknya, dan ia tidak mendapatkan yang ia hasratkan, maka ia akan cemas, gelisah dan tidak berpendirian.


 




  • Nafsunya Akan Bergejolak


Ia tidak akan pernah merasa puas dengan pelampiasan hawa nafsunya yang sebelumnya, ia akan selalu ketagihan dan akan selalu berupaya untuk bisa memenuhi hasratnya terhadap orang yang ia hasratkan.


 




  • Perubahan Bermuamalahnya dengan Sesama akan Bertambah Drastis


Ia akan tampil beda dihadapan orang lain dengan akhlak yang kelihatannya terpuji namun hakekatnya ia memiliki penyakit yang terselubung yang ia pendam, jika ketika ia memiliki peluang untuk melampiaskannya ia akan bergegas tanpa berpikir panjang, dan ini terjadi pada para homoseks yang terkategori pada jenis pertama (biogenic).


 




  • Pengaruh homoseks Terhadap Kesehatan.


Diantara penyakit yang akan diderita oleh orang-orang yang melakukan homoseks adalah:


v     Organ-organ tubuhnya akan melemah, merasa lemah mental dan depresi


v     Gandrung dengan penyakit seks, dan homoseks adalah termasuk salah satu dari kategori free sex (seks bebas) dan ia merupakan transmisi utama HIV/AIDS. Para ahli peneliti dibidang kesehatan mengatakan bahwa 95% pengidap penyakit HIV/AIDS adalah kaum homoseks


v     Menyebabkan penyakit spilis, penyakit ini tidak muncul kecuali dikarenakan penyimpangan hubungan seks.


v     Menyebabkan kencing nanah.


Dengan melihat betapa besarnya efek atau pengaruh dari berbuat homoseks terhadap jiwa khususnya, maka sebaiknya bagi kita untuk lebih mengetahui tentang efek, bahaya dan pengaruh menurut tinjauan Islam secara umum.


Jauh-jauh hari sebelumnya kita telah diperingatkan dengan untaian kata yang sangat berharga yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi –Rahimahullah- dengan sanad hasan dari hadits Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya-:


إن العبد إذا أخطأ خطيئة نكتت في قلبه نكتة سوداء فإذا هو نزع واستغفر وتاب سقل قلبه وإن عاد زيد فيها حتى تعلو قلبه وهو الران الذي ذكر الله {كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون}


“Seorang mukmin jika berbuat satu dosa, maka ternodalah hatinya dengan senoktah warna hitam. Jika dia bertaubat dan beristighfar, hatinya akan kembali putih bersih. Jika ditambah dengan dosa lain, noktah itu pun bertambah hingga menutupi hatinya. Itulah karat yang disebut-sebut Allah dalam ayat: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” Berkata At-Tirmidzi: Ini adalah hadits hasan shahih.


Allah ‘azza wa jalla menciptakan manusia dengan tujuan untuk mentaati-Nya dan tidak memaksiati-Nya dengan sesuatu apapun, Allah ‘Azza wa Jalla berkata surat Adz-Dzariyat ayat 56:


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ.


“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu”.


Pada ayat tersebut Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan bahwa maksud dari penciptaan manusia dan jin adalah hanya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla semata. Dalam rangka menunaikan tugas ibadah tersebut, manusia diperintahkan untuk taat dan tunduk kepada semua perintah Allah ‘Azza wa Jalla, baik yang langsung Allah ‘Azza wa Jalla katakan dalam Al-Qur’an, maupun yang disampaikan melalui perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Oleh sebab itulah di dunia ini hanya terdapat dua golongan manusia. Golongan pertama adalah mereka yang selalu taat pada segala perintah Allah ‘Azza wa Jalla dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan golongan kedua adalah mereka yang ingkar kepada dua hal tersebut. Perbuatan ingkar itulah yang disebut dengan maksiat dan setiap perbuatan maksiat itu adalah dosa.


Al-Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah menyatakan: “Bahwa kebanyakan orang-orang tolol mengandalkan rahmat dan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla sehingga mereka mengabaikan perintah dan larangan-Nya serta lupa dengan azab-Nya yang pedih dan bahwa Dia tidak akan segan-segan untuk menyiksa orang-orang yang berdosa. Barangsiapa yang mengandalkan ampunan-Nya tetapi tetap berbuat dosa, dia sama dengan orang-orang yang membangkang”.


 


Nasib Para Pelaku Homoseks di Zaman Dahulu


Al-Qur’an dalam beberapa ayat telah banyak menceritakan kejadian dan bahaya yang ditimbulkan dari perbuatan homoseks. Cerita tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau dongeng, apalagi cerita bohong untuk sekadar menakut-nakuti manusia, namun ia benar-benar terjadi dan menjadi tragedi bagi umat manusia.


Lihatlah apa yang menyebabkan terjungkir baliknya kampung kaum Luth ‘Alaihis salam kemudian dihujani dengan batu? Sekali lagi, kisah tersebut benar terjadi. Dan penyebab turunnya azab Allah ‘azza wa jalla tersebut tidak lain adalah karena perbuatan maksiat sehingga semua menjadi pelajaran bagi umat manusia hingga hari kiamat.


Diantara pengaruh homoseks adalah:


Homoseks Menghalangi Ilmu


Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun ia bisa lenyap dari hati manakala di dalam hati sudah terdapat noda-noda hitam homoseks. Ketika Al-Imam Malik melihat kecerdasan dan kekuatan hafalan muridnya yakni Al-Imam Syafi’y yang begitu luar biasa, beliau (Al-Imam Malik) berkata, “Aku melihat kalau Allah telah menyiratkan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat”.


Maksiat secara umum telah mempengaruhi hati dengan terpadamnya cahayanya, bagaimana jikalau maksiat semisal homoseks yang ikut mewarnai hati tentu akan lebih padam dan bahkan bisa hati akan mati dan gelap bagaikan semut hitam di atas batu yang sangat hitam pada waktu malam yang gelap gulita.


Homoseks Menghalangi Rezki


Ketaqwaan adalah penyebab datangnya rizki. Maka meninggalkannya berarti menimbulkan kefakiran. Allah Ta’ala berkata dalam surat Ath-Thalaq ayat 2 sampai 3:


وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا, وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ.


“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah maka Allah akan menjadikan (memberi) jalan keluar baginya dan memberinya rezki dari arah yang tidak dia sangka-sangka’.


Realita telah konkrit bahwa setiap pelaku homoseks pasti ia akan terusir dari kalangan orang-orang yang masih memiliki fitroh kejiwaan, dengan keterusiran tersebut bukankah itu sebab utama sebagai penghambat datangnya rezki dan manjauhnya ilmu dan kebaikan?.


Homoseks Menjauhkan Pelakunya dengan Orang Lain


Homoseks menjauhkan pelakunya dari orang lain, terutama dari golongan yang orang-orang yang masih memiliki fitroh yang jernih mereka akan jijik ketika berkumpul dengan pelaku homoseks. Sehingga semakin berat tekanannya, maka semakin jauh pula jaraknya hingga berbagai manfaat dari orang yang baik terhalangi. Kesunyian dan kegersangan ini semakin menguat hingga berpengaruh pada hubungan dengan keluarga, anak-anak dan hati nuraninya sendiri.


Seorang Salaf berkata: “Sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka aku merasakan pengaruhnya pada perilaku kenderaan dan isteriku.”


Homoseks Menyulitkan Urusan


Homoseks akan mengundang kegundahan dan kegelisahan pada pelakunya, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan kecerahan pada wajah dan cahaya pada hati, kekuatan badan dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengundang ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di dalam kubur dan di hati, kelemahan badan, merosotnya rizki dan kebencian makhluk”.


Homoseks Melemahkan Hati dan Badan


Kekuatan seorang mukmin terpancar dari kekuatan hatinya. Jika hatinya kuat maka kuatlah badannya. Di dalam “Ash-Shahihain” dari hadits An-Nu’man bin Basyir –Radhiyallahu ‘anhu- beliau berkata: Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:


«أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ».


“Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal darah, jika dia bagus maka bagus pula semuanya (yang ada di jasad), jika dia rusak maka rusak pula semuanya. Ketahuilah bahwa dia itu adalah hati”.


Tapi bagi pelaku homoseks meskipun badannya kuat, sesungguhnya dia sangat lemah jika kekuatan itu sedang dia tunjukkan, hingga kekuatan pada dirinya sering menipu dirinya sendiri. Lihatlah bagaimana kekuatan fisik kaum Luth yang Allah binasakan dengan diputar balikkan pemukiman mereka kemudian dihujani dengan batu!


Homoseks Menghalangi untuk Berbuat Ketaatan


Orang yang melakukan homoseks akan cenderung untuk memutuskan ketaatan. Seperti selayaknya orang yang sekali makan tetapi mengalami sakit berkepanjangan dan menghalanginya dari memakan makanan lain yang lebih baik.


Homoseks Memperpendek Umur dan Menghapus Keberkahan


Pada dasarnya, umur manusia dihitung dari masa hidupnya. Sementara itu tidak ada yang namanya hidup kecuali jika kehidupan itu dihabiskan dengan ketaatan, ibadah, cinta dan dzikir kepada Allah Ta’ala serta mementingkan keridhaan-Nya. Lihatlah pelaku homoseks umur mereka terbatasi dengan disegerakannya azab atau kalau tidak disegerakan azab Allah Ta’ala mengulur-ulurnya dengan kenikmatan sesaat yang ujung-ujungnya malah melumpuhkan dan membinasakan mereka di dunia dan di akhirat.


Homoseks Menumbuhkan Maksiat Lain


Seorang ulama Salaf berkata bahwa jika seorang hamba melakukan kebaikan, maka hal tersebut akan mendorong dia untuk melakukan kebaikan yang lain dan seterusnya. Dan jika seorang hamba melakukan keburukan, maka dia pun akan cenderung untuk melakukan keburukan yang lain sehingga keburukan itu menjadi kebiasaan bagi si pelaku.


Tidak heran jika kita dapati para homoseks khususnya waria mereka pun berani bunuh diri karena melihat diri mereka benar-benar di atas kehinaan di dunia ini.


Homoseks Menghilangkan Kebaikan dan Mendatangkan Dosa


Jika seseorang sudah terbiasa berbuat homoseks, maka ia tidak lagi memandang buruk perbuatan itu, sehingga homoseks itu menjadi figur dan pendidikan jasmaninya. Ia pun tidak lagi mempunyai rasa malu melakukannya, bahkan memberitakannya kepada orang lain tentang perbuatannya itu. Dosa yang dilakukannya dianggapnya ringan dan kecil. Padahal dosa itu adalah paling  besar di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.


Homoseks Menimbulkan Kehinaan dan Mewariskan Kehinadinaan


Kehinaan itu tidak lain adalah akibat perbuatan maksiatnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla sehingga Allah ‘Azza wa Jalla pun menghinakannya, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Hajj ayat 18:


وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ


“…dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”.


Sedangkan kemaksiatan itu akan melahirkan kehinadinaan, karena kemuliaan itu hanya akan muncul dari ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat Fathir ayat 10:


مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا


“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah lah kemuliaan itu …”.


Seorang Salaf pernah berdoa: “Ya Allah, anugerahilah aku kemuliaan melalui ketaatan kepada-Mu, dan janganlah Engkau hina dinakan aku karena aku bermaksiat kepada Mu.”


Homoseks Merusak Akal


Seandainya seseorang itu masih berakal sehat, maka akal sehatnya itulah yang akan mencegahnya dari berbuat homoseks yang menjijikan itu. Kalaupun ada orang yang pernah melakukan homoseks terlihat cerdas, pandai dalam bertutur kata atau pandai merangkul pengikut maka jangan tertipu sewaktu-waktu akan tampak kehinaan dan kerendahannya baik tampaknya itu dengan sebab karena dia memaksa-maksakan diri dalam membuat hukum, baik dia itu mendakwahkan kepada bid’ah baik bid’ah hizbiyyah atau bid’ah jam’iyyah atau menghalalkan yang haram semisal menghalalkan minta-minta atau menghalalkan wasilah kepada kesesatan atau memaksa-maksakan diri seakan-akan sebagai seorang mujtahid mutlak.


 


Homoseks Menutup Hati


Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Al-Muthaffifin ayat 14:


كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ.


“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka”.


Al-Imam Hasan –Rahimahullah- mengatakan hal itu sebagai dosa yang berlapis dosa. Ketika dosa dan maksiat telah menumpuk maka hatinya pun telah tertutup.


Homoseks Dilaknat Oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melaknat perbuatan maksiat secara umum diantaranya melakukan perbuatan homoseksual. (Lihat pembahasan yang telah lewat).


Homoseks Menghalangi Syafaat Rasul dan Malaikat


Kecuali bagi mereka yang benar-benar bertaubat dan kembali ke pada jalan yang lurus, Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Ghafir ayat 7-9:


الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ (7) رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (8) وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (9).


“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyla-nyala. Ya Rabb kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang sholeh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa) lagi Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana). Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu Maka Sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan Itulah kemenangan yang besar”.


Homoseks Melenyapkan Malu


Bila seseorang sudah kecanduan dengan perbuatan homoseks maka tentu perasaan malunya pasti telah sirna, kalau pun dia masih ada sedikit perasaan malunya kalau kejijikannya itu dituduhkan kepadany dia pun akan mengingkari baik pengingkarannya itu dengan bersumpah palsu. Dan bila seseorang itu sudah kecanduan dengan perbuatan homoseks maka dia pun tidak malu-malu lagi berbuat homoseks walaun di keramaian manusia mereka tetap akan melampiaskan nafsu birahinya.


Homoseks Meremehkan Allah


Jika seseorang berbuat homoseks, disadari atau tidak, rasa untuk mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla perlahan-lahan lenyap dari hati. Jika perasaan itu masih ada, tentulah ia akan mencegahnya dari berlaku homoseks. Awalnya dia menganggap remeh dosa kemudian berani meremehkan Allah ‘Azza wa Jalla.


Homoseks Memalingkan Perhatian Allah


Allah ‘Azza wa Jalla akan membiarkan orang yang terus-menerus berbuat homoseks berteman dengan syaithan-syaithannya. Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Al-Hasyr ayat 19:


وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ


“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.


Homoseks Melenyapkan Nikmat dan Mendatangkan Azab


Allah ‘Azza wa Jalla berkata dalam surat Asy-Syuraa ayat 30:


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ.


“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.


Amirul Mu’minin Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tidaklah turun bencana malainkan karena dosa. Dan tidaklah bencana lenyap melainkan karena taubat.”


Homoseks Memalingkan untuk Istiqamah


Orang yang hidup di dunia ini bagaikan seorang pedagang. Pedagang yang cerdik tentu akan menjual barangnya kepada pembeli yang sanggup membayar dengan harga tinggi. Allah ‘Azza wa Jalla yang akan membeli barang itu dan dibayarnya dengan kehidupan yang abadi dan penuh kenikmatan. Jika seseorang menjualnya dengan imbalan kehidupan dunia yang fana, ketika itulah ia tertipu.


 


Homoseks akan menggiring pelakunya untuk tidak lagi berbuat ketaatan dan bahkan menggiringnya pada perbuatan kufur.


 


BAB V


HUKUM-HUKUM SEPUTAR HOMOSEKS


5.1 Orang yang setelah selesai melakukan perbuatan homoseks dan maninya keluar apakah wajib mandi ketika akan sholat?


 


Keluarnya mani dengan unsur disengaja (dengan syahwat) seperti berbuat homoseks, onani, free seks dan yang semisalnya adalah harom dan wajib baginya untuk mandi sebagaimana mandi junub, dan ini adalah kesepakatan ulama, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah di dalam “Al-Mughni” (Juz 1/Hal. 197): “Aku tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu (tentang wajibnya mandi bagi orang yang keluar maninya karena syahwat)”, dengan dalil hadits Ali bin Abi Tholib: “Jika engkau mengeluarkan air (mani), maka mandilah”. (Hadits ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam “Irwa’ul Gholil” (Juz 1/Hal. 162).


 


 


5.2 Apakah kafir bagi orang yang melakukan homoseks?


 


Untuk mengatakan kafir tidaknya orang yang melakukan homoseks maka perlu adanya rincian. Apabila orang yang melakukan perbuatan tersebut karena syahwat semata (dengan tanpa diyakini sebagai suatu yang boleh) atau orang yang memang bodoh (tidah tahu sama sekali hukumnya) maka mereka tidak bisa dikafirkan, namun mereka hanya terjatuh pada perbuatan dari dosa-dosa yang besar. Namun apabila mereka yang melakukan homoseks berkeyakinan bahwa homoseks adalah boleh dan hujjah telah sampai kepada mereka maka tidak diragukan lagi atas kekafirannya. Dan telah ada ijma’ para ulama tentang kafirnya orang-orang yang membolehkan perkara yang telah jelas-jelas keharomannya. (Lihat “Nawaqidul Islam”).


 


5.3 Apakah orang yang sudah kecanduan liwath (gay) boleh menemui atau ber-ikhtilath dengan wanita yang non mahrom?


 


Sebagaimana telah kita ketahui bahwa apabila seseorang telah kecanduan dengan liwath maka ia tidak akan memiliki daya ketertarikan terhadap wanita dan bahkan tidak lagi bersyahwat terhadap wanita dan ini mayoritasnya terjadi pada “waria”. Dan masalah ini ahli ilmu berbeda pendapat tentang boleh tidaknya waria menemui, memandang atau berikhtilath dengan wanita yang bukan mahrom. Namun pendapat yang kuat adalah pendapat tidak bolehnya mereka memandang, bertemu atau berikhtilath dengan wanita yang bukan mahrom mereka, dengan hujjah  hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya tidak melarang waria untuk masuk menemui istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang dikisahkan oleh Aisyah Radhiallahu ‘anha: “Ada seorang mukhannats yang biasa masuk menemui istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang (istri-istri Nabi membiarkannya karena disangka) termasuk laki-laki yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita. Maka suatu ketikai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah, sementara mukhannats ini berada di sisi sebagian istri beliau dalam keadaan ia sedang menceritakan sifat seorang wanita. “Wanita itu bila menghadap, ia menghadap dengan empat (lekukan pada bagian perutnya) dan bila membelakang, ia membelakang dengan delapan (setiap masing-masing bagian pinggang terdiri empat dan dari belakang tanpak seperti delapan)”, katanya. Mendengar ucapannya yang demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku telah menyangka orang ini tidak mengetahui perkara wanita sedeteil seperti itu. Jangan (sekali-kali terulang) ia masuk menemui kalian”. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: “(Setelah kejadian itu) Istri-istri Nabi berhijab darinya”. (HR. Muslim no. 2181).


Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai wanita dalam tingkah laku, ucapan, dan gerakannya [“Syarhu Shahih Muslim” (Juz 14/Hal. 163), “Fathul Bari” (Juz 9/Hal. 404)]. Para mukhannats yang ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidaklah tertuduh melakukan perbuatan keji yang besar, hanya saja kewanita-wanitaan mereka tampak dari ucapan mereka yang merdu, mereka memacari tangan dan kaki mereka seperti halnya wanita, dan berlagak seperti lagaknya wanita. [“‘Aunul Ma’bud” (Juz 13/Hal. 189)].


Disini kami bukan berarti menyapakan sama persis mukhannats yang disebutkan dalam hadits dengan waria atau penggemar liwath, hanya saja di sini kami mengambil hukum, bagaimana tidak, mukhannats di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa dikatakan masih ringan (kecil) sudah dilarang menemui wanita yang bukan mahrom, lalu bagaimana dengan waria atau penggemar (pecandu) liwath yang begitu mengerikan? Tentu lebih utama lagi untuk di larang. Wallahu a’lam.


Kisah yang serupa dengan kisah di atas juga telah diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhori (no. 4324) dan Muslim (14/163) dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha, tentang dilarangnya mukhannats menemui wanita yang bukan mahrom.


Faedah dari hadits tersebut, diantaranya:




  • Dilarangnya mukhannats masuk ke tempat kaum wanita dan kaum wanita dilarang menampakkan perhiasan mereka di hadapannya.

  • Mukhannats hukumnya sama dengan laki-laki (yang normal) yang masih tertarik dengan wanita, demikian juga laki-laki yang terpotong dzakarnya”. [“Syarhu Shahih Muslim” (14/163)].

  • Perintah supaya kaum wanita berhijab dari laki-laki yang mengerti keindahan-keindahan mereka”. [“Fathul Bariy” (9/406)].


Adapun bagi orang yang berpenampilan dan berperilaku seperti lawan jenis seperti waria atau yang semisalnya maka telah Allah dan Rasul-Nya haromkan, berkata Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma:


لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم المتشبهين من الرجال بالنساء والمتشبهات من النساء بالرجال


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”. (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834).


Al-Imam Ath-Thabari Rahimahullah mendefenisikan perktaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dengan ucapan: “Tidak boleh laki-laki menyerupai wanita dalam hal pakaian dan perhiasan yang khusus bagi wanita. Dan tidak boleh pula sebaliknya (wanita menyerupai laki-laki).”


Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah juga menjelaskan: “Demikian pula meniru cara bicara dan berjalan. Adapun dalam bentuk pakaian maka ini berbeda-beda dengan adanya perbedaan adat kebiasaan pada setiap negeri. Karena terkadang suatu kaum tidak membedakan model pakaian laki-laki dengan model pakaian wanita, namun untuk wanita ditambah dengan hijab. Tercelanya laki-laki atau wanita yang menyerupai lawan jenisnya dalam berbicara dan berjalan ini, khusus bagi yang sengaja. Sementara bila hal itu merupakan pembawaannya dari kecilnya (asal penciptaannya) maka ia diperintahkan untuk memaksa dirinya agar meninggalkan hal tersebut secara berangsur-angsur. Bila hal ini tidak ia lakukan bahkan ia terus tasyabbuh (menyerupai) dengan lawan jenis, maka ia masuk dalam celaan, terlebih lagi bila tampak pada dirinya perkara yang menunjukkan ia ridha dengan keadaannya yang demikian.”


Al-Hafidz Rahimahullah juga menegaskan: Hal ini ditujukan kepada mukhannats yang tidak mampu lagi meninggalkan sikap kewanita-wanitaannya dalam berjalan dan berbicara setelah ia berusaha menyembuhkan kelainannya tersebut dan berupaya meninggalkannya. Namun bila memungkinkan baginya untuk meninggalkan sifat tersebut walaupun secara berangsur-angsur, tapi ia memang enggan untuk meninggalkannya tanpa ada udzur, maka ia terkena celaan”. [“Fathul Bari” (Juz 10/Hal. 345)].


Para ulama telah membagi mukhannats terdiri dari dua macam.


Pertama: Hal itu memang merupakan tabiatnya bukan ia bersengaja atau memberat-beratkan dirinya untuk bertabiat dengan tabiat wanita, bersengaja memakai pakaian wanita, berbicara seperti wanita serta melakukan gerak-gerik wanita. Namun hal itu merupakan pembawaannya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menciptakannya seperti itu. Mukhannats yang seperti ini tidaklah dicela dan dicerca bahkan tidak ada dosa serta hukuman baginya karena ia diberi udzur disebabkan hal itu bukan kesengajaannya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya tidak mengingkari masuknya mukhannats menemui para wanita dan tidak pula mengingkari sifatnya yang memang asal penciptaan/ pembawaannya demikian. Yang beliau ingkari setelah itu hanyalah karena mukhannats ini ternyata mengetahui gambaran bentuk-bentuk tubuh wanita dan beliau tidak mengingkari sifat pembawaannya serta keberadaannya sebagai mukhannats.


Kedua: Mukhannats yang sifat kewanita-wanitaannya bukan asal penciptaannya bahkan ia menjadikan dirinya seperti wanita (dan ini terjadi pada para waria di zaman ini), mengikuti gerak-gerik dan penampilan wanita seperti berbicara seperti mereka dan berpakaian dengan pakaian mereka. Mukhannats seperti inilah yang tercela di mana disebutkan laknat terhadap mereka di dalam hadits-hadits yang shahih.


Adapun mukhannats jenis pertama tidaklah terlaknat karena seandainya ia terlaknat niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkannya ketika yang pertama kalinya, wallahu a’lam”. [“Syarhu Shahih Muslim” Juz 14/Hal. 164].


Dari keterangan yang telah lewat maka yang benar adalah apa yang dinyatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, yaitu mukhannats jenis pertama tidaklah masuk dalam celaan dan laknat, namun hendaknya ia terus-menerus berusaha semaksimalnya untuk meninggalkan sifat kewanita-wanitaannya dan dan memohon pertolongan kepada Alloh agar mengubah tingkahnya.


Adapun mengenai larangan tasyabbuh terhadap wanita juga telah diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, ia berkata:


لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ.


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki”. (HR. Abu Dawud no. 3575. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata: Hadits ini hasan dengan syarat Muslim. [Lihat “Al-Jami’ush Shahih” (Juz 3/Hal. 92) dalam “Kitabun-Nikah wath Thalaq, bab Tahrimu Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijaldan” dalam “Kitabul-Libas, bab Tahrimu Tasyabbuhir Rijal bin Nisa’ wa Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal” (Juz 4/Hal. 314)].


Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata “Syarhu Riyadhish Shalihin” (Juz 4/Hal. 288): “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dan perempuan di mana masing-masingnya Dia berikan keistimewaan. Laki-laki berbeda dengan wanita dalam penciptaan, watak, kekuatan, agama dan selainnya. Wanita demikian pula berbeda dengan laki-laki. Siapa yang berusaha menjadikan laki-laki seperti wanita atau wanita seperti laki-laki, berarti ia telah menentang Allah dalam qudrah dan syariat-Nya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmah dalam apa yang diciptakan dan disyariatkan-Nya. Karena inilah terdapat nash-nash yang berisi ancaman keras berupa laknat, yang berarti diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah, bagi laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita atau wanita yang tasyabbuh dengan laki-laki. Maka siapa saja di antara laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita, berarti ia mendapatkan laknat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula wanita yang tasyabbuh dengan laki-laki”.


Dari hadits yang telah lewat terdapat faedah, diantaranya:




  • Haromnya bagi laki-laki tasyabbuh dengan wanita atau sebaliknya wanita tasyabbuh dengan laki-laki.

  • Orang yang tasyabbuh dengan suatu kaum maka ia serupa dengan kaum tersebut

  • Hikmah dilaknatnya laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita dan wanita tasyabbuh dengan laki-laki, adalah karena mereka menyimpang dari sifat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka.

  • Menyerupai lawan jenis dengan sengaja haram hukumnya dengan adanya ijma’

  • Tasyabbuh termasuk dari dosa-dosa besar, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Dosa besar adalah semua perbuatan maksiat yang ditetapkan hukum had-nya di dunia atau diberikan ancaman di akhirat atau mendapatkan ancaman berupa sirnanya keimanan (pada pelakunya), mendapatkan laknat, atau semisalnya”. [“Fathul Bariy” (Juz 10/Hal. 345-346), (Juz 9/Hal. 406) dan Syarhu Riyadhish Shalihin” Juz 4/Hal. 288) “Mukhtashar Kitab Al-Kabair, Al-Imam Adz-Dzahabi” (hal. 7)].


PERBEDAAN  MUKHANNATS, MUTARAJJILAH DAN KHUNTSA


 


Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai wanita dalam tingkah laku, ucapan, dan gerakannya. [“Syarhu Shahih Muslim” (Juz 14/Hal. 163, “Fathul Bariy” (Juz 9/Hal. 404)].


Al-Mutarajjilah yaitu wanita yang menyerupai laki-laki dalam hal pakaian, penampilan, cara berjalan, dalam bicara, dan semisalnya. Bukan penyerupaan dalam IQ (kecerdasan) dan ilmu. Karena menyerupai laki-laki dalam masalah ini adalah terpuji, sebagaimana diriwayatkan bahwa IQ Aisyah Radhiallahu ‘anha seperti laki-laki. [“‘Aunul Ma’bud” (Juz 13/Hal. 189)].


Khuntsa yang dalam “Qamus Arab Al-Munjid” dimaknakan sebagai banci, waria, atau wandu. Istilah waria ini, secara medis sering disebut sebagai hermafrodit.


 


Adapun khunsa maka dia terdiri dari dua jenis:


Pertama: Khuntsa musykilah. Istilah ini dipahami adalah seseorang yang memiliki kelamin ganda [memiliki penis (dzakar) dan vagina (farji) sekaligus pada bagian luarnya] namun masih diragukan keberadaannya. (Lihat pembahasan ini dalam kitab Syaikhuna Abu Muhammad Abdul Wahhab Asy-Syamiriy –Hafizhahullah- yang berjudul “Al-Faaid fii Ilmil Faraid” pada “Pashlu Miiraatsil Khuntsaa Al-Musykili”).


Untuk menentukan jenis ini, patokannya adalah:


Secara fisik: Dilihat pada bentuk kelamin dalamnya. Jika di dalam tubuhnya terdapat rahim, ia dihukumi sebagai perempuan. Sebaliknya, jika pada kelamin dalam tidak ada rahim, ia dihukumi sebagai laki-laki.


Secara Tabiat: Apabila tanda-tanda masa baligh-nya tampak lebih dulu yang tabiat wanita seperti menstruasi, haid, istihadhah, dan yang lainnya, maka dia dihukum sebagai wanita. Namun apabila tanda-tanda masa baligh-nya lebih dulu tampak tabiat laki-laki maka dia dihukumi laki-laki.


Faedah:


Berkata Al-Imam Ibnu Mundzir –Rahimahullah- di dalam “Al-Ijma’” (Hal, 85 no. 327): Telah sepakat ulama bahwasanya khuntsa dia mendapat warisan dilihat dari kencingnya, jika dia itu kencingnya dari (saluran) kencingnya laki-laki maka dia mendapatkan warisan seperti laki-laki, dan bila dia kencingnya dari saluran kencingnya perempuan maka dia mendapatkan warisan seperti wairasan untuk perempuan”.


Berkata Syaikhuna Abu Muhammad Abdul Wahhab Asy-Syamiriy –Hafizhullah- di dalam “Al-Faaid fii Ilmil Faraid” (hal. 314): “Karena sesungguhnya keluarnya kencing termasuk paling umumnya tanda-tanda (untuk mengetahui jenisnya), karena tanda-tanda itu ada pada anak kecil, yang dewasa dan yang tua, dan seluruh tanda-tanda hanya di dapati setelah dewasa, contohnya tumbuhnya jenggot, keluarnya mani, haid dan hamil, oleh karena itu kencing termasuk paling kuatnya sebagai tanda (untuk menentukan jenisnya sebagai laki-laki atau perempuan).


Kedua: Khuntsa ghairu musykilah, yaitu seseorang yang sudah jelas dihukumi sebagai laki-laki namun menyerupai wanita dalam tingkah laku, ucapan, dan gerakannya  (yaitu mukhannats) atau dia sebagai perempuan yang menyerupai laki-laki dalam hal pakaian, penampilan, cara berjalan, cara bicara (yaitu Al-Mutarajjilah).


 


Bagaimana dengan seorang khuntsa musykilah (berkelamin ganda) apabila kelamin yang satunya (penis) dimasukan ke dalam kelamin yang lainnya (vagina) wajibkah ia mandi?


Yang pertama-tama yang perlu ditinjau adalah apabila dua khitan bertemu (masuknya ujung  penis ke dalam vagina) maka wajib mandi, baik mani keluar ataukah tidak keluar tetap wajib mandi, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. [Lihat “Al-Majmu’” (Juz 2/Hal. 149) dan “Al-Mughni” (Juz 1/Hal. 204)].


Adapun seorang khuntsa apabila ia memasukan kelamin yang satunya (penis) ke dalam kelamin yang lain (vagina), maka ia wajib mandi dengan syarat apabila kedua kelaminnya tersebut berfungsi (kedua-duannya bisa mengeluarkan air kencing). Dan ini adalah pendapat Al-Imam Al-Mawardi –Rahimahullah-.


 


 


WARIA ADALAH TERMASUK DOSA BESAR


 


Al-Imam Adz-Dzahabi Rahimahullahu dalam “Al-Kabair” hal. 145) memasukkan perbuatan tasyabbuh yang semisal waria (yang dimaksudkan waria di sini adalah seperti Khuntsa ghairu musykilah) termasuk sebagai salah satu perbuatan dosa besar.


Adapun hukuman bagi orang yang menjadi waria adalah mereka diusir dari rumah-rumah dan daerah tempat ia bermukim atau tidak bergaul dengan mereka sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qari [“‘Aunul Ma’bud”, (Juz 13/Hal. 189)]. telah lewat haditsnya juga disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita (mukhannats) dan wanita yang menyerupai laki-laki (mutarajjilah).


Dan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Keluarkan mereka dari rumah-rumah kalian”. Ibnu Abbas memberikan penjelasan: “Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengeluarkan Fulan (seorang mukhannats) dan Umar mengeluarkan Fulanah (seorang mutarajjilah)”. (HR. Al-Bukhari no. 5886).


Faedah dari hadits tersebut, diantaranya:




  • Disyariatkannya mengusir setiap orang yang akan menimbulkan gangguan terhadap manusia dari tempatnya sampai dia bertaubat. (Fathul Bariy” (Juz 10/Hal. 347).


Dari faedah tersebut merupakan bantahan terhadap orang-orang yang tidak mau menerima orang yang pernah terjatuh dalam maskiat seperti gay (liwath) walaupun orang tersebut sudah menyatakan taubatnya, siang dan malam berlinang air mata, hidupnya diwarnai dengan penyesalan dan kesedihan namun tetap diusir dan pengusiran yang dilakukan ini tidak hanya terjadi pada orang awam namun justru dilakukan oleh orang yang katanya memiliki ilmu. Dan lebih mengerikan lagi setelah mengusirnya diakhiri dengan dibuka aibnya di tempat berkumpulnya kaum muslimin. Wallahul musta’an.




  • Disyari’atkannya mengusir para waria yang sudah terjatuh pada perbuatan keji yang besar seperti mukhannats liwath atau mutarajjilah berbuat lesbian dengan sesama wanita sehingga keduanya saling menggosokkan kemaluannya, maka mereka mendapatkan laknat dan diusir seperti yang tersebut dalam hadits di atas. Namun bila sampai pada tingkatan demikian, mereka tidak hanya pantas mendapatkan laknat tapi juga hukuman yang setimpa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengeluarkan mukhannats dari rumah-rumah kaum muslimin agar perbuatan tasyabbuh-nya (dengan wanita) itu tidak mengantarkannya untuk melakukan perbuatan keji (liwath). [“Fathul Bariy” (Juz 10/Hal. 345)].


Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata: Ulama berkata: “Dikeluarkan dan diusirnya mukhannats ada tiga makna:


Pertama: Sebagaimana telah disebutkan pada hadits yang telah lewat, yaitu mukhannats tersebut disangka termasuk laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita tapi ternyata ia meiliki syahwat namun terselubung.


Kedua: Ia menggambarkan wanita, keindahan-keindahan mereka dan aurat mereka di hadapan laki-laki sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seorang wanita menggambarkan keindahan wanita lain di hadapan suaminya, lalu bagaimana bila hal itu dilakukan seorang lelaki di hadapan lelaki?


Ketiga: Tampak bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mukhannats ini bahwa dia mencermati tubuh dan aurat wanita dengan apa yang tidak dicermati oleh kebanyakan wanita. Terlebih lagi disebutkan dalam hadits selain riwayat Muslim bahwa mukhannats ini menggambarkan wanita dengan detail sampai-sampai ia menggambarkan kemaluan wanita dan sekitarnya, Wallahu a’lam”. (Syarhu Shahih Muslim” Juz 14/Hal. 164).


 


Dosakah bagi fa’il homoseks mengeluarkan mani maf’ul bih-nya dengan tanganya (atau istimna’/mansturbasi)?


Telah dimaklumi bahwa istimna’ adalah upaya seseorang mengeluarkan maninya dari alat kelaminnya dengan menggunakan tangan atau yang semisalnya, dan ini telah jelas keharomannya, dan tentu lebih harom lagi apabila ada orang lain yang mengeluarkan maninya (bukan istrinya), dalam hadits telah jelas larangan melihat aurat orang lain, lantas bagaimana kiranya apabila dipegang dan kemudian dipaksakan supaya air maninya tertumpahkan, tentu lebih utama lagi untuk dilarang (baca; harom). Dan melihat aurat orang lain sesama jenis atau selain jenis ini hukumnya adalah haram berdasarkan ijma’ `ulama, dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:


«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ».


“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain”.


Al-Imam An-Nawawy –Rahimahullah- dalam “Syarhu Shohih Muslim” berkata: Hadits ini adalah dalil tentang haramnya menyentuh aurat orang lain.


Maka lebih jelasnya berikut ini kami kutipkan fatwa-fatwa para ulama kita tentang haromnya istimna’:


Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya Tentang Onani:


Saya seorang pelajar muslim saya terjerat oleh kabiasaan onani (masturbasi). Saya terkalahkan oleh hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak lagi mengulanginya. Hanya saja, saya seringkali gagal. Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukan onani kembali. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima? Haruskah saya menqadha shalat? Lantas, apa hukum onani? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video”.


 


Beliau menjawab:


Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata:


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) [المؤمنون : 5 - 7]


“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (Al-Mu’minun: 5-7). Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran dan pengaruh syahwat.


Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:


«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ».


“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan pengaruh syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara: berpuasa bagi yang tidak mampu menikah, dan menikah bagi yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk menghilangkan pengaruh syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.


Wajib bagimu untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula kamu harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwatmu, sebagaimana yang sebutkan sebutkan bahwa kamu menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.


Seorang muslim semestinya menutup pintu-pintu kejelekan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada dirimu, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi kamu wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepadamu.


Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagimu. Perbuatan dosa yang kamu lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah kamu kerjakan. Jika kamu mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian setelah itu kamu melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan –kamu berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang kamu kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai syari’at, maka tidak akan gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang telah dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa. (“Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan” IV 273-274)].


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:


Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani)?”


Beliau menjawab: “Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) [المؤمنون : 5 - 7]


“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (Al-Mu’minun: 5-7).


Siapa saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat di atas.


Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:


«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ».


“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.


Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu tidak boleh.


Penelitian yang benarpun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada pikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan. (“Asilah Muhimmah Ajaba ‘Alaiha Ibnu Utsaimin” (hal. 9) disadur dari “Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram”).


Samahatu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya:


Ada seseorang yang berkata; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya?”


Beliau menjawab:


Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya:


وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) [المؤمنون : 5 - 7]


“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (Al-Mu’minun: 5-7).


Al-‘Adiy artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.


Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas; dan tidak diragukan lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.


Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan disaat syahwat bergejolak. Perbuatan ini tidak boleh ia lakukan, karena mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para dokter kesehatan.


Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajibanmu, wahai penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya.


Maka ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:


«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ».


“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”.


Didalam hadits ini beliau tidak mengatakan: “Barangsiapa yang belum mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi beliau mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”


Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu:


Pertama: Segera menikah bagi yang mampu.


Kedua: Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan. Maka hendaklah kalian wahai pemuda, beretika dengan etika agama dan bersungguh-sungguh didalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.


Menikah itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya: “Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid (pejuang) di jalan Allah”. [“Fatawa Syaikh Bin Baz” yang dimuat di “Majalah Al-Buhuts” (edisi 26 hal 129-130), disadur dari “Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram”].


Dosakah bagi fa’il homoseks melakukan oral kepada maf’ul bih-nya?


Tentang masalah ini diharomkannya karena keumuman larangan melihat aurat sesama jenis apalagi sampai memasukan penis- maf’ul-nya kedalam  mulut, Dan melihat aurat orang lain sesama jenis atau selain jenis ini hukumnya adalah haram berdasarkan ijma’ `ulama, dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:


«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ».


“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan wanita lain”.


Al-Imam An-Nawawy –Rahimahullah- dalam “Syarhu Shohih Muslim” berkata: Hadits ini adalah dalil tentang haramnya menyentuh aurat orang lain.


Adapun seorang istri yang memasukan penis suaminya ke dalam mulutnya ada dua pendapat:


Pendapat pertama: Boleh, dan ini adalah pendapat yang disandarkan ke Al-Imam Al-Wadi’iy –Rahimahullah-.


Pendapat Kedua: Harom, dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama Saudi Arabia mereka mengharamkan perbuatan ini, ini dapat dilihat dari fatwa-fatwa berikut:


 


Apa hukum oral seks?


Jawab:




  • Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi -Rahimahullah- menjawab sebagai berikut: “Adapun isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral sex), maka ini adalah haram, tidak dibolehkan. Karena ia (kemaluan suami) dapat memencar. Kalau memencar maka akan keluar darinya air madzy yang dia najis menurut kesepakatan (ulama’). Apabila (air madzy itu) masuk ke dalam mulutnya lalu ke perutnya maka boleh jadi akan menyebabkan penyakit baginya. Dan Asy-Syaikh Ibnu Baz -Rahimahullah telah berfatwa tentang haramnya hal tersebut –sebagaimana yang saya dengarkan langsung dari beliau-”.


Dan dalam “Masa`il Nisa’iyyah Mukhtarah Min Al-`Allamah Al-Albany” karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi (hal. 197) (cet. Majalisul Huda AI¬Jaza’ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany Rahimahullah ditanya sebagai berikut: “Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan (penis) suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?” Beliau menjawab: “Ini adalah perbuatan sebagian binatang, seperti anjing. Dan kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan beliau turun (sujud) seperti turunnya onta, dan menoleh seperti tolehan srigala dan mematuk seperti patukan burung gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa Nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan -sebagai penguat yang telah lalu-, apalagi hewan yang telah diketahui kejelekan tabiatnya. Maka seharusnya seorang muslim -dan keadaannya seperti ini- merasa tinggi untuk menyerupai hewan-hewan”.


TANGGAPAN DARI YANG TEGAK DIANTARA DUA KHILAF


Sebagian orang ada yang bertanya-tanya tentang masalah ini, dengan melontarkan beberapa pertanyaan: Kalau diharomkannya karena madzy, dan telah kita ketahui kalau madzi itu najis, maka bagaimana kalau seseorang yang melakukannya menjaga jangan sampai madzy tertumpahkan dalam mulut (tidak sampai ditumpahkan dalam mulut), apakah juga harom? Anggaplah benar kalau madzy itu akan mengakibatkan penyakit apabila masuk pada mulut atau tertelan lalu bagaimana kalau ia masuk ke dalam rahim, bukankah (kalau benar itu membawa penyakit) akan memberikan dua kerugian sekaligus, pada si wanita, juga pada janin yang ada di dalam rahim akan terkena penyakit pula? Juga dimaklumi kalau tindakan menyamakan (tasyyabbuh) sebagai suatu perkara yang harom, namun demikian juga apabila menyerupakannya dengan perilaku binatang, benarkah binatang melakukan ‘oral seks’?, jika sekadar kalau binatang yang jantan menjilat alat kelamin hewan betina ini benar, namun yang betina memasukan alat kelamin jantan ke dalam mulutnya adalah mustahil?  Adakah binatang yang melakukannya? Kalau anjing jantan yang mencium alat kelamin betina memang benar ada, namun apakah yang anjing betina ada yang menghisap (memasukan) kelamin jantan ke mulutnya? Disisi lain binatang seperti kera yang jantan juga sanggup melihat alat kelamin betina dan memegangnya. Maka dari itu adakah melihat alat kelamin (farji) wanita harom? Dan bagaimana kalau memegangnya apakah juga harom? Bukankah ini keserupaan dengan kera?


Dari pertanyaan tersebut menjadikan kami untuk tidak bisa mengatakan bahwa oral sex itu harom atau mubah, karena ada dalil yang membuat kami untuk tegak diantara dua khilaf, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud, dia berkata: “Dahulu Rasulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bercumbu dengan istrinya yang sedang haid, sementara istrinya memakai kain (menutupi qubul dan duburnya-pent).” Juga hadits dari Aisyah: “Dahulu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannku (memakai kain untuk menutupi qubul dan dubur-pent), kemudian aku memakainya, lalu beliau bercumbu denganku sedangkan aku dalam keadaan haid” dan juga dipertegas dengan perkataan Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:


«اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ».


“Kerjakanlah oleh kalian segala sesuatu kecuali jima’”. (HR. Muslim dari Anas bin Malik). Ditambah lagi keterangan dari Al-Imam An-Nawawi –Rahimahullah-: Adapun bermesraan pada anggota tubuh selain antara pusar dan lutut, adalah halal hukumnya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin”. (“Al-Majmu’” Juz 1/Hal. 366)].


Dari hadits-hadits dan penjelasan tersebut pengecualiannya hanya antara pusar dan lutut masuk di dalamnya qubul dan dubur, ditambah lagi tentang larangan pada dubur ada hadits khusus yang menunjukkan keharoman jima’ pada dubur (anal sex). Adapun tentang masalah oral sex maka “tidak adanya dalil” yang jelas tentang larangannya, juga tidak ada hukum lain yang menyertainya, padahal dalam masalah fiqih dalam Islmi telah ada kaidah syar’iyah “Bahwa suatu hukum ada, karena bersama (yang lain) dan tidak ada, karena berdiri sendiri (tidak bersama yang lain).”


Yang membuat kami untuk tetap tegak diantara dua khilaf, karena jika kami memililih pendapat bahwa oral sex adalah boleh, maka kami tidak tahu apakah ada ulama dari ahlussunnah yang menyatakan demikian? Walaupun telah ada dari sebagian ikhwah menyampaikan kepada kami bahwa Al-Imam Al-Wadi’iy –Rahimahullah- berpendapat boleh, namun mengingat kami masih simpangsiur apakah benar Al-Imam Al-Wadi’iy –Rahomahullah- berpendapat demikian? Dan dari mana sumber fatwanya jika pendapat itu benar pendapatnya?.


Apakah orang yang melakukan oral sex wajib mandi ketika akan sholat?


Al-Imam Asy-Syafi’i –Rahimahullah- dalam kitab “Al-Umm” berkata: Kalau seandainya alat kelamin laki-laki dimasukan ke dalam mulut (oral sex), atau di telinga, ketiak, atau kedua pantat seorang wanita (bukan pada dubur- pent) dan tidak keluar mani maka tidak wajib mandi.


Dari keterangan tersebut Al-Imam Asy-Syafi’i memberikan isyarat tentang masalah oral sex, hanya saja tidak beliau terangkan tentang hokum oral sex.

Artikel Terbaru

Popular Posts