Selasa, 31 Juli 2012


  1. I.                    Fadhilah (Keutamaan)


Shalat Tarawih memiliki keutamaan dan ganjaran yang besar, sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai hadits shahih, yakni di antaranya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Malik, Al Muwaththa’, Kitab An Nida Lish Shalah Bab At Targhib Fi Ash Shalah fi Ramadhan, Juz. 1, Hal. 338, No hadits. 230. Bukhari, Kitab Al Iman Bab Tathawwu’ Qiyam Ramadhan minal Iman, Juz. 1, Hal. 65, No hadits. 36. Muslim, Kitab Shalah Al Musafirin wa Qashruha Bab At Targhib fi Qiyam  Ramadhan wa Huwa at Tarawih, Juz. 4, hal. 144, No hadits. 1266. Dan diriwayatkan oleh imam lainnya. Al Maktabah Asy Syamilah)

Hadits lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ


عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dia bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam ketika lailatul qadar karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari, Kitab Ash Shaum Bab Man Shama Ramadhan Imanan wa Ihtisaban wa Niyah, Juz. 6, Hal. 468, No hadits. 1768. HR. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab At targhib fi Qiyamir Ramadhan, Juz. 4, Hal. 146, No hadits. 1268. Dan diriwayatkan oleh imam lainnya. Al Maktabah Asy Syamilah)

Mengomentari hadits di atas, Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

أَنْ يُقَال قِيَام رَمَضَان مِنْ غَيْر مُوَافَقَةِ لَيْلَة الْقَدْر وَمَعْرِفَتهَا سَبَب لِغُفْرَانِ الذُّنُوب ، وَقِيَام لَيْلَة الْقَدْر لِمَنْ وَافَقَهَا وَعَرَفَهَا سَبَب لِلْغُفْرَانِ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ غَيْرهَا


“Bahwa dikatakan, shalat malam pada bulan Ramadhan yang tidak bertepatan dengan lailatul qadar dan tidak mengetahuinya, merupakan sebab diampunya dosa-dosa. Begitu pula shalat malam pada bulan Ramadhan yang bertepatan dan mengetahui lailatul qadar, itu merupakan sebab diampuni dosa-dosa, walau pun dia tidak shalat malam pada malam-malam lainnya.” (Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab At targhib fi Qiyamir Ramadhan Juz. 3, Hal. 103, pembahasan hadits no. 1268. Al Maktabah Asy Syamilah)



Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi Rahimahullah berkata dala kitabnya, ‘Aunul Ma’bud:

( إِيمَانًا ) : أَيْ مُؤْمِنًا بِاللَّهِ وَمُصَدِّقًا بِأَنَّهُ تَقَرُّب إِلَيْهِ ( وَاحْتِسَابًا ) : أَيْ مُحْتَسِبًا بِمَا فَعَلَهُ عِنْد اللَّه أَجْرًا لَمْ يَقْصِد بِهِ غَيْره


                “(Dengan keimanan) maksudnya adalah dengan keimanan kepada Allah, dan meyakini bahwa hal itu merupakan taqarrub kepada Allah Ta’ala. (Ihtisab) maksudnya adalah mengharapkan bahwa apa yang dilakukannya akan mendapat pahala dari Allah, dan tidak mengharapkan yang lainnya.” (‘Aunul Ma’bud, Juz. 3, hal. 309, pembahasn hadits no. 1164. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Begitu pula yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar al Asqalani Rahimahullah:

 

وَالْمُرَاد بِالْإِيمَانِ الِاعْتِقَاد بِحَقِّ فَرْضِيَّةِ صَوْمِهِ ، وَبِالِاحْتِسَابِ طَلَب الثَّوَابِ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى


                 “Yang dimaksud ‘dengan keimanan’ adalah keyakinan dengan benar terhadap kewajiban puasanya, dan yang dimaksud dengan ‘ihtisab’ adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala.” (Fathul Bari, Juz. 6, Hal. 138. Al Maktabah Asy Syamilah)



II.                    Hukumnya



Hukum shalat tarawih adalah sunah bagi muslim dan muslimah, dan itu merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama sejak dahulu. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

 

 

وَاجْتَمَعَتْ الْأُمَّة أَنَّ قِيَام رَمَضَان لَيْسَ بِوَاجِبٍ بَلْ هُوَ مَنْدُوب


                “Umat telah ijma’ bahwa qiyam ramadhan (tarawih) tidaklah wajib, melainkan sunah.” (Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab At targhib fi Qiyamir Ramadhan wa Huwa tarawih, Juz. 3, hal. 102, pembahasan hadits no.  1267. Imam Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 3, Hal. 309, pembahasan hadits no. 1164. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Sunahnya tarawih, karena tak lain dan tak bukan adalah ia merupakan tahajudnya manusia pada bulan Ramadhan, oleh karena itu ia disebut Qiyam Ramadhan, dan istilah tarawih baru ada belakangan. Sedangkan tahajjud adalah sunah (mustahab/ mandub/ tathawwu’/nafilah).

 

                Allah Ta’ala berfirman:

 

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ


                “Dan pada sebagian malam, lakukanlah tahajjud sebagai nafilah (tambahan) bagimu.” (QS. Al Isra’ (17): 79)

 

                Imam Qatadah Radhiallahu ‘Anhu berkata tentang maksud ayat “ nafilah bagimu”:

 

تطوّعا وفضيلة لك.


                “Sunah dan keutamaan bagimu.” (Imam Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Al Quran, Juz. 17, Hal. 526. Al Maktabah Asy Syamilah)



III.                Waktu Pelaksanaannya

 

Shalat Tarawih dilaksanakan setelah Isya dan sebelum witir, boleh dilaksanakan setelah witir tetapi tidak afdhal dan terus berlanjut hingga akhir malam.

        Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

 

قيام رمضان أو صلاة التراويح  سنة الرجل والنساء  تؤدى بعد صلاة العشاء.


وقبل الوتر ركعتين ركعتين، ويجوز أن تؤدى بعده ولكنه خلاف الافضل، ويستمر وقتها إلى آخر الليل.


 

        “Qiyam Ramadhan atau shalat Tarawih adalah sunah bagi laki-laki dan wanita, ditunaikan setelah shalat Isya sebelum witir dua rakaat dua rakaat, dan boleh dilaksanakan setelah witir tetapi itu tidak afdhal, dan waktunya terus berlangsung hingga akhir malam.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 206. Al Maktabah Asy Syamilah)



        Pada halaman lain dia juga berkata:

 

 

صلاة الليل تجوز في أول الليل ووسطه وآخره ما دامت الصلاة بعد صلاة العشاء.


 

        “Shalat malam boleh dilakukan pada awal malam, pertengahan dan akhirnya, selama dilakukan setelah shalat Isya’.” (Ibid, Juz. 1, hal. 203. Al Maktabah Asy Syamilah)



        Dalilnya adalah:

 

عَنْ أَنَسٍ قَالَ


مَا كُنَّا نَشَاءُ أَنْ نَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلِ مُصَلِّيًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ وَلَا نَشَاءُ أَنْ نَرَاهُ نَائِمًا إِلَّا رَأَيْنَاه

 

        Dari Anas, beliau berkata: “Kapan saja kami ingin melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada malam hari, di saat itu pastilah kami melihatnya, dan kapan saja kami ingin melihat tidurnya, pastilah kami juga melihatnya.” (HR. An Nasa’i, Kitab Qiyamul lail wa Tathawwu’ an Nahar Bab Dzikri Shalah Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam fill Lail, Juz. 6 Hal. 104, No hadits. 1609. Ahmad, Juz. 24, Hal. 120, No hadits. 11574. Syaikh Al Albany mengatakan: Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, Juz. 4, Hal. 271, no. 1627. Al Maktabah Asy Syamilah)



        Riwayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengkhususkan waktu tertentu pada malam hari untuk Qiyamul lail. Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah mengomentari hadits di atas:

 

أَيْ أَنَّ صَلَاته وَنَوْمه مَا كَانَا مَخْصُوصَيْنِ بِوَقْتٍ دُون وَقْت بَلْ كَانَا مُخْتَلِفَيْنِ فِي الْأَوْقَات وَكُلّ وَقْت صَلَّى فِيهِ أَحْيَانًا نَامَ فِيهِ أَحْيَانًا وَاَللَّه تَعَالَى أَعْلَمُ .


 

        “Yaitu bahwa Shalat dan tidurnya, tidaklah keduanya memiliki waktu khusus, melainkan pada waktu berlainan, dan pada setiap waktu kadang-kadang dia shalat, kadang-kadang beliau tidur. Wallahu A’lam. “ (Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, Syarh Sunan An Nasa’i, Juz. 3, Hal. 79, pembahasan hadits no. 1609. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

        Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menambahkan:

 

قال الحافظ: لم يكن لتهجده صلى الله عليه وسلم وقت معين بل بحسب ما يتيسر له القيام.


        “Berkata Al hafizh (yakni Imam Ibnu Hajar, pen), bahwa shalat tahajud Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah memiliki ketentuan waktu khusus, beliau mengerjakannya selama  waktunya lapang untuk Qiyamul lail.” (Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 203 Al Maktabah Asy Syamilah)



IV.                Boleh Berjamaah atau Sendiri



Shalat terawih dapat dilakukan berjamaah atau sendiri, keduanya pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

 

Berkata Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

 

قيام رمضان يجوز أن يصلى في جماعة كما يجوز أن يصلى على انفراد، ولكن صلاته جماعة في المسجد أفضل عند الجمهور.

“Qiyam Ramadhan boleh dilakukan secara berjamaah sebagaimana boleh pula dilakukan secara sendiri, tetapi dilakukan secara berjamaah adalah lebih utama menurut pandangan jumhur (mayoritas) ulama.” (Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 207. Al Maktabah Asy Syamilah)



Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di masjid, lalu manusia mengikutinya, keesokannya shalat lagi dan manusia semakin banyak, lalu pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak keluar bersama mereka, ketika pagi hari beliau bersabda:

 

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ


“Aku melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar menuju kalian melainkan aku khawatir hal itu kalian anggap kewajiban.” Itu terjadi pada bukan Ramadhan. (HR. Malik, Al Muwaththa’, Kitab An Nida Lis Shalah Bab At Targhib fish Shalah fi Ramadhan, Juz. 1, Hal. 337, No hadits. 229. Bukhari, Kitab Al Juma’ah Bab  Tahridh AN Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ‘ala Shalah al lail …., Juz. 4, Hal. 290, No hadits. 1061. Muslim,  Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab At targhib fi Qiyamir Ramadhan , Juz. 4 Hal. 148, No hadits. 1270. Abu Daud, Kitab Ash Shalah Bab Fi Qiyami Syahri Ramadhan, Juz. 4 Hal. 137, No hadits. 1166. Al Maktabah Asy Syamilah)



Riwayat ini menunjukkan bahwa shalat tarawih dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  secara berjamaah. Pada hari ketiga atau keempat beliau tinggalkan, bukan karena mengingkari berjamaahnya melainkan khawatir para sahabat saat itu menganggapnya wajib.

 

Dalam Al Muntaqa  Syarh Al Muwathatha’ disebutkan:

 

وَقَوْلُهُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا فِي اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ وَالرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ لَا يَدُلُّ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ ذَلِكَ لِإِقْرَارِهِ لَهُمْ فِي اللَّيْلَتَيْنِ المتقدمتين عَلَيْهِ وَلَا يَدُلُّ عَلَى النَّسْخِ لِأَنَّهُ عَلَّلَ امْتِنَاعَهُ مِنْ الْخُرُوجِ فَإِنَّهُ خَشِيَ أَنْ يُفْرَضَ عَلَيْهِم


          “Kalimat yang berbunyi, ‘lalu pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak keluar bersama mereka’ tidaklah menunjukkan bahwa berjamaah itu terlarang, sebab hal itu sudah mereka lakukan dua malam sebelumnya, dan ini juga tidak menunjukkan telah terjadi nasakh (revisi), sebab telah disebutkan bahwa penyebab tercegahnya Rasulullah keluar adalah karena beliau khawatir hal itu  mereka sangka diwajibkan atas mereka.” (Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, Juz. 1, Hal. 262, pembahasan hadits no.  229. Al Maktabah Asy Syamilah)

               

               

 

 

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

 

فَفِيهِ : جَوَاز النَّافِلَة جَمَاعَة ، وَلَكِنَّ الِاخْتِيَار فِيهَا الِانْفِرَاد إِلَّا فِي نَوَافِل مَخْصُوصَة وَهِيَ : الْعِيد وَالْكُسُوف وَالِاسْتِسْقَاء وَكَذَا التَّرَاوِيح عِنْد الْجُمْهُور كَمَا سَبَق


                “Dalam hadits ini, menunjukkan bolehnya shalat nafilah dilakukan berjamaah, tetapi lebih diutamakan adalah sendiri, kecuali shalat-shalat nafilah tertentu (yang memang dilakukan berjamaah, pen) seperti: shalat ‘Ied, shalat gerhana, shalat minta hujan, demikian juga tarawih menurut pandangan jumhur, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.” (Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab At targhib fi Qiyamir Ramadhan wa Huwa Tarawih, Juz. 3 Hal. 105, pembahasan hadits no. 1270. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Di dalam sejarah, sejak saat itu, manusia melakukan shalat tarawih sendiri-sendiri, hingga akhirnya pada zaman Umar Radhiallahu ‘Anhu, dia melihat manusia shalat tarawih sendiri-sendiri dan semrawut, akhirnya dia menunjuk Ubay bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu untuk menjadi imam shalat tarawih mereka, lalu Umar berkata:

 

نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ


        “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari, Kitab Shalah At Tarawih Bab Fadhli Man Qaama Ramadhan,  Juz. 7, Hal. 135, No hadits. 1871. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

V.                   Jumlah Rakaat



Masalah jumlah rakaat shalat tarawih sejak dahulu telah menjadi polemik hingga hari ini. Antara yang menganjurkan 8 rakaat dengan 3 rakaat witir, atau 20 rakaat dengan 3 rakaat witir, bahkan ada yang lebih dari itu. Manakah yang sebaiknya kita jadikan pegangan? Ataukah semuanya benar, karena memang tak ada ketentuan baku walau pun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepanjang hidupnya hanya melaksanakan 11 rakaat? Dan apakah yang dilakukan oleh nabi tidak berarti wajib, melainkan hanya contoh saja?

 

Tarawih Pada Masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam



                Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة


            “Bahwa Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. Bukhari, Kitab Shalah At Tarawih Bab Fadhli Man Qaama Ramadhan, Juz. 7 Hal. 138, no hadits. 1874. Muslim, Kitab Ash Shalah Al Musafirin wa Qashruha Bab Shalatil Laili wa ‘Adadi Raka’at …,  Juz. 4, hal. 89, No hadits. 1219. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

 

جاء أبي بن كعب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إن كان مني الليلة شيء يعني في رمضان ، قال : « وما ذاك يا أبي ؟ » ، قال : نسوة في داري ، قلن : إنا لا نقرأ القرآن فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثمان ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ولم يقل شيئا


                Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, semalam ada peristiwa pada diri saya (yaitu pada bulan Ramadhan).” Rasulullah bertanya: “Kejadian apa itu Ubay?”, Ubay menjawab: “Ada beberapa wanita di rumahku, mereka berkata: “Kami tidak membaca Al Quran, maka kami akan shalat bersamamu.” Lalu Ubay berkata: “Lalu aku shalat bersama mereka sebanyak delapan rakaat, lalu aku witir,” lalu Ubay berkata:  “Nampaknya nabi ridha dan dia tidak mengatakan apa-apa.”  (HR. Abu Ya’la, Juz. 4, Hal. 369, No hadits. 1761. Imam Al Haitsami mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 74. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Dari keterangan dua hadits di atas, kita bisa mengetahui bahwa shalat tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup adalah delapan rakaat, dan ditambah witir, dan tidak sampai dua puluh rakaat. Oleh karena itu Syaikh Sayyid Sabiq berkomentar:

 

هذا هو المسنون الوارد عن النبي صلى الله عليه وسلم ولم يصح عنه شئ غير ذلك


                “Inilah sunah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak ada sesuatu pun yang shahih selain ini.” (Fiqhus Sunnah, Juz. 1, hal. 206. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Imam Ibnu Hajar al Asqalani berkata:

               

وَأَمَّا مَا رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاسٍ " كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَان عِشْرِينَ رَكْعَة وَالْوِتْرَ " فَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ ، وَقَدْ عَارَضَهُ حَدِيثُ عَائِشَة هَذَا الَّذِي فِي الصَّحِيحَيْن




            “Dan ada pun  yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari hadits Ibnu Abbas, “Bahwa dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan ditambah witir” maka sanadnya dha’if, dan telah bertentangan dengan hadits dari ‘Aisyah yang terdapat dalam shahihain (Bukhari dan Muslim).” (Fathul Bari, Juz. 6 Hal. 295, pembahasan hadits no. 1874. Imam Al Haitsami juga mengatakan: Dhaif. Lihat Majma’ Az Zawaid, Juz. 3, Hal. 172. Al Maktabah Asy Syamilah)

               

                Demikian keadaan shalat Tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup.

 

Tarawih Pada masa Sahabat Radhiallahu ‘Anhum dan generasi setelahnya

 

                Pada masa sahabat, khususnya sejak masa khalifah Umar bin Al Khathab Radhilallahu ‘Anhu dan seterusnya, manusia saat itu melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat.

 

وصح أن الناس كانوا يصلون على عهد عمر وعثمان وعلي عشرين ركعة، وهو رأي جمهور الفقهاء من الحنفية والحنابلة وداود، قال الترمذي: وأكثر أهل العلم على ما روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم عشرين ركعة، وهو قول الثوري وابن المبارك والشافعي، وقال: هكذا أدركت الناس بمكة يصلون عشرين ركعة



                “Dan telah shah, bahwa manusia shalat pada masa Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan itulah pendapat jumhur (mayoritas) ahli fiqih dari kalangan Hanafi, Hambali, dan Daud. Berkata At Tirmidzi: ‘Kebanyakan ulama berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar dan Ali, dan selain keduanya dari kalangan sahabat nabi yakni sebanyak 20 rakaat. Itulah pendapat Ats Tsauri, Ibnul Mubarak. Berkata Asy Syafi’i: “Demikianlah, aku melihat manusia di Mekkah mereka shalat 20 rakaat.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1 hal. 206. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Imam Ibnu Hajar menyebutkan:

               

وَعَنْ يَزِيد بْن رُومَانَ قَالَ " كَانَ النَّاس يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَر بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ " وَرَوَى مُحَمَّد بْن نَصْر مِنْ طَرِيق عَطَاء قَالَ " أَدْرَكْتهمْ فِي رَمَضَان يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَة وَثَلَاثَ رَكَعَاتِ الْوِتْر "


            “Dari Yazid bin Ruman, dia berkata: “Dahulu manusia pada zaman Umar melakukan  23 rakaat.” Dan Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Atha’, dia berkata: “Aku berjumpa dengan mereka pada bulan Ramadhan, mereka shalat 20 rakaat dan tiga rakaat witir.” (Fathul Bari, Juz. 6, Hal. 292, pembahasan hadits no. 1871. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

                Beliau melanjutkan:

وَرَوَى مُحَمَّد اِبْن نَصْر مِنْ طَرِيق دَاوُدَ بْن قَيْس قَالَ " أَدْرَكْت النَّاس فِي إِمَارَة أَبَانَ بْن عُثْمَان وَعُمْر بْن عَبْد الْعَزِيز - يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ - يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ " وَقَالَ مَالِك هُوَ الْأَمْرُ الْقَدِيمُ عِنْدَنَا . وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ " رَأَيْت النَّاس يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّة بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ، وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ "



                Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari jalur Daud bin Qais, dia berkata: “Aku menjumpai manusia pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz –yakni di Madinah- mereka shalat 39 rakaat dan ditambah witir tiga rakaat.” Imam Malik berkata,”Menurut saya itu adalah perkara yang sudah lama.” Dari Az Za’farani, dari Asy Syafi’i: “Aku melihat manusia shalat di Madinah 39 rakaat, dan 23 di Mekkah, dan ini adalah masalah yang lapang.” (Ibid)

 

                Sementara itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengomentari Tarawih-nya Ubay bin Ka’ab yang 20 rakaat, beliau berkata:

 

فَرَأَى كَثِيرٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ ؛ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ بَيْن الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ . وَاسْتَحَبَّ آخَرُونَ : تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ؛ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الْقَدِيمِ .



                “Kebanyakan ulama berpendapat bahwa itu adalah sunah, karena itu ditegakkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada yang mengingkarinya. Sedangkan ulama lainnya menyunnahkan 39 rakaat, lantaran itu adalah perbuatan penduduk Madinah yang telah lampau.” (Majmu’ al Fatawa, Juz. 5, Hal. 280. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Lalu, yang lebih baik dari semua ini? Imam Ibnu Taimiyah berkata:

 

وَالصَّوَابُ أَنَّ ذَلِكَ جَمِيعَهُ حَسَنٌ كَمَا قَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَحْمَد رَضِيَ اللَّهُ عَنْه


                “Yang benar adalah bahwa itu semua adalah baik, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Ahmad Radhiallahu ‘Anhu.” (Ibid)

 

                Telah masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat, demikian keterangannya:

 

وذهب مالك الى أن عددها ست وثلاثون ركعة غير الوتر.


قال الزرقاني: وذكر ابن حبان أن التراويح كانت أولا إحدى عشرة ركعة، وكانوا يطيلون القراءة فثقل عليهم فخففوا القراءة وزادوا في عدد الركعات فكانوا يصلون عشرين ركعة غير الشفع والوتر بقراءة متوسطة، ثم خففوا القراءة وجعلوا الركعات ستا وثلاثين غير الشفع والوتر، ومضى الامر على ذلك.


                “Dan madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat belum termasuk witir. Berkata Imam Az Zarqani: ‘Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih dahulunya adalah sebelas rakaat, mereka membaca surat yang panjang dan itu memberatkan bagi mereka, lalu mereka meringankan bacaan namun menambah rakaat, maka mereka shalat 20 rakaat belum termasuk witir dengan bacaan yang sedang-sedang, kemudian mereka meringankan lagi bacaannya dan rakaatnya menjadi 39 rakaat belum termasuk witir, dan perkara ini telah berlangsung sejak lama.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1 hal. 206, cat kaki no. 2. Al Maktabah Asy Syamilah)

 

            Jadi, para imam ini, tidak mempermasalahkan banyak sedikitnya rakaat. Namun mereka melihat pada esensinya yakni ketenangan dan kekhusyu’an. Jika mereka ingin membaca surat yang panjang, mereka menyedikitkan jumlah rakaat, jika mereka memendekkan bacaan, maka mereka memperbanyak jumlah rakaat.

 

                Berkata Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu:

 

إِنْ أَطَالُوا الْقِيَامَ وَأَقَلُّوا السُّجُودَ فَحَسَنٌ ، وَإِنْ أَكْثَرُوا السُّجُود وَأَخَفُّوا الْقِرَاءَةَ فَحَسَنٌ ، وَالْأَوَّل أَحَبُّ إِلَيَّ




                “Sesungguhnya mereka memanjangkan berdiri dan menyedikitkan sujud maka itu baik, dan jika mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga baik, dan yang pertama lebih aku sukai.” (Fathul Bari, Juz. 6, Hal. 292, pembahasan hadits no. 1871. Al Maktabah Asy Syamilah)



Tata Cara Pelaksanaannya



                Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:


                مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي


“Bahwa Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya. Beliau shalat empat rakaat dan jangan tanya betapa bagus dan panjangnya beliau shalat kemudian beliau shalat lagi empat rakaat dan jangan tanya betapa bagus dan panjangnya beliau shalat, kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur dahulu sebelum witir?” beliau menjawab: ‘Wahai ‘Aisyah sesungguhnya mataku tertidur, tetapi hatiku tidak.” (HR. Bukhari, Kitab Shalah At Tarawih Bab Fadhli Man Qaama Ramadhan, Juz. 7 Hal. 138, no hadits. 1874. Muslim, Kitab Ash Shalah Al Musafirin wa Qashruha Bab Shalatil Laili wa ‘Adadi Raka’at …,  Juz. 4, hal. 89, No hadits. 1219. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Dari hadits ini bisa diketahui bahwa, beliau melaksanakan shalat malam dengan cara empat rakaat, empat rakaat dan tiga rakaat witir. Imam Bukhari meletakkan hadits ini dalam pembahasan Shalat Tarawih.

 

                Namun lebih masyhur adalah dilakukan dua rakaat dua rakaat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang shalat malam:

 

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَيْهِ السَّلَام صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى


          Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat.” (HR. Bukhari, Kitab Al Jum’ah Bab Ma Ja’a fil Witri,  Juz.4 Hal. 71, No hadits. 936. Muslim, Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha Bab Shalatil Laili Matsna Matsna …., Juz. 4, Hal. 112, No hadits. 1239. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Hadits ini menunjukkan bahwa shalat malam itu, termasuk tarawih, dilakukan dua rakaat dua rakaat (matsna matsna).

 

               

 

 

 

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

 

هَذَا الْحَدِيث مَحْمُول عَلَى بَيَان الْأَفْضَل وَهُوَ أَنْ يُسَلِّم مِنْ كُلّ رَكْعَتَيْنِ ، وَسَوَاء نَوَافِل اللَّيْل وَالنَّهَار يُسْتَحَبّ أَنْ يُسَلِّم مِنْ كُلّ رَكْعَتَيْنِ ، فَلَوْ جَمَعَ رَكَعَات بِتَسْلِيمَةٍ أَوْ تَطَوُّع بِرَكْعَةٍ وَاحِدَة جَازَ عِنْدنَا .




“Hadits ini mengandung arti penjelasan tentang lebih utamanya bersalam pada setiap dua rakaat, sama saja baik nafilah pada malam dan siang hari, disukai untuk salam pada setiap dua rakaat, namun seandainya menggabungkan semua rakaat dengan satu salam atau disukai dengan satu rakaat saja, maka itu boleh menurut kami (madzhab syafi’i).” (Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim, Juz.3, Hal. 89, No hadits. 1239. Al Maktabah Asy Syamilah)



VI.                  Shalat Witir

               

Makna, Hukum, dan keutamaannya



Maknanya adalah ganjil, dan hukumnya sunah mu’akkadah bagi muslim dan muslimah. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

 

قَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ إِنَّ الْوِتْرَ لَيْسَ بِحَتْمٍ وَلَا كَصَلَاتِكُمْ الْمَكْتُوبَةِ وَلَكِنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْتَرَ ثُمَّ قَالَ يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْر


 

                “Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya Witir bukanlah kewajiban seperti shalat wajib kalian tetapi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat witir, kemudian beliau bersabda: “Wahai Ahli Al Quran, berwitirlah kalian karena Allah itu witir (ganjil/Maha Esa) dan mencintai yang ganjil.” (HR. Ibnu Majah, Kitab Iqamah Ash Shalah wa Sunah fiha Bab Ma Ja’a fil Witri, Juz. 4, Hal. 5 No hadits. 1159. Abu Daud, Kitab Ash Shalah Bab Istihabab Al Witr, Juz. 4, Hal. 199, No hadits. 1207. Syaikh Al Albany mengatakan: Shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Juz. 3, hal. 416. Al Maktabah Asy Syamilah)



                Dalam hadits di atas, ada tiga pelajaran, pertama, yaitu keutamaan witir, yang merupakan shalat yang disukai oleh Allah Ta’ala. Kedua, ditegaskan bahwa shalat witir bukanlah wajib. Ini membantah pendapat Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa shalat witir adalah wajib. Ketiga, makna witir yaitu ganjil.

 

                Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وما ذهب إليه أبو حنيفة من وجوب الوتر فمذهب ضعيف. قال ابن المنذر: لا أعلم أحدا وافق أبا حنيفة في

Sabtu, 28 Juli 2012

Allah berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ

"Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44)

Penjelasan mufradat ayat:

الْكَافِرُوْنَ Asal makna kufur adalah menutupi sesuatu. Dikatakan petani itu "kafir" karena dia menutupi biji (dengan tanah) dan dinamakan malam dengan "kafir" karena ia menutupi segala sesuatu (dengan kegelapan). Pengertian kufur secara bahasa ini seperti yang terdapat dalam Surat Al-Hadid ayat 20. Adapun makna secara istilah syar'i adalah bahwa kekafiran itu terbagi menjadi dua:
a. Kufur Akbar yaitu yang menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka.
b. Kufur Ashgar yaitu kekafiran yang menyebabkan pelakunya berhak mendapatkan ancaman tanpa dikekalkan (dalam neraka). (Al-Qaulul Mufid, 103)

Sebab Turunnya Ayat 
Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin 'Abbas radhiallahu 'anhuma dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini: Allah Ta'ala menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha. Mereka berdamai (mengikat perjanjian) dengan ketentuan bahwa bila ada orang dari kelompok yang mulia membunuh (seseorang) dari kelompok yang hina maka (dia) diharuskan membayar diyat sebesar 50 wisq (1 wisq kurang lebih 130 kg ,pen). Sementara bila ada orang dari kelompok yang hina membunuh (seseorang) dari kelompok yang mulia maka diyat-nya sebesar 100 wisq. Mereka tetap memegangi hukum (perjanjian) ini sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tiba di Madinah. Kedua kelompok tersebut merasa hina dengan kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (padahal) beliau belum mengetahui di saat (mereka) melakukan perjanjian damai. (Suatu ketika) ada orang dari kelompok yang hina membunuh seseorang dari kelompok yang mulia. Maka kelompok yang mulia mengirim utusan kepada kelompok hina agar mereka membayar 100 wisq. Berkata yang hina: "Beginikah cara dua kampung yang agamanya satu? Nasab keturunannya satu? Negerinya satu? Sedangkan diyat sebagian mereka setengah diyat sebagian yang lain?! Sesungguhnya kami hanya memberikan kamu (jumlah diyat tersebut) karena penganiayaan kalian terhadap kami dan kami takut terhadap kalian. Adapun jika Muhammad (shallallahu 'alaihi wasallam) telah datang maka kami tidak memberikan ini kepada kalian." (Sikap kelompok yang hina ini) hampir menyebabkan berkobar peperangan di antara mereka. Kemudian mereka memutuskan untuk menjadikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (sebagai hakim) di antara mereka. Kelompok mulia berkata: "Demi Allah, Muhammad tidak akan memberikan kepada kalian dari mereka (kelompok hina) dua kali lipat dari apa yang diberikan mereka dari kalian. Sungguh mereka telah benar, mereka tidaklah memberikan kepada kita (diyat tersebut) melainkan penganiayaan dari kami dan menguasai mereka. Maka hendaklah kalian menyelidiki Muhammad untuk mengecek pendapatnya. Jika dia memberikan kepada kalian apa yang kalian inginkan maka kalian boleh mengangkatnya jadi hakim dan jika dia tidak memberikan kepadamu maka kalian waspada dan jangan kalian jadikan dia sebagai hakim." Maka mereka pun menyusupkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beberapa orang dari kalangan munafiqin untuk mengecek pendapat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang, Allah mengabarkan Rasul-Nya tentang seluruh perkara mereka dan apa yang mereka kehendaki. Allahpun menurunkan firman-Nya: وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44).Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma berkata: "Demi Allah, untuk mereka turun ayat ini dan mereka yang dimaksud oleh Allah 'Azza wa Jalla." (Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menghasankannya dalam Ash-Shahihah, 6/109-110) .
Penafsiran Ayat Ayat Allah yang mulia ini telah ditafsirkan oleh ahli tafsir dari kalangan shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu Abdullah bin 'Abbas radhiallahu anhuma. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas beliau berkata: "Dengannya (perbuatan itu) adalah kekafiran, namun bukan kafir terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya." Dalam riwayat lain beliau berkata: "Bukan (yang dimaksud) adalah kekufuran yang mereka inginkan. Sesungguhnya (ayat ini) bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama, (namun) kufrun duna kufrin (kekufuran di bawah kekufuran, yaitu tidak mengeluarkan dari Islam)." (Dikeluarkan oleh Al-Hakim dan berkata: sanadnya shahih, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Terdapat jalan lain, silakan lihat dalam Silsilah Ash-Shahihah karangan Al-'Allamah Al-Albani 6/113-114).

Berhukum dengan Hukum Selain Allah
Telah menyebar di kalangan sebagian kaum muslimin dan orang-orang yang terkena penyakit kelompok Hamas (semangat tanpa ilmu), suatu fikrah (pemikiran) bahwa setiap yang berhukum dengan selain hukum Allah maka dia kafir dan keluar dari Islam. Dengan alasan ini mereka berkesimpulan bahwa mayoritas bahkan seluruh pemerintahan di negara-negara Islam adalah pemerintahan kafir. Dengan demikian para pejabatnya pun kafir, orang-orang (dalam hal ini rakyat) yang tidak turut mengkafirkan mereka pun kafir.
Muncullah fitnah yang disebut dengan fitnah at-takfir (fitnah pengkafiran) yang sampai kepada tingkat pengkafiran masyarakat muslim. Kelompok ini yang masyhur sebagai kelompok Khawarij. Terjerumusnya mereka ke dalam kesesatan ini disebabkan dua hal:
Pertama, sedikitnya ilmu.
Kedua, mereka tidak memahami kaidah-kaidah syariat yang benar, yang merupakan asas dakwah Islam.
Setiap orang dari kalangan kelompok sesat, yang keluar dari asas tersebut maka dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman:
 وَمَن يُّشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَساَءَتْ مَصِيْرًا
"Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah ia kuasai itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa: 115)
Allah memberikan penekanan yang sangat tegas dengan firman-Nya: "Mengikuti selain jalan kaum mukminin." Kalimat ini merupakan poin yang sangat penting untuk membedakan antara orang-orang yang betul-betul memiliki komitmen dengan Al Qur'an dan As Sunnah, yaitu mereka yang senantiasa mengikuti jalan kaum mukminin dari kalangan para shahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in yang mengikutinya dangan baik, dengan kelompok yang "mengaku" berpegang di atas Al Qur'an dan As Sunnah padahal mereka menyelisihi jalan kaum mukminin tersebut. Orang-orang demikian mendapat ancaman kesesatan dan siksaan yang pedih. Ayat ini menjadi pemisah antara golongan yang jujur dengan kelompok sempalan yang menjadikan Al Qur'an dan As Sunnah hanya sebagai slogan semata. Kandungan ayat tersebut sangat mirip denga apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits perpecahan umat dan yang selamat hanya satu yaitu "Siapa yang berjalan di atas jalanku dan jalan para shahabatku." (lihat perkataan Al-'Allamah Al-Albani rahimahullah Ta'ala dalam kitab Fitnatut Takfir, hal. 14-18). Jikalau mereka memperhatikan dengan seksama penafsiran dari Ibnu 'Abbas rahimahullah yang lalu, akan nampak bagi mereka bahwa sesungguhnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tidaklah memiliki makna mutlak kafir yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Namun tergantung dari keadaan mereka ketika menjadikannya sebagai hukum selain dari hukum Allah tersebut. Apakah mereka melakukan hal tersebut karena menganggap halal berhukum dengan selain hukum Allah atau disebabkan karena mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka?!

Fatwa Ulama tentang Berhukum dengan selain Hukum Allah
Al-'Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah Ta'ala berkata setelah menjelaskan sebab kesesatan: "Jika engkau telah mengetahui hal ini, maka tidak boleh membawa ayat-ayat ini kepada sebagian pemerintah kaum muslimin dan para hakim mereka yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah berupa undang-undang buatan manusia. Saya berkata: tidak boleh mengkafirkan mereka dan mengeluarkannya dari agama, jika mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Walaupun mereka berdosa dengan sebab berhukum dengan selain yang diturunkan Allah. Sebab walaupun mereka seperti Yahudi dari sisi berhukum tersebut, namun mereka menyelisihinya dari sisi yang lain, yaitu keimanan mereka dan pembenaran mereka dengan apa yang diturunkan Allah. Berbeda dengan Yahudi yang kafir, mereka mengingkari (hukum Allah)." Beliau berkata pula: "Kekufuran terbagai menjadi dua macam: kufur i'tiqadi dan amali. Adapun i'tiqadi tempatnya di hati, sedangkan amali tempatnya di jasmani. Barangsiapa yang amalannya kufur karena menyelisihi syariat dan sesuai dengan apa yang diyakini dalam hatinya berupa kekafiran, maka itu kufur i'tiqadi yang tidak diampuni Allah dan dikekalkan pelakunya dalam neraka selamanya. Adapun bila perbuatan tersebut menyelisihi yang diyakini dalam hati, maka dia mukmin dengan hukum Rabb-nya. Namun penyelisihannya dalam hal amalan, maka kekafiran adalah amali saja dan bukan kufur i'tiqadi. Dia berada di bawah kehendak Allah, jika Dia menghendaki maka disiksa dan jika Dia menghendaki maka diampuni. (lihat Silsilah Ash-Shahihah karya Al-'Allamah Al-Albani rahimahullah, 6/111-112)
Al-'Allamah Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah Ta'ala berkata: "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena meremehkan, atau menganggap hina, atau meyakini bahwa yang lainnya lebih mendatangkan kemaslahatan dan lebih bermanfaat bagi makhluk, atau yang semisalnya, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Di antara mereka adalah orang yang membuat undang-undang untuk manusia yang menyelisihi syariat Islam agar dijadikan sebagai metode yang manusia berjalan di atasnya. Karena mereka tidaklah meletakkan undang-undang yang menyelisihi syariat Islam tersebut melainkan mereka meyakini bahwa hal tersebut lebih bermaslahat dan bermanfaat bagi makhluk. Karena telah diketahui secara akal yang pasti dan secara fitrah bahwa tidaklah manusia berpaling dari suatu metode menuju metode yang lain yang menyelisihinya, melainkan dia meyakini adanya keutamaan metode yang dia condong kepadanya dan adanya kekurangan pada metode yang dia berpaling darinya. Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah namun dia tidak merendahkan dan meremehkannya, dan tidak meyakini bahwa hukum yang selainnya lebih mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya atau yang semisalnya, maka dia dzalim dan tidak kafir. Dan berbeda tingkatan kedzalimannya, tergantung yang dijadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya. Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah bukan karena merendahkan hukum Allah, tidak pula meremehkan dan tidak meyakini bahwa hukum yang lainnya lebih mendatangkan maslahat dan lebih manfaat bagi makhluknya atau semisalnya, namun dia berhukum dengannya karena adanya nepotisme terhadap yang dihukum, atau karena sogokan, atau yang lainnya dari kepentingan dunia maka dia fasiq dan tidak kafir. Dan berbeda pula tingkatan kefasiqannya, tergantung kepada ada yang dia jadikan sebagai hukum dan perantaraan hukumnya." Kemudian beliau berkata: "Masalah ini, yaitu masalah berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, termasuk permasalahan besar yang menimpa para hakim (pemerintah) di jaman ini. Hendaklah seseorang tidak terburu-buru dalam memberi vonis (kafir) kepada mereka dengan apa yang mereka tidak pantas mendapatkannya, sampai jelas baginya kebenaran, karena masalah ini sangatlah berbahaya –kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki pemerintahan muslimin dan teman dekat mereka–. Sebagaimana pula wajib atas seseorang yang Allah berikan kepadanya ilmu, untuk menjelaskan kepada mereka supaya ditegakkan kepada mereka hujjah dan keterangan yang jelas, agar seseorang binasa di atas kejelasan dan seseorang selamat di atas kejelasan pula. Jangan dia menganggap rendah dirinya untuk menjelaskan dan jangan pula dia segan kepada seorang pun, karena sesungguhnya kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan milik kaum mukminin." (Lihat Syarah Tsalatsatul Ushul, Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin, hal. 158-159. Lihat pula kitab Fitnatut Takfir, hal. 98-103)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Mereka ditanya: "Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah apakah dia muslim atau kafir kufur akbar (yang mengeluarkan dari Islam) dan tidak diterima amalannya?' Mereka menjawab: Allah berfirman: وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (Al-Maidah: 44) وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْظَالِمُوْنَ "Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dzalim." (Al-Maidah: 45) وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ "Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (Al-Maidah: 47) Namun apabila dia meyakini halalnya hal tersebut dan meyakini bolehnya maka ini kufur akbar, dzalim akbar dan fasiq akbar yang mengeluarkan dari agama. Adapun jika dia melakukan itu karena sogokan atau karena maksud lain, dan dia meyakini haramnya hal tersebut, maka dia berdosa, termasuk kufur ashgar, dzalim ashgar, dan fasiq ashgar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut. Semoga Allah memberi taufiq, dan shalawat serta salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya. Atas nama: Ketua: Abdul 'Aziz bin Baz Wakil ketua: Abdurrazzaq 'Afifi Anggota: Abdullah Ghudayyan (Lihat Fitnatut Takfir, hal. 104-105) Wallahul muwaffiq.

Rabu, 18 Juli 2012

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang nama lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin Al-Khadhir Al-Harrani Ad-Dimasyqi, adalah seorang alim yang tidak ditemukan seorangpun di zamannya yang setara dengan beliau dalam berbagai hal. Baik dalam hal ilmu, lurusnya aqidah, semangat dalam beramal dan ketekunan dalam beribadah, maupun kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan yang menimpanya. Sosok beliau adalah salah satu di antara tokoh yang merupakan pembenaran terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajadah: 24)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata menjelaskan ayat ini: “Maka kesabaran dan keyakinan, dengan keduanya akan tercapai kepemimpinan dalam agama.” (Majmu’ Al-Fatawa, 3/358)

Keilmuan Beliau
Secara umum, beliau memiliki kelebihan dalam berbagai cabang ilmu. Hal ini dipersaksikan oleh murid-muridnya dan orang yang pernah bertemu dengannya.

Di antara yang mempersaksikannya adalah Al-‘Allamah Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah. Beliau berkata, “Tatkala aku berkumpul dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu ada di hadapan matanya. Dia mengambil apa saja yang dia inginkan dan meninggalkan apa saja yang dia inginkan.”

Demikian pula yang dikatakan oleh Al-‘Allamah Kamaluddin Ibnu Az-Zamlakani rahimahullah, “Adalah beliau jika ditanya tentang satu cabang ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya menyangka bahwa beliau tidak mengerti kecuali ilmu tersebut –karena sangat menguasai ilmu tersebut– Orang yang melihat juga menyimpulkan bahwa tidak seorangpun yang memiliki ilmu seperti dia. Jika para fuqaha dari berbagai mazhab duduk bersama beliau, mereka mendapatkan faedah tentang mazhab mereka dari beliau yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Tidak pula diketahui bahwa jika beliau berdebat dengan seseorang lalu hujjah beliau terputus (kehabisan dalil). Tidaklah beliau berbicara tentang satu cabang ilmu, baik yang menyangkut ilmu syar’i atau yang lainnya, melainkan beliau mengalahkan orang yang takhassus (spesialisasinya, red.) dalam ilmu tersebut serta yang menisbahkan dirinya kepada ilmu tersebut. Beliau memiliki andil besar dalam membuat karya tulis yang bagus, ungkapan yang indah, sistematis, pembagian (pengklasifikasian), dan penjelasan.” (Al-‘Uqud Ad-Durriyyah, 23-24)
Jamaluddin Abul Hajjaj Al-Mizzi rahimahullahu berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَلَا أَتْبَعَ لَهُمَا مِنْهُ
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih berilmu akan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta lebih semangat dalam mengikuti keduanya daripada beliau (Ibnu Taimiyah, pen.).” (Al-‘Uqud Ad- Durriyyah, Ibnu Abdil Hadi, hal. 23)

Kelebihan Beliau dalam Ilmu Tafsir
‘Umar Al-Bazzar berkata dalam kitabnya Al-A’lam Al-’Aliyyah Fi Manaqib Ibni Taimiyah, “Adapun kelebihan ilmunya, di antaranya adalah pengetahuan beliau akan ilmu Al-Qur`an yang mulia, kemampuan menggali faedah yang terkandung di dalamnya, penukilannya atas ucapan para ulama dalam penafsirannya serta menyebutkan penguat-penguatnya dengan dalil-dalil, dan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan berupa keajaiban-keajaiban-Nya dan berbagai hikmah-Nya, kefasihan, kepandaian, yang beliau capai dan puncak ilmu yang beliau bersandar kepadanya.
Jika dibacakan di majelis beliau beberapa ayat dari Al-Qur’an Al-‘Azhim, maka beliau mulai penafsirannya hingga majelis selesai dan pelajaran berakhir dalam keadaan beliau baru menafsirkan sebagian ayat. Adalah majelis beliau berlangsung selama seperempat siang hari. Beliau melakukan hal tersebut secara spontan tanpa ada seorang pembaca ditunjuk untuk membacakan kepadanya sesuatu yang telah ditentukan, yang telah beliau persiapkan penafsirannya di malam hari. Namun orang yang hadir membaca apa yang mudah baginya lalu beliaupun mulai menafsirkannya. Biasanya, beliau tidak menghentikan pembicaraannya melainkan orang-orang yang hadir memahami bahwa kalaulah bukan karena waktu pelajaran telah selesai, tentu beliau akan menyebutkan hal-hal lain yang menjelaskan penafsiran makna yang terkandung di dalamnya. Namun beliau menghentikannya karena melihat kemaslahatan para hadirin. Sungguh beliau telah membacakan tafsir قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ yang termuat dalam satu jilid besar. Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى yang termuat dalam sekitar 35 lembar kertas. Telah sampai berita kepadaku bahwa beliau memulai mengumpulkan tafsir, sekiranya beliau menyelesaikannya, tentu akan mencapai 50 jilid.” (Al-A'lam Al-'Aliyyah Fi Manaqib Ibni Taimiyah, hal. 2-3, dari Al-Maktabah Asy-Syamilah)

Asy-Syaikh ‘Alamuddin Al-Barzali berkata dalam Mu’jam Syuyuukhihi: “Beliau seorang imam yang telah disepakati keutamaan, kepandaian dan kebenaran agamanya. Dia membaca fiqih dan menjadi pakarnya. Demikian pula ilmu bahasa arab dan ushul. Beliau mahir pula dalam dua cabang ilmu: ilmu tafsir dan hadits. Beliau adalah seorang imam yang tidak terlampaui dalam segala sesuatu. Ia telah mencapai kedudukan mujtahid dan telah terkumpul pada diri beliau syarat-syarat mujtahid. Jika beliau menyebut tafsir maka yang lain terdiam disebabkan banyaknya hafalan beliau dan bagusnya dalam menyampaikan. Dan beliau meletakkan setiap ucapan pada tempatnya yang sesuai dalam men-tarjih, melemahkan, atau membatalkan.” (Al-'Uqud Ad-Durriyyah, hal. 28-29)

Beberapa Faedah Beliau dalam Ilmu Tafsir
Tatkala beliau menjelaskan tentang keutamaan merujuk kepada tafsir salafush shalih dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tabi’in, disebabkan karena zaman mereka merupakan zaman di mana kaum muslimin bersatu dan sedikit perselisihan di antara mereka, beliau berkata:
“Oleh karena itu, perselisihan di kalangan para sahabat dalam penafsiran Al-Qur`an sangat sedikit. Meskipun di kalangan tabi’in lebih banyak perselisihan dibanding para sahabat, namun mereka (tabi’in) lebih sedikit jika dibandingkan pada zaman setelah mereka. Setiap kali terdapat zaman tersebut lebih mulia, maka persatuan, kesepakatan, ilmu, dan kejelasan lebih banyak. Di kalangan tabi’in ada yang mengambil semua penafsiran dari para sahabat, seperti yang dikatakan oleh Mujahid rahimahullahu: ‘Aku membacakan mushaf kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu, aku menghentikannya pada setiap ayat dan aku bertanya tentangnya.’
Oleh karena itu, Ats-Tsauri rahimahullahu berkata: ‘Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukupkanlah dengannya.’ Oleh karena itu, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Bukhari, dan selainnya dari kalangan para ulama rahimahumullah merujuk pada penafsirannya. Demikian pula Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan yang lainnya dari kalangan penulis tafsir, sering menyebutkan jalur riwayat dari Mujahid rahimahullahu lebih banyak dari yang lain.” (Syarah Muqaddimah Fi Ushul Tafsir, hal. 25-26)

Beliau juga menjelaskan bahwa sebab-sebab munculnya banyak penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an adalah karena penyimpangan dari tafsir yang telah dijelaskan oleh para ulama salafush shalih, dan bermunculannya kelompok ahli bid’ah yang kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan hawa nafsunya. Beliau berkata, “Secara umum, barangsiapa berpaling dari mazhab para sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka, kepada sesuatu yang menyelisihi mereka, maka dia telah terjatuh dalam kesalahan, bahkan dia telah berbuat bid’ah. Adapun jika dia seorang mujtahid, maka diampuni kesalahannya.

Maka yang dimaukan adalah menjelaskan jalan-jalan ilmu, dalil-dalilnya, dan jalan-jalan kebenaran. Kita telah mengetahui bahwa Al-Qur’an telah dibaca oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Dan mereka lebih mengetahui tentang penafsiran serta makna-maknanya. Sebagaimana mereka adalah orang yang paling mengetahui tentang kebenaran yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala utus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang menyelisihi ucapan mereka dan menafsirkan Al-Qur`an namun menyelisihi penafsiran mereka, maka sungguh dia telah keliru dalam penempatan dalil dan pemahaman.”
Lalu beliau berkata, “Yang diinginkan di sini adalah memberikan peringatan atas munculnya perselisihan dalam penafsiran. Dan bahwa di antara sebab terbesar terjadinya hal tersebut adalah bid’ah-bid’ah yang batil, yang menyeru para pelakunya untuk mengubah ayat-ayat tersebut dari tempatnya, dan menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan selain apa yang dimaukan, serta menakwilkannya bukan pada takwil yang sebenarnya.” (Syarah Muqaddimah Ushul At-Tafsir hal. 125-126)

Demikian pula tatkala beliau menjelaskan tentang kondisi kitab-kitab tafsir yang ada. Beliau mengatakan: “Adapun kitab-kitab tafsir yang ada di tangan manusia, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Dia menyebutkan ucapan-ucapan salaf dengan sanad-sanad yang tsabit dan tidak terdapat padanya bid’ah. Dia tidaklah menukil dari orang-orang yang tertuduh (berdusta) seperti Muqatil bin Bukair dan Al-Kalbi. Adapun tafsir-tafsir yang tidak menyebutkan riwayat-riwayat dengan sanad amat banyak, seperti tafsir Abdurrazzaq, ‘Abd bin Humaid, Waki’, Ibnu Abi Qutaibah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah.

Adapun tiga kitab tafsir yang dipertanyakan, maka yang paling selamat dari bid’ah dan hadits-hadits yang lemah adalah tafsir Al-Baghawi. Namun tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Ats-Tsa’labi di mana Al-Baghawi menghapus hadits-hadits palsu dan bid’ah-bid’ah yang terdapat di dalamnya serta menghapus beberapa hal lain. Adapun tafsir Al-Wahidi, dia adalah murid Ats-Tsa’labi dan lebih berilmu dari gurunya dalam hal bahasa Arab. Namun Ats-Tsa’labi lebih selamat dari beberapa bid’ah, meskipun dia menyebutkannya hanya karena taqlid kepada yang lain. Tafsirnya (Al-Wahidi) singkat, ringkas dan sederhana, terkandung beberapa faedah yang agung, namun banyak terdapat penukilan-penukilan yang batil dan selainnya. Adapun tafsir Az-Zamakhsyari, tafsirnya penuh dengan bid’ah dan sejalan dengan metode Mu’tazilah dalam hal mengingkari sifat-sifat (Allah Subhanahu wa Ta’ala), mengingkari ru’yah (kaum mukminin melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat), menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, dan mengingkari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak atas segala sesuatu dan menciptakan perbuatan-perbuatan hamba, serta pokok-pokok pemikiran kaum Mu’tazilah yang lainnya.”

Lalu beliau berkata: “Tafsir Al-Qurthubi lebih baik dari tafsir Az-Zamakhsyari dan lebih mendekati jalan orang yang berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, serta lebih jauh dari bid’ah. Meskipun semua kitab ini tetap saja mengandung sesuatu yang dikritik, namun wajib bersikap adil di antara kitab-kitab tersebut dan memberikan setiap hak kepada yang berhak memilikinya. Tafsir Ibnu ‘Athiyyah lebih baik dari tafsir Az-Zamakhsyari dan lebih benar dalam hal penukilan dan pembahasannya serta lebih jauh dari bid’ah meskipun ada pada sebagiannya. Namun jauh lebih baik, bahkan ini adalah kitab tafsir yang paling shahih, (yaitu) tafsir Ibnu Jarir adalah yang paling shahih dari semuanya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 13/385)

Wallahu a'lam bish-shawab.

Selasa, 17 Juli 2012

Dalam salah satu wejangannya, al-Hasan bin Ali radhiyallahu’anhuma pernah menyampaikan, “Barang siapa yang hari-harinya di dunia sama; maka dialah orang yang tertipu. Dan barang siapa yang harinya lebih baik dibanding keesokannya maka dialah orang yang merugi”.

Jika nasehat di atas dikaitkan dengan bulan Ramadhan, maka orang yang beruntung adalah orang yang Ramadhannya tahun ini lebih baik dibanding tahun lalu. Untuk membuatnya lebih baik, tentu memerlukan berbagai persiapan. Di antara bentuk persiapan tersebut[1]:

1. Berpuasa di bulan Sya’ban.

Aisyah radhiyallahu’anha mengisahkan,

“فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ”.

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam puasa sebulan penuh melainkan di Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihatnya memperbanyak puasa melebihi bulan Sya’ban”. HR. Bukhari dan Muslim.

2. Merasa bahagia dengan kedatangannya

Bila Ramadhan tiba, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam memberi kabar gembira kepada para sahabatnya. Di antara yang beliau sampaikan,

“أَتَاكُمْ رَمَضَانُ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ. تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ. لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ”.

“Ramadhan telah datang kepada kalian. Bulan yang diberkahi. Allah ‘azza wa jalla telah mewajibkan atas kalian puasa di dalamnya. Pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan jahat dibelenggu. Di dalamnya, Allah memiliki sebuah malam yang lebih baik dibanding seribu bulan. Barang siapa terhalang untuk meraih kebaikan malam itu, sesungguhnya ia benar-benar telah diharamkan (untuk mendapat kebaikan)”. HR. Nasa’i dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.

3. Mempelajari hukum-hukum yang berkenaan dengan puasa.

Mulai dari cara yang benar dalam penentuan hari pertama bulan Ramadhan, batas awal mulai kita berpuasa; apakah dimulai sejak apa yang diistilahkan banyak orang dengan imsak atau dimulai sejak terbitnya fajar shadiq. Mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah yang mulia ini, tentunya dengan melandaskan seluruh hokum tersebut di atas dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits yang sahih. Serta menghindari segala amalan yang hanya dilandaskan atas “katanya”, warisan nenek moyang atau semata-mata mengikuti kebiasaan yang umum di masyarakat.

4. Bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla

Bulan Ramadhan adalah bulan yang full ibadah. Agar kita bisa bersemangat untuk menjalaninya, selain tentunya dengan taufik dari Allah ta’ala, kita perlu membersihkan diri kita dari kerak-kerak dosa yang kerap mengakibatkan kita malas beribadah. Caranya adalah dengan bertaubat nasuha.



Ditulis di Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 24 Sya’ban 1432 / 25 Juli 2011
Penulis: Abdullah Zaen, Lc, M.A.
Artikel www.tunasilmu.com

[1] Disarikan dari Hâkadzâ Kâna an-Nabiy shallallahu’alaihiwasallam fî Ramadhân karya Faishal bin ‘Ali (hal. 11-15) dengan berbagai tambahan.
Alhamdulillah, segala syukur kita panjatkan pada Yang Maha Kuasa, Allah Subhanahu wata'ala. Dialah yang telah memberikan keimanan pada setiap hamba Nya yang dikehendaki, dan mentakdirkan kekufuran pada sebagian manusia, sesungguhnya dibalik semua takdirnya terdapat banyak hikmah yang besar.

Disini, identitas kita sebagai seorang muslimah masih terlekat erat. Keluar rumah dengan aurat yang tertutup, terhindar dari bercampur baurnya laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Rasa aman selalu menyertai kita karena wanita dalam lingkungan islam sangat dihormati. Oleh karena itu, sepatutnya kita mengucap syukur karena sampai saat ini kita masih berada diatas fitrah islam, fitrah yang telah Allah anugerahkan kepada setiap anak manusia sejak ditiupkannya roh pada janin yg ada di dalam kandungan ibu.

Saudari ku yang semoga dirahmati Allah, cobalah kita simak hadits berikut;
Mu'adz bin jabal radhiallahu 'anhu berkata; "Suatu hari aku sedang dibonceng oleh Rasulullah shalallah 'alaih wasallam, lalu beliau bersabda: "Wahai Mu'adz", akupun menjawab "labbaika wa sa'daik", dan hal ini terjadi 3 kali lalu Rasulullah shalallah 'alaih wasallam bersabda: "Apakah kamu tahu apa hak Allah atas hambanya?" Aku berkata tidak. Beliau bersabda: "Hak Allah atas hambanya yaitu hendaklah mereka menyembah Nya dan tidak mempersekutukannya dengan apapun-". Kemudian beliau berjalan lagi beberapa waktu lalu memanggilku dan aku menjawabnya sama seperti tadi, hal ini juga berlaku 3 kali. Lalu Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tahukah kamu apa hak hamba terhadap Allah? Yaitu jika mereka melakukan hal tersebut - menyembah Nya dan tidak mempersekutukannya dengan apapun-, Aku tidak akan menyiksa mereka".

Hadits ini maksudnya adalah, menyembah Allah adalah kewajiban kita, yang hukumnya wajib kita laksanakan. Dan kita juga punya hak apabila melaksanan kewajiban kita, yaitu Allah tidak akan mengadzab kita.

Kewajiban kita sebagai hamba sangat banyak, shalat, puasa, zakat, berdo'a, meminta perlindungan pada Allah merupakan sedikit dari bentuk penyembahan kita pada Nya. Nah, untuk mengetahui itu semua kita perlu untuk menimba ilmu. Tentunya ilmu yang berkaitan dengan agama.

Menuntut ilmu hukumnya wajib, kenapa? Karena Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahhu 'anhu beliau bersabda:
"طلب العلم فريضة على كل مسلم."

Artinya: "Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim".
Ilmu disini maksudnya adalah ilmu agama, yang mempelajari tentang Al-Qur'an, tentang hukum-hukum Allah, tentang ajaran yang dibawa nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Imam Syafi'I rahimahullah berkata: "Tidak ada yang lebih utama dari menuntut ilmu setelah melakukan kewajiban-kewajiban."
Setelah mengetahui hukumnya menuntut ilmu agama, sekarang kita akan membahas keutamaan salah satu jalan untuk menuntut ilmu, yaitu menghadiri majlis dzikir.

Apa itu majlis dzikir?
Majlis secara bahasa berarti tempat duduk. Dan secara istilah, Majlis bisa berarti pertemuan, halaqoh, perkumoulan, dan sejenisnya. Sedangkan maksud dzikir disini adalah mengingat Allah, baik mengingat dzat Allah itu sendiri atau sifatNya, perbuatanNya, syari'atNya, atau dengan membaca Al-Qur'an dan kandungannya, dan sebagainya. Jadi majlis dzikir adalah pertemuan atau halaqoh yang mengingatkan kita pada Allah. Majlis yang membahas tentang agama Allah. Jadi Majlis ilmu juga termasuk dalam majlis dzikir. Akan tetapi, yang dimaksud di sini bukan lah majlis yang mengamalkan dzikir jama'ah. Kita perlu mengingat, amalan seperti ini tidak di ajarkan Rasulullah, jadi sebaiknya kita menghindari majlis yang seperti ini,

Keutamaan majlis dzikir.
Majlis dzikir memiliki keutaman yang besar, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Diantaranya:
1. Diberikan ketenangan dan ketentraman oleh Allah subhanahu wata'ala.
2. Orang yang menghadiri majlis dzikir di rahmati oleh Allah –dilimpahi kasih sayang-.
3. Para malaikat mengelilingi orang-orang yang hadir.
4. Allah memyebutkan mereka –membanggakan mereka- di hadapan makhluk-makhluk yang berada di langit.
Empat keutamaan majlis dzikir diatas di sebutkan dalam sebuah sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:
"وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله و يتدارسون بينهم إلا نزلت عليهم السكينة, وغشيتهم الرحمة, وحفت عليهم الملئكة, وذكرالله فيمن عنده."

Artinya: "Dan tidaklah sekelompok orang yang berkumpul di dalam rumah diantara rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Qur'an dan saling mengajarkan Al-Qur'an diantara mereka, kecuali Allah akan menurunkan kepada mereka rasa tentram dan melimpahi mereka dengan kasih sayang, para malaikat meliputi mereka, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka dihadapan para penghuni langit."
5. Diampunkan dosa-dosanya dan keburukan-keburukannya diganti dengan kebaikan.

Itulah beberapa keutamaan menghadiri majlis dzkikir. Lalu sekarang pertanyaannya, bagaimana jika kita manghadiri majlis yang didalamnya tidak ada dzikrullah, tidak ada shalawat atas Nabi, bahkan majlis itu berisi sesuatu yang tidak bermanfaat? Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"ما اجتمع قوم ثم تفرقوا عن غير ذكر الله و صلاة على النبي-صلى الله عليه وسلم – إلا قاموا عن أًنتَنَ مِن جِيفَة."

Artinya: "Tidaklah suatu kaum itu menghadiri majlis kemudian berpisah tanpa ada dzikir kepada Allah dan shalawat kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, Kecuali mereka akan bangkit dari sesuatu yang lebih busuk dari bangkai."

Saudari-saudariku yang semoga dirahmati oleh Allah. Demikianlah, telah kita ketahui wajibnya menuntut ilmu, dan tadi kita juga sudah membahas keutamaann menghadiri majlis dzikir. Semoga setelah kita belajar dan tahu betapa besarnya keutamaan majlis dzikir, kita senantiasa bersemangat untuk hadir setiap kali ada majlis dzikir/ majlis ilmu.

Saya memohon Allah subhanahu wata'ala agar kita senantiasa diberi semangat untuk menuntut ilmu, agar senantiasa ikhlas dalam mengamalkan agama islam yang lurus. Semoga yang saya sampaikan ini bermanfaat. Wallahu ta'ala a'lam.
Berikut ini beberapa fawaid yang sangat bagus yang terdapat dalam kitab Waratsatul Anbiyaa karya Syaikh Abdul Malik Al-Qoshim tentang kemuliaan ilmu dan para ulama.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, dia berkata,

كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara.” (HR. Bukhari)

Dan inilah ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu dengan kemuliaan dan kedudukan yang dimilikinya, memegang tali kendali tunggangan Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan berkata,

هكذا أمرنا أن نفعل بعلمائنا

“Seperti inilah yang diperintahkan kepada kami untuk berbuat kepada ulama kami.” (dikeluarkan oleh Al-Hakim)

Dan banyak dari kalangan salaf berkata,

ما صليت إلا ودعيت لوالدي ولمشايخي جميعاً

“Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan masyayikhku semuanya.” (As-Siyar: 10/82)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

وإذا كان الرجل قد علمه أستاذ؛ عرف قدر إحسانه إليه وشكره

“Dan jika seseorang telah diajari oleh seorang guru, dia akan tahu kadar kebaikannya dan berterima kasih kepadanya (atas jasa yang telah diberikan -pent).” (Majmu’ Al-Fatawa: 28/17)

Tidaklah akan bersatu antara semangat belajar dengan sifat kesombongan. Tidaklah ilmu itu diperoleh kecuali dengan sikap tawadhu’ dan menggunakan pendengaran (dengan sungguh-sungguh -pent). Allah berfirman,

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37)

Berkata Al-Ghazali,

ومعنى كونه ذا قلب أن يكون قابلاً للعلم والفهم، ثم لا تعنيه القدرة على الفهم حتى يلقي السمع وهو شهيد حاضر القلب؛ ليستقبل كل ما ألقي إليه بحسن الإصغاء والضراعة والشكر والفرح وقبول المنة. وليكن المتعلم لمعلمه كأرض دمثة ـ أي لينة سهلة ـ نالت مطراً غزيراً فتشربت جميع أجزائها وأذعنت لقبوله، ومهما أشار إليه المعلم بطريق في التعلم فليتبعه، وليترك رأيه، إذ التجربة تطلع على دقائق يستغرب سماعها مع أنه يعظم نفعها. فكم من مريض محرور يعالجه الطبيب في بعض أوقاته بالحرارة ليزيد في قوته إلى حد يحتمل صدمة العلاج فيعجب منه من لا خبرة له به

“Dan makna seseorang memiliki hati adalah dia dianugerahi ilmu dan pemahaman. Kemudian tidaklah kemampuan untuk memahami itu bermanfaat sampai mendatangkan pendengaran yang dengannya dia menyaksikan hadirnya hati; untuk menerima semua hal yang disampaikan kepadanya dengan penuh perhatian, rendah hati, rasa terima kasih, suka cita dan menerima pemberian dengan rasa syukur. Dan hendaklah seorang murid terhadap gurunya layaknya tanah yang lunak dan datar, menerima air hujan yang turun sehingga menyerap semuanya dan tunduk menerimanya. Walau bagaimana pun, seorang guru menunjukkan jalan di dalam belajar, maka ikutilah dan tinggalkan pendapat pribadi. Karena dalam percobaan memperlihatkan sesuatu yang rumit untuk mendengarkannya padahal memiliki manfaat yang banyak. Betapa banyak orang yang terkena demam pada suatu waktu diberi obat oleh dokter dengan sesuatu yang panas agar bertambah kekuatannya sampai dapat diobati, sehingga takjub orang yang tidak memiliki pengalaman tentang pengobatan.” (Al-Ihya: 1/50)

Berkata Al-Imam Malik kepada seorang pemuda dari Quraisy,

يا ابن أخي! تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Wahai anak saudaraku! Pelajarilah adab terlebih dahulu sebelum belajar ilmu.” (Hilyah Al-Auliya: 6/330)

Dan ketika Al-Laits bin Sa’d menemui para pencari hadits, kemudian melihat sesuatu yang ada pada mereka dan berkata,

ما هذا؟! أنتم إلى يسير من الأدب أحوج منكم إلى كثير من العلم

“Apa ini?! Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyaknya ilmu.” (Syaraf Ashabul Hadits, hal. 170)

Dan telah berkata Al-Imam Asy-Syafi’i,

لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذل النفس وضيق العيش وخدمة العلماء أفلح

“Tak seorang pun yang menuntut ilmu dengan kekuasaan dan kemuliaan diri kemudian berhasil. Akan tetapi mencarinya dengan kehinaan diri, kesusahan hidup, dan berkhidmat kepada para ulama. Maka dialah yang akan berhasil.” (Majmu’ Al-Fatawa: 1/35)

اصبر على مر الجفا من معلم
فإن رسوب العلم في نفراته
ومن لم يذق مر التعلم ساعة
تجرع ذل الجهل طول حياته
ومن فاته التعليم وقت شبابه
فكبر عليه أربعـاً لوفاته

Bersabarlah atas pedihnya kekerasan seorang guru
Sungguh, kegagalan ilmu jika menjauhinya
Dan barangsiapa yang tidak merasakan pedihnya belajar sesaat
Akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya
Dan barangsiapa hilang (waktunya) menuntut ilmu di waktu muda
Maka bertakbirlah empat kali atas kematiannya.

(Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 29)

Berkata Ar-Rabi’ bin Sulaiman, teman sekaligus murid Asy-Syafi’i yang terkenal,

والله ما اجترأت أن أشرب الماء والشافعي ينظر إلي هيبة له

“Demi Allah, aku tidak berani meminum air dalam keadaan Asy-Syafi’i melihatku karena segan kepadanya.”

Berkata Al-Imam Ahmad bin Hanbal,

لزمت هشيماً (ابن بشير) أربع سنين ما سألته عن شيء إلا مرتين هيبة له

“Aku belajar kepada Husyaim (Ibnu Basyir) selama empat tahun dan tidaklah aku bertanya kepadanya tentang sesuatu kecuali hanya dua kali karena segan kepadanya.” (Tadzkirah Al-Huffazh: 1/249)

Dan karena itulah seharusnya seorang yang meminta fatwa menjaga adab kepada orang yang berfatwa, menghormati ketika mengajaknya bicara dan bertanya kepadanya serta hal lainnya. Janganlah menunjuk dengan tangan di hadapannya. Dan janganlah berkata kepadanya, “Apa yang Anda hafal tentang ini dan itu? Apa madzhab imam Anda, Asy-Syafi’i tentang masalah ini dan itu?” Ketika dia telah memberikan jawaban, janganlah berkata kepadanya, “Seperti itulah menurutku.” Atau, “Beginilah yang terpikirkan olehku.” Juga, janganlah berkata, “Telah berfatwa kepadaku Fulan.” Atau, “Telah berfatwa kepada kami dari selain Anda demikian dan demikian.” Janganlah meminta fatwa kepadanya dalam rangka mencela dengan mengatakan, “Jika jawaban Anda sesuai dengan permasalahan tersebut maka tulislah. Jika tidak, maka tak perlu ditulis.” (Adab Al-Mufti wal Mustafti, hal. 168)

Dan kemudian hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kedudukan mereka dan dalam rangka menjaga persatuan serta mengambil faedah dari ilmu yang ada padanya dengan penuh adab dan sikap lembut saat bertanya.

Bahkan telah berkata Asy-Syafi’i,

إذا رأيت رجلاً من أصحاب الحديث كأني رأيت رسول الله

“Jika aku melihat seseorang dari kalangan ashabul hadits, seakan-akan aku melihat Rasulullah.” (Syaraf Ashabul Hadits)

العلم ميراث النبي كـما أتـى
في النص والعلماء هم ورثه
ما خلف المختار غير حديثه فينا
فـذاك مـتاعـه وأثـاثه
Ilmu adalah warisan para Nabi sebagaimana telah datang
di dalam nash, sedangkan ulama adalah pewarisnya
Apa-apa yang Nabi Al-Mukhtar meninggalkan perkataannya kepada kita
Maka itulah harta benda beserta perabotannya


Petunjuk yang baik merupakan sinar dan cahaya dari lentera kenabian. Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الهدى الصالح والسمت الصالح والاقتصاد جزء من خمسة وعشرين جزءاً من النبوة

“Sesungguhnya petunjuk yang baik, baiknya perangai, dan kesederhanaan merupakan bagian dari 25 bagian kenabian.” (HR. Ahmad)

Berkata Yahya bin Mu’adz,

العلماء أرحم بأمة محمد من آبائهم وأمهاتهم

“Ulama lebih sayang terhadap umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada ayah dan ibu mereka sendiri.”

Dikatakan kepadanya,

كيف ذلك؟

“Bagaimana bisa demikian?”

Beliau berkata,

لأن آباءهم وأمهاتهم يحفظونهم من نار الدنيا، وهم يحفظونهم من نار الآخرة

“Dikarenakan ayah dan ibu mereka hanya menjaga dari api dunia sedangkan ulama menjaga mereka dari api akhirat.” (Al-Ihya: 1/22)

Dan ketika seorang Arab Badui melewati Ibnu Mas’ud yang sedang mengajarkan hadits kepada murid-muridnya yang berkumpul di sekitar beliau, berkatalah Arab Badui,

علام اجتمع هؤلاء؟

“Kenapa mereka berkumpul?”

Maka berkatalah Ibnu Mas’ud,

على ميراث محمد يقتسمونه بينهم

“Karena ada warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka sedang membagi-bagikannya.” (Syaraf Ashabul Hadits)

Berkata Abu Dawud Ath-Thayalisiy,

لولا هذه العصابة (أي الفئة والجماعة وهم أهل العلم) لا ندرس الإسلام

“Sekiranya bukan karena kumpulan orang-orang ini (maksudnya adalah kelompok, jama’ah yakni ahlul ilmi) niscaya Islam tidak akan diajarkan (hilang -pent).”

Berkata Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah,

Hendaknya seorang penuntut ilmu memiliki adab yang baik terhadap gurunya. Bersyukur kepada Allah atas kemudahan mendapatkan guru yang mengajarinya dari kebodohan, menghidupkan dari kematiannya, dan membangunkan dari tidurnya, serta mengambil kesempatan di setiap waktu dalam mengambil ilmu darinya. Demikian juga, hendaknya dia juga banyak mendoakan gurunya baik saat gurunya dekat atau jauh. Karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صنع إليكم معروفاً فكافئوه، فإن لم تجدوا ما تكافئونه فادعوا له حتى تروا أنكم كافأتموه

“Barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah dengan hal yang serupa. Jika kalian tidak mendapatkan sesuatu yang serupa untuk membalasnya, maka doakanlah baginya kebaikan sehingga kalian melihat bahwa kalian telah membalas dengan yang sepadan.”

Dan kebaikan mana yang lebih besar dibanding kebaikan ilmu, nasehat, dan bimbingan?! Maka setiap permasalahan yang diambil faedahnya dari seseorang atau sesuatu di atasnya lagi yang terdapat manfaat bagi orang dan yang lainnya, maka hal itu adalah kebaikan dan manfaat yang terus-menerus mengalir bagi pemiliknya. Seorang sahabatku menceritakan kepadaku bahwa dia telah berfatwa mengenai suatu masalah dalam ilmu waris. Sedangkan gurunya telah wafat. Dia bermimpi melihat gurunya membaca di kuburnya dan berkata,

المسألة الفلانية التي أفتيت فيها وصلني أجرها

“Permasalahan yang kamu telah berfatwa padanya, maka pahalanya telah sampai kepadaku.” (Al-Fatawa As-Sa’diyah, hal. 101)

Dan inilah perkara yang telah ma’ruf di dalam syari’at,

من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة

“Barangsiapa yang membuat contoh yang baik maka dia akan mendapatkan pahala orang yang beramal dengannya sampai hari kiamat.”

Saudaraku muslim,

Mencari ilmu itu mudah dan dekat jangkauannya. Dan di antara jalan-jalannya adalah sebagai berikut:
Masuk pada perkualiahan syar’iyyah.

Menghadiri dauroh-dauroh syar’iyyah yang diselenggarakan dari waktu ke waktu.

Selalu mengikuti pelajaran-pelajaran para ulama yang dengannya sebagai balsem bagi luka dan obat bagi penyakit.

Bertanya kepada para ulama baik dengan bertatap muka maupun menghubunginya.

Bersahabat dengan orang-orang baik dan orang-orang shalih.

Mengunjungi para ulama dan mendengarkan ilmu serta nasehat yang disampaikan.

Membaca karya tulis para salafush shalih dan menanyakan perkara yang sulit tentangnya.

Mendengarkan kaset-kaset ceramah ilmiah dari para ulama kita yang mulia.

Janganlah engkau sebagaimana yang dikatakan:

جهلت فعاديت العلوم وأهلهـا
كذا يعادي العلـم من هـو جاهله
ومن كان يهوى أن يرى متصدرا
ويكره «لا أدري» أصيبت مقاتله

Engkau bodoh sehingga engkau memusuhi ilmu dan pemiliknya
Seperti itu juga, ilmu akan memusuhi orang yang bodoh tentangnya
Dan barangsiapa yang ingin terlihat di depannya
Enggan terhadap kata “Aku tidak tahu” maka akan terkena kematiannya.

(Adab Ad-Dunya wad Din, hal. 42)

Dikisahkan, Ibrahim bin Al-Mahdi memasuki tempat Al-Ma’mun yang di sisinya terdapat sekelompok orang yang sedang membahas masalah fikih. Maka beliau berkata,

يا عم، ما عندك فيما يقول هؤلاء؟

“Wahai paman, bagaimana menurutmu tentang ucapan mereka?”

Maka (Ibrahim) menjawab,

يا أمير المؤمنين، شغلونا في الصغر، واشتغلنا في الكبر

“Wahai amirul mukminin, mereka telah menyibukkan kami saat masih kecil, pun di waktu tua kami juga sibuk.”

Maka beliau menjawab,

لم لا تتعلمه اليوم؟

“Tidakkah engkau akan belajar sekarang?”

Dia (Ibrahim) bertanya,

أويحسن بمثلي طلب العلم؟

“Apakah pantas orang sepertiku ini untuk belajar?”

Beliau menjawab,

نعم، والله لأن تموت طالباً للعلم خير من أن تعيش قانعاً بالجهل

“Tentu saja. Demi Allah, engkau meninggal dalam keadaan menuntut ilmu itu lebih baik daripada hidup dalam keadaan rela dengan kebodohan.” (Adab Ad-Dunya wad Din, hal. 49)

Saudaraku yang tercinta,

Berkata Sahl bin ‘Abdillah,

اجهدوا أن لا تلقوا الله إلا ومعكم المحابر

“Bersungguh-sungguhlah kalian agar jangan sampai bertemu dengan Allah kecuali dalam keadaan di sisimu terdapat wadah tinta.” (Syaadzarat Adz-Dzahab: 2/182)

Perhatikanlah perkataan Ibnul Mubarak saat ditanya,

لو أوحي إليك أنك ميت العشية، ما أنت صانع اليوم؟

“Jika diberitahukan kepadamu bahwa anda akan meninggal malam ini, apa yang akan anda lakukan?”

Maka beliau menjawab,

أطلب فيه العلم

“Aku akan mencari ilmu dalam keadaan tersebut.” (Tanbih Al-Ghafilin: 2/467)

Ketika ahli hikmah melihat sesorang yang duduk di atas kitab, maka dia berkata,

سبحان الله! يصون ثيابه ولا يصون كتابه، لصون الكتاب أولى من صون الثياب

“Subhanallah! Dia menjaga pakaiannya akan tetapi tidak menjaga kitabnya. Sungguh menjaga kitab itu lebih utama daripada menjaga pakaian.” (Taqyiid Al-’Ilm, hal. 147)

Ketika Ayyub As-Sakhtiyani mendapat kabar tentang kematian seseorang dari ashabul hadits, dia menjadi sedih karena dan terlihat bekasnya. Namun bila sampai kepadanya kabar kematian dari seorang ahlul ibadah, hal tersebut tidak nampak padanya. (Syaraf Ashabul Hadits)

Dan dikatakan,

العلماء سراج الأزمنة، فكل عالم مصباح زمانه يستضيء به أهل عصره. فكن سراج زمانك، بل وسراج بيتك، وسراج نفسك

“Para ulama adalah lentera zaman. Setiap alim adalah lentera bagi zamannya yang dengannya manusia mencarinya. Maka jadilah engkau lentera bagi zamanmu, bahkan lentera bagi rumah dan jiwamu.” (Tanbih Al-Ghafilin: 2/468)

Berkata Abu Darda’,

وكأنه يطل على كثير من الناس في زماننا هذا: اطلبوا العلم فإن لم تطلبوه فحبوا أهله، فإن لم تحبوهم فلا تبغضوهم

“Seolah-olah beliau melihat dengan jelas bahwa kebanyakan manusia di zaman kita ini: Carilah ilmu, jika kalian tidak mencarinya maka cintailah pemiliknya. Jika kalian tidak bisa mencintai mereka maka jangan benci mereka.” (Kitab Az-Zuhud karya Al-Imam Ahmad, hal 200)

Berkata Ali bin Abi Thalib,

العالم أفضل من الصائم القائم الساجد، وإذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها إلا خلف منه

“Seorang ‘alim lebih utama dibandingkan orang yang berpuasa, shalat malam, dan sujud. Jika ada seorang ‘alim yang meninggal dunia maka Islam memiliki satu lubang, yang tidak akan bisa menutupnya kecuali ada penggantinya.” (Al-Ihya: 1/18)

Dan dengan setiap derajat dan kedudukan orang ‘alim, tidaklah semua itu akan terwujud kecuali dengan kemudahan dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya. Sebagaimana Imam Asy-Syafi’i berkata,

ينبغي للفقيه أن يضع التراب على رأسه تواضعاً لله، وشكراً له

“Hendaknya seorang yang faqih meletakkan tanah di atas kepalanya sebagai bentuk perendahan diri kepada Allah dan bersyukur kepadaNya.” (As-Siyar: 10/53)

Wallahu Ta’ala a’lam

Senin, 16 Juli 2012

Melahirkan secara cesar sebenarnya diperbolehkan jika memang ada alasan medis yang darurat. Misalnya karena posisi bayi sungsang, bayi terlalu besar, atau hal-hal lain yang bisa membahayakan ibu dan anak bila dilakukan proses melahirkan secara normal.

Namun pada kenyataannya banyak wanita yang memilih melahirkan secara cesar bukan karena darurat. Mereka memilih melahirkan secara cesar hanya karena ingin anaknya lahir pada tanggal dan hari tertentu yang dianggap sebagai hari baik atau tanggal yang unik (seperti tanggal 9 bulan 9 tahun 2009, dll), ataupun karena takut merasakan sakitnya melahirkan secara normal, dll. Padahal sebenarnya melahirkan secara cesar ini banyak membawa madhorot bagi wanita, di antaranya proses penyembuhan luka yang lebih lama daripada melahirkan normal, melemahkan rahim, memiliki resiko terkena inveksi lebih besar, sehingga persalinan kedua dan selanjutnya biasanya juga harus dilakukan dengan cesar, dan kehamilan berikutnya biasanya perlu diberi jarak dua tahun.

Lalu bagaimana hukum bagi wanita yang memilih melahirkan secara cesar tanpa ada alasan medis yang darurat? Berikut ana bawakan fatwa dari Syaikh Utsaimin mengenai hal ini. Semoga bisa menambah faidah bagi antunna!

Pertanyaan : Fadhilatus Syaikh, Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat ‘Abasa :

ﺛُﻢَّ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴﻞَ ﻳَﺴَّﺮَﻩُ

“Kemudian Alloh memudahkan jalannya.” (QS. ‘Abasa : 20)

Alloh subhanahu wa ta’ala menjamin untuk memudahkan proses kelahiran ini. Dan banyak orang, baik laki-laki maupun wanita, yang terburu-buru melakukan operasi yang disebut cesar, apakah hal ini disebabkan lemahnya tawakkal kepada Alloh subhanahu wa ta’ala?

Jawaban :

Menurutku -barokallohu fiik- cara ini yang banyak digunakan orang saat ini, ketika seorang wanita merasakan akan melahirkan lalu pergi ke rumah sakit, kemudian dioperasi cesar. Aku melihat bahwa ini adalah wahyu dari setan, dan bahayanya hal ini lebih banyak daripada manfaatnya. Karena seorang wanita mau tidak mau akan mendapatkan rasa sakit ketika melahirkan (normal), akan tetapi ada faidah yang terdapat dalam rasa sakit ini:

Faidah yang pertama : rasa sakit tersebut akan menggugurkan dosa-dosanya

Kedua : akan mengangkat derajatnya jika ia sabar dan mengharapkan pahala di sisi Alloh

Ketiga : seorang wanita akan menyadari kedudukan seorang ibu, yang mana seorang ibu merasakan sebagaimana yang ia rasakan

Keempat : ia merasakan kedudukan nikmat Alloh ta’ala atasnya berupa kesehatan

Kelima : menambah rasa sayang & rindunya kepada anaknya, karena setiap kali si anak mengalami kesulitan, sang ibu akan lebih merasa kasihan dan merindukannya.

Keenam : Anak atau bayi dalam kandungan ini keluar dari tempat keluar yang normal dan wajar, dalam hal ini ada kebaikan bagi si anak dan ibunya.

Ketujuh : ada madhorot operasi cesar yang akan dirasakan oleh wanita tersebut, karena operasi akan melemahkan usus, rahim dan yang selainnya, dan terkadang terjadi mal praktek, bisa jadi ia selamat dan bisa jadi tidak.

Kedelapan : wanita yang pernah melakukan cesar hampir-hampir tidak bisa kembali ke persalinan normal, karena tidak memungkinkan baginya dan dikhawatirkan akan merobek bagian yang pernah dioperasi.

Kesembilan : melakukan operasi cesar akan membuat sedikit keturunan (anak), karena jika pernah di cesar 3 kali dari berbagai sisi dan membuat lemah maka kehamilan berikutnya bisa membahayakan.

Kesepuluh : cara ini adalah cara yang mewah. Dan kemewahan merupakan sebab kehancuran, sebagaimana firman Alloh ta’ala tentang golongan kiri :

ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻗَﺒْﻞَ ﺫَﻟِﻚَ‏‎ ‎ﻣُﺘْﺮَﻓِﻴﻦَ

“Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewahan.” [QS. al-Waqi’ah : 45]

Maka yang wajib bagi seorang wanita adalah hendaknya ia sabar dan mengharapkan pahala di sisi Alloh, dan hendaknya ia tetap melahirkan dengan cara yang normal karena itu lebih baik baginya dari sisi kesehatan dan finansial.

Dan bagi laki-laki, hendaknya mereka memperhatikan hal ini. Kita tidak tahu, bisa jadi musuh-musuh kita yang menggampang-gampangkan operasi cesar ini dengan tujuan agar kita kehilangan maslahat-maslahat dan mendapatkan kerugian-kerugian.

Penanya bertanya : Apa maksudnya “kemewahan”?

Syaikh menjawab : mewah karena dengan cara itu akan mencegah rasa sakit dalam persalinan yang normal, dan ini adalah salah satu bentuk kemewahan. Dan kemewahan jika tidak dalam bentuk ketaatan kepada Alloh, maka ia bisa jadi tercela atau minimal hukumnya mubah. (Sumber : Liqo’ Babil Maftuh kaset no. 86 asy-Syaikh al-Utsaimin rohimahulloh)

[Diterjemahkan dari : http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=749336. File Audio : http://www.binothaimeen.com/sound/snd/a0016/A0016-86B.rm]

Sabtu, 07 Juli 2012

Dauroh dan Tabligh Akbar 

" TAMASYA KETAMAN SURGA 3 "

Tanggal 13,14 dan 15 Juli 2012

 

 
1. Bila Hati Di Mabuk Cinta

[Diambil dari kitab Ad-Daa' Wa ad-Dawaa']

Hari: Jum'at dan Sabtu, Tanggal13, 14 Juli 2012

Jam 08.00 - 17.00 wib

Tempat: "Masjid Nurul Islam"

(Jl. Surabaya Kompleks Asratek Ulak Karang, Padang)

GRATIS Makalah untuk 300 peserta pertama


2. Mendulang Pahala dibulan Ramadhan

Hari: Minggu 15 Julii 2012

Jam 08.00 - 12.00 wib

Tempat: " Masjid Istiqomah"

(Jalan H Agus Salim, pertigaan lampu merah Sawahan, Padang)


GRATIS Buku panduan puasa untuk 300 peserta pertama




Pemateri:


Ustadz Hizbul Majid

(Alumnus Darul Hadits Negara Yaman, Da'i Kota Bontang, Kalimantan Timur)

Contact Person:

  • Genta 085363081764

  • Yingki 085669124362

  • Harqi 085382651991


Diselenggarakan oleh:
Forsil [Forum Studi Islam Ilmiah Mahasiswa Sumatera Barat]

Kamis, 05 Juli 2012

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ فَقَالَ أَعَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا نَعَمْ دِينَارَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ


                Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan laki-laki yang memiliki hutang. Lalu didatangkan mayit ke hadapannya. Beliau bersabda: “Apakah dia punya hutang?”  Mereka menjawab: “Ya, dua dinar.”  Beliau bersabda: “Shalatlah untuk sahabat kalian.” (HR. Abu Daud No. 3343, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3343)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ


“Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskannya.” (HR. At Tirmidzi No. 1079, katanya: hasan.  Ibnu Majah No. 2413. Ahmad No. 10607. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 6891, 11048, 11193, 17604  Syu’abul Iman No. 5543. Juga dalam As Sunan Ash Shaghir No. 1615, 1812. Al Hakim, Al Mustadarak ‘alsh Shahihain No. 2219,  Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, 19/93/209. Ad Darimi No. 2591. Abu Ya’la No. 6026. Ibnu Hibban No. 3061, Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 2390, 2512. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 15488)

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 10607). Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hasan. (Tahqiq Musnad Abi Ya’la No. 6026). Imam Al Hakim menyatakan shahih sesuai standar Bukhari-Muslim, tapi mereka berdua tidak meriwayatkannya. (Al Mustadrak No. 2219). Syaikh Al Albani mengatakan shahih. (Shahihul Jami’ No. 6779, Misykah Al Mashabih No. 2915. Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1078). Imam Ibnu Hajar mengatakan hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban dan selainnya. (Fathul Bari, 7/461). Imam Asy Syaukani mengatakan para perawi hadits ini tsiqat (kredibel), kecuali Umar bin Abi Salamah bin Abdirrahman, dia jujur tetapi ada kesalahan. (Nailul ‘Authar, 6/114)

Syarah Hadits:

                Hutang, walaupun sedikit tetaplah hutang, dia harus dibayarkan sebelum wafat. Jika tidak, maka akan menjadi hambatan bagi  orang tersebut setelah wafatnya. Walau pun dia orang shalih dan mati syahid. Oleh karenanya, hendaknya ahli warisnya melunasi untuk kebaikan mayit tersebut di akhirat.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

فيه الحث للورثة على قضاء دين الميت والإخبار لهم بأن نفسه معلقة بدينه حتى يقضى عنه


                Dalam hadits ini terdapat dorongan bagi ahli waris untuk melunasi hutang si mayit, dan pengabaran bagi mereka bahwa jiwa mayit tersebut tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu lunas.  (Nailul Authar, 4/23)

                Jika belum dilunasi, maka jiwa mayit tersebut “tergantung” ……. Apa makna tergantung?

Para ulama berselisih pendapat dalam memaknai mu’allaqah (tergantung) dalam hadits ini. Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarfkafuri Rahimahullah menjelaskan:

قال السيوطي أي محبوسة عن مقامها الكريم وقال العراقي أي أمرها موقوف لا حكم لها بنجاة ولا هلاك حتى ينظر هل يقضى ما عليها من الدين أم لا انتهى


 

Berkata As Suyuthi, yaitu  orang tersebut tertahan untuk mencapai tempatnya yang mulia. Sementara Imam Al ‘Iraqi mengatakan urusan orang tersebut terhenti (tidak diapa-apakan), sehingga tidak bisa dihukumi sebagai orang yang selamat atau binasa, sampai ada kejelasan nasib hutangnya itu sudah dibayar atau belum. Selesai. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/193)

Ada juga yang memaknai bahwa jiwa orang tersebut masyghul (gelisah) karena hutangnya. Hal itu dikatakan Imam Ash Shan’ani Rahimahullah sebagai berikut:

وهذا الحديث من الدلائل على أنه لا يزال الميت مشغولاً بدينه بعد موته، ففيه حث على التخلص عنه قبل الموت، وأنه أهم الحقوق، وإذا كان هذا في الدين المأخوذ برضا صاحبه فكيف بما أخذ غصباً ونهباً وسلباً؟


Hadits ini di antara dalil yang menunjukkan bahwa mayit akan senantiasa gundah (masyghul) dengan hutangnya setelah dia wafat. Pada hadits ini juga terdapat anjuran untuk membersihkannya dari hutang sebelum wafat, karena hutang adalah hak yang paling penting. Hal ini jika pada hutang yang diberikan  menurut kerelaan pemiliknya, maka apa jadinya  pada harta yang mengambilnya secara paksa dan merampas? (Subulus Salam, 2/92)

                Bukan hanya itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga tidak mau menshalatkan jenazah yang masih memiliki hutang, padahal  jika Beliau menshalatinya maka itu menjadi syafaat bagi mayit tersebut. Namun Beliau membolehkan para sahabatnya untuk menshalatkannya.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan:

وَكَانَ إذَا قُدّمَ إلَيْهِ مَيّتٌ يُصَلّي عَلَيْهِ سَأَلَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَمْ لَا ؟ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ صَلّى عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ لَمْ يُصَلّ عَلَيْهِ وَأَذِنَ لِأَصْحَابِهِ أَنْ يُصَلّوا عَلَيْهِ فَإِنّ صَلَاتَهُ شَفَاعَةٌ وَشَفَاعَتَهُ مُوجَبَةٌ


Jika didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang mayit, lalu dia hendak menshalatkan maka Beliau akan bertanya, apakah dia punya hutang atau tidak? Jika dia tidak punya hutang maka Beliau   menshalatkannya, jika dia punya hutang maka Beliau tidak mau menshalatkannya, namun mengizinkan para sahabat menshalatkan mayit itu. Sesungguhnya shalat Beliau (untuk si mayit, pen) adalah syafaat (penolong) dan syafaat Beliau adalah hal yang niscaya. (Zaadul Ma’ad, 1/503)

                Dan, mayit yang berhutang juga terhalang masuk surga walau dia mati syahid. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat berikut:

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْن


“Orang yang mati syahid diampuni semua dosanya kecuali hutangnya.” (HR. Muslim No. 1886, Ahmad No. 7051, Abu ‘Uwanah No. 7369, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2554, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 11110)

Dari Muhammad bin Jahsy Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ مَرَّتَيْنِ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ


                Demi yang jiwaku ada ditanganNya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai hutangnya itu dilunasi. (HR. Ahmad No. 22546, An Nasa’i No. 4684, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 556 dan Al Awsath No. 270, Al Hakim No. 2212, katanya: shahih.   Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10754, ‘Abdu bin Humaid No. 367, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al Aahad wal Matsaani No. 928. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahihul Jami’  No. 3600)

 

 

                Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah menjelaskan:

فيه تنبيه على أن حقوق الاَدمين والتبعات التى للعباد لا تكفرها الأعمال الصالحة وإنما تكفر ما بين العبد وربه


                Pada hadits ini  terdapat peringatan bahwa hak-hak  yang terkait dengan manusia dan tanggungannya, tidaklah bisa dihapuskan dengan amal shalih, sebab amal shalih itu hanya menghapuskan hal-hal yang terkait antara manusia dengan Rabbnya. (Ikmalul Mu’allim, 6/155. Al Syarh Shahih Muslim, 6/362)

Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:

والمراد به جميع حقوق العباد من نحو دم ومال وعرض فإنها لا تغفر بالشهادة وذا في شهيد البر أما شهيد البحر فيغفر له حتى الدين لخبر فيه


                Maksud hutang di sini adalah semua hak manusia baik berupa darah, harta, dan kehormatan. Hal itu tidaklah bisa diampuni dengan mati syahid,  itu untuk syahid perang darat, ada pun syahid perang laut, maka dia diampuni termasuk hutangnya, berdasarkan adanya  riwayat tentang itu. (Faidhul Qadir, 6/599. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Libanon)

                Demikian nasib orang berhutang jika dia wafat.

Lalu, hutang atau orang berhutang yang seperti apakah yang dimaksud hadits di atas? Apakah semua orang berhutang lalu meninggal maka keadaannya seperti itu? Atau untuk hutang tertentu? 

Hutang diatas  -yang membawa dampak buruk bagi mayit-   adalah hutang yang dilakukan oleh orang yang tidak berniat untuk melunasinya, padahal dia mampu. Ada pun bagi yang berniat melunasinya, tetapi ajal keburu menjemputnya, atau orang yang tidak ada harta untuk membayarnya, dan dia juga berniat melunasinya,  maka itu dimaafkan bahkan Allah Ta’ala yang akan membayarnya.

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan:

ويكون هذا فيمن له بقضاء ما عليه من الدين


                Hal ini berlaku bagi  orang yang memiliki sesuatu (mampu) untuk melunasi  hutangnya. (Al Ikmal, 6/155)

               

 

Berkata Imam As Syaukani Rahimahullah:

وهذا مقيد بمن له مال يقضى منه دينه وأما من لا مال له ومات عازمًا على القضاء فقد ورد في الأحاديث ما يدل على أن اللَّه تعالى يقضي عنه


                Ini  terikat pada siapa saja yang memiliki harta yang dapat melunasi hutangnya. Ada pun orang yang tidak memiliki harta dan dia bertekad melunaskannya, maka telah ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala akan melunasi untuknya. (Nailul Authar, 4/23)

                Juga dikatakan oleh Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

ويحتمل أن ذلك فيمن استدان ولم ينو الوفاء


                Yang demikian itu diartikan bagi siapa saja yang berhutang namun dia tidak berniat untuk melunasinya. (Subulus Salam, 3/51)

Ini juga dikatakan Imam Al Munawi:

والكلام فيمن عصى باستدانته أما من استدان حيث يجوز ولم يخلف وفاء فلا يحبس عن الجنة شهيدا أو غيره


               Perbincangan tentang ini berlaku pada siapa saja yang ingkar terhadap hutangnya. Ada pun bagi orang yang berhutang dengan cara yang diperbolehkan dan dia tidak menyelisihi janjinya, maka dia tidaklah terhalang dari surga baik sebagai syahid atau lainnya. (Faidhul Qadir, 6/ 559)

                Ada beberapa riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan bahwa orang yang berhutang lalu dia wafat   dalam keadaan tidak ada kemampuan, padahal berniat untuk melunasinya maka Allah Ta’ala yang akan membayarkannya.

Dari Maimunah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلَّا أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِي الدُّنْيَا


 

“Tidaklah seorang muslim berhutang, dan Allah mengetahui bahwa dia hendak menunaikannya, melainkan Allah Ta’ala akan menunaikannya di dunia.” (HR. Ibnu Majah No. 2408,  Ibnu Hibban No. 5041, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 61,  An Nasa’i  No. 4686, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 6285. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 2408, dan Shahihul Jami’ No. 5677)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ


“Barangsiapa mengambil harta manusia dan dia hendak melunasinya, maka niscaya Allah akan melunaskan baginya. Barangsiapa yang mengambil lalu hendak menghancurkannya   maka Allah akan menghancurkan dia.” (HR. Bukhari No. 2387, Ahmad No. 8733, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 2146)

Kesimpulan:

  1. Orang yang wafat –walau pun mati syahid- dalam keadaan berhutang yang tidak ada itikad baik untuk  melunasinya padahal ada kemampuan untuk itu maka Allah Ta’ala  menggantungkan nasibnya diakhirat, sebab hutang tersebut tidaklah terhapus dengan amal shalih, kecuali sampai hutang itu lunas. Maka hendaknya ahli warisnya mengetahui hal itu dan melunasinya.

  2. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menshalatkan orang berhutang, namun memerintahkan para sahabat untuk menshalatkannya. Ini bermakna orang tersebut tidak mendapatkan syafaatnya dari sisi ini. Jumhur ulama mengatakan orang berhutang tetap dishalatkan.

  3. Orang yang berniat membayar hutangnya, atau bagi orang  yang tidak ada kemampuan, tetapi dia keburu wafat dan tidak sempat melunasinya, maka akan Allah Ta’ala yang akan menggantikanya.


Wallahu a'lam

Artikel Terbaru

Popular Posts