Selasa, 17 Juli 2012

Berikut ini beberapa fawaid yang sangat bagus yang terdapat dalam kitab Waratsatul Anbiyaa karya Syaikh Abdul Malik Al-Qoshim tentang kemuliaan ilmu dan para ulama.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, dia berkata,

كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara.” (HR. Bukhari)

Dan inilah ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu dengan kemuliaan dan kedudukan yang dimilikinya, memegang tali kendali tunggangan Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan berkata,

هكذا أمرنا أن نفعل بعلمائنا

“Seperti inilah yang diperintahkan kepada kami untuk berbuat kepada ulama kami.” (dikeluarkan oleh Al-Hakim)

Dan banyak dari kalangan salaf berkata,

ما صليت إلا ودعيت لوالدي ولمشايخي جميعاً

“Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti mendoakan kedua orang tuaku dan masyayikhku semuanya.” (As-Siyar: 10/82)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

وإذا كان الرجل قد علمه أستاذ؛ عرف قدر إحسانه إليه وشكره

“Dan jika seseorang telah diajari oleh seorang guru, dia akan tahu kadar kebaikannya dan berterima kasih kepadanya (atas jasa yang telah diberikan -pent).” (Majmu’ Al-Fatawa: 28/17)

Tidaklah akan bersatu antara semangat belajar dengan sifat kesombongan. Tidaklah ilmu itu diperoleh kecuali dengan sikap tawadhu’ dan menggunakan pendengaran (dengan sungguh-sungguh -pent). Allah berfirman,

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37)

Berkata Al-Ghazali,

ومعنى كونه ذا قلب أن يكون قابلاً للعلم والفهم، ثم لا تعنيه القدرة على الفهم حتى يلقي السمع وهو شهيد حاضر القلب؛ ليستقبل كل ما ألقي إليه بحسن الإصغاء والضراعة والشكر والفرح وقبول المنة. وليكن المتعلم لمعلمه كأرض دمثة ـ أي لينة سهلة ـ نالت مطراً غزيراً فتشربت جميع أجزائها وأذعنت لقبوله، ومهما أشار إليه المعلم بطريق في التعلم فليتبعه، وليترك رأيه، إذ التجربة تطلع على دقائق يستغرب سماعها مع أنه يعظم نفعها. فكم من مريض محرور يعالجه الطبيب في بعض أوقاته بالحرارة ليزيد في قوته إلى حد يحتمل صدمة العلاج فيعجب منه من لا خبرة له به

“Dan makna seseorang memiliki hati adalah dia dianugerahi ilmu dan pemahaman. Kemudian tidaklah kemampuan untuk memahami itu bermanfaat sampai mendatangkan pendengaran yang dengannya dia menyaksikan hadirnya hati; untuk menerima semua hal yang disampaikan kepadanya dengan penuh perhatian, rendah hati, rasa terima kasih, suka cita dan menerima pemberian dengan rasa syukur. Dan hendaklah seorang murid terhadap gurunya layaknya tanah yang lunak dan datar, menerima air hujan yang turun sehingga menyerap semuanya dan tunduk menerimanya. Walau bagaimana pun, seorang guru menunjukkan jalan di dalam belajar, maka ikutilah dan tinggalkan pendapat pribadi. Karena dalam percobaan memperlihatkan sesuatu yang rumit untuk mendengarkannya padahal memiliki manfaat yang banyak. Betapa banyak orang yang terkena demam pada suatu waktu diberi obat oleh dokter dengan sesuatu yang panas agar bertambah kekuatannya sampai dapat diobati, sehingga takjub orang yang tidak memiliki pengalaman tentang pengobatan.” (Al-Ihya: 1/50)

Berkata Al-Imam Malik kepada seorang pemuda dari Quraisy,

يا ابن أخي! تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Wahai anak saudaraku! Pelajarilah adab terlebih dahulu sebelum belajar ilmu.” (Hilyah Al-Auliya: 6/330)

Dan ketika Al-Laits bin Sa’d menemui para pencari hadits, kemudian melihat sesuatu yang ada pada mereka dan berkata,

ما هذا؟! أنتم إلى يسير من الأدب أحوج منكم إلى كثير من العلم

“Apa ini?! Kalian lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyaknya ilmu.” (Syaraf Ashabul Hadits, hal. 170)

Dan telah berkata Al-Imam Asy-Syafi’i,

لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذل النفس وضيق العيش وخدمة العلماء أفلح

“Tak seorang pun yang menuntut ilmu dengan kekuasaan dan kemuliaan diri kemudian berhasil. Akan tetapi mencarinya dengan kehinaan diri, kesusahan hidup, dan berkhidmat kepada para ulama. Maka dialah yang akan berhasil.” (Majmu’ Al-Fatawa: 1/35)

اصبر على مر الجفا من معلم
فإن رسوب العلم في نفراته
ومن لم يذق مر التعلم ساعة
تجرع ذل الجهل طول حياته
ومن فاته التعليم وقت شبابه
فكبر عليه أربعـاً لوفاته

Bersabarlah atas pedihnya kekerasan seorang guru
Sungguh, kegagalan ilmu jika menjauhinya
Dan barangsiapa yang tidak merasakan pedihnya belajar sesaat
Akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya
Dan barangsiapa hilang (waktunya) menuntut ilmu di waktu muda
Maka bertakbirlah empat kali atas kematiannya.

(Diwan Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 29)

Berkata Ar-Rabi’ bin Sulaiman, teman sekaligus murid Asy-Syafi’i yang terkenal,

والله ما اجترأت أن أشرب الماء والشافعي ينظر إلي هيبة له

“Demi Allah, aku tidak berani meminum air dalam keadaan Asy-Syafi’i melihatku karena segan kepadanya.”

Berkata Al-Imam Ahmad bin Hanbal,

لزمت هشيماً (ابن بشير) أربع سنين ما سألته عن شيء إلا مرتين هيبة له

“Aku belajar kepada Husyaim (Ibnu Basyir) selama empat tahun dan tidaklah aku bertanya kepadanya tentang sesuatu kecuali hanya dua kali karena segan kepadanya.” (Tadzkirah Al-Huffazh: 1/249)

Dan karena itulah seharusnya seorang yang meminta fatwa menjaga adab kepada orang yang berfatwa, menghormati ketika mengajaknya bicara dan bertanya kepadanya serta hal lainnya. Janganlah menunjuk dengan tangan di hadapannya. Dan janganlah berkata kepadanya, “Apa yang Anda hafal tentang ini dan itu? Apa madzhab imam Anda, Asy-Syafi’i tentang masalah ini dan itu?” Ketika dia telah memberikan jawaban, janganlah berkata kepadanya, “Seperti itulah menurutku.” Atau, “Beginilah yang terpikirkan olehku.” Juga, janganlah berkata, “Telah berfatwa kepadaku Fulan.” Atau, “Telah berfatwa kepada kami dari selain Anda demikian dan demikian.” Janganlah meminta fatwa kepadanya dalam rangka mencela dengan mengatakan, “Jika jawaban Anda sesuai dengan permasalahan tersebut maka tulislah. Jika tidak, maka tak perlu ditulis.” (Adab Al-Mufti wal Mustafti, hal. 168)

Dan kemudian hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kedudukan mereka dan dalam rangka menjaga persatuan serta mengambil faedah dari ilmu yang ada padanya dengan penuh adab dan sikap lembut saat bertanya.

Bahkan telah berkata Asy-Syafi’i,

إذا رأيت رجلاً من أصحاب الحديث كأني رأيت رسول الله

“Jika aku melihat seseorang dari kalangan ashabul hadits, seakan-akan aku melihat Rasulullah.” (Syaraf Ashabul Hadits)

العلم ميراث النبي كـما أتـى
في النص والعلماء هم ورثه
ما خلف المختار غير حديثه فينا
فـذاك مـتاعـه وأثـاثه
Ilmu adalah warisan para Nabi sebagaimana telah datang
di dalam nash, sedangkan ulama adalah pewarisnya
Apa-apa yang Nabi Al-Mukhtar meninggalkan perkataannya kepada kita
Maka itulah harta benda beserta perabotannya


Petunjuk yang baik merupakan sinar dan cahaya dari lentera kenabian. Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الهدى الصالح والسمت الصالح والاقتصاد جزء من خمسة وعشرين جزءاً من النبوة

“Sesungguhnya petunjuk yang baik, baiknya perangai, dan kesederhanaan merupakan bagian dari 25 bagian kenabian.” (HR. Ahmad)

Berkata Yahya bin Mu’adz,

العلماء أرحم بأمة محمد من آبائهم وأمهاتهم

“Ulama lebih sayang terhadap umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada ayah dan ibu mereka sendiri.”

Dikatakan kepadanya,

كيف ذلك؟

“Bagaimana bisa demikian?”

Beliau berkata,

لأن آباءهم وأمهاتهم يحفظونهم من نار الدنيا، وهم يحفظونهم من نار الآخرة

“Dikarenakan ayah dan ibu mereka hanya menjaga dari api dunia sedangkan ulama menjaga mereka dari api akhirat.” (Al-Ihya: 1/22)

Dan ketika seorang Arab Badui melewati Ibnu Mas’ud yang sedang mengajarkan hadits kepada murid-muridnya yang berkumpul di sekitar beliau, berkatalah Arab Badui,

علام اجتمع هؤلاء؟

“Kenapa mereka berkumpul?”

Maka berkatalah Ibnu Mas’ud,

على ميراث محمد يقتسمونه بينهم

“Karena ada warisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka sedang membagi-bagikannya.” (Syaraf Ashabul Hadits)

Berkata Abu Dawud Ath-Thayalisiy,

لولا هذه العصابة (أي الفئة والجماعة وهم أهل العلم) لا ندرس الإسلام

“Sekiranya bukan karena kumpulan orang-orang ini (maksudnya adalah kelompok, jama’ah yakni ahlul ilmi) niscaya Islam tidak akan diajarkan (hilang -pent).”

Berkata Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah,

Hendaknya seorang penuntut ilmu memiliki adab yang baik terhadap gurunya. Bersyukur kepada Allah atas kemudahan mendapatkan guru yang mengajarinya dari kebodohan, menghidupkan dari kematiannya, dan membangunkan dari tidurnya, serta mengambil kesempatan di setiap waktu dalam mengambil ilmu darinya. Demikian juga, hendaknya dia juga banyak mendoakan gurunya baik saat gurunya dekat atau jauh. Karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صنع إليكم معروفاً فكافئوه، فإن لم تجدوا ما تكافئونه فادعوا له حتى تروا أنكم كافأتموه

“Barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah dengan hal yang serupa. Jika kalian tidak mendapatkan sesuatu yang serupa untuk membalasnya, maka doakanlah baginya kebaikan sehingga kalian melihat bahwa kalian telah membalas dengan yang sepadan.”

Dan kebaikan mana yang lebih besar dibanding kebaikan ilmu, nasehat, dan bimbingan?! Maka setiap permasalahan yang diambil faedahnya dari seseorang atau sesuatu di atasnya lagi yang terdapat manfaat bagi orang dan yang lainnya, maka hal itu adalah kebaikan dan manfaat yang terus-menerus mengalir bagi pemiliknya. Seorang sahabatku menceritakan kepadaku bahwa dia telah berfatwa mengenai suatu masalah dalam ilmu waris. Sedangkan gurunya telah wafat. Dia bermimpi melihat gurunya membaca di kuburnya dan berkata,

المسألة الفلانية التي أفتيت فيها وصلني أجرها

“Permasalahan yang kamu telah berfatwa padanya, maka pahalanya telah sampai kepadaku.” (Al-Fatawa As-Sa’diyah, hal. 101)

Dan inilah perkara yang telah ma’ruf di dalam syari’at,

من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة

“Barangsiapa yang membuat contoh yang baik maka dia akan mendapatkan pahala orang yang beramal dengannya sampai hari kiamat.”

Saudaraku muslim,

Mencari ilmu itu mudah dan dekat jangkauannya. Dan di antara jalan-jalannya adalah sebagai berikut:
Masuk pada perkualiahan syar’iyyah.

Menghadiri dauroh-dauroh syar’iyyah yang diselenggarakan dari waktu ke waktu.

Selalu mengikuti pelajaran-pelajaran para ulama yang dengannya sebagai balsem bagi luka dan obat bagi penyakit.

Bertanya kepada para ulama baik dengan bertatap muka maupun menghubunginya.

Bersahabat dengan orang-orang baik dan orang-orang shalih.

Mengunjungi para ulama dan mendengarkan ilmu serta nasehat yang disampaikan.

Membaca karya tulis para salafush shalih dan menanyakan perkara yang sulit tentangnya.

Mendengarkan kaset-kaset ceramah ilmiah dari para ulama kita yang mulia.

Janganlah engkau sebagaimana yang dikatakan:

جهلت فعاديت العلوم وأهلهـا
كذا يعادي العلـم من هـو جاهله
ومن كان يهوى أن يرى متصدرا
ويكره «لا أدري» أصيبت مقاتله

Engkau bodoh sehingga engkau memusuhi ilmu dan pemiliknya
Seperti itu juga, ilmu akan memusuhi orang yang bodoh tentangnya
Dan barangsiapa yang ingin terlihat di depannya
Enggan terhadap kata “Aku tidak tahu” maka akan terkena kematiannya.

(Adab Ad-Dunya wad Din, hal. 42)

Dikisahkan, Ibrahim bin Al-Mahdi memasuki tempat Al-Ma’mun yang di sisinya terdapat sekelompok orang yang sedang membahas masalah fikih. Maka beliau berkata,

يا عم، ما عندك فيما يقول هؤلاء؟

“Wahai paman, bagaimana menurutmu tentang ucapan mereka?”

Maka (Ibrahim) menjawab,

يا أمير المؤمنين، شغلونا في الصغر، واشتغلنا في الكبر

“Wahai amirul mukminin, mereka telah menyibukkan kami saat masih kecil, pun di waktu tua kami juga sibuk.”

Maka beliau menjawab,

لم لا تتعلمه اليوم؟

“Tidakkah engkau akan belajar sekarang?”

Dia (Ibrahim) bertanya,

أويحسن بمثلي طلب العلم؟

“Apakah pantas orang sepertiku ini untuk belajar?”

Beliau menjawab,

نعم، والله لأن تموت طالباً للعلم خير من أن تعيش قانعاً بالجهل

“Tentu saja. Demi Allah, engkau meninggal dalam keadaan menuntut ilmu itu lebih baik daripada hidup dalam keadaan rela dengan kebodohan.” (Adab Ad-Dunya wad Din, hal. 49)

Saudaraku yang tercinta,

Berkata Sahl bin ‘Abdillah,

اجهدوا أن لا تلقوا الله إلا ومعكم المحابر

“Bersungguh-sungguhlah kalian agar jangan sampai bertemu dengan Allah kecuali dalam keadaan di sisimu terdapat wadah tinta.” (Syaadzarat Adz-Dzahab: 2/182)

Perhatikanlah perkataan Ibnul Mubarak saat ditanya,

لو أوحي إليك أنك ميت العشية، ما أنت صانع اليوم؟

“Jika diberitahukan kepadamu bahwa anda akan meninggal malam ini, apa yang akan anda lakukan?”

Maka beliau menjawab,

أطلب فيه العلم

“Aku akan mencari ilmu dalam keadaan tersebut.” (Tanbih Al-Ghafilin: 2/467)

Ketika ahli hikmah melihat sesorang yang duduk di atas kitab, maka dia berkata,

سبحان الله! يصون ثيابه ولا يصون كتابه، لصون الكتاب أولى من صون الثياب

“Subhanallah! Dia menjaga pakaiannya akan tetapi tidak menjaga kitabnya. Sungguh menjaga kitab itu lebih utama daripada menjaga pakaian.” (Taqyiid Al-’Ilm, hal. 147)

Ketika Ayyub As-Sakhtiyani mendapat kabar tentang kematian seseorang dari ashabul hadits, dia menjadi sedih karena dan terlihat bekasnya. Namun bila sampai kepadanya kabar kematian dari seorang ahlul ibadah, hal tersebut tidak nampak padanya. (Syaraf Ashabul Hadits)

Dan dikatakan,

العلماء سراج الأزمنة، فكل عالم مصباح زمانه يستضيء به أهل عصره. فكن سراج زمانك، بل وسراج بيتك، وسراج نفسك

“Para ulama adalah lentera zaman. Setiap alim adalah lentera bagi zamannya yang dengannya manusia mencarinya. Maka jadilah engkau lentera bagi zamanmu, bahkan lentera bagi rumah dan jiwamu.” (Tanbih Al-Ghafilin: 2/468)

Berkata Abu Darda’,

وكأنه يطل على كثير من الناس في زماننا هذا: اطلبوا العلم فإن لم تطلبوه فحبوا أهله، فإن لم تحبوهم فلا تبغضوهم

“Seolah-olah beliau melihat dengan jelas bahwa kebanyakan manusia di zaman kita ini: Carilah ilmu, jika kalian tidak mencarinya maka cintailah pemiliknya. Jika kalian tidak bisa mencintai mereka maka jangan benci mereka.” (Kitab Az-Zuhud karya Al-Imam Ahmad, hal 200)

Berkata Ali bin Abi Thalib,

العالم أفضل من الصائم القائم الساجد، وإذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها إلا خلف منه

“Seorang ‘alim lebih utama dibandingkan orang yang berpuasa, shalat malam, dan sujud. Jika ada seorang ‘alim yang meninggal dunia maka Islam memiliki satu lubang, yang tidak akan bisa menutupnya kecuali ada penggantinya.” (Al-Ihya: 1/18)

Dan dengan setiap derajat dan kedudukan orang ‘alim, tidaklah semua itu akan terwujud kecuali dengan kemudahan dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya. Sebagaimana Imam Asy-Syafi’i berkata,

ينبغي للفقيه أن يضع التراب على رأسه تواضعاً لله، وشكراً له

“Hendaknya seorang yang faqih meletakkan tanah di atas kepalanya sebagai bentuk perendahan diri kepada Allah dan bersyukur kepadaNya.” (As-Siyar: 10/53)

Wallahu Ta’ala a’lam

1 komentar:

  1. nama-nama Abdullah sebagai ulama tersohor pada generasi pertama, yakni: Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair dan Ibnu Mas'ud. Siapakah dijaman sekarang ini yang mengikuti jejak ke-ilmuan mereka?

    BalasHapus

Artikel Terbaru

Popular Posts