Minggu, 27 Januari 2013


Ketahuilah, semoga Alloh subhanahu wa ta’ala senantiasa merahmati kita semuanya, bahwa perayaan maulud atau maulid Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam itu tidak dikenal di jaman Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau, juga tidak dikenal di masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in, demikian pula tidak dikenal pada masa imam-imam madzhad yang empat, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh ajma’in.


Ya, karena hal itu memang perkara baru yang diada-adakan atas nama agama Islam, dengan kata lain hal itu adalah bid’ah dalam agama ini.

Menurut sejarah yang shohih, yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ini adalah Bani Ubaid al-Qoddah, yang menamai diri mereka dengan nama “Al-Fathimiyyun”. Mereka memasuki kota Mesir tahun 362 hijriyyah, dan dari sinilah mulai tumbuh berkembang perayaan maulid (hari ulang tahun kelahiran) secara umum dan maulid Nabi secara khusus.

Al-Imam Ahmad bin Ali Al-Miqrizi rohimahulloh (seorang ulama pakar sejarah) mengatakan : “Para kholifah Fathimiyyun mempunyai perayaan yang bermacam-macam setiap tahunnya. Diantaranya adalah : “Perayaan tahun baru, perayaan Hari Asyuro, perayaan Maulid Nabi, perayaan maulid Ali bin Abi Tholib, perayaan maulid Al-Hasan, maulid Husain, maulid Fathimah Az-Zahroh, dan maulid kholifah. Juga ada perayaan awal bulan Rojab, awal Sya’ban, Nishfu Sya’ban, awal Romadhon, pertengahan Romadhon, dan perayaan penutupan Romadhon…..” (Al-Mawa’id wal I’tibar bi Dzikril Khuthothi wal Atsar, 1/490)

Mereka itu adalah orang-orang dari Daulah ‘Ubaidiyyah yang beraqidah Bathiniyyah, mereka itulah yang dikatakan oleh para ulama : “Mereka menampakkan diri sebagai orang Rofidhoh/Syi’ah, padahal sebenarnya mereka adalah murni orang kafir.” (Fadho’ih al-Bathiniyyah ( hal. 37) karya Abu Hamid Al-Ghozali, Kasyful Asror wa Hatkul Astar, karya Al-Qodhi Al-Baqillani, Al-Mu’tamad, karya Al-Qodhi Abu Ya’la rohimahulloh)

Untuk lebih mengetahui bahwa Banu Ubaid al-Qoddah adalah pencetus pertama perayaan bid’ah Maulid ini, silahkan melihat kepada kitab-kitab sebagai berikut : Al-Mawa’id wal I’tibar bi Dzikril Khuthothi wal Atsar (1/280) karya Al-Maqrizi, Shubhul A’sya (3/398) karya Al-Qolqosindi, Tarikh Ihtifal bil Maulid (hal. 69), karya As-Sandubi, Ahsanul Kalam (hal. 44), karya Muhammad Bukhoit al-Muthi’i, Al-Ibda’ fii Madhohiril Ibtida’  (hal. 251) karya Syaikh Ali Mahfudz, dan lain-lain

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh menjelaskan : “Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127).

Demikianlah, lalu bid’ah maulid ini pun menyebar ke seluruh penjuru negeri-negeri muslim yang lainnya. Orang pertama yang merayakan bid’ah maulid ini di Iraq adalah Umar Muhammad al-Mula pada abad ke-enam hijriyyah, lalu diikuti oleh Raja Mudhofir Abu Sa’id Kaukaburi (raja negeri Irbil) pada abad  ke-tujuh hijriyyah, dengan pesta perayaan maulid yang sangat megah. Lalu berkembang ke seluruh penjuru negeri lainnya.

Jadi berdasarkan uraian ringkas di atas, dapat kita simpulkan : (1) Perayaan Maulid ini tidak ada asal-usulnya sama sekali dari ajaran Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, otomatis juga tidak pernah diamalkan oleh generasi salafus sholih (para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in rodhiyallohu ‘anhum ajma’in), (2) Perayaan maulid ini muncul dari kerajaan Bani Fathimiyyun yang kafir dan banyak berbuat bid’ah dan maksiat, (3) Mengadakan perayaan maulid ini, berarti tasyabbuh (menyerupai) Bani Fathimiyyun dalam hal kesesatan dan kerusakan mereka, wallohu a’lamu bis showab. (Dinukil dari kitab Al-Maulid hal. 20 dan kitab Al-Bida’ Al-Hauliyyah hal. 145-146)

Jumat, 25 Januari 2013


Pada dasarnya bersalaman setelah shalat wajib tidak disyariatkan (ghairu masyru’); tidak akan kita temukan tentang hal itu dalam Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, baik dalam bentuk kata perintah wajib atau mustahab(sunah). Sedangkan, wajib dan sunah adalah perkara yang mesti berasal dari pembuat syariat bukan hawa nafsu manusia yang menyangka baik sebuah perbuatan.

Di sisi lain, bersalaman adalah perbuatan yang secara mutlak memang dianjurkan dilakukan sesama muslim, dengan tanpa terikat oleh waktu, tempat, dan peristiwa tertentu. Kita dapat melakukannya ketika pagi, siang, sore, dan malam, ketika berdiri, duduk, dan berbaring, ketika diam atau berjalan, mukim atau musafir, bertemu dan berpisah, di majelis  dan di luar majelis, atau kapan pun, termasuk juga setelah shalat, sebab hal itu termasuk lingkup kemutlakannya.

Namun, masalah mulai timbul ketika bersalaman setelah shalat   telah menjelma menjadi adat dan tradisi  baru secara khusus, yang jika ditinggalkan oleh pelakunya, mereka merasa ada sesuatu yang hilang, atau tidak nyaman, dan mereka baru tentram dihati ketika bersalaman itu mereka lakukan kembali. Seakan bersalaman  adalah ibadah yang terkait dengan shalat itu sendiri.

Ini benar-benar telah terjadi di sebagian fenomena masyarakat Islam. Manakala ada manusia yang tidak mengikuti tradisi ini serta merta orang tersebut dituduh dengan berbagai tuduhan yang jelek. Pada titik ini,  bersalaman setelah shalat telah menjadi wujud baru dalam ritual Islam yang tidak ada dasarnya. Oleh karena itu, masalah ini sangat bersifat kasuistis dan kondisional, tidak dibenarkan secara mutlak dan tidak disalahkan secara mutlak pula. Sebab, memang ada orang yang bersalaman setelah shalat telah menjadi tradisi baginya, setelah dia mengucapkan salam langsung sibuk memutar badan kanan kiri dan belakang untuk bersalaman, dan itu dilakukan lagi pada kesempatan shalat  lainnya,  sehingga ada  jamaah merasa terganggu. Ada pula yang bersalaman karena memang dia baru berjumpa dengan sahabat di kanan kirinya, yang baru ada kesempatan bersalaman setelah shalat. Ada juga yang bersalaman setelah shalat karena dia diajak untuk bersalaman, dia bukan inisiatornya, dan itu pun bukan kebiasaannya, yang jika dia tolak akan melukai hati saudaranya. Nah, semua ini tentu tidak bisa dinilai secara sama.









Dalil-Dalil Umum Bersalaman

                Dari Bara  bin ‘Azib Radhialllahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا

                “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua   sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud No. 5212, At Tirmidzi No. 2727, Ibnu Majah No. 3703, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya, Al Misykah Al Mashabih No. 4679, Shahihul Jami’ No. 5777, dan lainnya)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
قلنا: يا رسول الله! أينحني بعضنا لبعض؟ قال ((لا)). قلنا: أيعانق بعضنا بعضا؟ قال ((لا. ولكن تصافحوا)).

            Kami bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah kami mesti membungkuk satu sama lain?” Beliau menjawab; “Tidak.” Kami bertanya: “Apakah saling berpelukan?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi hendaknya saling bersalaman.” (HR. Ibnu Majah No. 3702, Abu Ya’ala No.  4287. Hadits ini dihasankan Syakh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3702)

Dari Anas pula:
كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا ، وإذا قدموا من سفر تعانقوا

                “Adalah sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa mereka saling bersalaman, jika mereka datang dari bepergian, mereka saling berpelukan.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 97. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2719. Imam Al Haitsami mengatakan: rijalnya (para perawinya) rijal hadits shahih. Lihat  Majma’ Az Zawaid, 8/36)

Dari Ka’ab bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
 دخلت المسجد، فإذا برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقام إلي طلحة بن عبيد الله يهرول حتى صافحني وهنأني.

                Saya masuk ke masjid,  ketika  bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datanglah menghampiri saya Thalhah bin ‘Ubaidillah tergesa-gesa sampai dia menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat kepada saya. (HR. Bukhari No. 4156, Abu Daud No. 2773, Ahmad No. 15789)

Berkata Qatadah Radhiallahu ‘Anhu:
قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم.

            Aku berkata kepada Anas: apakah bersalaman di lakukan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dia menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari No. 5908)

Dan masih banyak lainnya.

Berbagai riwayat dan atsar di atas menunjukkan masyru’-nya bersalaman bagi sesama muslim yakni  pria dengan pria, atau wanita dengan wanita. Dan, hal ini mutlak kapan saja. Para ulama yang menyunnahkan dan membolehkan berjabat tangan setelah shalat berdalil dengan riwayat-riwayat ini, bagi mereka berbagai riwayat ini tidak membatasi hanya saat pertemuan. Sedangkan, dalil ‘aam (umum) dan muthlaq (tidak terikat) adalah menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama belum ada dalil khash (spesifik) dan muqayyad (mengikat) yang mengalihkan kemutlakannya. Nah, dalam bersalaman ini dalil-dalil bersifat ‘aam di atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk bersalaman kapan saja, karena memang tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.

Sedangkan bagi pihak yang memakruhkan bahkan membid’ahkannya, mereka menilai  bahwa yang terjadi adalah bersalaman setelah shalat menjadi kebiasaan tersendiri di masyarakat yang mereka sandarkan kepada agama dan ibadah, dan fakta inilah yang sesungguhnya terjadi,  oleh karena itu dibutuhkan dalil secara khusus untuk mengukuhkannya, jika tidak ada, maka itu tertolak (baca: bid’ah).

Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, masalah ini tidak bisa digebyah uyah begitu saja karena sifatnya yang sangat personal dan kasuistis. Oleh karena itu, mesti dilihat menurut rincian sebagai berikut:

-          Jika melakukannya karena si pelaku  menganggap bersalaman adalah  bagian dari shalat, maka tidak syak lagi, ini adalah bid’ah dhalalah, karena dia telah memasukkan dalam ritual peribadatan yang bukan bagian darinya, walau pun ini hanya dilakukan sekali.

-          Jika melakukannya tidak dianggap bagian dari shalat, tapi dilakukan berulang-ulang dan menjadi adat tersendiri sehingga dipandang memiliki keutamaan tersendiri pula, yang jika ditinggalkan mereka merasa bersalah, maka ini pun bisa berpotensi menjadi bid’ah dalam ibadah. Sebaiknya ditinggalkan, sebab jika amaliah yang benar-benar sunah saja nabi tidak terus menerus melakukan karena khawatir dianggap wajib, apalagi perbuatan yang masih debatable para ulama. Sungguh, keluar dari khilafiah adalah lebih baik.

-           Jika melakukannya dalam kondisi   dia baru berjumpa dengan saudaranya, maka itu tidak mengapa, bahkan bagus walau pun berasal dari inisiatifnya sendiri, dan termasuk aplikasi hadits Bara bin ‘Azib:  Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua selama sebelum berpisah

-          Jika melakukannya bukan inisiatifnya, tetapi dia dalam keadaan berjamaah shalat bersama kaum yang biasa melakukannya dan mereka mengajaknya bersalaman, lalu dia sulit menghindar dan dapat melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain. Dengan demikian dia menjalankan mudharat demi menghindari mudharat yang lebih besar dan berkepanjangan.  Sikap ini merupakan ‘ibrah dari sikap elegan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu yang membid’ahkan qunut subuh tetapi beliau tetap ikut berqunut jika imam melakukannya, demi menjaga kesatuan hati, kesamaan kata,  dan menghilangkan permusuhan.    Fa’tabiruu ..!

Dan, rincian inilah yang menjadi pegangan kami dalam memandang permasalah ini. Wallahu A’lam

Pandangan Para Ulama

Berikut ini adalah pandangan para imam ahlus sunnah yang patut kita jadikan bahan pemikiran. Semua kami paparkan sebagai amanah dan kejujuran ilmiah, bahwa memang perselisihan para ulama dalam hal ini memang wujud (ada). Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap pandangan salah satu dari mereka, yang jelas, pandangan mereka tidak lepas dari menyunnahkan, membolehkan dan memakruhkan bahkan membid’ahkan, dengan alasan  masing-masing yang telah kami sebutkan di atas.

Kami akan membagi dua kelompok, yakni ulama yang menyetujui (baik mengataan sunah atau mubah) dan ulama yang  menolak (baik yang memakruhkan atau membid’ahkan).

Para Ulama Yang Menyetujui

                Mereka adalah sederatan imam kaum muslimin yang nama besar mereka menjadi jaminan kualitas pandangan dan keilmuannya.

  1. Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir:
إِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنْ كَانَ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ رِجَالًا لَا امْرَأَةَ المصافحة بعد الصلاة فِيهِمْ وَثَبَ سَاعَةَ يُسَلِّمُ لِيَعْلَمَ النَّاسُ فَرَاغَهُ مِنَ الصَّلَاةِ

                “Jika seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan  jika yang shalat di belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman setelah shalat bersama mereka, dan  setelah sempurna waktunya, hendaknya dia mengucapkan salam    agar manusia tahu bahwa dia telah selesai dari shalat.” (Al Hawi Al Kabir, 2/343. Darul Fikr. Beirut - Libanon)

  1. Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 660H)

                Beliau memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar sebagai bid’ah yang boleh (bid’ah mubahah).  Berikut perkataannya:
والبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.

               “Bid’ah-bid’ah mubahah (bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah subuh dan ‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang nikmat  berupa  makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal,   melebarkan pakaian  kebesaran ulama,  dan melebarkan lengan baju.” (Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173)

  1. Imam An Nawawi Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 676H)

Beliau juga berpendapat mirip dengan Imam Ibnu Abdissalam di atas. Namun, beliau menambahkan dengan beberapa rincian. Berikut perkataannya:
وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ  رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ

                “Ada pun bersalaman ini, yang dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan ‘ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah telah menyebutkan bahwa itu termasuk bid’ah yang boleh yang tidak disifatkan sebagai perbuatan yang dibenci dan tidak pula dianjurkan, dan ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan, pandangan yang dipilih bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah shalat) dengan orang yang bersamanya sejak sebelum shalat maka itu boleh sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman ketika berjumpa adalah sunah menurut ijma’,  sesuai hadits-hadits shahih tentang itu.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/325. 1423H-2003M. Dar ‘Aalim Al Kitab)

                Dalam kitabnya yang lain beliau mengatakan;
واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها، لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها.

            “Ketahuilah, bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun. Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi itu tidak mengapa. Karena  pada dasarnya  bersalaman adalah sunah, dan keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu, pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’.” (Al Adzkar, Hal. 184. Mawqi’ Ruh Al Islam)  Lihat juga dalam kitabnya yang lain. (Raudhatuth Thalibin, 7/438. Dar Al Maktabah Al ‘ilmiyah)





  1. Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i (w. 974H)



Beliau memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah shalat walau pun shalat id. (Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i 4/224-225. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul Kutub Al ‘Ilmiah, Beirut - Libanon)



Dalam kitabnya yang lain beliau berkata:


وَلَا أَصْلَ لِلْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا فَإِنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمُصَافَحَةِ ، وَقَدْ حَثَّ الشَّارِعُ عَلَيْهَا



“Tidak ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu tidak mengapa, karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’ (pembuat syariat) telah menganjurkan atas hal itu.” (Tuhfatul  Muhtaj, 39/448-449. Syamilah)



  1. Imam Al Muhib Ath Thabari Asy Syafi’i Rahimahullah



Beliau termasuk ulama yang menyunnahkan bersalaman setelah shalat, dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari berikut:

Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ

كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِ



`               “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada saat siang yang panas menuju Al Bath-ha’, beliau berwudhu kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan ‘ashar dua rakaat, dan ditangannya terdapat sebuah tombak.” Syu’bah mengatakan, dan ‘Aun menambahkan di dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia berkata: “Dibelakangnya lewat seorang wanita, lalu manusia bangun, mereka merebut tangan nabi, lalu mereka mengusap wajah mereka dengan tangan beliau. Abu Juhaifah berkata: aku pegang tangannya lalu aku letakan tangannya pada wajahku, aku rasakah tangannya lebih sejuk dari salju, lebih wangi dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari No. 3360,  Ad Darimi No. 1367, Ahmad No.  17476)

                Al Muhib Ath Thabari Rahimahullah mengomentari hadits ini;
 ويستأنس بذلك لما تطابق عليه الناس من المصافحة بعد الصلوات في الجماعات لا سيما في العصر والمغرب إذا اقترن به قصد صالح من تبرك أو تودد أو نحوه

            “Demikian itu disukai, hal ini lantaran manusia telah berkerumun untuk bersalaman dengannya setelah  melakukan shalat berjamaah, apalagi ‘ashar dan maghrib, hal ini jika  persentuhannya itu memiliki tujuan baik,  berupa mengharapkan berkah dan kasih sayang atau semisalnya.”   (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/362. Maktabah Al Misykah)

  1. Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah

Dalam kitab Fatawa-nya tertulis:
( سُئِلَ ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهَا ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا



(Ditanya) tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu sunah atau tidak?

(Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak  mengapa.” (Fatawa Ar Ramli, 1/385. Syamilah)

               

  1. Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al Hanafi Rahimahullah

Beliau berkata ketika membahas tentang shalat Id:
وَالْمُسْتَحَبُّ الْخُرُوجُ مَاشِيًا إلَّا بِعُذْرٍ وَالرُّجُوعُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَلَى الْوَقَارِ مَعَ غَضِّ الْبَصَرِ عَمَّا لَا يَنْبَغِي وَالتَّهْنِئَةِ بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ ؛ لَا تُنْكَرُ كَمَا فِي الْبَحْرِ وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِيبَ الصَّلَاةِ كُلِّهَا وَعِنْدَ الْمُلَاقَاةِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْفُضَلَاءِ

“Disunahkan keluar menuju lapangan dengan berjalan kecuali bagi yang uzur dan pulang melalui jalan yang lain dengan berwibawa dan menundukkan pandangan dari yang dilarang, dan menampakan kegembiraan dengan ucapan: taqabballallahu minna wa minkum, hal ini tidaklah diingkari sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al Bahr, demikian juga bersalaman bahkan itu adalah sunah dilakukan seusai shalat seluruhnya, dan ketika berjumpa sebagaimana perkataan sebagian orang-orang utama.” (Majma’Al Anhar fi Syarh Multaqa Al Ab-har,  A2/59. Mawqi’ Al Islam)

  1. Imam Al Hashfaki Al Hanafi Rahimahullah

Beliau mengatakan;
أي كما تجوز المصافحة لانها سنة قديمة متواترة لقوله عليه الصلاة والسلام: من صافح أخاه المسلم وحرك يده تناثرت ذنوبه وإطلاق المصنف تبعا للدرر والكنز والوقاية والنقاية والمجمع والملتقى وغيرها يفيد جوازها مطلقا ولو بعد العصر، وقولهم إنه بدعة: أي مباحة حسنة كما أفاده النووي في أذكاره

                “Yaitu sebagaimana dibolehkannya bersalaman, karena itu adalah sunah sejak dahulu dan mutawatir, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Barangsiapa yang bersalaman dengan saudaranya muslim dan menggerakan tangannya maka dosanya akan berguguran. Penulis telah memutlakan kebolehannya sebagaimana pengarang Al Kanzu, Al Wiqayah, An Niqayah, Al Majma’, Al Multaqa dan selainnya,  yang membolehkan bersalaman secara mutlak walau setelah ‘ashar, dan perkataan mereka: bid’ah, artinya adalah boleh lagi baik sebagaimana yang dijelaskan An Nawawi dalam Al Adzkarnya.” (Imam Al Hashfaki, Ad Durul Mukhtar,   5/699. Mawqi’ Ya’sub)

  1. Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir)

Beliau menjelaskan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah sunah ketika seorang muslim bertemu muslim lainnya, berdasarkan hadits-hadits nabi yang bisa dijadikan hujjah. Namun  bersalaman setelah shalat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat. Lalu beliau memaparkan perbedaan ulama tentang masalah ini, antara yang membid’ahkan, menyunnahkan, dan membolehkan; seperti pendapat Imam Ibnu Taimiah, Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar. Lalu beliau menyimpulkan:
والوجه المختار أنها غير محرمة ، وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات ، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور .

“Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. … (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, 8/477. Syamilah)

                Dan masih banyak ulama lainnya.

Para Ulama Yang Menolak

                Mereka juga merupakan imam agama yang menjadi kecintaan dan rujukan umat ini. Di antaranya:

  1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah (w. 728H)

Berikut ini dari kitab Majmu’ Fatawa-nya:
وسئل : عن المصافحة عقيب الصلاة : هل هي سنة أم لا ؟

فأجاب :

الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة . والله أعلم .


Beliau ditanya tentang bersalaman sesudah shalat, apakah dia sunah atau bukan?

Beliau menjawab: “Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu A’lam (Majmu’ Fatawa, 23/339)

Imam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang menolak pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, apalagi pembagian bid’ah menjadi lima; bid’ah  yang wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Baginya semua bid’ah adalah dhalalah (sesat). Maka, maksud bid’ahnya salaman berjamaah   dalam fatwanya di atas adalah bid’ah yang sesat.

  1. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Al Hambali Rahimahullah (w. 1420H)

Beliau ditanya tentang sebagian manusia yang setelah shalat menjulurkan tangan untuk bersalaman ke kanan dan ke kirinya, beliau menjawab:
المصافحة بعد سلام الإمام ليس لها أصل بل إذا سلم يقول

“Bersalaman setelah salamnya imam tidaklah memiliki dasar, justru jika usai salam hendaknya mengucapkan ..(lalu beliau memaparkan cukup panjang  berbagai dzikir setelah shalat yang dianjurkan syara’ ).

Lalu beliau melanjutkan:
وأما رفع اليدين بعد السلام فليس له أصل لا الإمام ولا المأموم ، لا يرفع يده بالدعاء ولا يصافح إذا سلم ، لكن يأتي بالذكر الشرعي.

“  Ada pun mengangkat kedua tangan setelah  salam tidaklah memiliki dasar, baik bagi imam dan makmum, tidak mengangkat tangan ketika doa, dan tidak bersalaman (berjabat tangan) setelah salam, tetapi hendaknya dia berdzikir dengan dzikir sesuai syara’…..” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat, 29/309-310. Ar Riasah Al ‘Aamah Lil Buhuts Al ‘ilmiyah wal ifta’)

  1. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al ‘Ashimi An Najdi Al Hambali Rahimahullah (w. 1392H)

Beliau berkata:
والمصافحة بعد السلام من الصلاة لا أصل لها، لا بنص ولا عمل من الشارع وأصحابه، ولو كانت مشروعة لتوفرت الهمم على نقلها، ولكان السابقون أحق بذلك، وقال الشيخ: بدعة باتفاق المسلمين أما إذا كانت أحيانا لكونه لقيه عقب الصلاة، لا لأجل الصلاة فحسن، لكن عند اللقاء فيها آثار حسنة.

                “Berjabat tangan  setelah salam shalat tidaklah memiliki dasar, tidak dalam nash, tidak pada perbuatan syaari’ (Rasulullah) dan sahabatnya, dan seandainya itu disyariatkan niscaya hal itu akan dijaga dan  begitu berhasrat untuk mengambilnya, tetapi orang-orang terdahulu lebih layak untuk melakukannya. Syaikh berkata: bid’ah menurut kesepakatan kaum muslimin, ada pun jika dilakukan kadang-kadang saja.  Karena memang berjumpa  setelah shalat, bukan karena shalatnya itu sendiri maka itu bagus,  bersalaman ketika berjumpa maka itu memilki dampak yang baik.”  (Hasyiah Ar Raudh Al Maraba’, Juz. 2.  Mawqi’ Ruh Al Islam)

  1. Para Ulama di Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia

Berikut kami kutip dari Fatawa Islamiyah:
ما حكم الشرع في المصافحة عقب الصلاة ، هل هي بدعة أم سنة ، وبيان أدلة الحكم ؟

ج المصافحة عقب الصلاة بصفة دائمة لا نعلم لها أصلاً ، بل هي بدعة وقد ثبت عن رسول صلى الله عليه وسلم أنه قال " من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد " . وفي رواية " من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد " .

اللجنة الدائمة

“Apakah hukum syara’ tentang bersalaman seusai shalat, apakah itu bid’ah atau sunah, dan jelaskan dalil hukumnya?”

Jawab:

“Bersalaman setelah shalat dengan keadaan yang dilakukan terus menerus kami tidak ketahui dasar dari perbuatan itu, bahkan itu adalah bid’ah. Telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: Barang siapa yang beramal yang tidak kami perintahkan maka itu tertolak.” Dalam riwayat lain: Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini yang bukan berasal darinya maka itu tertolak.” Lajnah Daimah (Fatawa Islamiyah, 1/ 268. Dikumpulkan dan disusun oleh; Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid )

  1. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah (w. 1421H)

Dalam fatwanya beliau berkata:
المصافحة بين الرجل وأخيه سنة عند الملاقاة فقط وأما بعد السلام من الصلاة المفروضة فإنها ليست بسنة إذ لم ينقل عن الصحابة رضي الله عنهم أنهم كانوا إذا سلموا من الفريضة صافح بعضهم بعض وأما بعد السلام من النافلة فهي سنة إذا كان ذلك من الملاقاة مثل أن يأتي رجل فيقف في الصف فيصلى تحية المسجد فإذا سلم من الصلاة صافح من على يمنه ويساره فإن هذا يدخل في المصافحة عند الملاقاة ولا يعد هذا بدعة

                “Bersalaman antara seorang laki-laki   dengan saudaranya adalah sunah ketika bertemu saja, ada pun setelah salam dari shalat wajib, maka itu bukan sunah. Karena tidak ada riwayat dari sahabat –radhiallahu ‘anhum- bahwa mereka jika setelah salam dari shalat shalat wajib bersalaman satu sama lain. Ada pun setelah shalat sunah maka itu sunah jika hal itu terjadi karena pertemuan. Misal seseorang datang dan dia berdisi di shaf lalu shalat tahiyatul masjid, setelah salam dari shalat dia bersalaman dengan orang di samping kanan dan kirinya, maka ini termasuk dalam kategori bersalaman ketika bertemu dan  janganlah mengira ini bid’ah.”  (Fatawa Nur ‘Alad Darb Lil Utsaimin, pertanyaan No. 780. Syamilah)





  1. Imam Ibnu ‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah

Beliau salah seorang tokoh Hanafiyah muta’akhirin. Pada bagian ini kita melihat bahwa yang menolak bersalaman setelah shalat biasanya adalah dari kalangan Hambaliyah. Tetapi, beliau mengisyaratkan –paling tidak dirinya sendiri- bahwa dari kalangan Hanafiyah ada yang tidak menyukainya.

Beliau mengatakan:
لَكِنْ قَدْ يُقَالُ إنَّ الْمُوَاظَبَةَ عَلَيْهَا بَعْدَ الصَّلَوَاتِ خَاصَّةً قَدْ يُؤَدِّي الْجَهَلَةِ إلَى اعْتِقَادِ سُنِّيَّتِهَا فِي خُصُوصِ هَذِهِ الْمَوَاضِعِ وَأَنَّ لَهَا خُصُوصِيَّةً زَائِدَةً عَلَى غَيْرِهَا مَعَ أَنَّ ظَاهِرَ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ

“Tetapi telah dikatakan, bahwa menekuni hal itu (bersalaman) setelah shalat secara khusus telah membawa orang  bodoh meyakininya sebagai perbuatan yang disunahkan secara khusus pada waktu-waktu tersebut. Dan, sesungguhnya pengkhususan  itu merupakan penambahan atas selainnya  yang saat bersamaan zahir ucapan mereka sendiri menunjukkan bahwa perbuatan ini tidak dilakukan seorang pun dari kalangan salaf yang mengkhususkan dilakukan pada waktu-waktu tersebut.” (Raddul Muhtar, 26/437. Mawqi’ Al Islam)

  1. Imam Ibnu Al Hajj Al Maliki Rahimahullah

Beliau mengatakan:
هذه المصافحة من البدع التي ينبغي أن تمنع في المساجد ، لأن موضع المصافحة في الشرع إنما هو عند لقاء المسلم لأخيه لا في أدبار الصلوات الخمس ، فحيث وضعها الشرع توضع ، فينهى عن ذلك ويزجر فاعله ، لما أتى من خلاف السنة

                “Bersalaman ini termasuk bid’ah-bid’ah yang mesti dilarang terjadi di masjid, karena tempat bersalaman menurut syariat adalah hanyalah pada saat bertemunya seorang muslim  dengan saudaranya, bukan pada saat selesai shalat lima waktu, maka manakala syariat telah meletakkannya maka hendaknya diletakkan semestinya, dan yang demikian itu mesti dicegah dan pelakunya mesti ditegur secara keras, karena dia telah mendatangkan sesuatu yang bertentangan dengan sunah.”  (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/363. Maktabah Al Misykah)


Hari demi hari berlalu, namun sudahkah kita instrospeksi diri terhadap hari-hari yang berlalu dihadapan kita, sudahkah kita bertanya kepada diri kita, amal shalih apakah yang hendak saya amalkan pada hari ini?

Ingatlah bahwa Allah Ta’ala berfirman,

وَوُضِعَ الْكِتابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنا مالِ هذَا الْكِتابِ لا يُغادِرُ صَغِيرَةً وَلا كَبِيرَةً إِلاَّ أَحْصاها وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حاضِراً وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَداً


“Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa akan merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) didalamnya. Mereka berkata ‘sungguh celaka kami! Kitab apakah ini? Tidak ada satupun yang tertinggal, yang kecil maupun yang besar melainkan tercatat semuanya.’ Dan mereka dapati (semua) apa yang mereka kerjakan (tertulis). Dan Rab-mu tidaklah berbuat dzalim kepada seoran  jua pun.” (Al-Kahfi: 49)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحافِظِينَ . كِراماً كاتِبِينَ . يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ


“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu). Mereka mengeyahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Infithar: 10-12)

Berkata shahabat Abu Darda’ radhiyallahu’anhu, “Apabila seseorang menjumpai suatu pagi, berkumpullah hawa nafsu dan amalannya. Jika amalnya menuruti hawa nafsunya, maka harinya menjadi hari yang buruk. Dan jika hawa nafsunya menuruti amalannya, maka harinya menjadi hari yang baik.”[1]

Oleh karena itu bersegeralah dalam memperoleh kebaikan, dan mintalah taufiq kepada Allah agar dibimbing menuju jalan kebahagiaan.

Diantara prinsip-prinsip dalam memulai amalan shalih sehari-hari antara lain[2]:

  1. 1.      Memulai Hari dengan Niat yang Shalih


Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ خَارِجٍ يَخْرُجُ - يَعْنِي مِنْ بَيْتِهِ - إِلَّا بِيَدِهِ رَايَتَانِ: رَايَةٌ بِيَدِ مَلَكٍ، وَرَايَةٌ بِيَدِ شَيْطَانٍ، فَإِنْ خَرَجَ لِمَا يُحِبُّ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، اتَّبَعَهُ الْمَلَكُ بِرَايَتِهِ، فَلَمْ يَزَلْ تَحْتَ رَايَةِ الْمَلَكِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ، وَإِنْ خَرَجَ لِمَا يُسْخِطُ اللهَ، اتَّبَعَهُ الشَّيْطَانُ بِرَايَتِهِ، فَلَمْ يَزَلْ تَحْتَ رَايَةِ الشَّيْطَانِ، حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ


“Setiap orang yang keluar dari rumahnya, maka didepan pintunya ada bendera ditanagan malaikat dan bendera ditangan setan. Apabila ia keluar untuk suatu tujuan yang dicintai oleh Allah, maka malaikat akan mengikutinya dengan membawa benderanya dan dia terus dibawah bendera malaikat hingga ia kembali kerumahnya. Adapun jika ia keluar untuk suatu tujuan yang dimurkai Allah, maka setan akan keluar mengikutinya dengan membawa benderanya dan ia terus dibawah bendera setan hingga ia kembali kerumahnya.”[3]

  1. 2.      Gemar beramal shalih


Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

مَا طَلَعَتْ شَمْسٌ قَطُّ إِلَّا بُعِثَ بِجَنْبَتَيْهَا مَلَكَانِ يُنَادِيَانِ، يُسْمِعَانِ أَهْلَ الْأَرْضِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ هَلُمُّوا إِلَى رَبِّكُمْ فَإِنَّ مَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كَثُرَ وَأَلْهَى، وَلَا آبَتْ شَمْسٌ قَطُّ إِلَّا بُعِثَ بِجَنْبَتَيْهَا مَلَكَانِ يُنَادِيَانِ يُسْمِعَانِ أَهْلَ الْأَرْضِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ: اللهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَأَعْطِ مُمْسِكًا مَالًا تَلَفًا


“Tidaklah terbit matahari kecuali diutus dua malaikat pada kedua sisinya. Keduanya menyeru yang dapat didengar oleh penduduk bumi, kecuali tsaqalain (manusia dan jin): ‘Wahai sekalian manusia! Marilah menuju kepada Rab kalian. Sesungguhnya sedikit namun cukup itu lebih baik dari pada banyak namun melalaikan.’ Dan tidaklah terbenam matahari, kecuali diutus kedua malaikat pada kedua sisinya. Mereka berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfaq. Ya Allah, berikanlah kehancuran kepada orang yang tidak mau berinfaq’.” [4]

Sungguh amat sangat kasihan seorang yang berlalu dari hidupnya tanpa diisi ketaatan kepada Allah Ta’ala. Mereka membuka terbitnya matahari dengan kemaksiatan dan menutup terbenamnya matahari dengan kemaksiatan juga. Wal’iyadzubillah.

  1. 3.      Tidak Tertipu Dengan Angan-angan Kosong.


Hendaknya setiap muslim dan muslimah waspada dari sikap meyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang dapat membeinasakan, merugikan, atau hal-hal lain yang tidak bermanfaat.

Berkata imam Ibnu Jama’ah, “Hendaknya para penuntut ilmu bersegera untuk memanfaatkan masa mudanya dan seluruh waktu dari umurnya utuk memperoleh ilmu. Janganlah ia tergoyahkan dari tipuan angan-angan kosong dan emnunda-nunda, karena setiap saat dari umurnya akan berlalu, tidak akan pernah kembali, dan tidak dapat diganti.”[5]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

الشَّيْخُ يَكْبَرُ، وَيَضْعُفُ جِسْمُهُ وَقَلْبُهُ، شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَيْنِ: طُولِ الْعُمُرِ، وَالْمَالِ


“Setiap orang tua akan bertambah tua dan badannya akan melemah, namun hatinya senantiasa merasa muda dalam kedua kecintaan: (1) panjang umur dan (2) cinta harta.”[6]

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam bersabda,

يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَبْقَى مِنْهُ اثْنَتَانِ: الْحِرْصُ، وَالْأَمَلُ


“Setiap anak Adam itu akan menjadi tua dan hanya tersisa darinya dua hal: ambisi dan angan-angannya.”[7]

Allah Ta’ala berfirman,

...الشَّيْطانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلى لَهُمْ


“...Setan telah menjadikan mereka mudah untuk (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. Muhammad: 25)

  1. 4.      Bersungguh-sungguh dalam memperoleh sesuatu yang bermanfaat.


Hendaknya setiap muslim dan muslimah senantiasa mengkonsentrasikan dirinya untuk sesuatu yang bermanfaat didunia dan akherat, disertai ketundukan kepada-Nya dan permintaan tolong kepada-Nya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ، فَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللَّهُ، وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ


Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa-apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganah engkau berkata, ‘seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu,’ tetapi katakanlah, ‘Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki,’ karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan setan.”[8]

  1. 5.      Tawakkal Kepada Allah Ta’ala


Hendaknya setiap muslim untuk mengisi aktivitasnya dengan tawakkal kepada Allah. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallammbersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا


“Andaikan kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mreka pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang pada sore hari dalam keadaan perut kenyang.”[9]

Berkata imam Ibnu Rajab, “Hadits ini adalah landasan dalam bertawakkal. Hal itu juga diantara sebab dalam memperoleh rizki.”[10]

  1. 6.      Senantiasa Bersikap Jujur


Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى البِرِّ، وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إِلَى الجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا


“Hendaknya kalian selalu jujur, karena jujur menunjukan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukan kepada surga, senantiasa seseorang itu jujur dan selalu berusaha jujur sehingga ditulis disisi Allah sebagai seorang yang jujur.”[11]

  1. Larangan Berbuat Dzalim


Larangan ini mencangkup kedzaliman kepada diri sendiri seperti kesyrikan, kebid’ahan, dan segala bentuk maksiat. Maupun kedzaliman kepada orang lain seperti menipu, mencuri, menghancurkan kehormatan orang lain, dst.

Adzab bagi orang yang dzalim amat berat dan pedih, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

«إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ» قَالَ: ثُمَّ قَرَأَ: {وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ القُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ}


“Sesungguhnya Allah pasti menunda (huuman) bagi orang yang dzalim, namun jika Allah telah menyiksanya, maka Dia tidak akan meloloskannya.” Kemudian beliau shallallahu’alaihi wasallam membaca ayat, Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.”(QS. Huud: 102)[12]

  1. 8.      Bersikap Zuhud


Syaikhul Islam mendefinisikan zuhud yang benar menurut syari’at Islam adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akherat serta hatinya yakin dan percaya dengan apa yang ada disisi Allah Ta’ala.[13]

Bersikap zuhud akan menatangkan kecintaan Allah dan kecintaan manusia. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ


“Zuhudlah di dunia, niscaya engkau dicintai Allah. Dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, niscaya engkau akan dicintai oleh manusia.”[14]

Hendaknya setiap muslim bererientasi  kepada akherat dalam menjalani kehidupan dunianya.

Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا نِيَّتَهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِي راغمة


“Barang siapa yang tujuan hidupnya adalah dunia, niscaya Allah akan mencerai beraikan urusannya, menjadikan kefaqiran di pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia (sekedar) apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barang siapa yang niat (tujuan)nya adalah akherat, niscaya Allah akan smengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”[15]

  1. 9.      Dilarang Saling Mendengki


Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا


“Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling berbuat najasy[16], jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan janganlahh sebagian kalian membeli barang yang ditawar oleh orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.[17]

Namun amat sangat disayangkan sifat ini acap kali terjadi dikalangan para pedagang, para pelaku bisnis, dalam kehidupan bertetangga, bahkan terkadang menjangkiti para ulama dan penuntut ilmu. Wallahul musta’an.

 








[1]  Dzammul Hawa’: no. 22, karya imam Ibnul Jauzi.




[2]  Lihat Ritual Sunnah Setahun: hal. 39-49, karya Ust. Yazid Jawwas hafidzahullah.




[3]  HR. Ahmad: 2/323. Dengan sanad yang hasan.




[4]  HR. Ahmad: 5/197, abu Dawud Ath-Thayalisi: no. 1072, Ibnu Hibban: no. 2476-Al-Mawarid, Al-Hakim: 4/444-445), dan lainnya. Dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani didalam Ash-Shahihah: no. 443.




[5]  Tadzkiratus saami’ wal Mutakallim: hal. 114-115.




[6]  HR. Ahmad: 2/335, 369. Dihasankan oleh syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: no. 1906.




[7]   HR. Ahmad: 3/115, 275. Dishahihkan oleh syaikh Al-Albani didalam Shahih Al-Jami’: 8173.




[8]  HR. Muslim: no. 2664.




[9]  HR. Tirmidzi: no. 2344, Ibnu Majah: no. 4164 dll, dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani didalam Ash-Shahihah: no. 310.




[10]  Jami’ul Ulum Wal Hikam: hal. 516.




[11]  HR. Bukhari: no. 6094 dan Muslim: no. 6805.




[12]  HR. Bukhari: 4686 dan Muslim: no. 2583.




[13]  Majmu’ Fatawa: 10/641.




[14]  HR. Ibnu Majah: no. 4102, Ibnu Hibban dalam Raudhotul ‘Uqalaa’: hal. 128, Ath-Thabrani: no. 5972, lihat Ash-Shahihah: no. 944 dan Shahih Al-Jami’: no. 950.




[15]  HR. Ahmad: 5/183, Ibnu Majah: no. 4105 dll, serta dishahihkan oleh syaikh Al-Albani didalam Ash-Shahihah: no. 950.




[16]  Najasy adalah seorang berpura-pura menawar suatu barang dagangan dengan harga tinggi dihadapan para pembeli lainnya. Tujuannya supaya nilai barang itu semakin tinggi dan orang yang membelinya tidak merasa kemahalan.




[17]  HR. Muslim: no. 2564.




16.      Makan Dan Minum Dengan Duduk

Merupakan adab yang benar dari adab makan dan minum adalah makan dan minum sambil duduk, sebagaimana telah lalu penjelasan hal tersebut.

Adapun berkaitan dengan hukum makan sambil berdiri maka itu diperbolehkan sebagaimana perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ


“Dahulu kami pernah makan di zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam keadaan berjalan, dan kami pernah minum dalam keadaan berdiri.”[1]

Berkata imam Ibnu Hajar rahimahullah, “Tidak ada khilaf tentang bolehnya bagi seseorang untuk makan dengan berdiri.”[2]

Disana terdapat hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,

أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا "، قَالَ: فَقُلْتُ: فَالْأَكْلُ، قَالَ: " أَشَرُّ وَأَخْبَثُ "


 “Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang seseorang minum dengan berdiri.” Maka Qatadah berkata, “Bagaimana dengan makan?” maka Anas berkata itu lebih jelek.”[3]

Namun riwayat diatas tidaklah menunjukan akan keharaman makan dengan berdiri, dikarenakan para shahabat pernah melakukan hal tersebut.

Adapun tentang minum sambil berdiri maka ada beberapa dalil yang menunjukan akan larangannya antara lain:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا، فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ


Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan.” [4]

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri.[5]

Namun disana terdapat beberapa dalil yang menunjukan pembolehan minum dengan berdiri antara lain:

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

سَقَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا


Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي، وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ


Kami dahulu pernah makan di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sambil berjalan dan kami minum sambil berdiri.” [6]

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " يَصُومُ فِي السَّفَرِ وَيُفْطِرُ، وَرَأَيْتُهُ يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا، وَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي حَافِيًا وَمُنْتَعِلًا، وَرَأَيْتُهُ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ "


Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan berbuka ketika safar, minum sambil berdiri dan duduk, shalat dengan telanjang kaki dan memakai sandal, serta berpaling dari arah kanan dan kirinya (setelah selesai shalat).” [7]

Dalam menyikapi beberapa hadits di atas yang (kelihatan) saling bertentangan, para ulama terkelompok dalam 3 metode :

  1. Tarjih (menguatkan pendapat).


Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan:

a). Mengunggulkankan hadits pelarangan daripada pembolehan sebagai langkah hati-hati sebagaimana pengamalan terhadap sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :


دَعْ ما يريبُكَ إلى ما لاَ يرِيبُكَ


“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu.” [8]

Selain itu, hadits-hadits pelarangan datang melalui ucapan beliau, sedangkan hadits-hadts pembolehan datang melalui perbuatan beliau. Dalam hal ini, perkataan lebih didahulukan daripada perbuatan, karena ada kemungkinan bahwa perbuatan beliau minum sambil berdiri merupakan kekhususan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja, bukan untuk yang lainnya.

b). Mengunggulkan hadits pembolehan daripada pelarangan karena dianggap lebih kuat, lebih shahih, dan lebih banyak jumlahnya. Abu Bakr Al-Atsram dalam salah satu perkataannya mengungkapkan pendapat ini. Ini juga salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal dan yang masyhur dalam madzhabnya, serta jumhur Malikiyyah.
Pembolehan minum sambil berdiri secara mutlak merupakan pendapat jumhur tabi’in seperti : Sa’iid bin Jubair, Thaawus, Zaadzaan Abu ‘Umar Al-Kindiy, dan Ibrahim bin Yaziid An-Nakha’iy.[9]

2. Nasakh.
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan :
a. Hadits-hadits larangan telah mansukh oleh hadits-hadits pembolehan, dengan bukti yang dilakukan oleh Khulafaaur-Raasyidiin, sebagian besar shahabat, dan tabi’in yang membolehkannya. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Atsram[9] dan Ibnu Syaahin[10]. Al-Qurthubi[11] juga menguatkan pendapat ini dan menisbatkannya kepada jumhur shahabat dan ulama setelahnya.

b. Hadits-hadits pembolehan telah mansukh oleh hadits-hadits pelarangan, dengan dasar bahwa pembolehan adalah hukum asal, sedangkan pelarangan adalah hukum yang datang kemudian sebagai satu ketetapan syar’iy. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Hazm[12].

3. Al-Jam’u wat-Taufiiq (Kompromi).
Pada metode ini, ada banyak perkataan dan penafsiran dari para ulama. Akan disebutkan beberapa diantaranya yang utama :
Ada yang mengatakan bahwa bolehnya minum sambil berdiri hanya jika ada hajat/keperluan; selain dari itu, maka dibenci. Ini merupakan pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim rahimahumallah. Ibnu ‘Utsaimin termasuk yang bersepakat dengan mereka berdua.[10]

Ada yang memahami bahwa pelarangan minum sambil berdiri bukanlah pelarangan yang bermakna tahriim (pengharaman). Pelarangan tersebut bukan pelarangan yang bersifat syar’iy, namun dengan pelarangan atas pertimbangan kedokteran (thibbiy) yang akan menimbulkan bahaya/mudlarat. Disebutkan oleh Ibnul-‘Arabiy dalam ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/73. Ath-Thahawiy juga menyebutkan hal semakna dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/274 & 276 dan Syarh Musykilil-Aatsaar 5/347.

Ada yang mengatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri ini khusus ketika minum air zamzam dan kelebihan/sisa air wudlu. Ini merupakan pendapat ‘Ali Al-Qaariy dan sebagian ulama Hanafiyyah lainnya.[11]

Ada yang mengatakan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini adalah jika lupa saja sebagaimana dikatakan oleh Abul-Faraj Ats-Tsaqafiy.[12]

Ada pula yang berpendapat bahwa perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai pelarangan itu hanyalah makruh saja, sedangkan perbuatan beliau (yang minum sambil berdiri) menjelaskan tentang kebolehannya. Hadits-hadits pelarangan dibawa kepada makna disukainya minum sambil duduk, serta dorongan kepada amal-amal yang lebih utama lagi sempurna. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya adalah : Al-‘Aini dari kalangan Hanafiyyah, Al-Maaziri dari kalangan Maalikiyyah, dan Ibnu Jariir Ath-Thabari. Jumhur ulama Syafi’iyyah[13], juga menyepakati pendapat ini, diantaranya adalah : Al-Khaththaabiy, Al-Baghawi, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.[14]

Mana yang terpilih dan terkuat dari pendapat-pendapat tersebut ?



Tidak ragu lagi bahwasannya pendapat yang terpilih dan paling kuat adalah pendapat jumhur ulama yang menempuh metode al-jam’u wat-tawfiiq (kompromi) dengan menggunakan semua dalil (tanpa meninggalkan salah satu di antaranya), dimana mereka mengatakan : Pelarangan minum sambil berdiri hanya bermakna makruh saja. An-Nawawi telah memberikan penjelasan yang sangat baik, “Tidak ada kontradiksi dalam hadits-hadits ini, segala puji bagi Allah ta’ala. Tidak ada pula kelemahan padanya, bahkan semua hadits-hadits tersebut adalah shahih. Dan yang benar di dalamnya adalah : Larangan dalam hadits tersebut dibawa kepada hukum makruh tanziih. Adapun minumnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri merupakan penjelasan bolehnya perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam memahaminya dan tidak pula ada pertentangan. Inilah yang perlu dikatakan dalam persoalan ini.
Apabila dikatakan : “Bagaimana minum sambil berdiri bisa dikatakan makruh dengan kenyataan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya?”.
Jawabannya adalah : Perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang kebolehannya, bukan kemakruhannya. Bahkan menjelaskan tentang segala hal tersebut adalah wajib bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lantas bagaimana bisa dikatakan makruh ? Telah shahih dari beliau bahwa beliau pernah wudlu sekali-sekali (dalam basuhan anggota badan) dan thawaf di atas onta yang bersamaan itu para ulama telah bersepakat bahwa wudlu tiga kali-tiga kali (dalam basuhan) dan thawaf dengan berjalan kaki lebih sempurna (lebih baik). Ada banyak contoh serupa dalam hal ini. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kebolehan membasuh sekali atau berkali-kali, namun di sisi lain beliau tetap mengerjakan yang utama. Dan memang seperti itulah kebiasaan ( yang sering dilakukan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika wudlu dengan membasuh sebanyak tiga kali-tiga kali, berjalan kaki ketika thawaf, dan duduk ketika minum. Perkara ini sangat jelas tanpa ada permasalahan meskipun bagi orang yang rendah nisbatnya kepada ilmu. Wallaahu a’lam. [15]

Tidak bisa dikatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri itu hanya dikhususkan bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini terjawab oleh perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :


كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي، وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ


“Kami pernah makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [telah berlalu takhrij-nya].

Walaupun teks redaksinya adalah mauquf, namun ia dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Para shahabat melakukannya ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Dan itu senantiasa mereka lakukan setelah beliau wafat.

Hadits ini juga menjawab sebagian besar pendapat-pendapat yang keliru di atas.
Adapun anggapan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini jika hanya ada hajat, maka itu terjawab oleh hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dimana ia mengingkari ketidaksukaan sebagian orang minum sambil berdiri. Banyak nukilan shahabat dan tabi’in dimana mereka minum sambil berdiri tanpa ada hajat. Oleh karena itu, kebolehan ini adalah bersifat umum (dalam segala keadaan).
Metode tarjih dan klaim adanya nasakh juga harus ditinggalkan selama metode kompromi bisa dilakukan.

17.       Mengambil Makanan yang Jatuh dan Membersihkannya Kemudian Dimakan

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا وَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila sepotong makanan jatuh dari salah seorang di antara kalian, hendaknya dia ambil dan dia bersihkan dari kotoran lalu dia makan dan tidak membiarkannya untuk setan.”



Adapun menyia-nyiakan makanan yang telah jatuh tersebut adalah merupakan pemborosan. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (al-Isra: 27)

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

“(Sesungguhnya Allah) membenci (perbuatan kalian) yang memberitakan berita yang tidak jelas kebenaran dan manfaatnya, banyak bertanya, serta membuang-buang harta.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Mughirah bin Syu’bah)

Berkata imam An-Nawawi rahimahullah, “Makanan yang ada dihadapan manusia adalah sebuah barakah, sedangkan seseorang tidaklah mengetahui dibagian mana terdapat barakah tersebut. Bisa jadi menempel pada jari-jemarinya, dinampannya, atau pada suapan yang jatuh. Maka seharusnya (setiap muslim) benar-benar memperhatikan seluruh hal tersebut. Sedangkan makna dari barakah adalah tetapnya suatu kebaikan, oleh karena itu maksud dari barakah disini –Wallahu a’lam- adalah tambahan kebaikan yang terdapat dalam makanan tersebut, yang mana makanan tersebut tidak menyebabkan seseorang terkena penyakit, atau makanan tersebut akan menguatkan seseorang diatas ketaatan kepada Allah.” [16]

Para fuqaha’ menyebutkan beberapa faedah dari adab yang kita bahas ini antara lain:

a). Sebagai realisasi dari pengamalan terhadap sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

b). Sebagai bentuk tawadhu’ dan meniadakan kesombongan.

c). Sebagai bentuk penghormatan, syukur, dan tidak meremehkan terhadap nikmat Allah.

d). Adanya kemungkinan diperolehnya barakah pada makanan yang jatuh tersebut.

e). Menutup peluang bagi setan untuk memakan makanan tersebut. Berkata imam An-Nawawi rahimahullah, “Walaupun makan tersebut jatuh di tempat najis, tetaplah diusahakan untuk dibersihkan, namun apabila ternyata tetap tidak layak untuk dimakan berikanlah makanan tersebut kepada binatang, dan janganlah dia tinggalkan makanan tersebut untuk setan.”[17]

f). Sebagai bentuk penghematan dan penghindaran dari pemborosan. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Termasuk dari adab dalam makan adalah: apabila jatuh makanan makanan seseorang  ketanah janganlah ia biarkan; dikarenakan setan selalu hadir dalam seluruh sendi-sendi kehdupan manusia. Dan seseorang tatkala memungut makannya yang jatuh sebagai bentuk realisasi dari pelaksanaan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam, karena tawadhu’ kepada Allah, dan dengan tujuan untuk menghambat setan dari memakan makanan tersebut, maka ia akan mendapatkan tiga faedah: (pahala) karena dia melaksanakan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam, (pahala) tawadh’, dan (pahala) telah menghadang setan dari memakan hal tersebut.”[18]

Adab yang agung ini telah dibahas oleh para ulama antara lain: imam Ibnu Hazm (Al-Muhalla: 6/117), penulis kitab Hasyiyah Tuhfatul Muhtaj: 7/438, imam Ibnul Hubairah (Al-Inshaf: 8/327), Al-Mabshuth: 30/268, dan Al-maushu’ah Al-Fiqhiyyah: 6/121).[19]

Namun –Wallahul musta’an- kita lihat banyak dari masrakat kita (kecuali yang dirahmati oleh Allah) sangat cuek dengan adab tersebut. Bahkan yang memperihatinkan ada diantara mereka yang menganggap jorok seorang yang memungut makanannya untuk dibersihkan kemudian dimakan lagi, bahkan ada yang tega menuduh seorang yang mengamalkan sunnah ini sebagai seorang yang rakus dan tidak tahu sopan santun. Subahanak hadza buhtanun ‘adzim.

Beberapa Hadits-hadits Dho’if tentang keutamaan memungut makanan yang jatuh



1). Hadits:

من أكل ما يسقط من الخِوان والقَصعةِ أمِن من الفقر والبرص والجذام ، وصُرِفَ عن ولده الحُمقُ

“Barang siapa memakan makanan yang jatuh dari piring atau nampan, maka dia akan terselamatkan dari kefaqiran, lepra, kusta, dan anaknya pun akan terselamatkan dari penyakit gila.”

Dalam riwayat lain disebutkan,

أُعطِيَ سعةً من الرزق ، ووُقِيَ الحمقَ في ولده ، وَوَلَدِ ولده

“Akan diberi kelusan rizki, akan terjaga dirinya dan anak keturunannya dari penyakit gila.”

Dan hadits-hadits yang semisalnya, maka seluruh jalan periwayatannya tidak shahih sebagaimana dijelaskan oleh imam As-Sakhawi.[20]

Demikian juga tidak disunnahkan sama sekali untuk mencium roti sebelum kita makan.[21]

18. Janganlah Memakan Makanan Yang Masih Panas.

Di antara perkara yang banyak dilalaikan oleh mayoritas orang yang justru dengan melalaikannya akan menyebabkan luputnya banyak barakah adalah memakan makanan atau minuman dalam keadaan sangat panas. Dan semestinya kita makan atau minum dalam keadaan dingin atau tidak terlalu panas. Asma’ bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma apabila dibawakan tsarid kepada beliau, beliau menyuruh menutupnya sehingga hilang panasnya yang sangat dan asapnya. Dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hal ini akan menyebabkan barakah lebih banyak.”[22]

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:   “Makanan tidak boleh dimakan melainkan setelah hilang asap panasnya.”[23]

Imam Ibnul Qoyyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah menyantap makanan dalam keadaan masih panas.”[24] Yang dimaksud berkah dalam hadits dari Asma’ di atas adalah gizi yang didapatkan sesudah menyantapnya, makanan tersebut tidak menyebabkan gangguan dalam tubuh, membantu untuk melakukan ketaatan & lain-lain. Yang dimaksud berkah dalam hadits dari Asma’ di atas adalah gizi yang didapatkan sesudah menyantapnya, makanan tersebut tidak menyebabkan gangguan dalam tubuh, membantu untuk melakukan ketaatan & lain-lain. demikian yang dinyatakan oleh Imam Nawawi.[25]

Masalah: Ada beberapa minuman yang tidak diminum melainkan dalam keadaan panas seperti minum teh dan sebagainya, lalu bagaimana jalan keluarnya?

Jawabnya: Hendaknya dia menunggu sampai menghilang asap panasnya kemudian dia minum, walaupun dalam keadaan panas. Minumlah dengan tenang sambil menikmatinya. Wallahu a’lam.

 

19. Anjuran makan sambil bicara

Selama ini, di sebagian daerah bila ada orang makan sambil bicara dianggap tabu. Sudah saatnya anggapan demikian kita hapus dari benak kita, sunnah Nabi menganjurkan makan sambil bicara. Hal ini bertujuan menyelisihi orang-orang kafir yang memiliki kebiasaan tidak mau berbicara sambil makan. Kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan tidak menyerupai mereka dalam hal-hal yang merupakan ciri khusus mereka.

Ibnul Muflih mengatakan bahwa Ishaq bin Ibrahim bercerita, “Suatu ketika aku makan malam bersama Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal ditambah satu kerabat beliau. Ketika makan kami sedikit pun tidak berbicara sedangkan Imam Ahmad makan sambil mengatakan alhamdulillah dan bismillah setelah itu beliau mengatakan, “Makan sambil memuji Allah itu lebih baik daripada makan sambil diam.” Tidak aku dapatkan pendapat lain dari Imam Ahmad yang secara tegas menyelisihi nukilan ini. Demikian juga tidak aku temukan dalam pendapat mayoritas ulama pengikut Imam Ahmad yang menyelisihi pendapat beliau di atas. Kemungkinan besar Imam Ahmad berbuat demikian karena mengikuti dalil, sebab di antara kebiasaan beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.” [26]

Dalam al-Adzkar, Imam Nawawi mengatakan, “Dianjurkan berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam sub “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam makanan.” (al-Adzkar hal 602, edisi terjemah cet. Sinar baru Algen Sindo).[27]



20.     Menjilati Nampan, Wadah, dan Sejenisnya

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata, “Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menghabiskan makanan yang ada di nampan, kemidian beliau bersabda,

فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ


“Kalian tidak tahu makanan manakah yang mengandung barakah.”[28]

Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Sudah sepatutnya bagi seseorang untuk menjilati piring, periuk, dan wadah (yang digunakan untuk makan). Jika selesai makan, maka jilatilah bagian tepinya. Hal itu sebagaimana diperintahkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Sebab, anda tidak tahu di bagian mana makanan mengandung berkah. Namun yang disayangkan, orang-orang justeru memilah-milih dari makanannya tanpa mengamalkan sunnah ini. Sehingga anda akan dapati ada ditepi-tepi piring beberapa sisa makanan. Hal itu terjadi karena ketidak fahaman terhadap sunnah ini. Sekiranya para penuntut ilmu makan bersama orang-orang awam lalu menerangkan sunnah ini dan sunnah lainnya dalam hal makan dan minum, niscaya sunnah ini akan tersebar. Sepatutnya kita memohon kepada Allah agar mengampuni dosa dan kesalahan kita, dikarenakan kita sering melampaui batas dan melanggar aturan-Nya. Yang demikian itu berkebalikan dengan perintahnya. Dan tentu berseberangan dengan dakwah menuju kebenaran.”[29]

Beliau juga berkata, “Amalan ini (menjilati piring) termasuk sunnah yang kebanyakan orang lali terhadapnya. Bahkan para tholabil ‘ilmi pun meninggalkannya. Yakni tatkala mereka selesai makan dan masih ada makanan yang tersisa, mereka tidak mau menjilati piring mereka. Yang demikian itu tentu berseberangan dengan perintah  Nabi shallallahu’alaihi wasallam.”[30]



21.      Menjilati Jari-Jemari Sehabis Makan

Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan keutamaan hal tersebut, antara lain:

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا


“Apabila salah seorang diantara kalian telah selesai menyantap makanan, maka janganlah ia membasuh tangannya hingga ia menjilatinya atau meminta orang lain untuk menjilatinya.”[31]

Dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu’anhu ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ، وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا


“Nabi shallallahu’alaihi wasallam biasa makan dengan menggunakan tiga jari dan menjilati tangannya sebelum membasuhnya.”[32]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Hadits tersebut terdapat bantahan terhadap orang-orang yang tidak suka menjilati jari jemarinya dengan alasan jijik. Lasan terebut dibenarkan manakala dilakukan saat sedang makan, sebab ia memasukkan jari-jemarinya yang terkena air liurnya kedalam makanan lagi.”[33]

Jadi, merupakan suatu kesalahan adalah siapa saja yang menjilati jari-jemarinya saat makan, lantas meneruskan makannya lagi. Yang mana hal itu akan membuat makanan terlihat jijik dihadapan orang lain. Namun yang benar menjilat jari jemari dilakukan setelah makan sebelum mengelap atau mencuci tangan.

Berkata Al-Khattabi rahimahullah, “Nabi shallallahu’alaihi wasallam menjelaskan alasan menjilati jari jemari tangan dan sisa-sisa yang ada di piring sebelum dibersihkan yakni pada sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, (Sebab ia tidak tahu pada bagian mana terdapat keberkahan pada makanan tersebut). Beliau ingin memaparkan kepada anda sekalian barang kali barakah itu terdapat pada makanan yang dijilati di jari jemari dan sisa-sisa di piring yang dihabiskan. Namun sunnah ini telah menuai cercaan sebagian oknum yang mereka hidup dalam kemewahan. Mereka menggantinya dengan kebiasaan makan hingga kekenyangan dan menganggap menjilati jari-jemari adalah perilaku yang menjijikkan. Seolah-olah mereka tidak menyadari bahwa apa yang dijilati dan sisa makanan yang ada pada piring adalah bagian dari apa yang ia makan sendiri. Bila seluruh makanan yang dimakan itu tidak menjijikkan, tentunya sisa makanan yang ada di piring dan menempel pada jari-jemari tentunya tidak menjijikkan.”[34]

Berkata asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Hadits ini memiliki beberapa faedah, sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa dokter, yakni: jari-jemari yang digunakan untuk makan ternyata mengeluarkan zat yang mampu digunakan untuk mencerna makanan. Dengan demikian, menjilati jari-jemari seusai makan memiliki dua manfaat: pertama, mengikuti sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Kedua, ditinjau dari segi kesehatan, yaitu adanya zat yang keluar dari jari-jemari seusai makan yang dapat membantu pencernaan makanan.

Seorang mukmin hendaknya tidak menjadikan niatnya semata-mata karena berhubungan dengan kesehatan badan. Yang lebih penting lagi seorang mukmin adalah mengikuti tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan sunnahnya. Sebab dengan hal itu akan tercipta sehatnya hati. Saat orang-orang begitu semangat mengikuti tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wasallam, niscaya imannya akan menjadi kuat.”[35]

Dalam hadits tersebut juga terkandung adab yang mulia terkait menyantap makanan, yaitu: menjilati jari-jemari tangan dan mengusap piring dengan jari-jemari. Namun disayangkan, adab ini banyak ditinggalkan kaum muslimin saat ini dan mereka justeru mengekor budaya orang-orang kafir barat. Wal’iyadzu billah .



22.       Berdo’a Setelah dan Bersyukur Kepada Allah Setelah Makan
Adab Islami dalam tata cara makan yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yaitu memulai dengan menyebut nama Allah I dengan mengucapkan “Bismillah” sebagai-mana dalam pembahasan yang telah lalu. Dan kita dianjurkan juga untuk menutupnya dengan menyebut nama Allah Ta’ala sebagai bentuk syukur dan sebagai bentuk mengingat keutamaan Allah Ta’ala dan rizki-Nya kepada kita. Serta meyakini dari lubuk hatinya bahwa hanya Allah lah semata yang memberinya rizki tersebut.

Dari Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhani, dari bapaknya, dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ، وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


“Barangsiapa memakan makanan dan dia me-ngatakan: ‘Segala puji milik Allah yang telah memberiku makan, dan memberikanku rizki dengan tanpa ada daya dan kekuatan dariku,’ maka akan diampuni dosanya.” [36]

Diantara do’a lain yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah,

لْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَ، وَسَقَى وَسَوَّغَهُ وَجَعَلَ لَهُ مَخْرَجًا


“Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan, minum, dan memudahkannya untuk dicerna serta memberinya jalan keluar.”[37]

Demikian juga do’a:

 الحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلاَ مُوَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ، رَبَّنَا


“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang melimpah, baik dan mengandung keberkahan. Segala puji bagi Allah yang telah memberi kecukupan dan melepaskan dahaga kami, yang senantiasa dibutuhkan, tidak menahan anugerah-Nya, tetap diperlukan dan tidak dapat ditinggalkan, wahai Rab kami.”[38]

Demikian juga do’a:

اللهُمَّ أَطْعَمْتَ وَأَسْقَيْتَ، وَأَغْنَيْتَ وَأَقْنَيْتَ، وَهَدَيْتَ وَأَحْيَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا أَعْطَيْتَ


“Ya Allah Engkaulah yang telah memberi makan, minum, memberi kecukupan dan kerelaan, memberi petunjuk dan memberi pilihan. Ya Allah hanya untuk-Mu segala pujian atas anugerah yang telah Engkau berikan.”[39]




23.     Mencuci Tangan Setelah Makan

Ini juga termasuk dari sekian adab yang dibimbingkan oleh Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam kepada kita semua. Dan kita yakin bahwa dalam setiap bimbingan ada hik-mah dan barakah padanya. Sebagai-mana dalam hadits:

“Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ نَامَ وَفِي يَدِهِ غَمَرٌ، وَلَمْ يَغْسِلْهُ فَأَصَابَهُ شَيْءٌ، فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ


“Barangsiapa tertidur dan di tangannya terdapat lemak (kotoran bekas makan) dan dia belum mencucinya lalu dia tertimpa oleh sesuatu, maka janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.”[40]
 Bersambung insya Allah......







[1]  HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi. Dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani di dalam Al-Misykat: no. 4275 dan Ash-Shahihah: no. 3178.




[2]  Fathul Bari: 10/83.




[3]  HR. Muslim: no. 2024.




[4]  HR. Muslim: no. 2026.




[5]  HR. Muslim: no. 2024.




[6]  HR. Tirmidzi no. 1880 dan Ibnu Majah no. 3301. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.




[7]  HR. Ahmad 2/206, At-Tirmidziy no. 1883 , dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/332-333.




[8]  HR. An-Nasa’i: 8/327 dan At-Tirmidzi: no. 2518.




[9]  Lihat Al-Muntaqaa Syarh Al-Muwaththa’ oleh Al-Baajiy 7/237, ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/72-73, Syarh Al-Bukhariy oleh Ibnu Baththaal 6/72, Al-Mufhim oleh Al-Qurthubiy 5/285-286, Haasyiyyah Al-‘Adawiy 2/609, Fawaakihud-Dawaaniy oleh Ahmad bin Ghaniim An-Nafraawiy 2/319.




[10] Syarh Riyaaldush-Shaalihiin – باب كراهة الشرب من فم القربة ونحوها وبيان أنه كراهة تنزيه لا تحريم – http://www.islamspirit.com.




[11]  Mirqaatul-Mafaatih: 8/165-166, Al-Fatawa Al-Hindiyyah: 1/8 & 5/341, Haasyiyyah Ibni ‘Abidin: 1/129-130, Tabyinul-Haqaiq: 1/7, Al-Bahrur-Raiq: 1/30, Ad-Durrul-Mukhtar: 1/129, Bada’iush-Shanai:’ 1/23, Hasyiyyah Ath-Thahthawialaa Maraqil-Falah: 1/51, Syarh Fathil-Qadir: 1/36, Nurul Idlah 1/19, dan Majma’ul-Anhar 1/30. Artikel abul jauza.com.




[12]  Sebagaimana dalam Fathul-Bari: 10/84. Dinukil pula oleh Al-‘Ainiy dalam ‘Umdatul-Qaariy: 21/193 dari Ibnut-Tin dan semisalnya.




[13]  Sebagaimana dalam Syarh Shahih Al-Bukhariy oleh Ibnu Baththaal 6/72. Lihat Al-Bahjatul-Wardiyyah dan penjelasanya : Al-Ghararul-Bahiyyah oleh Zakariyya Al-Anshariy 4/214, Tuhfatul-Muhtaj oleh Ibnu Hajar Al-Haitamiy 7/438, Raudlatuth-Thalib dan penjelasannya : Asnal-Mathalib oleh As-Suyuthiy 3/228, Mughnil-Muhtaj oleh Al-Khathiib Muhammad Asy-Syarbiniy 4/412, dan Hasyiyyah Al-Jamal oleh Sulaiman bin Manshuur Al-Jamal 1/36 & 4/278.




[14]  Umdatul-Qaari: 21/193, Al-Mu’lim: 3/68, Ma’alimus-Sunan: 5/281-282. Syarhus-Sunnah: 11/381.
Syarh Shahih Muslim: 13/195. Fathul-Bari: 10/84.




[15]  Syarh Shahih Muslim: 13/195.




[16]  Al-Minhaj: 13/206.




[17]  Ibid: 13/204.




[18]  Syarah Riyadgus Shalihin: 1/459.




[19]  http://islamqa.info/ar/ref/82972.




[20] Al-Maqasid asanaAl-Hasanah: hal. 6237, sumber:  http://islamqa.info/ar/ref/82972.




[21]  Al-Adab Asy-Syar’iyyah: 2/231.




[22]  HR. Ad-Darimi: no. 2047. Syaikh Al-Albani memasukkannya kedalam As-Shahihah: no. 392.




[23]  Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi: 7/280; dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ul Ghalil no. 1978.




[24] Zadul Ma’ad: 4/223.




[25]  Syarah Shahih Muslim: 13/172.




[26]  Adab Syariyyah: 3/163.





[28] HR. Muslim: no. 2034 dan At-Tirmidzi: no. 1803.




[29]  Raiyadhus Shalihin: 7/245.




[30]  Syarah Riyadhus Shalihin:  6/228.




[31]  HR. Bukhari: no. 5456, Muslim: no. 2031, dan Ibnu Majah: no. 3269.




[32]  HR. Muslim: no. 2032 dan Abu Dawud: no. 3843.




[33]  Fathul Bari: 9/491.




[34]  Ma’alimus Sunan: 4/240.




[35]  Syarah Riyadhus Shalihin: 6/227.




[36]  HR. Ahmad: 3/349, Abu Dawud: no. 4023, At-Tirmidzi: no. 3458, Ibnu Majah: no. 3285, Al-Hakim: 1/508 dan ia menshahihkannya serta disepakati oleh imam Adz-Dzahabi. Lihat Shahihil Jami’: no. 6076.




[37]  HR. Abu Dawud: no. 3751 dan selainnya. Lihat Shahihul Jami’: no. 4671.




[38]  HR. Bukhari: no. 5458, 5459 dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu.




[39]  HR. Ahmad dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’: no. 4768.




[40]  Dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud: no. 3852, Al-Imam Ibnu Majah: no. 3297 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud: no. 3262, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2666, di dalam Al-Misykat no. 4219 dan di dalam kitan Ar-Raudh: no. 823.

 


Kamis, 17 Januari 2013




Biografi Asy-Syaikh Abul Hasan Mustafa bin Isma’il  As Sulaimany Hafizhohullahu
BIOGRAFI ASY-SYAIKH ABUL HASAN AS-SULAYMANI -HAFIDZAHULLAH-

Segala puji adalah milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tersanjungkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dan kepada para shahabatnya seluruhnya. Amma ba’du:

Artikel ini berisikan tentang ringkasan biografi syaikh kami yang mulia Asy-Syaikh Abul Hasan As-Sulaimany hafidzahullah, yang mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing beliau diatas jalan kebenaran dan petunjuk. Sebagaimana juga kami berharap agar Allah senantiasa memberikan manfaat melalui perantaraan syaikh kami yang mulia, memberikan barakah atas kesungguhannya, dan mudah-mudahan juga Allah memanjangkan umur beliau diatas ketaatan, sesungguhnya hanya kepada Allah-lah tempat berharap dan sebaik-baik Pemberi.

Tulisan ini adalah ringkasan yang disusun oleh salah seorang ikhwan yang belajar di fakultas tarbiyah, yang mana ia diberi tugas untuk menyusun biografi tentang syaikh kami Asy-Syaikh Abul Hasan.

Nama Dan Kunyah Beliau

Beliau adalah Abul Hasan Mustofa bin Isma’il as-Sulaimany bin Isma’il bin Sayyid Ahmad As-Sulaimany.

Pertumbuhan Dan Awal Mula Beliau Menuntut Ilmu Syar’i

Beliau dilahirkan di Republik Mesir tepatnya di salah satu kampung di propinsi Al-Manshurah. Bertepatan dengan tanggal 14 Januari 1958. Beliau tumbuh berkembang di sebuah lingkungan rumah tangga yang mencintai agama, beliau banyak menghafal ayat Al-Qur’an dari semenjak beliau masuk tingkat pertama ibtida’iyah.

Beliau melanjutkan belajarnya sampai tingkat kuliah, namun beliau tidak mengambil fakultas khusus dalam bidang ilmu syar’i. Kemudian pada tahun 1400 H beliau pergi safar menuju negeri Yaman. Beliau berprofesi sebagai seorang guru di sebuah sekolahan di propinsi Khaulan disebuah qabilah yang bernama Bani Bahlul selama kurang lebih sekitar tiga bulan. Selama berada di sana beliau pun gemar mengajak masyarakat untuk berpegang kepada sunnah, meninggalkan segala macam kebiasaan-kebiasaan yang menyelisihi syari’at, dan mengajak untuk menjauhi fanatisme buta yang tidak berlandaskan dalil. Seruan dan dakwah beliau pun mendapatkan sambutan dan respon yang baik dari para murud-murid sekolah, para pembesar kampung, dan berbagai macam elemen masyarakat. Beliau berhasil menenangkan beberapa oknum yang berselisih akibat terjadi perbedaan madzhab diantara mereka.

Kemudian beliau safar menuju propinsi Ma’rib, beliau sampai di sana bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan sebuah madrasah swasta yang dibangun dengan bantuan Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di Ma’rib, tepatnya di sebuah perkampungan Wadi Abidah. Yang mana sekolah ini berbasic pembelajaran ilmu syar’i dan tahfidzul qur’an, yang mana jumlah sekolahan tersebut sekitar tiga puluh.

Maka beliau pun berpropesi sebagai pengajar di dalamnya dalam kurun waktu beberapa tahun, beliau senantiasa mengajar sambil beliau tetap memberikan bimbingan dan arahan kepada para pengajar yang lain dalam masalah dakwah. Kemudian setelah itu beliau lebih fokus terhadap pembelajaran ilmu-ilmu syar’i, beliau pun fokus terhadap pembelajaran ilmu hadits, fiqih, dan Ushul.

Pada tahun 1406 H Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkunjung ke Ma’rib. Kemudian Syaikhuna Abul Hasan mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau terkait dengan beberapa hal penting berkaitan dengan ilmu hadits.kemudian pertanyaan-pertanyaan tersebut tersusun dalam sebuah kitab yang tercetak dengan judul “Al-Muqtarih Fil Ijabah ‘An Asilatil Musthalah Lisy Syaikh Muqbil rahimahullah”. Pada tahun 1409 H Syaikhuna Abul Hasan bersafar menuju markaz Darul Hadits di Sho’dah, beliau berada di sisi syaikh Muqbil sekitar 3 bulan. Beliau pun fokus untuk mengikuti pelajaran Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah, serta duduk bersama beliau untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan dakwah, baik umum maupun khusus. Dikala itu pula tercetak kitab beliau yang berjudul “Syifa’ul ‘Alil Bi Alfadz Wa Qawa’id Al-Jarh Wat Ta’dil”. Kemudian beliau pulang ke Ma’rib dengan terus menjalankan dakwah kepada Allah, menulis, dan mengajar di Darul Hadits Ma’rib. Kemudian –dengan izin Allah- dakwah beliau yang penuh dengan berkah ini menyebar hingga ke beberapa propinsi yang berdekatan dengan Ma’rib antara lain: Hadhramaut, syabwah, dan Al-Jauf. Sehingga bertambah pula Markaz yang beliau asuh, bertambah muruid-muridnya, serta tersebar pula dakwah beliau ke seantero Yaman –dengan keutamaan Allah-. Kita memohon kepada Allah agar menyempurnakan kebaikan ini dengan penuh kebaikan dan berkah.

Terjadi hubungan yang amat baik dan akrab antara syaikh Abul Hasan hafidzahullah dengan Syaikh Muqbil rahimahullah, yang mana keduanya saling menjalin hubungan baik dan bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dakwah. Walaupun dalam beberapa perkara terjadi perbedaan cara pandang antara syaikh Abul Hasan dengan syaikh Muqbil namun hubungan antara keduanya tetaplah harmonis, dikarenakan perbedaan pendapat dalam sebagian perkara tidak mengharuskan adanya perpecahan.

Pada tahun 1417 H beliau melakukan perjalanan safar ke Riyadh, di sana beliau duduk di majelis asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah selama beberapa bulan di Masjid Jami’ Al-Kabir. Beliau juga menghadiri beberapa majelis pelajaran Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin rahimahullah. Beliau juga belajar di sisi Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ketika berada di Riyadh dan Makkah. Pada tahun sebelumnya sekitar tahun 1410 H beliau berjumpa dengan ahli hadits masa kini yaitu Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Makkah Al-Mukarramah. Kemudian beliau melakukan tanya jawab ilmiyah yang terekam dalam sebuah kaset. Kemudian pada tahun 1416 H beliau melakukan safar ke Yordania, dan duduk di majelisnya Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Beliau pun tidak melewatkan kesempatan ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang terangkum dalam 12 majelis. Setiap satu kali majelis dimulai dari mulai setelah ‘Ashar sampai kurang lebih waktu ‘Isya’. Beliau pun merekam pertanyaan-pertanyaan tadi dalam sebuah kaset yang telah dikenal oleh berbagai penuntut ‘ilmu. Kemudian beliau pun kembali ke Ma’rib untuk melanjutkan kembali dakwahnya.

Anak-Anak Beliau, Istri-Istri Beliau, dan Kondisi Keperibadian Beliau

Asy-Syaikh memandang bahwa membahas tentang hal tersebut tidaklah terlalu banyak memberikan faedah bagi para penuntut ilmu. Namun mungkin penjelasan secara ringkasnya bahwa beliau adalah orang tua dari sepuluh anak laki-laki dan delapan anak perempuan, dan beliau suami bagi tiga istri. Kita memohon kepada Allah agar memperbaiki kondisi kita dan kondisi mereka, memperbaiki seluruh kaum muslimin, dan mudah-mudahan Allah menjadikan dari lesan beliau kebaikan bagi yang lainnya, mudah-mudahan Allah menjadikan anak keturunan beliau sebagai penyejuk pandangan mata serta kebaikan di dunia dan di akherat.

Karya-Karya Tulis Beliau

Asy-Syaikh Abul Hasan termasuk diantara sederetan para ulama yang produktif dalam karya tulis ilmiah. Dengan taufiq dari Allah beliau telah menulis beberapa kitab, risalah-risalah kecil, dan beberapa pembahasan ilmiah yang sebagiannya sudah tercetak dan sebagiannya lagi masih dalam proses cetak dengan izin Allah Ta’ala. Adapun diantara karya tulis beliau yang sudah tercetak antara lain:
  1. Syifa’ul ‘Alil Bi Alfadz Waqa’id Al-Jarh Wat Ta’dil. Pada juz yang pertama.[1]
  2. Kasyful Ghummah Fi Bayani Khasa’ishi Rasulillah shallallahu’alaihi wasallam Wal Ummah.[2]
  3. Ithafun Nabil Bi ajwibati As’ilati ‘Ulumil Hadits Wal ‘Ilal Wal-Jarh Wat-Ta’dil. Dalam dua juz.[3]
  4. Silsilatul Fatwa Asy-syar’iyyah. Tercetak juz pertama dari vol.1 sampai vol 13.[4]
  5. Tanwirul ‘Ainain Bi Ahkamil Adhohi Wal ‘Idain.[5]
  6. Sabilun Najah Fi Hukmi Tarikis shalah.[6]
  7. Ad-Difa’ ‘An Ahlil Ittba’.[7]
  8. As-Sirajul Wahhaj Fi Shahihil Minhaj.[8]
  9. Fitnatut Tafjirat Wal Ightiyalat: Al-Asbab Wal Atsar Wal ‘Ilaj.[9]
  10. Al-Mut’ah Fi Ta’yini Sa’atil Ijabah Yaumul Jum’ah.[10]
  11. Al-Jawahir As-Sulaymaniyah Bi Syarh Mandzumah Al-Baiquniyah.[11]
  12. Ikmalul Farh Bi durusil Mustholah.[12]
Beberapa karya Tulis Beliau yang Lain yang sedang Dalam Proses Cetak dengan izin Allah.
  1. Kasyful Ghitha’ Bitahqiq Ahadits Wa Atasar Ad-Daa’ Wad Dawa’. Dalam tiga jilid.[13]
  2. Minhatul Ma’bud Fi Ahkamil ‘Aqiqah Wal-Maulud.[14]
  3. Kasyfus Sitri ‘An Ahkami Zakatil Fithri.[15]
  4. Jami’ut Tahshil Bi Jawazil Bai’ Biz Ziyadati Ma’at Ta’jil.[16]
  5. Al-Burhanust Tsabat Fi Jawazis shiyami Yaumis Sabt.[17]
  6. At-Taudhih Li ahkamil Qunut Wal I’tikaf Wal Witri Wath Tarawih.[18]
  7. Al-Qira’ah Khalfal Imam.[19]
  8. ‘Umdatul Qari’ Bidirasati Tahqiqi Fathil Bari.[20] Telah Selesai penyusunan jilid pertama dan masih tersisa dua jilid lagi akan tetapi beliau kemudian urung merampungkannya kareba beberapa kesibukan beliau.
  9. Kasyful Makhbu’ Fistihbabit Tasmiyah ‘Alal Wudhu’.[21]
  10. Al-Qaulul Musfir Fi Waqti Imsakis sha’im ‘Anil Mufthir.[22]
  11. At-Tibyan Lima warada Fi Lailati Nishfi Min Sya’ban.[23]
  12. Fawa’id Min ‘Ilali Abi Hatim Wa Ad-Daruquthni.[24]
  13. At-Ta’liq ‘Ala Ahkamil Hafidz Fit Taqrib.[25] Selesai sampai huruf sin.
  14. Fawa’id Haditsiyah Min Tahdzibit Tahdzib.[26]
  15. Naqdhu Syubuhatir Rafidhah.[27]
  16. Risalah Fi Ma’alim Al-Washithiyyah Wal I’tidal.[28]
  17. Syarah Ba’itsul Hatsits.[29]
  18. Syarah Al-Muqidzah. Karya imam Adz-Dzahabi rahimahullah.
  19. Syarah An-Nuzhah. Karya Al-hafidz Ibnu hajar rahimahullah.
  20. Syarah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah karya Asy-syaikh As-si’di.
  21. Syarah Ushulus Sunnah imam Ahmad riwayat Abdus Al-Aththar.
  22. Syarah Kitabul Iman. Karya imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam.
  23. Tafsir Juz ‘Amma.
Demikian juga beberapa kumpulan pelajaran ilmiah yang beliau ajarkan dalam beberapa majelis, yang mana sebagiannya terekam dengan kaset dan sebagian yang lain sudah terpampang di situs-situs internet dan sebagian yang lain masih menyusul –insya Allah-.

Metode Yang Beliau Tempuh Dalam Menulis karya Tulis

Metode yang beliau tempuh dalam karya tulis ilmiyah beliau secara umum gambarannya sebagai berikut: apabila karya tulis beliau berkaitan dengan ilmu hadits beserta takhrijnya dan hukum kesimpulan akhir dari hadits tersebut maka metode yang beliau gunakan adalah mengumpulkan seluruh jalan-jalan periwayatan hadits, kemudian setiap jalan-jalan periwayatan tersebut beliau teliti dan bahas secara satu per satu, kemudian beliau melihat sinkronisasi antara satu riwayat dengan riwayat yang lainnya apabila hal tersebut bersumber dari satu jalan. Beliau sangat panjang lebar dalam memaparkan hal tersebut supaya tidak terjadi kekawatiran adanya riwayat cacat yang tersembunyi dalam jalan-jalan periwayatannya, yang mana beliau meneliti hal tersebut sesuai dengan kaedah-kaedah yang di susun oleh ahli ‘ilmi. Beliau menempuh metode tersebut selaras dengan para ulama terdahulu dalam masalah-masalah hadits dengan tanpa meng-kesampingkan usaha-usaha yang ditempuh oleh ulama hadits masa kini. Beliau selalu mengingatkan bahwa apa yang ditempuh oleh ulama-ulama masa kini adalah tongkat estafet yang juga ditempuh oleh para ulama-ulama terdahulu dalam ilmu hadits. Meskipun demikian ada diantara ulama-ulama zaman dahulu atau masa kini ada juga yang bersikap berlebih-lebihan dalam menghukumi suatu hadits dan jalan-jalan periwayatannya dan ada yang objektif. Demikian juga ulama-ulama terdahulu telah meletakkan beberapa preambule dalam ilmu hadits ini yang harus juga dijadikan pedoman oleh para ulama yang datang setelahnya. Oleh karena itu perkataan para ulama terdahulu dalam permasalahan i’lal (meneliti kecacatan suatu hadits) lebih di dahulukan dari pada sekedar penshahihan yang dilakukan oleh ulama-ulama masa kini yang hanya berpatokan dengan melihat dzahir sanad. Inilah metode yang sangat kentara yang beliau praktekkan dalam karya tulis beliau dan beberapa tahqiq yang beliau paparkan.

Adapun dalam masalah fiqih metode yang beliau tempuh adalah: pemaparan sebuah permasalahan, kemudian beliau iringi setelahnya dengan menyebutkan perbedaan pendapat para ulama dalam permasalahan tersebut (bila memeng ada khilaf diantara para ulama) disertai dengan memaparkan dalil setiap pendapat masing-masing madzhab. Kemudian beliau menimbang permasalahan khilaf tersebut dengan kaidah-kaidah dasar ilmu hadits dan Ushul fiqih, kemudian beliau merajihkan pendapat-pendapat tersebut dengan penerapan kaedah-kaedah diatas.metode yang beliau terpkan ini nampak kentara terutama pada kitab beliau yang berjudul ‘Tanwirul ‘Ainain’.[30] Beliau tidaklah memaparkan khilaf dalam suatu permasalahan yang belum pernah dimunculkan oleh para ulama. Beliau pun juga melihat khilaf yang ada dikalangan para ulama kemudian menyimpulkan bahwa di akhir pembahasan bahwa pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat yang bisa ditolelir. Diantara permasalahan khilaf tersebut ada suatu permasalahan khilaf yang sudah jelas manakah yang benar diantara madzhab tersebut dan juga pendapat lain yang ganjil dan murni ketergelinciran dari seorang ulama. Adapun pada kondisi pertama tidak mengapa bagi seorang mujtahid untuk bertahan diatas pendapatnya dan tidak ada keharusan baginya untuk meninggalkan pendapatnya tersebut. Dan tidak mengapa juga bagi orang-orang awam setelahnya untuk mengikuti pendapat ulama tersebut. Adapun pada kondisi kedua maka tidak boleh bagi seorang yang awam untuk mengikuti ketergelinciran suatu pendapat yang ada pada ulama tersebut, namun meskipun demikian pendapat ulama tersebut tidaklah dibid’ahkan atau dianggap sebagai salah satu kesesatan. Sebagaimana juga seorang mujtahid dia mendapatkan satu pahala apabila ada kesalahan dalam isjtihadnya tersebut. Asy-Syaikh Abul Hasan memandang bahwa perselisihan dalam masalah ijtihadiyah dikalangan para ulama adalah suatu rahmat dan kelonggaran, dan tidak boleh hal tersebut dijadikan sebagai para meter untuk saling memusuhi dan menyerang satu dengan yang lain senagaimana yang dilakukan oleh para pengekor hawa nafsu. Beliau telah menjelaskan prinsp yang mulia ini dalam kedua kitab beliau yaitu “Ad-Difa’ ‘An Ahli ‘Ittiba’” dan kitab beliau “As-Sirajul Wahhaj”.

Martabat Ilmiyah Yang Beliau Sandang

Tidak ada gelar kesarjanaan khusus yang disandang oleh Syaikhuna Abul Hasan hafidzahullah dari bidang ilmu syar’i dalam suatu univertitas. Dikarenakan beliau belajar pada fakultas ekonomi, yang mana kemudian beliau kemudian pada tahun 1400 H pergi safar ke Yaman ketika beliau duduk di semester keempat sebelum menyelesaikan kuliahnya. Meskipun demikian dengan kegigihan beliau dalam mempelajari ilmu syar’i berkat taufiq dari Allah, banyak meringkas faedah-faedah ilmiah, serta banyak berkonsultasi dengan para ulama diantaranya: Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, dan Asy-Syaikh Al-Albani yang semuanya terekam dalam sebuah kaset menjadikan beliau menjadikan beliau mendapatkan martabat ilmiah yang tidak yang tidak bisa dinilai hanya dengan sekedar gelar kesarjanaan.

Madzhab Beliau Dalam Permasalahan Fiqih

Syaikhuna Abul Hasan hafidzahullah tumbuh di negeri Mesir, yaitu suatu negeri yang didominasi oleh pengikut madzhab Syafi’i. Kemudian beliau datang ke negeri Yaman yang mana mayoritas juga pengikut madzhab Syafi’i. Akan tetapi beliau memberikan perhatian besar untuk mempelajari seluruh disiplin ilmu Fiqih dari berbagai macam madzhab, dengan merajihkan pendapat yang paling kuat diantara pendapat madzhab-madzhab tersebut tanpa terpaku pada pendapat satu madzhab apalagi fanatik dengan satu madzhab. Beliau memandang apabila seseorang tidak mau mengambil faedah dari kitab-kitab berbagai madzhab dan cabang-cabangnya, maka dia telah mengharamkan atas dirinya suatu kebaikan yang banyak. Oleh karena itu janganlah seseorang bersikap kaku dan saklek dalam hal tersebut. Inilah gambaran dari beliau yang mana beliau tidaklah fanatik dengan pendapata salah satu diantara ulama-ulama terdahulu, maka terlebih lagi beliau tidaklah fanatik dengan pendapat ulama-ulama yang ada di masa kini. Akan tetapi beliau mengikuti pendapat yang selaras dengan dalil.

Pandangan Beliau Terkait dengan Permasalahan Politik

Merupakan hal yang telah diketahui secara bersama bahwa politik syar’i adalah bagian dari agama yang mulia ini. Yang mana agama ini telah mengatur politik umat diseluruh umat dipenjuru barat dan timur dalam kurun waktu yang panjang. Namun apabila kita melihat kondisi percaturan politik masa kini sungguh terdapat di dalamnya hal-hal yang penuh dengan keanehan dan kejanggalan. Sehingga dalam menghadapi permasalahan tersebut syaikh tidaklah berdakwah dengan kelompok politik tertentu dan sosok tertentu atau meninggalkannya tetapi beliau melihat sikon yang tepat sesuai dengan kaedah-kaedah syar’i yang diterapkan sesuai dengan tujuan mulia syari’at Islam yaitu menyempurnakan maslahat dan menghilangkan atau mengurangi madharat.

Meskipun demikian beliau tetaplah menyerukan masyarakat untuk tetap mendengar dan taat kepada pemimpinnya dalam perkara yang ma’ruf tas pemimpin yang telah terpilih secara resmi baik oleh dewan para ulama, atau merebut tampuk kekuasaan dengan kekuatannya, atau terpilih dengan cara pemilu atau dengan cara apapun sehingga ia menduduki tampuk kekuasaan wajib bagi kita untuk mentaati mereka dalam perkara yang ma’ruf. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi pertumpahan darah dan hilangnya harta benda.

Asy-Syaikh Abul Hasan juga selalu memberikan nasehat agar masyarakat tidak melakukan pemberontakan kepada pemimpin mereka, serta tidak berbicara secara provokatif yang menyebabkan terjadinya bentrokan, kekerasan, dan kekacauan. Beliau memandang bahwa menjaga stabilitas keamanan adalah tujuan mulia dari syari’at Islam ini. Walaupun ada kerusakan di dalamnya namun itu tidaklah parah (dibandingkan kerusakan pemberontakan). Beliau memberikan permisalan dalam hal ini adalah negara Iraq dan juga negara-negara yang lainnya, meskipun mereka mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan dari pemerintahnya, namun apa yang terjadi setelah penguasa mereka lengser!!! Tidak ada sama sekali kemajuan dari segi agama bahkan kemajuan dari segi duniawi.

Beliau memandang bahwa memberontak kepada pemerintah akan menyebabkan suatu kerusakan yang besar, kecuali dalam kondisi yang sangat sempit dan darurat. Beliau juga meyakini bahwa umat ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan mengikuti jejak generasi yang pertama (para salaf) dalam memperoleh kejayaan.

Beliau memandang bahwa sistem demokrasi banyak sekali menimbulkan kerusakan di tengah-tengah umat Islam dibandingkan manfaat yang didapat. Sehingga dalam hal ini beliau memandang terkadang seorang perlu untuk berpartisipasi dalam pemilu atau tidak perlu berpartisipasi tergantung kondisi dan menimbang maslahat dan madharat secara syar’i. Yang perlu beliau tekankan disini bahwa masalah keikut sertaan dalam pemilu untuk menggunakan hak pilih adalah permasalahan ijtihadiyah yang mana hal tersebut kembali kepada masahat dan madharat yang akan dihadapi. Masalah ijtihadiyah semacam ini tidak selayaknya untuk menjadi bahan tolak ukur dalam Al-Wala’ (loyalitas) atau pun Al-Bara’ (beerlepas diri). Hal semacam ini adalah perkara yang amat sangat jelas tatkala seorang meneliti dan membaca kitab beliau atau duduk untuk mendengarkan ceramah dan rekaman beliau.

Asy-Syaikh Abul Hasan juga berfatwa dalam berbagai macam kejadian dan kasus atau makalah ringkas yang berkaitan dengann umat Islam secara umum atau pun khusus yaitu di negeri Yaman. Seperti fatwa beliau terkait dengan kejadian di Gaza, tentang fitnah Syi’ah rafidhah yang ada di Yaman, kejadian yang ada di selatan Lebanon, demonstrasi besar-besaran yang ada di Yaman, pemilihan kepala negara dan gubernur, dan berbagai macam kejadian-kejadian lainnya yang kesemuanya tersebar di situs-situs internet atau pun sumber-sumber lainnya.

Beberapa Tuduhan dan Hujatan Yang Ditujukan Kepada Beliau

Hujatan-hujatan yang banyak diarahkan kepada beliau paling banyak berasal dari orang-orang yang mereka taqlid terhadap Asy-Syaikh Rabi’ hafidzahullah. Yang mana mereka taqlid bukan dilandasi karena kebenaran dalil yang dibawa oleh Syaikh Rabi’, akan tetapi karena kekhawatiran mereka juga akan mendapatkan hujatan yang sama.[31]

Yang mana mereka berpadu diatas sikap yang ghuluw dalam beragama dan bersikap melampaui batas, oleh karena itu Syaikhuna Abul Hasan telah membantah mereka dalam sejumlah kitab-kitab dan risalah-risalah ilmiah yang seluruhnya terkumpul menjadi 2 jilid dengan judul “Addifa’ An Ahlil Ittiba’. Pada kitab tersebut beliu memaparkan syubhat-syubhat mereka dan memeberikan komentar serta bantahan ilmiah yang cukup telak, sehingga nampaklah cara bermanhaj mereka yang dipenuhi dengan sikap ekstrim, taklid, dan menyelisihi dakwah salafiyah yang tersusun dalam beberapa pion. Dan ternyata apa yang selama ini mereka dengung-dengungkan tentang beliau adalah kekeliruan yang sebenarnya kebenaran ada pada beliau. Mereka telah menerapkan suatu tindakan yang tidak di dasari oleh landasan berpijak yang benar, yang mana semuanya kembali kepada taklid dan fanatisme buta.

Meskipun buruknya tuduhan yang mereka arahkan kepada beliau, beliau tetaplah membantah mereka dengan penuh adab dan sikap objektif seperti membenarkan suatu kebenaran yang ada pada mereka, berterimakasih atas kebenaran yang mereka sampaikan, tidak bertindak membabi buta dan melampaui batas terhadap mereka, menyebutkan keutamaan yang ada pada mereka sebelum bersikap adil kepada mereka, memaafkan dan mendo’akan mereka apabila berkaitan dengan kehormatan beliau; adapun tindak tanduk mereka yang menyelisihi dakwah maka beliau membantahnya dengan ilmiyah tanpa ada basa-basi.

Diantara oknum yang paling keras dalam menyerang beliau adalah Syaikh Rabi’ hafidzahullah yang dianggap sebagai pembesar dikalangan orang-orang yang bersikap ghuluw dan ekstrim –dan bukan berarti kita membuang hal-hal kebaikan yang ada pada beliau dan pembelaan beliau terhdap sunnah-. Dalam berbagai kesempatan beliau banyak memberikan bantahan ilmiyahnya kepada syaikh Rabi’ dan orang-orang yang bersamanya. Diantara orang-orang yang mereka sepemikiran dengan syaikh Rabi’ dari Yaman antara lain: Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobi, Yahya Al-Hajuri, Muhammad bin Abdillah Al-Imam, Abdul Aziz Al-Bura’i dan selain mereka yang mana beliau telah membantah mereka semua dalam kitab beliau tersebut dan juga beliau bantah mereka dalam sepuluh kaset berupa bantahan terhadap ucapan mereka dan syubhat-syubhat mereka secara satu per satu.

Diantara tuduhan keji yang dialamatkan kepada beliau adalah tuduhan bahwa beliau mencela para shahabat dan mencela Nabi shallallahu’alahi wasallam, sungguh tuduhan yang tidak ada bukti dan hanya berlandaskan hawa nafsu semata. Dan mereka juga menuduh syaikh Abul hasan adalah seorang yang hizby[32] dan bersikap lembek dalam bermanhaj.[33]

Diantara kelompok yang juga memberikan permusuhan keras terhadap dakwah beliau adalah kelompok sesat dari kalangan takfiri (tukang mengkafirkan) atau para teroris yang kerjaannya bom sana dan bom sini serta menyebabkan berbagai macam kegaduhan dan huru-hara. Syaikh Abul Hasan pun telah melakukan pendekatan kepada mereka dengan memberikan nasehat dan arahan, sebagiannya ada yang terekam di Yaman, di Inggris dan di tempat lainnya. Beliau juga menulis sebuah karya monumental yang berjudul “Fitnatut Tafjirat wal Ightiyalat” (Fitnah pengeboman dan pembunuhan: sebab yang melatar belakangi aksi tersebut, dampak yang diperoleh dari aksi tersebut, dan solusinya). Beliau juga menyerukan kepada para da’i untuk persepakat dalam permasalahan yang itu merupakan prinsip dari manhaj ahlussunnah dan saling memberikan toleransi dalam permasalahan-permasalahan yang bersifat khilafiyah yang luas. Namun sangat di dayangkan ajakan mulia beliau ini tidak mendapat respon dari sebagian pihak yang hanya mengedepankan kepentingan pribadi dan selalu perkataannya yang didengar, inilah pangkal dari perpecahan yang melanda barisan ahlus sunnah. Wal’iyadzubillah.

Manhaj Beliau Berkaitan dengan Permasalahan-Permasahan Kontemporer

Terkait dengan hal-hal yang bersifat kontemporer, beliau tidaklah menolak hal tersebut secara total dan tidak juga menerimanyya secara total. Akan tetapi dalam hal ini haruslah ditimbang dengan timbangan syar’i berdasarkan rincian berikut:
  • Apabila hal-hal tersebut sesuai dengan syari’at misalnya sesuai dengan dalil, ijma’ atau qiyas yang shahih maka hal-hal tersebut bisa di terima, baik sebagai wasilah yang bersifat wajib atau pun sunnah.
  • Apabila hal-hal tersebut bertentangan dengan dalil yang sharih atau ijma’ yang yakin maka perkara tersebut tertolak dan tidak ada kemuliaannya. Kecuali apabila dalam kondisi darurat hal tersebut tentu di lakukan manakala sesuai dengan qiyas yang shahih dan tujuan syari’at yang mulia.
  • Hal-hal yang memang didiamkan oleh syari’at, maka asal dari hal tersebut adalah mubah, namun apabila kerusakan yang ditimbulkan lebih dominan dari manfaat yang didapatkan maka hal tersebut tertolak dan dikategorikan kepada kelompok yang kedua. Namun apabila manfaatnya lebih dominan maka dikategorikan kepada kelompok yang pertama. Oleh karena itu dalam menghadapi permasalahan tersebut tidaklah ditelan secara mentah-mentah atau ditolak secara mentah-mentah. Beliau telah menjelaskan hel tersebut secara panjang lebar tatkala beliau diwawancarai oleh harian ‘Jumhuriyah’ Yaman.
Kesibukan Dan Peran Sentral Beliau Dalam Permasalahan Dakwah

Syaikhuna Abul hasan hafidzahullah –mudah-mudahan Allah selalu membimbing dan menunjuki beliau diatas petunjuk-beliau adalah pemimpin dari lembaga dakwah Darul Hadits sekaligus merangkap sebagai pengajar di dalamnya. Di Markaz/lembaga tersebut ada sekitar lima ratus murid, 120 diantaranya adalah murid-murid yang sudah berkeluarga. Murid-murid beliau pun tersebar di berbagai propinsi di Yaman antara lain: Shan’a, Dzamar, Ib, Ta’iz, Aden, Abyan, Lahj, Syabwah, Hadhramaut, Amran, Sa’dah dan Al-Jauf. Mereka saling tolong menolong dengan para da’i setempat dalam rangka menegakkan manhaj secara i’tidal (lurus) dan wasithiyah (moderat). Mudah-mudahan Allah menambahkan bagi mereka ilmu, sikap santun, kesabaran dan keyakinan. Ditengah-tengah kesibukan beliau yang padat, beliau masih sempat untuk menyibukkah diri dengan menuangkan karya tulis, memberikan fatwa kepada orang-orang yang berkunjung kepada beliau, menjawab pertanyaan orang-orang yang bertanya kepada beliau melalui via telephon,beliau pun menyambut para tamu yang datang kepada beliau dari kalangan taholibul ‘ilmi ataupun dari kalangan perkumpulan kabilah. Beliau pun menyempatkan banyak waktu untuk menasehati mereka dan mengarahkan mereka untuk menolong tauhid dan sunnah, beliau pun juga berkhutbah masjid-masjid yang ada di Ma’rib dan juga di berbagai propinsi yang lain. Beliau pun sering menjadi penengah diantara para kabilah yang berseteru dengan syari’at Allah Ta’ala, beliau juga memberikan peringatan keras dari setiap pemikiran-pemikiran sesat yang masuk ke negeri Yaman. Kebiasaan beliau untuk mendamaikan diantara qabilah memberikan dampak yang sangat positif terutama dalam penyebaran dakwah di tengah lapisan masyarakat. Beliau juga masih menyempatkan diri untuk mengikuti perkembangan para tholibul ilmi di berbagai propinsi serta menyempatkan diri untuk mengoreksi tulisan-tulisan mereka baik yang ada di dalam markaz beliau atau pun yang ada di luar.

Sikap Beliau dengan Keberadaan Yayasan Khoiriyah atau yang Sejenisnya

Sikap beliau berkaitan dengan masalah ini sangatlah jelas, secara ringkas beliau menjelaskan bahwa keberadaan yayasan khoiriyah memiliki peran yang sentral terutama berkaitan dengan tolong menolong dalam hal kebaikan dan ketaqwaan. Namun haruslah tetap ada pengarahan dan nasehat di dalamnya –namun bukan di sini tempat unyuk merincinya-, syaikh Abul Hasan telah memberikan bantahan terhadap orang-orang yang yang berusaha memerangi keberadaan yayasan dengan alasan itu adalah suatu kebid’ahan, hizbiyah, atau bentuk basa-basi dalam agama atau klaim-klaim lain yang mereka ungkapkan. Bahkan lembaga yang beliau asuh pun berdiri di bawah naungan yayasan At-Taqwa yang bergerak dalam amal kebaikan atau ilmu syar’i, bahkan yayasan tersebut juga bergerak dalam bidang sosial lainnya seperti tempat minum untuk fasilitas umum, gaji bagi para da’i, orang-orang yatim, maupun program-program tahunan baik di dalam lembaga tersebut atau pun di luar. Beliau juga menganjurkan para penuntut ilmu untuk dan orang-orang yang cinta terhadapnya untuk mendirikan yayasan-yayasan sosial di berbagai propinsi. Beliau juga menjelaskan bahwa hal tersebut akan memberikan manfaat di masa-masa yang akan datang. Mudah-mudahan Allah memberikan manfaat dari nasehat tersebut.

Manhaj Beliau Dalam Berdakwah dan Contoh-contoh Dari Para Ulama Yang Banyak Memberikan Pengaruh Pada Beliau

Telah diketahui dalam diri beliau sifat washathiyah (moderat) dan i’tidal (bijak) dalam bermanhaj, dan itulah yang nampak dalam dakwah yang beliau jalani selama bertahun-tahun. Beliau berusaha untuk mempersatukan diantara para da’i yang mengajak kepada sunnah. Yang mana perselisihan yang terjadi diantara mereka akan memberikan dampak yang sangat negatif terhadap keberlangsungan dakwah salafiyah. Beliau berusaha untuk mempersatukan para da’i ahlus sunnah dengan hal-hal yang mereka sepakati dari prinip-prinsip ahlus sunnah wal jama’ah. Beliau memandang bahwa dakwah akan tegak dengan adanya dua pilar: sunnah dan jama’ah, ittiba’ dan bersatu, atau berpegang teguh dan bahu membahu. Setiap pilar diatas wajib bagi setiap da’i untuk menegakkannya, terkadang seorang bisa mendahulukan satu pilar atas pilar yang lainnya sesuai dengan situasi dan kondisi yang di tuntut dalam sebuah dakwah. Syaikhuna Abul Hasan sangatlah memberikan perhatian besar dalam hal skala prioritas dalam pelaksanaan yang wajib, namun dalam menentukan hal tersebut haruslah dilakukan dengan timbanga ilmu syar’i yang bersih dari hawa nafsu dan hizbiyah, syaikh Abul Hasan sangatlah terpengaruh dengan sosok ulama terdahulu diantaranya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya imam Ibnul Qayyim rahimahumallah, adapun dari kalangan ulama kontemporer antara lain syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dari segi jasa beliau dalam penyebaran dakwah ini secara luas, dalam hal kasih sayang beliau terhadap sesama ahlus sunnah baik dari kalangan ulama maupun dari kalangan awam, dan juga dari segi keteladanan syaikh bin baz dalam menjaga prinsip-prinsip ahlus sunnah dan jauhnya beliau dari memecah belah barisan kam muslimin dengan tetap membantah para ahli batil dengan berbagai macam dalil dan petunjuk. Meskipun demikian tidak ada yang ma’shum dihadapan Allah kecuali Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Dalam bidang hadits beliau banyak terpengaruh dengan dua ulama besar yaitu Al-Allamah Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi dan ahli hadits masa kini yaitu syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, adapun dalam permasalahan Fiqih beliau banyak terpengaruh dengan berbagai macam ulama ahlus sunnah rahimahumullah.

Karakteristik Lembaga Darul Hadits Yang Beliau Pimpin

Diantara karakteristik Darul Hadits antara lain:
  1. Menerapkan manhaj Al-Washathiyyah Wal i’tidal.
  2. Memiliki sifat adil dalam diri sendiri sebelum menilai orang lain.
  3. Mengetahui permasalahan ilmiyah yang para ulama ijma’ diatasnya dan permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama.
  4. Tidak memasukkan prinsip Al-Wala’ (loyalitas) dan Al-Bara’ (berlepas diri) dalam masalah ijtihadiyah.
  5. Membuka pintu dialog dengan orang-orang yang menyelisihi kebenaran, untuk menunjukan mereka diatas kebenaran bukan untuk mencari kemenangan.[34]
  6. Bekerja sama dengan seluruh da’i ahlus sunnah dalam kebaikan dan taqwa, bahkan bekerja sama dengan selain ahlus sunnah untuk melawan pihak-pihak yang lebih membahayakan. Seperti bekerja sama dengan Zaidiyah dalam rangka melawan Syi’ah Rafidhah, yang mana mereka memerangi ahlus sunnah dan zaidah.
  7. Tidak menjelek-jelekkan para da’i yang berjuang dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jama’ah. Akan tetapi yang benar adalah menyebarkan keutamaan mereka, dan mendo’akan mereka diatas hidayah, dengan tetap memberikan nasehat atas kesalahan yang mereka lakukan dengan cara yang baik.
  8. Memahami istilah ahlus sunnah wal jama’ah dengan cara yang benar, oleh karena itu tidak seorang di keluarkan dari ahlus sunnah walaupun ia melakukan berbagai macam pelanggaran, kecuali apabila ia melakukan penyelisihan dalam pokok-pokok ahlus sunnah yang telah disepakati oleh para ulama, dengan tetap memperhatikan kaedah dalam menghukumi secara umum dan person tertentu, dan harus juga dibedakan antara ucapan dan yang mengucapkannya, juga diantara ucapan dan konsekuensi dari ucapan dst…
  9. Memberikan prioritas terhadap pembinaan masyarakat umum dalam perkara agama mereka, hal itu agar mereka tidak terjatuh dalam pemikiran-pemikiran sesat, hal itu disertai dengan kasih sayang terhadap mereka, tidak membuat mereka lari dari dakwah, dan haruslah disertai dengan kesadaran bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan dengan adanya dakwah.
  10. Memberikan perhatian terhadap perkembangan ilmiah para da’i, penyucian jiwa-jiwa mereka, serta menghubungkan perkataan para salaf dengan realita yang mereka hadapi, hal itu dilakukan agar para da’i selamat dari kontradiktif dan berkata atas nama salaf tentang sesuatu yang mereka tidak mengilmuinya.
  11. Perhatian terhadap ilmu-ilmu syar’i. Bagi siapa saja yang melihat dengan seksama tulisan-tulisan ilmiah yang ditulis oleh murud-merid beliau dia akan mendapati betapa tingginya tingkatan ilmu yang mereka miliki, dan mereka sangat mumpuni dalam bidang tulis menulis, baik dari kalangan pria maupun wanita.
  12. Diantara program yang dicanangkan di dalam lembaga tersebut (Darul Hadits) adalah mencetak majalah-majalah Islami yang disalurkan ke berbagai lapisan masyarakat.
  13. Memberikan perhatian berkaitan dengan adab-adab khilaf yang terjadi dikalangan para da’i yang mereka mengabdi untuk agama ini. Tidak boleh bagi seseorang mengklaim suatu ucapan yang tidak diucapkannya, memberikan penilaian baik terhadapnya, dan yang pada akhirnya memperbaiki hubungan baik dengannya.
  14. Memberikan perhatian terhadap pembelajaran Sirah dan Tarikh (sejarah). Yang mana dengan adanya pembelajaran tersebut akan memberikan hiburan kepada para murid, hilangnya rasa keputus asaan dari pertolongan Allah, dan yakin terhadap janji Allah Ta’ala. Dan tidaklah diragukan bahwa pembelajaran yang beliau berikan telah banyak membekas pada murid-murid beliau, yang mana pembelajaran tersebut bertolak pada sebuah dalil yang pasti tentang kebenaran yang beliau bawa.
Oleh karena itu para murud beliau dikenal dengan keadilan, sikap objektif, berusaha memahami realita yang ada baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang, dan berusaha memperhatikan serta mencocoki dengan tujuan mulia syari’at Islam. Lebih dari pada itu para murid beliau sangatlah membenci sikap ekstrim dan meremehkan dalam hal beragama. Ini jelas adalah merupakan keutamaan yang semata-mata bersumber dari Allah Ta’ala. Walaupun ada dari sebagian mereka yang kemudian melenceng, namun itu semua sama sekali tidaklah membahayakan bagi orang-orang yang berpegang teguh terhadap kebenaran sebagaimana tidaklah membehayakan shahabat Ali radhiyallahu’anhu dengan keberadaan orang-orang yang menentang beliau (khawarij).

Inilah sekelumit tentang dakwah yang dicanangkan oleh Syaikh Abul Hasan dan murid-murid beliau di Markaz Darul Hadits Ma’rib. Rincian dari apa yang dipaparkan ini bisa dibaca dengan jelas pada kitab beliau yang berjudul As-Sirajul Wahhaj dan kitab Ad-Difa’ ‘An Ahlil Ittiba’. Mudah-mudahan Allah senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau dan kepada kita semua.

وصلى الله وسلم على نبينا أجمعين محمد وعلى آله وصحبه
Ditulis Oleh:
Abu Abdillah Umar bin Ahmad ‘Aliyu
Dan dikoreksi oleh Fadhilatusy Syaikh Abul Hasan Mustafa bin Isma’il As-Sulaimany.

Catatan kaki dan beberapa tambahan oleh:
Al-Faqir ilallah Abu Fawwaz Hizbul Majid bin Abu Mas’ud Al-Jawi.
Bontang, Kamis, 17 Januari 2013 | 5 Rabi’ul Awal 1434 H.

[1] Kitab yang membahas beberapa kaedah yang berkaitan dengan disiplin ilmu Al-ajarh Wat-ta’dil.
[2] Suatu kitab yang membahas tentang kekhususan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan umat Islam.
[3] Sebuah buku yang berisi tanya jawab tentang ilmu mustholah, ilal, dan Jarh Wat Ta’dil yang di tujukan kepada Asy-Syaikh Abul Hasan dari sebagian para tholabatul ‘ilmi.
[4] Kitab ini berisi tentang bunga rampai fatwa beliau dalam berbagai macam permasalahan ilmu syar’i.
[5] Sebuah kitab yang menjelas tentang beberapa hukum terkait dengan ‘iedul fithri dan ‘iedul adhha.
[6] Sebuah kitab yang membahas tentang hukum seorang yang meninggalkan shalat.
[7] Sebuah karya monumental beliau yang membantah orang-orang yang bersikap ghuluw dalam permasalahn tabdi’ (membid’ahkan), dan Hajr (memboikot).
[8] Sebuah buku yang membahas tentang manhaj Ahlus sunnah wal Jama’ah secara global dan ringkas. Buku ini telah diberi kata pengantar oleh beberapa ulama senior, dan telah di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Pancaran Cahaya Manhaj Salaf” terbitan pustaka Imam Bukhari Solo.
[9] Sebuah kitab yang membahas tentang hukum bom bunuh diri, faktor-faktor yang melatar belakangi tindakan tersebut, dampak yang ditimbulkan, dan solusinya. Beliau pernah membahas buku ini di kantor kedutaan besar Indonesia di Yaman dan mendapat sambutan baik –dengan izin Allah- dari bapak dubes, konsuler, dan beberapa mahasiswa Indonesia yang belajar di Yaman.
[10] Buku ini membahas tentang perselisihan para ulama tentang kapankah waktu terkabulnya do’a pada hari Jum’at, disertai dengan pemaparan dalil-dalil mereka, yang kemudian di baha oleh beliau dengan merajihkan kumpulan-kumpulan riwayat tentang masalah tersebut.
[11] Buku yang menjelaskan tentang syarah matan Al-Baiquniyah dalam ilmu Mustholahul Hadits. Yang mana kitab beliau ini adalah merupakan syarah terbesar diantara syarah-syarah lain dalam mensyarah matan Al-Baiquniyah.
[12] Sebuah risalah ringkas yang membasah tentang ilmu mustholah secara sistematik disertai dengan tabel pembahsan untuk mempermudah bagi para pemula yang ingin belajar tentang imu mustholah hadits.
[13] Kitab ini berisi tentang tahqiq beliau terhadap kitab Ad-Daa’ Wad Dawa’ karya imam Ibnul Qayyim, yang mana beliau benyak memberikan penelitian terhadap hadits-hadits dan beberapa atsar yang ada di dalamnya.
[14] Sebuah kitab yang membahas tentang kumpulan hukum yang berkaitan dengan aqiqah dan kelahiran anak.
[15] Buku ini membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fithri.
[16] Buku yang membahas tentang diperbolehkannya transaksi jual beli dengan sitem kredit.
[17] Kitab yang membahas tentang bolehnya seorang berpuasa pada hari sabtu.
[18] Kitab ini membahas tentang beberapa permasalahan fiqih yang berkaitan dengan Tarawih, qunut, witir dan I’tikaf.
[19] Tahqiq beliau terhadap kitab Shahih Bukhari, Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi tentang permasalahan membacanya makmum di belakang imam.
[20] Tahqiq beliau terhadap kitab Fathul Bari karya Al-hafidz Ibnu Hajar.
[21] Kitab yang membahas tentang disunnahkannya membaca basmalah sebelum berwudhu’.
[22] Sebuah risalah yang membahas tentang hukum seorang yang sedang tidak berpuasa (karena safar) apakah ia harus tetap menahan makan dan minum atau tidak setelah selesai dari safar sementara matahari belum terbenam.
[23] Buku ini membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan malam nishfu sya’ban.
[24] Kitab yang mengupas beberapa faedah yng terdapat di dalam kitab ‘ilal Daruquthni dan Abu Hatim.
[25] Komentar Syaikh Abul Hasan dalam kitab At-Taqrib karya imam Ibnu Hajar rahimahullah.
[26] Faedah-faedah berkaitan dengan ilmu hadits yang terdapat dalam kitab At-Tahdzibut Tahdzib karya imam ibnu Hajar rahimahullah.
[27] Bantahan beliau terhadap syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh syi’ah Rafidhoh.
[28] Risalah manhajiyah yang berkaitan dengan sikap pertengahan ahlus sunnah dalam segala perkara.
[29] Syarah beliau terhadap kitab Ba’itsul hatsits karya Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah.
[30] Sebagaimana juga dalam kitab beliau Sabilun Najah..(-pent)
[31] Dalam banyak ceramah beliau mereka diibaratkan seperti kabel listrik yang saling setrum-menyetrum satu dengan yang lain.
[32] Mengajak kepada fanatisme kelompok.
[33] Akhirnya sesama mereka pun saling bertengkar, tahdzir mentahdzir, hajr-menhajr, dst…lalu siapa sebenarnya yang hizbi Syaikh Abul Hasan Pa mereka?!!!!
[34] Prinsip ini telah banyak di lalaikan oleh pihak-pihak yang mengaku salafi dengan alasan menjauhi syubhat. Padahal hakekatnya mereka adalah orang-orang penakut yang hanya berani mengumpat lewat internet dan buku-buku saja. Wal’iyadzubillah.
  

Artikel Terbaru

Popular Posts