Jumat, 25 Januari 2013



16.      Makan Dan Minum Dengan Duduk

Merupakan adab yang benar dari adab makan dan minum adalah makan dan minum sambil duduk, sebagaimana telah lalu penjelasan hal tersebut.

Adapun berkaitan dengan hukum makan sambil berdiri maka itu diperbolehkan sebagaimana perkataan Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ


“Dahulu kami pernah makan di zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam keadaan berjalan, dan kami pernah minum dalam keadaan berdiri.”[1]

Berkata imam Ibnu Hajar rahimahullah, “Tidak ada khilaf tentang bolehnya bagi seseorang untuk makan dengan berdiri.”[2]

Disana terdapat hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,

أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا "، قَالَ: فَقُلْتُ: فَالْأَكْلُ، قَالَ: " أَشَرُّ وَأَخْبَثُ "


 “Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang seseorang minum dengan berdiri.” Maka Qatadah berkata, “Bagaimana dengan makan?” maka Anas berkata itu lebih jelek.”[3]

Namun riwayat diatas tidaklah menunjukan akan keharaman makan dengan berdiri, dikarenakan para shahabat pernah melakukan hal tersebut.

Adapun tentang minum sambil berdiri maka ada beberapa dalil yang menunjukan akan larangannya antara lain:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَشْرَبَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ قَائِمًا، فَمَنْ نَسِيَ فَلْيَسْتَقِئْ


Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila dia lupa maka hendaknya dia muntahkan.” [4]

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَجَرَ عَنِ الشُّرْبِ قَائِمًا


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari minum sambil berdiri.[5]

Namun disana terdapat beberapa dalil yang menunjukan pembolehan minum dengan berdiri antara lain:

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

سَقَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ زَمْزَمَ فَشَرِبَ قَائِمًا


Aku memberi minum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari air zam-zam, lalu beliau minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637 dan Muslim no. 2027)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,

كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي، وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ


Kami dahulu pernah makan di masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sambil berjalan dan kami minum sambil berdiri.” [6]

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " يَصُومُ فِي السَّفَرِ وَيُفْطِرُ، وَرَأَيْتُهُ يَشْرَبُ قَائِمًا وَقَاعِدًا، وَرَأَيْتُهُ يُصَلِّي حَافِيًا وَمُنْتَعِلًا، وَرَأَيْتُهُ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ "


Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : “Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan berbuka ketika safar, minum sambil berdiri dan duduk, shalat dengan telanjang kaki dan memakai sandal, serta berpaling dari arah kanan dan kirinya (setelah selesai shalat).” [7]

Dalam menyikapi beberapa hadits di atas yang (kelihatan) saling bertentangan, para ulama terkelompok dalam 3 metode :

  1. Tarjih (menguatkan pendapat).


Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan:

a). Mengunggulkankan hadits pelarangan daripada pembolehan sebagai langkah hati-hati sebagaimana pengamalan terhadap sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :


دَعْ ما يريبُكَ إلى ما لاَ يرِيبُكَ


“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu.” [8]

Selain itu, hadits-hadits pelarangan datang melalui ucapan beliau, sedangkan hadits-hadts pembolehan datang melalui perbuatan beliau. Dalam hal ini, perkataan lebih didahulukan daripada perbuatan, karena ada kemungkinan bahwa perbuatan beliau minum sambil berdiri merupakan kekhususan bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja, bukan untuk yang lainnya.

b). Mengunggulkan hadits pembolehan daripada pelarangan karena dianggap lebih kuat, lebih shahih, dan lebih banyak jumlahnya. Abu Bakr Al-Atsram dalam salah satu perkataannya mengungkapkan pendapat ini. Ini juga salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal dan yang masyhur dalam madzhabnya, serta jumhur Malikiyyah.
Pembolehan minum sambil berdiri secara mutlak merupakan pendapat jumhur tabi’in seperti : Sa’iid bin Jubair, Thaawus, Zaadzaan Abu ‘Umar Al-Kindiy, dan Ibrahim bin Yaziid An-Nakha’iy.[9]

2. Nasakh.
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi dua perkataan :
a. Hadits-hadits larangan telah mansukh oleh hadits-hadits pembolehan, dengan bukti yang dilakukan oleh Khulafaaur-Raasyidiin, sebagian besar shahabat, dan tabi’in yang membolehkannya. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Atsram[9] dan Ibnu Syaahin[10]. Al-Qurthubi[11] juga menguatkan pendapat ini dan menisbatkannya kepada jumhur shahabat dan ulama setelahnya.

b. Hadits-hadits pembolehan telah mansukh oleh hadits-hadits pelarangan, dengan dasar bahwa pembolehan adalah hukum asal, sedangkan pelarangan adalah hukum yang datang kemudian sebagai satu ketetapan syar’iy. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Hazm[12].

3. Al-Jam’u wat-Taufiiq (Kompromi).
Pada metode ini, ada banyak perkataan dan penafsiran dari para ulama. Akan disebutkan beberapa diantaranya yang utama :
Ada yang mengatakan bahwa bolehnya minum sambil berdiri hanya jika ada hajat/keperluan; selain dari itu, maka dibenci. Ini merupakan pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim rahimahumallah. Ibnu ‘Utsaimin termasuk yang bersepakat dengan mereka berdua.[10]

Ada yang memahami bahwa pelarangan minum sambil berdiri bukanlah pelarangan yang bermakna tahriim (pengharaman). Pelarangan tersebut bukan pelarangan yang bersifat syar’iy, namun dengan pelarangan atas pertimbangan kedokteran (thibbiy) yang akan menimbulkan bahaya/mudlarat. Disebutkan oleh Ibnul-‘Arabiy dalam ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/73. Ath-Thahawiy juga menyebutkan hal semakna dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 4/274 & 276 dan Syarh Musykilil-Aatsaar 5/347.

Ada yang mengatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri ini khusus ketika minum air zamzam dan kelebihan/sisa air wudlu. Ini merupakan pendapat ‘Ali Al-Qaariy dan sebagian ulama Hanafiyyah lainnya.[11]

Ada yang mengatakan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini adalah jika lupa saja sebagaimana dikatakan oleh Abul-Faraj Ats-Tsaqafiy.[12]

Ada pula yang berpendapat bahwa perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai pelarangan itu hanyalah makruh saja, sedangkan perbuatan beliau (yang minum sambil berdiri) menjelaskan tentang kebolehannya. Hadits-hadits pelarangan dibawa kepada makna disukainya minum sambil duduk, serta dorongan kepada amal-amal yang lebih utama lagi sempurna. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya adalah : Al-‘Aini dari kalangan Hanafiyyah, Al-Maaziri dari kalangan Maalikiyyah, dan Ibnu Jariir Ath-Thabari. Jumhur ulama Syafi’iyyah[13], juga menyepakati pendapat ini, diantaranya adalah : Al-Khaththaabiy, Al-Baghawi, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.[14]

Mana yang terpilih dan terkuat dari pendapat-pendapat tersebut ?



Tidak ragu lagi bahwasannya pendapat yang terpilih dan paling kuat adalah pendapat jumhur ulama yang menempuh metode al-jam’u wat-tawfiiq (kompromi) dengan menggunakan semua dalil (tanpa meninggalkan salah satu di antaranya), dimana mereka mengatakan : Pelarangan minum sambil berdiri hanya bermakna makruh saja. An-Nawawi telah memberikan penjelasan yang sangat baik, “Tidak ada kontradiksi dalam hadits-hadits ini, segala puji bagi Allah ta’ala. Tidak ada pula kelemahan padanya, bahkan semua hadits-hadits tersebut adalah shahih. Dan yang benar di dalamnya adalah : Larangan dalam hadits tersebut dibawa kepada hukum makruh tanziih. Adapun minumnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berdiri merupakan penjelasan bolehnya perbuatan tersebut dilakukan. Tidak ada kesulitan dalam memahaminya dan tidak pula ada pertentangan. Inilah yang perlu dikatakan dalam persoalan ini.
Apabila dikatakan : “Bagaimana minum sambil berdiri bisa dikatakan makruh dengan kenyataan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya?”.
Jawabannya adalah : Perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang kebolehannya, bukan kemakruhannya. Bahkan menjelaskan tentang segala hal tersebut adalah wajib bagi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lantas bagaimana bisa dikatakan makruh ? Telah shahih dari beliau bahwa beliau pernah wudlu sekali-sekali (dalam basuhan anggota badan) dan thawaf di atas onta yang bersamaan itu para ulama telah bersepakat bahwa wudlu tiga kali-tiga kali (dalam basuhan) dan thawaf dengan berjalan kaki lebih sempurna (lebih baik). Ada banyak contoh serupa dalam hal ini. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kebolehan membasuh sekali atau berkali-kali, namun di sisi lain beliau tetap mengerjakan yang utama. Dan memang seperti itulah kebiasaan ( yang sering dilakukan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika wudlu dengan membasuh sebanyak tiga kali-tiga kali, berjalan kaki ketika thawaf, dan duduk ketika minum. Perkara ini sangat jelas tanpa ada permasalahan meskipun bagi orang yang rendah nisbatnya kepada ilmu. Wallaahu a’lam. [15]

Tidak bisa dikatakan bahwa pembolehan minum sambil berdiri itu hanya dikhususkan bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini terjawab oleh perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :


كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَمْشِي، وَنَشْرَبُ وَنَحْنُ قِيَامٌ


“Kami pernah makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [telah berlalu takhrij-nya].

Walaupun teks redaksinya adalah mauquf, namun ia dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Para shahabat melakukannya ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Dan itu senantiasa mereka lakukan setelah beliau wafat.

Hadits ini juga menjawab sebagian besar pendapat-pendapat yang keliru di atas.
Adapun anggapan bahwa kebolehan minum sambil berdiri ini jika hanya ada hajat, maka itu terjawab oleh hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dimana ia mengingkari ketidaksukaan sebagian orang minum sambil berdiri. Banyak nukilan shahabat dan tabi’in dimana mereka minum sambil berdiri tanpa ada hajat. Oleh karena itu, kebolehan ini adalah bersifat umum (dalam segala keadaan).
Metode tarjih dan klaim adanya nasakh juga harus ditinggalkan selama metode kompromi bisa dilakukan.

17.       Mengambil Makanan yang Jatuh dan Membersihkannya Kemudian Dimakan

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا وَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila sepotong makanan jatuh dari salah seorang di antara kalian, hendaknya dia ambil dan dia bersihkan dari kotoran lalu dia makan dan tidak membiarkannya untuk setan.”



Adapun menyia-nyiakan makanan yang telah jatuh tersebut adalah merupakan pemborosan. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (al-Isra: 27)

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

“(Sesungguhnya Allah) membenci (perbuatan kalian) yang memberitakan berita yang tidak jelas kebenaran dan manfaatnya, banyak bertanya, serta membuang-buang harta.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Mughirah bin Syu’bah)

Berkata imam An-Nawawi rahimahullah, “Makanan yang ada dihadapan manusia adalah sebuah barakah, sedangkan seseorang tidaklah mengetahui dibagian mana terdapat barakah tersebut. Bisa jadi menempel pada jari-jemarinya, dinampannya, atau pada suapan yang jatuh. Maka seharusnya (setiap muslim) benar-benar memperhatikan seluruh hal tersebut. Sedangkan makna dari barakah adalah tetapnya suatu kebaikan, oleh karena itu maksud dari barakah disini –Wallahu a’lam- adalah tambahan kebaikan yang terdapat dalam makanan tersebut, yang mana makanan tersebut tidak menyebabkan seseorang terkena penyakit, atau makanan tersebut akan menguatkan seseorang diatas ketaatan kepada Allah.” [16]

Para fuqaha’ menyebutkan beberapa faedah dari adab yang kita bahas ini antara lain:

a). Sebagai realisasi dari pengamalan terhadap sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

b). Sebagai bentuk tawadhu’ dan meniadakan kesombongan.

c). Sebagai bentuk penghormatan, syukur, dan tidak meremehkan terhadap nikmat Allah.

d). Adanya kemungkinan diperolehnya barakah pada makanan yang jatuh tersebut.

e). Menutup peluang bagi setan untuk memakan makanan tersebut. Berkata imam An-Nawawi rahimahullah, “Walaupun makan tersebut jatuh di tempat najis, tetaplah diusahakan untuk dibersihkan, namun apabila ternyata tetap tidak layak untuk dimakan berikanlah makanan tersebut kepada binatang, dan janganlah dia tinggalkan makanan tersebut untuk setan.”[17]

f). Sebagai bentuk penghematan dan penghindaran dari pemborosan. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Termasuk dari adab dalam makan adalah: apabila jatuh makanan makanan seseorang  ketanah janganlah ia biarkan; dikarenakan setan selalu hadir dalam seluruh sendi-sendi kehdupan manusia. Dan seseorang tatkala memungut makannya yang jatuh sebagai bentuk realisasi dari pelaksanaan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam, karena tawadhu’ kepada Allah, dan dengan tujuan untuk menghambat setan dari memakan makanan tersebut, maka ia akan mendapatkan tiga faedah: (pahala) karena dia melaksanakan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam, (pahala) tawadh’, dan (pahala) telah menghadang setan dari memakan hal tersebut.”[18]

Adab yang agung ini telah dibahas oleh para ulama antara lain: imam Ibnu Hazm (Al-Muhalla: 6/117), penulis kitab Hasyiyah Tuhfatul Muhtaj: 7/438, imam Ibnul Hubairah (Al-Inshaf: 8/327), Al-Mabshuth: 30/268, dan Al-maushu’ah Al-Fiqhiyyah: 6/121).[19]

Namun –Wallahul musta’an- kita lihat banyak dari masrakat kita (kecuali yang dirahmati oleh Allah) sangat cuek dengan adab tersebut. Bahkan yang memperihatinkan ada diantara mereka yang menganggap jorok seorang yang memungut makanannya untuk dibersihkan kemudian dimakan lagi, bahkan ada yang tega menuduh seorang yang mengamalkan sunnah ini sebagai seorang yang rakus dan tidak tahu sopan santun. Subahanak hadza buhtanun ‘adzim.

Beberapa Hadits-hadits Dho’if tentang keutamaan memungut makanan yang jatuh



1). Hadits:

من أكل ما يسقط من الخِوان والقَصعةِ أمِن من الفقر والبرص والجذام ، وصُرِفَ عن ولده الحُمقُ

“Barang siapa memakan makanan yang jatuh dari piring atau nampan, maka dia akan terselamatkan dari kefaqiran, lepra, kusta, dan anaknya pun akan terselamatkan dari penyakit gila.”

Dalam riwayat lain disebutkan,

أُعطِيَ سعةً من الرزق ، ووُقِيَ الحمقَ في ولده ، وَوَلَدِ ولده

“Akan diberi kelusan rizki, akan terjaga dirinya dan anak keturunannya dari penyakit gila.”

Dan hadits-hadits yang semisalnya, maka seluruh jalan periwayatannya tidak shahih sebagaimana dijelaskan oleh imam As-Sakhawi.[20]

Demikian juga tidak disunnahkan sama sekali untuk mencium roti sebelum kita makan.[21]

18. Janganlah Memakan Makanan Yang Masih Panas.

Di antara perkara yang banyak dilalaikan oleh mayoritas orang yang justru dengan melalaikannya akan menyebabkan luputnya banyak barakah adalah memakan makanan atau minuman dalam keadaan sangat panas. Dan semestinya kita makan atau minum dalam keadaan dingin atau tidak terlalu panas. Asma’ bintu Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma apabila dibawakan tsarid kepada beliau, beliau menyuruh menutupnya sehingga hilang panasnya yang sangat dan asapnya. Dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hal ini akan menyebabkan barakah lebih banyak.”[22]

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:   “Makanan tidak boleh dimakan melainkan setelah hilang asap panasnya.”[23]

Imam Ibnul Qoyyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah menyantap makanan dalam keadaan masih panas.”[24] Yang dimaksud berkah dalam hadits dari Asma’ di atas adalah gizi yang didapatkan sesudah menyantapnya, makanan tersebut tidak menyebabkan gangguan dalam tubuh, membantu untuk melakukan ketaatan & lain-lain. Yang dimaksud berkah dalam hadits dari Asma’ di atas adalah gizi yang didapatkan sesudah menyantapnya, makanan tersebut tidak menyebabkan gangguan dalam tubuh, membantu untuk melakukan ketaatan & lain-lain. demikian yang dinyatakan oleh Imam Nawawi.[25]

Masalah: Ada beberapa minuman yang tidak diminum melainkan dalam keadaan panas seperti minum teh dan sebagainya, lalu bagaimana jalan keluarnya?

Jawabnya: Hendaknya dia menunggu sampai menghilang asap panasnya kemudian dia minum, walaupun dalam keadaan panas. Minumlah dengan tenang sambil menikmatinya. Wallahu a’lam.

 

19. Anjuran makan sambil bicara

Selama ini, di sebagian daerah bila ada orang makan sambil bicara dianggap tabu. Sudah saatnya anggapan demikian kita hapus dari benak kita, sunnah Nabi menganjurkan makan sambil bicara. Hal ini bertujuan menyelisihi orang-orang kafir yang memiliki kebiasaan tidak mau berbicara sambil makan. Kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan tidak menyerupai mereka dalam hal-hal yang merupakan ciri khusus mereka.

Ibnul Muflih mengatakan bahwa Ishaq bin Ibrahim bercerita, “Suatu ketika aku makan malam bersama Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal ditambah satu kerabat beliau. Ketika makan kami sedikit pun tidak berbicara sedangkan Imam Ahmad makan sambil mengatakan alhamdulillah dan bismillah setelah itu beliau mengatakan, “Makan sambil memuji Allah itu lebih baik daripada makan sambil diam.” Tidak aku dapatkan pendapat lain dari Imam Ahmad yang secara tegas menyelisihi nukilan ini. Demikian juga tidak aku temukan dalam pendapat mayoritas ulama pengikut Imam Ahmad yang menyelisihi pendapat beliau di atas. Kemungkinan besar Imam Ahmad berbuat demikian karena mengikuti dalil, sebab di antara kebiasaan beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.” [26]

Dalam al-Adzkar, Imam Nawawi mengatakan, “Dianjurkan berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam sub “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam makanan.” (al-Adzkar hal 602, edisi terjemah cet. Sinar baru Algen Sindo).[27]



20.     Menjilati Nampan, Wadah, dan Sejenisnya

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata, “Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menghabiskan makanan yang ada di nampan, kemidian beliau bersabda,

فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ


“Kalian tidak tahu makanan manakah yang mengandung barakah.”[28]

Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Sudah sepatutnya bagi seseorang untuk menjilati piring, periuk, dan wadah (yang digunakan untuk makan). Jika selesai makan, maka jilatilah bagian tepinya. Hal itu sebagaimana diperintahkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Sebab, anda tidak tahu di bagian mana makanan mengandung berkah. Namun yang disayangkan, orang-orang justeru memilah-milih dari makanannya tanpa mengamalkan sunnah ini. Sehingga anda akan dapati ada ditepi-tepi piring beberapa sisa makanan. Hal itu terjadi karena ketidak fahaman terhadap sunnah ini. Sekiranya para penuntut ilmu makan bersama orang-orang awam lalu menerangkan sunnah ini dan sunnah lainnya dalam hal makan dan minum, niscaya sunnah ini akan tersebar. Sepatutnya kita memohon kepada Allah agar mengampuni dosa dan kesalahan kita, dikarenakan kita sering melampaui batas dan melanggar aturan-Nya. Yang demikian itu berkebalikan dengan perintahnya. Dan tentu berseberangan dengan dakwah menuju kebenaran.”[29]

Beliau juga berkata, “Amalan ini (menjilati piring) termasuk sunnah yang kebanyakan orang lali terhadapnya. Bahkan para tholabil ‘ilmi pun meninggalkannya. Yakni tatkala mereka selesai makan dan masih ada makanan yang tersisa, mereka tidak mau menjilati piring mereka. Yang demikian itu tentu berseberangan dengan perintah  Nabi shallallahu’alaihi wasallam.”[30]



21.      Menjilati Jari-Jemari Sehabis Makan

Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan keutamaan hal tersebut, antara lain:

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا


“Apabila salah seorang diantara kalian telah selesai menyantap makanan, maka janganlah ia membasuh tangannya hingga ia menjilatinya atau meminta orang lain untuk menjilatinya.”[31]

Dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu’anhu ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ، وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا


“Nabi shallallahu’alaihi wasallam biasa makan dengan menggunakan tiga jari dan menjilati tangannya sebelum membasuhnya.”[32]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Hadits tersebut terdapat bantahan terhadap orang-orang yang tidak suka menjilati jari jemarinya dengan alasan jijik. Lasan terebut dibenarkan manakala dilakukan saat sedang makan, sebab ia memasukkan jari-jemarinya yang terkena air liurnya kedalam makanan lagi.”[33]

Jadi, merupakan suatu kesalahan adalah siapa saja yang menjilati jari-jemarinya saat makan, lantas meneruskan makannya lagi. Yang mana hal itu akan membuat makanan terlihat jijik dihadapan orang lain. Namun yang benar menjilat jari jemari dilakukan setelah makan sebelum mengelap atau mencuci tangan.

Berkata Al-Khattabi rahimahullah, “Nabi shallallahu’alaihi wasallam menjelaskan alasan menjilati jari jemari tangan dan sisa-sisa yang ada di piring sebelum dibersihkan yakni pada sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, (Sebab ia tidak tahu pada bagian mana terdapat keberkahan pada makanan tersebut). Beliau ingin memaparkan kepada anda sekalian barang kali barakah itu terdapat pada makanan yang dijilati di jari jemari dan sisa-sisa di piring yang dihabiskan. Namun sunnah ini telah menuai cercaan sebagian oknum yang mereka hidup dalam kemewahan. Mereka menggantinya dengan kebiasaan makan hingga kekenyangan dan menganggap menjilati jari-jemari adalah perilaku yang menjijikkan. Seolah-olah mereka tidak menyadari bahwa apa yang dijilati dan sisa makanan yang ada pada piring adalah bagian dari apa yang ia makan sendiri. Bila seluruh makanan yang dimakan itu tidak menjijikkan, tentunya sisa makanan yang ada di piring dan menempel pada jari-jemari tentunya tidak menjijikkan.”[34]

Berkata asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, “Hadits ini memiliki beberapa faedah, sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa dokter, yakni: jari-jemari yang digunakan untuk makan ternyata mengeluarkan zat yang mampu digunakan untuk mencerna makanan. Dengan demikian, menjilati jari-jemari seusai makan memiliki dua manfaat: pertama, mengikuti sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Kedua, ditinjau dari segi kesehatan, yaitu adanya zat yang keluar dari jari-jemari seusai makan yang dapat membantu pencernaan makanan.

Seorang mukmin hendaknya tidak menjadikan niatnya semata-mata karena berhubungan dengan kesehatan badan. Yang lebih penting lagi seorang mukmin adalah mengikuti tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan sunnahnya. Sebab dengan hal itu akan tercipta sehatnya hati. Saat orang-orang begitu semangat mengikuti tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wasallam, niscaya imannya akan menjadi kuat.”[35]

Dalam hadits tersebut juga terkandung adab yang mulia terkait menyantap makanan, yaitu: menjilati jari-jemari tangan dan mengusap piring dengan jari-jemari. Namun disayangkan, adab ini banyak ditinggalkan kaum muslimin saat ini dan mereka justeru mengekor budaya orang-orang kafir barat. Wal’iyadzu billah .



22.       Berdo’a Setelah dan Bersyukur Kepada Allah Setelah Makan
Adab Islami dalam tata cara makan yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yaitu memulai dengan menyebut nama Allah I dengan mengucapkan “Bismillah” sebagai-mana dalam pembahasan yang telah lalu. Dan kita dianjurkan juga untuk menutupnya dengan menyebut nama Allah Ta’ala sebagai bentuk syukur dan sebagai bentuk mengingat keutamaan Allah Ta’ala dan rizki-Nya kepada kita. Serta meyakini dari lubuk hatinya bahwa hanya Allah lah semata yang memberinya rizki tersebut.

Dari Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhani, dari bapaknya, dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ، وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


“Barangsiapa memakan makanan dan dia me-ngatakan: ‘Segala puji milik Allah yang telah memberiku makan, dan memberikanku rizki dengan tanpa ada daya dan kekuatan dariku,’ maka akan diampuni dosanya.” [36]

Diantara do’a lain yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah,

لْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَ، وَسَقَى وَسَوَّغَهُ وَجَعَلَ لَهُ مَخْرَجًا


“Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan, minum, dan memudahkannya untuk dicerna serta memberinya jalan keluar.”[37]

Demikian juga do’a:

 الحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلاَ مُوَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ، رَبَّنَا


“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang melimpah, baik dan mengandung keberkahan. Segala puji bagi Allah yang telah memberi kecukupan dan melepaskan dahaga kami, yang senantiasa dibutuhkan, tidak menahan anugerah-Nya, tetap diperlukan dan tidak dapat ditinggalkan, wahai Rab kami.”[38]

Demikian juga do’a:

اللهُمَّ أَطْعَمْتَ وَأَسْقَيْتَ، وَأَغْنَيْتَ وَأَقْنَيْتَ، وَهَدَيْتَ وَأَحْيَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا أَعْطَيْتَ


“Ya Allah Engkaulah yang telah memberi makan, minum, memberi kecukupan dan kerelaan, memberi petunjuk dan memberi pilihan. Ya Allah hanya untuk-Mu segala pujian atas anugerah yang telah Engkau berikan.”[39]




23.     Mencuci Tangan Setelah Makan

Ini juga termasuk dari sekian adab yang dibimbingkan oleh Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam kepada kita semua. Dan kita yakin bahwa dalam setiap bimbingan ada hik-mah dan barakah padanya. Sebagai-mana dalam hadits:

“Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مَنْ نَامَ وَفِي يَدِهِ غَمَرٌ، وَلَمْ يَغْسِلْهُ فَأَصَابَهُ شَيْءٌ، فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ


“Barangsiapa tertidur dan di tangannya terdapat lemak (kotoran bekas makan) dan dia belum mencucinya lalu dia tertimpa oleh sesuatu, maka janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.”[40]
 Bersambung insya Allah......







[1]  HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi. Dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani di dalam Al-Misykat: no. 4275 dan Ash-Shahihah: no. 3178.




[2]  Fathul Bari: 10/83.




[3]  HR. Muslim: no. 2024.




[4]  HR. Muslim: no. 2026.




[5]  HR. Muslim: no. 2024.




[6]  HR. Tirmidzi no. 1880 dan Ibnu Majah no. 3301. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.




[7]  HR. Ahmad 2/206, At-Tirmidziy no. 1883 , dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 2/332-333.




[8]  HR. An-Nasa’i: 8/327 dan At-Tirmidzi: no. 2518.




[9]  Lihat Al-Muntaqaa Syarh Al-Muwaththa’ oleh Al-Baajiy 7/237, ‘Aaridlatul-Ahwadziy 8/72-73, Syarh Al-Bukhariy oleh Ibnu Baththaal 6/72, Al-Mufhim oleh Al-Qurthubiy 5/285-286, Haasyiyyah Al-‘Adawiy 2/609, Fawaakihud-Dawaaniy oleh Ahmad bin Ghaniim An-Nafraawiy 2/319.




[10] Syarh Riyaaldush-Shaalihiin – باب كراهة الشرب من فم القربة ونحوها وبيان أنه كراهة تنزيه لا تحريم – http://www.islamspirit.com.




[11]  Mirqaatul-Mafaatih: 8/165-166, Al-Fatawa Al-Hindiyyah: 1/8 & 5/341, Haasyiyyah Ibni ‘Abidin: 1/129-130, Tabyinul-Haqaiq: 1/7, Al-Bahrur-Raiq: 1/30, Ad-Durrul-Mukhtar: 1/129, Bada’iush-Shanai:’ 1/23, Hasyiyyah Ath-Thahthawialaa Maraqil-Falah: 1/51, Syarh Fathil-Qadir: 1/36, Nurul Idlah 1/19, dan Majma’ul-Anhar 1/30. Artikel abul jauza.com.




[12]  Sebagaimana dalam Fathul-Bari: 10/84. Dinukil pula oleh Al-‘Ainiy dalam ‘Umdatul-Qaariy: 21/193 dari Ibnut-Tin dan semisalnya.




[13]  Sebagaimana dalam Syarh Shahih Al-Bukhariy oleh Ibnu Baththaal 6/72. Lihat Al-Bahjatul-Wardiyyah dan penjelasanya : Al-Ghararul-Bahiyyah oleh Zakariyya Al-Anshariy 4/214, Tuhfatul-Muhtaj oleh Ibnu Hajar Al-Haitamiy 7/438, Raudlatuth-Thalib dan penjelasannya : Asnal-Mathalib oleh As-Suyuthiy 3/228, Mughnil-Muhtaj oleh Al-Khathiib Muhammad Asy-Syarbiniy 4/412, dan Hasyiyyah Al-Jamal oleh Sulaiman bin Manshuur Al-Jamal 1/36 & 4/278.




[14]  Umdatul-Qaari: 21/193, Al-Mu’lim: 3/68, Ma’alimus-Sunan: 5/281-282. Syarhus-Sunnah: 11/381.
Syarh Shahih Muslim: 13/195. Fathul-Bari: 10/84.




[15]  Syarh Shahih Muslim: 13/195.




[16]  Al-Minhaj: 13/206.




[17]  Ibid: 13/204.




[18]  Syarah Riyadgus Shalihin: 1/459.




[19]  http://islamqa.info/ar/ref/82972.




[20] Al-Maqasid asanaAl-Hasanah: hal. 6237, sumber:  http://islamqa.info/ar/ref/82972.




[21]  Al-Adab Asy-Syar’iyyah: 2/231.




[22]  HR. Ad-Darimi: no. 2047. Syaikh Al-Albani memasukkannya kedalam As-Shahihah: no. 392.




[23]  Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi: 7/280; dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Irwa’ul Ghalil no. 1978.




[24] Zadul Ma’ad: 4/223.




[25]  Syarah Shahih Muslim: 13/172.




[26]  Adab Syariyyah: 3/163.





[28] HR. Muslim: no. 2034 dan At-Tirmidzi: no. 1803.




[29]  Raiyadhus Shalihin: 7/245.




[30]  Syarah Riyadhus Shalihin:  6/228.




[31]  HR. Bukhari: no. 5456, Muslim: no. 2031, dan Ibnu Majah: no. 3269.




[32]  HR. Muslim: no. 2032 dan Abu Dawud: no. 3843.




[33]  Fathul Bari: 9/491.




[34]  Ma’alimus Sunan: 4/240.




[35]  Syarah Riyadhus Shalihin: 6/227.




[36]  HR. Ahmad: 3/349, Abu Dawud: no. 4023, At-Tirmidzi: no. 3458, Ibnu Majah: no. 3285, Al-Hakim: 1/508 dan ia menshahihkannya serta disepakati oleh imam Adz-Dzahabi. Lihat Shahihil Jami’: no. 6076.




[37]  HR. Abu Dawud: no. 3751 dan selainnya. Lihat Shahihul Jami’: no. 4671.




[38]  HR. Bukhari: no. 5458, 5459 dari Abu Umamah radhiyallahu’anhu.




[39]  HR. Ahmad dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’: no. 4768.




[40]  Dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud: no. 3852, Al-Imam Ibnu Majah: no. 3297 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud: no. 3262, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2666, di dalam Al-Misykat no. 4219 dan di dalam kitan Ar-Raudh: no. 823.

 


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts