Rabu, 27 Maret 2013



Kehidupan dunia ini memang indah dan memukau, tak pelak banyak manusia kecuali yang dirahmati oleh Allah terbuai dan terpesona dengan kehidupan yang semu ini. Dunia telah disifati oleh Allah sebagai kesenangan yang menipu, tempat berbangga-bangga dengan harta dan anak-anak. Allah Ta’ala berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَاالْحَيَاةُ الدُّنْيَآ إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga diantara kamu serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridlaannya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20).

Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengingatkan tentang bahaya terlena dengan kehidupan dunia, sebagaimana dalam firman-Nya,


إِنِّ مِمَّا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِي مَا يُفْتَحُ عَلَيْكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا وَزِينَتِهَا

Sesungguhnya di antara perkara yang aku khawatirkan atas kalian setelahku adalah dibukakan kepadamu kesenangan dunia dan perhiasannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hinanya Kehidupan Dunia

Sebenarnya, banyak orang yang telah memahami hakikat dunia ini, namun masih banyak pula yang terjebak di dalamnya. Yang paling menyedihkan adalah, orang yang tidak mengerti sama sekali hakikat dunia. Mereka adalah orang-orang yang terombang-ambing dalam pusaran gelombang hawa nafsu yang sengaja dipasang oleh setan untuk dijadikan perangkap dalam menyesatkan manusia. Padahal harga dunia seisinya telah digambarkan oleh Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ؛ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Andaikan dunia di sisi Allah seharga sayap seekor nyamuk; niscaya Allah tidak akan memberikan seteguk air pun untuk orang kafir”. HR. Tirmidzy dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu dan isnadnya dinyatakan sahih oleh al-Hakim.

Sayap seekor nyamuk, siapa yang mau? Diberi gratispun kita tidak mau. Namun anehnya tidak sedikit di antara manusia yang mati-matian berebut sayap nyamuk tersebut, bahkan sampai mempertaruhkan surga mereka sekalipun!

Kesenangan dunia dan perhiasannya telah menjadikan banyak manusia lupa dan lalai. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengkhawatirkan umatnya dilalaikan dengan mengejar dunia dan melupakan kehidupan akhirat. Perbuatan demikian dapat menyebabkan kaum muslimin mendapatkan hal yang tidak diinginkan yaitu:

  • Menjadi terhina di hadapan kaum kuffar.

Sebagaimana sabda Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Apabila kamu berjual beli dengan cara riba, mengambil ekor sapi, rela dengan tanaman dan meninggalkan jihad (membela agama), Allah akan kuasakan kehinaan kepadamu dan Dia tidak akan mencabutnya sampai kamu kembali kepada agamamu (yang benar).” (HR Abu Dawud dan lainnya).[1]

Ini artinya, kaum muslimin lebih mencintai dunia dan tidak mau membela agama Allah. Mereka lebih disibukkan dengan mengejar dunia dan perhiasannya walaupun dengan cara yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Allah pun menjadikan kewibawaan kaum muslimin hilang dan Allah jadikan mereka terhina bagaikan buih yang bawa oleh banjir. Rosulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

Hampir-hampir umat-umat kafir saling memanggil untuk melahap kalian sebagaimana orang-orang lapar saling memanggil untuk melahap hidangan“. Lalu seorang shahabat berkata: ”Apakah jumlah kita sedikit waktu itu ? beliau bersabda: ”Justru jumlah kalian banyak pada waktu itu, akan tetapi seperti buih yang dibawa oleh banjir, dan Allah benar-benar akan mencabut rasa takut kepada kalian dari dada-dada mereka, dan melemparkan kepada hati kalian al wahan“. Seorang sahabat berkata: ”Apakah al wahan itu ? beliau bersabda: ”cinta dunia dan takut mati.“ (HR Abu Dawud no 4297 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Bani dalam shahih Sunan Abi Dawud).

  • Saling menumpahkan darah.

Cinta dunia menjadikan manusia gelap mata dan kikir, sehingga mereka berlomba mencarinya dengan berbagai macam cara walaupun harus dengan menumpahkan darah saudaranya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ.

Jauhilah berbuat zalim karena kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat. Jauhilah syuhh (sangat kikir) karena sangat kikir itu telah membinasakan orang-orang sebelum kamu dan membawa mereka untuk menumpahkan darah dan menganggap halal wanita-wanita mereka.” (HR Muslim).

Sifat syuhh muncul akibat cinta dunia yang amat sangat, Ath-Thibi rahimahullah berkata, “Bakhil adalah kikir dan syuhh adalah bakhil yang disertai berbuat zalim, (dalam hadis ini) disebutkan syuhh setelah menyebutkan zalim untuk menunjukkan bahwa syuhh adalah macam zalim yang paling berat akibat dari cinta dunia dan kelezatannya”. [2]

Sejarahpun telah mencatat bagaimana kaum muslimin saling menumpahkan darah untuk merebut tahta, sebagaimana disebutkan bahwa ketika Bani Umayah telah ditumbangkan oleh Bani Abasiyah, setiap harinya algojo-algojo Bani Abasiyah membunuh delapan puluh orang dari Bani Umayah lalu mereka menggelar tikar dan makan minum di atas mayat-mayatnya. Dunia Islam tak pernah sepi dari perang saudara sebagaimana yang kita baca dalam kitab-kitab sejarah akibat cinta dunia dan kelezatannya. Allahul musta’an.

  • Tidak peduli halal dan haram.

Cinta dunia menjadikan manusia membabi buta tak peduli kepada halal dan haram, tidak ada lagi rasa takut kepada siksa Allah Ta’ala, ia mencari rizki tanpa mempedulikan hukum-hukum Allah sebagaimana disebutkan dalam hadis:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Sesungguhnya akan datang kepada manusia suatu zaman dimana seseorang tidak memperdulikan dengan apa ia mengambil harta, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram“. (HR Bukhari).

Perkara-perkara ini yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas umatnya apabila kesenangan dunia dibukakan kepada mereka, oleh karena itu beliau menganggap bahwa orang yang rakus dengan dunia dan tamak kepada harta lebih berbahaya dari serigala lapar, beliau bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan kepada seekor kambing lebih berbahaya untuk agama seseorang dari orang yang rakus terhadap harta dan kedudukan“. (HR. At-Tirmidzi dan lainnya).

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Ini adalah permisalan yang agung yang diumpamakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kerusakan agama seorang muslim akibat rakus terhadap harta dan kedudukan dunia dan bahwa kerusakannya tidak lebih berat dari rusaknya kambing yang dimangsa oleh dua ekor serigala lapar..”. [3]

  • Mengorbankan prinsip-prinsip agama untuk menjaga kedudukan sosial.

Allah ta’ala menggambarkan akibat perilaku tersebut dalam firman-Nya,
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآَخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ.

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Maka tidak akan diringankan azabnya dan mereka tidak akan ditolong”. QS. Al-Baqarah: 86.

  • Menghalalkan segala cara demi meraih kursi jabatan.

Rasulullah shallallahu’alahiwasallam menasehatkan,
لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ! فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Janganlah meminta-minta jabatan, sebab jika engkau mendapatkan suatu jabatan lantaran permintaan darimu niscaya engkau tidak akan mendapatkan pertolongan dari Allah ta’ala. Namun jika engkau mendapatkannya bukan karena permintaan darimu niscaya engkau akan mendapatkan bantuan (dari Allah ta’ala) dalam mengembannya”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu’anhu)

  • Mengorbankan tali silaturrahim karena berebut warisan.

Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Tidak akan masuk surga pemutus (silaturrahim).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perbandingan Dunia dan Akherat

Berkata syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah,

Bandingkanlah kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, agar kita mengetahui perbedaan kedua negeri tersebut. Di negeri akhirat terdapat semua yang diinginkan oleh jiwa dan mata. Surga adalah darus salâm (kampung kedamaian), yang terlepas dari berbagai kekurangan, bala`, penyakit, kematian, kesusahan maupun usia yang tua. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَمَوْضِعُ سَوْطٍ أَحَدِكُمْ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

Sesungguhnya tempat cemeti kalian di surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya [HR. Ahmad no. 21732]

Ini adalah ucapan seorang nabi yang jujur lagi dipercaya. Sesungguhnya tempat tongkat di surga itu lebih baik dari dunia ini semuanya, dari awal hingga akhirnya dengan segala kenikmatan dan kemewahan yang ada di dalamnya. Apabila ini saja lebih baik dari dunia semuanya, lalu bagaimana dengan kenikmatan sejenak yang engkau dapatkan di dunia?

Wahai kaum Muslimin, Sungguh mengherankan sekali ada kaum yang lebih mengutamakan kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat. Padahal akhirat itu lebih baik dan kekal. Mereka lebih mengutamakan dunia dari pada akhirat. Mereka mencari dunia dan meninggalkan amal akhirat. Meraka sangat berambisi untuk mendapatkan dunia dan melewatkan apa yang Allah Azza wa Jalla wajibkan kepada mereka. Mereka tenggelam dalam hawa nafsu dan kelalaian.

Mereka tidak lagi ingat dari kewajiban bersyukur kepada dzat yang telah memberikan nikmat kepada mereka. Ciri-ciri mereka yaitu bermalas-malasan mengerjakan shalat dan merasa berat untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Di dunia ini mereka berani bermuamalah riba yang telah direkayasa, atau dengan riba terang-terangan tanpa merasa salah sama sekali. Mereka berbohong dalam setiap pembicaraan, tidak menunaikan janji-janji mereka, tidak berbuat baik kepada orang tua dan tidak menyambung silaturahmi.

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang lebih mengutamakan akhirat dari pada dunia, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta jagalah kami dari api neraka.[4]














[1]  Abu Dawud no 3462 dari jalan Haywah bin Syuraih dari Ishaq Abu Abdirrahman Al Khurrasani dari ‘Atha Al Khurrasani dari Nafi’ dari ibnu Umar. Qultu, “Sanad hadis ini lemah karena Ishaq bin Asid Abu Abdirrahman adalah perawi yang lemah demikian pula ‘Atha Al-Khurrasani. Namun imam Ahmad no 4593 meriwayatkan dari jalan Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Al-A’masy dari Atha’ bin Abi Rabah dari Ibnu Umar. Qultu, “Sanad ini shahih”. Dan hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Bani dalam Silsilah Hadis Shahih, no. 11.






[2]  Faidlul Qadiir: 1/175.




[3]  Syarah Hadits Maa Dzi’baani: hal 21.




[4]  Dikutip dari Adl-Dhiyaaul Laami` Minal Khuthaabil Jawaami``, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin: 6/282.


Minggu, 17 Maret 2013


HADITS DHO’IF


 

Berkata Nadzaim (Al-Baiquni) rahimahullah:

 

 

وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ          فَهْوَ الضَّعِيْفُ وَهْوَ أَقْسَامًا كَثُرْ


Dan setiap hadis yang derajatnya lebih rendah dari hadis hasan


Maka ia adalah dha’if, dan ia memiliki macam-macam yang banyak


 

Kemudian penulis masuk pada pembahasan hadis yang ketiga; yaitu hadis dhaif. Beliau memberikan definisi terhadap hadits dho’if tersebut kemudian beliau mengisyaratkan bahwa hadits dho’if memiliki macam-macam yang banyak.

Definisi Hadits Dho’if Menurut Nadzim (Al-Baiquni)

Penulis mendefinisikan hadis dha’if sebagai; hadis yang derajatnya lebih rendah dari hadis hasan, yang tentu saja terlebih lagi dari hadis shahih. Hal ini sebagaimana terlihat pada perkataan beliau وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ    . Definisi yang beliau bawakan tersebut sama dengan definisi yang dibawakan oleh Al-‘Iraqi di dalam Al-Fiyah-nya:

أما الضعيف فهْوَ ما لم يبلغِ   مرتبة الحسن.........


“Adapun hadits dho’if adalah hadits yang tidak samapai kepada derajat hadits hasan....”[1]

Demikian juga definisi yang sama tentang hadits hasan diatas juga dibawakan oleh imam Ibnu Daqieq Al-‘Ied rahimahullah yang mana beliau berkata tentang sefinisi hadits hasan:  " ما نقص من درجة الحسن" (Yaitu hadits yang tidak samapai pada derajat hasan).[2] Diikuti juga oleh imam As-Suyuthi rahimahullah yang mana beliau berkata: ما قصر عن رتبة الحسن؛ فهو الضعيف  (Hadits yang berada di bawah derajat hasan adalah hadits dho’if).[3]

Namun diantara sekian definisi tentang hadits dho’if, definisi yang paling utama –wallahu’alam- adalah definisi yang dibawakan oleh imam Adz-Dzahabi rahimahullah, yang mana beliau berkata tentang definisi hadits dho’if:

الضعيف: ما نقص من درجة الحسن قليلا


“Hadits dho’if ialah: hadits yang tidak mencapai derajat hasan sedikit.”[4]

Adanya penambahan sedikit pada definisi Adz-Dzahabi dalam rangka mengeluarkan jenis hadits yang dho’if (lemah) sekali.

 Kedhaifan suatu hadis kembali kepada dua sebab utama:

  1. Keterjatuhan dalam sanad. Hadis dhaif yang disebabkan hal ini adalah: mursal, munqathi, mu’dhal dan mu’allaq, serta mudallas dan mursal khafi.

  2. Kecacatan dalam perawi. Hadis dhaif yang disebabkan hal ini diantaranya adalah: mu’allal, mudhtharib, munkar, syadz, mudraj, maqlub, matruk, dll.[5]


 

 

 

Macam-macam Hadits Dho’if


  Hadits dho’if berdasarkan klasifikasi kedho’ifannya bisa dibagi menjadi dua macam:

Pertama: Suatu hadits yang kedho’ifannya (kelemahannya) tidak terlalu parah, yang mana apabila ada riwayat lain yang semisal dengannya atau diatasnya, maka derajatnya akan naik menjadi hasan lighoirihi. Hal ini bisa ditemui pada jenis perawi yang dho’if periwayatannya namun hadits mereka dicatat oleh para imam. Maka perawi semacam ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (sandaran) ketika menyendiri. Demikian juga tidak bisa dijadikan sebagai sandaran ketika suatu hadits sanadnya terputus karena irsal atau tadlis.[6]

Kedua: Suatu hadits yang kedho’ifannya sangat parah, sehingga tidak bisa dikuatkan dengan riwayat lainnya. Hal itu terjadi manakala dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang tertuduh berdusta, pendusta atau perawi yang ditinggalkan periwayatannya baik disebabkan karena buruknya hafalannya atau sering kali melakukan kesalahan dalam periwayatan, atau bisa juga disebabkan perawi tersebut tidak diketahui dzatnya.

Contoh hadits yang sangat lemah ditinjau dari segi ‘adalah-nya ( sifat ‘Adl):

Dikeluarkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah di dalam kitab Iqtidha’ul ‘Ilmi Wal-‘Amal: no. 69 , dengan jalan-jalan periwayatan sebagai berikut:

أَبُو دَاوُدَ النَّخَعِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْغَطَفَانِيُّ، عَنْ سُلَيْكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «إِذَا عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ، وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ»


Dari Abu Dawud An-Nakha’i berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Ubaidillah Al-Ghatafani dari Sulaik berkata: aku mendengar Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang ‘alim mengetahui tentang suatu hal kemudian ia tidak mengamalkannya, maka permisalannya seperti lampu lentera yang menerangi orang lain, namun membakar dirinya sendiri.”


 Di dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama Abu Dawud An-Nakha’i, namanya adalah Sulaiman bin ‘Amr. Berikut komentar para imam tentang:


a). Berkata imam Ahmad tentangnya: “Dia (Abu Dawud An-Nakha’i) adalah orang yang suka memalsukan hadits.”


b). Berkata Yahya bin Ma’in: “Dia adalah termasuk seorang yang paling pendusta (dalam haditsnya).” Di sisi lain dia berkata: “Abu Dawud An-Nkha’i adalah seorang yang terkenal dalam memalsukan hadits.


c).  Berkata imam Bukhari: “Dia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), Qutaibah dan Ishaq menjulukinya sebagai pendusta.



Contoh hadits dho’if yang parah ditinjau dari kelemahan perawi dalam hal dhabt-nya:



  Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam Hilayatul Auliya’: (8/252). Dengan jalan-jalan periwayatan sebagai berikut:


عَبْدُ اللهِ بْنُ خُبَيْقٍ، ثنا يُوسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنِ الْعَرْزَمِيَّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ , وَيَقُولُ: «عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ فَإِنَّهُ ذُو بَرَكَةٍ أَلَا وَإِنَّ الْحَارَّ لَا بَرَكَةَ فِيهِ »


Dari Abdullah bin Al-Khubaiq: telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Asbath, dari Muhammad bin Ubaidullah Al-‘Arzami, dari Shafwan bin Sulaim, dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membenci Kay dan makanan yang panas, kemudian beliau bersabda: “Makanlah oleh kalian makanan yang sudah dingin, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung barakah. Dan ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada barakah di dalamnya.”

Dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ubaidullah Al-‘Arzami dia adalah seorang yang ditinggalkan haditsnya dikarenakan ia adalah seorang yang lemah hafalannya. Dia adalah seorang yang shalih, akan tetapi buku catatan haditsnya telah hilang, oleh sebab itu kemudian ia menceritakan hadits dari hafalannya, namun ia menceritakan suatu hadits yang tidak sesuai dengan apa yang dibawakan oleh para perawi yang tsiqat (kredibel), oleh karena itu para ulama pun meninggalkan haditsnya.[7]

Hadits Hasan Li Ghoirihi

Yaitu apabila ada hadits yang tidak terlalu dho’if bertemu dengan hadits lain yang sama kemudian terangkatlah hadits tersebut menjadi hadits hasan ligoirihi dan bisa dijadikan sebagai hujjah.

Contoh: dikeluarkan oleh Al-Bazzar di dalam Musnad-nya sebagaimana terdapat di dalam kitab Majma’ Az-Zawa’id (10/116), dikeluarkan oleh Ibnu Syahin di dalam Fadha’il Syahri Ramadhan (hal.12) dari dua jalan:

Jalan periwayatan pertama: dari Salamah bin Wardan dari Anas bin Malik rdhiyallahu’anhu berkata: “Suatu ketika Nabi shallallahu’alaihi wasallam naik keminbar dan mengatakan ‘Aamiin’ kemudian beliau naik ketingkat berikutnya dan mengatakan ‘Aamiin’...dst sebagaimana terdapat dalam keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan.

   Ket: Salamah bin Wardan adalah seorang perawi yang dho’if ditilik dari segi hafalan haditsnya, dia meriwayatkan dari Anas bin Malik hadits-hadits yang periwayatannya tidak mencocoki periwayatan para perawi yang tsiqaat (terpercaya). Hanya saja kelemahan yang ada padanya adalah kelemahan yang bisa ditolelir tidak parah.

Hadits diatas memiliki jalan periwayatan kedua sebagai penguat yaitu riwayat Tsabit Al-Bunani, yang mana ia meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Sebagaimana telah dikeluarkan oleh Ibnu Syahin (4). Namun di dalam periwayatannya ada kelemahan namun tidak parah. Pada sanad yang menghubungkan kepada Tsabit terdapat seorang perawi yang bernama Mu’ammil bin Isma’il, dia adalah seorang yang dho’if (lemah) pada hafalannya.

Berdasarkan dua riwayat diatas maka hadits tersebut naik menjadi hadits hasan lighoirihi. [8]

Bolehkah Beramal Dengan Hadits Dho’if?

Asy Syaikh Dr. AbdulKarim bin Abdullah Al Khudhair –hafidzahullahu ta’ala- (Anggota Haiah Kibar Ulama dan Komite Tetap untuk Fatwa KSA) ditanya :

“Apa hukum berdalil dan beramal dengan hadits dhoif?”

Beliau menjawab :

Segala puji hanya bagi Allah Azza wa Jalla, Adapun hukum beramal dengan hadits dhoif maka perlu perincian sebagai berikut :

1. Beramal dengan hadits dhoif dalam masalah aqidah hukumnya tidak boleh berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama Islam).

2. Beramal dengan hadits dhoif dalam masalah hukum-hukum fiqh; jumhur ulama berpendapat tidak membolehkannya.

3. Beramal dengannya dalam masalah fadhail (keutamaan amal), tafsir, dan sirah Nabi; jumhur ulama berpendapat bolehnya berdalil dengan hadits dhoif pada masalah-masalah ini dengan beberapa syarat dan batasan :

- Sisi dhoif (cacat), haditsnya tidak terlalu lemah.

- Hadits dhoif tersebut memiliki dasar hukum dalam syariat.

- Ketika beramal dengannya, tidak boleh meyakini bahwa hadits itu berasal dari Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam- akan tetapi ia hendaknya mengamalkannya hanya sebagai sikap kehati-hatian.

Imam Nawawi dan Mula ‘Aly Qory –rahimahumallah- telah menukilkan tentang ijma’nya para ulama atas bolehnya beramal dengan hadits dhoif dalam fadhoil ‘amal, akan tetapi ini tidak benar karena sebagian para ulama menyelisihi hal tersebut diantara mereka adalah Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnul ‘Araby, Asy-Syaukani, dan Al Albaniy –rahimahumullah- dan pendapat inilah (tidak bolehnya beramal dengan hadis dhoif dalam fadhoil ‘amal) yang tersirat dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyim –rahomahumallah- serta pendapat ini juga telah diisyaratkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim –rahimahumallah-. Oleh karena itu berdasarkan pendapat ini maka tidak boleh beramal dengan hadits dhoif dalam semua permasalahan agama tanpa terkecuali, dan boleh disebutkan namun hanya sebagai pelajaran. Ibnul Qoyyim juga mengisyaratkan bahwa hadits dhoif mungkin bisa dijadikan sebagai dalil untuk menguatkan salah satu dari dua pendapat yang sama-sama kuat. Namun pendapat yang benar adalah bahwa Hadis dhoif tidak boleh diamalkan/dijadikan dalil selama tidak adanya keyakinan akan adanya hadits lain yang menguatkannya sehingga dapat mencapai derajat hadits hasan lighoirihi. Wabillahi At Taufiq.[9]
Bersambung insya Allah.......







[1]  At-Tabshirah Wat Tadzkirah syarah Alfiyah: 1/111.




[2]  Al-Iqtirah: hal. 201.




[3]  Al-Bahrul Ladzi Zakhor Fi Syarhi Alfiyatil Atsar: 3/1283.




[4]  Al-Muqidzah: hal. 33.




[5]  Lihat Nukhbah al-Fikar dengan Syarhnya Nuzhatu An-Nadhzar, Al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 97.




[6]  Tentang dua istilah diatas akan datang penjelasanya bi idznillah.




[7]  Taisir Ulumul Hadits: hal. 36-37.




[8]  Taisir Ulumul Hadits: hal. 38-39.



Senin, 04 Maret 2013



HADITS SHAHIH


 

أَوَّلُهَا الصَّحِيْحُ وَهْوَ مَا اتَّصَلْ          إِسْنَادُهُ وَلَمْ يُشَذَّ أَوْ يُعَلْ


يَرْوِيْهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلـِهِ          مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ  وَنَقْلِهِ


Yang pertama dari macam-macam itu adalah istilah shahih; ia adalah yang bersambung


Sanadnya dan tidak syadz, serta tidak ada illah


Yang meriwayatkannya (hadis shahih) seorang yang adil dan dhabith, dari orang yang sepertinya


Dapat diandalkan dalam hal dhabt (hapalan)nya dan naql (kitab)nya


 


 

Mengapa Nadzim memulai pembahasannya dengan hadits shahih?

Hal itu dikarenakan beberapa hal:

  1. Dikarenakan hadits shahih adalah derajat tertinggi dalam pembahasan ilmu hadits.

  2. Tujuan utama dari pembelajaran ilmu hadits adalah untuk membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang dho’if.[1]


Pembagian Hadits Shahih

Hadits shahih dibagi menjadi dua macam:

Pertama: hadits shahih lidzatihi, dan inilah yang menjadi topik pembahasan nadzim (Al-Baiquni).

Kedua: hadits shahih lighorihi, yaitu dibawah derajat hadits shahih lidzatihi. Dan akan datang pembahasannya insya Allah.

Definisi Hadits Shahih lidzatihi

Nadzim rahimahullah pada bait sya’irnya diatas menjelaskan kepada kita tentang definisi hadits shahih yaitu: Hadits yang bersambung sanad (mata rantai perawinya), disertai dengan kriteria ‘adil dan dhobith dalam seluruh perawinya, tidak ada ‘illah, dan tidak syadz.

Para ulama berbeda pendapat tentang definisi hadits shahih, diantara definisi yang terbaik ialah:

(( الذِيْ يَتَّصِلُ إسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ ، عَنْ مِثْلِهِ وَلَا يَكُوْنُ شَاذّاً وَلَا مُعَلَّلاً ))


“Hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan seorang perawi yang ‘adil, dhabith dalam seluruh perawinya dan selamat dari dari syadz dan ‘illah.[2]

Adapun penjabaran syarat-syarat hadits shahih tersebut adalah sebagai berikut:

Syarat Pertama: Bersambung sanadnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh nadzim: وَهْوَ مَا اتَّصَلْ (yaitu bersambung sanadnya).

Maksud dari bersambung sanadnya adalah: Hendaknya setiap perawi meriwayatkan hadits dari syaikh (gurunya) secara langsung tanpa perantara.

Diketahuinya sebuah hadits bersambung mata rantai perawinya dengan beberapa hal berikut:

a). At-Tashrih: Adanya rekomendasi dari imam pakar hadits bahwa periwayatan perawi tertentu mendengar dari gurunya atau pengakuan dari perawi sendiri (dan dia perawi terpercaya) dengan lafadz tertentu yang menegaskan bahwa ia langsung mendengar dari guru/syaikhnya tanpa melalui perantara, misalnya dengan mengatakan: حدثني فلان (telah menceritakan kepadaku Fulan), سمعت فلانا  (saya mendengar Fulan berkata demikian) atau سألت فلانا  (saya bertanya kepada Fulan).

b). At-Tarjih: Yaitu adanya perbedaan antara para imam apakah perawi tersebut mendengar langsung dari perawinya ataukah tidak, maka dalam hal ini didahulukan ucapan seorang imam yang menguatkan bahwa perawi tersebut mendengar langsung dari guru/syaikhnya. Berdasarkan kaedah "المثبت مقدم على المنفي" (yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang meniadakan). Hal itu dikarenakan para imam yang menetapkan bahwa perawi tertentu benar-benar mendengar dari syaikhnya berarti memiliki ilmu yang tidak diketahui oleh para imam yang tidak mengetahuinya.[3]

c).  Al-Istinbath: Yaitu diketahuinya dengan pasti bahwa perawi tersebut benar-benar mendengar dari syaikhnya atau adanya pernyataan dari para imam bahwa perawi tersebut benar-benar mendengar dari syaikhnya dengan beberapa indikasi misalnya: dia pernah mendengar dari seorang syaikh lainnya yang lebih tua atau dia lebih dulu wafat dari syaikhnya.[4]

Syarat Kedua: Tidak syadz. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh nadzim dalam bait sya’irnya diatas إِسْنَادُهُ وَلَمْ يُشَذَّ (tidak ada syadz dalam sanadnya).

Definisi

Kata Syadz secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il yang berarti “sesuatu yang menyendiri”. Menurut mayoritas ulama, kata Syadz bermakna : “yang menyendiri”.

Adapun definisi syadz secara istilah adalah: مُخَالَفَةُ الْمَقْبُوْلِ لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ

“Seorang perawi yang maqbul (diterima periwayatannya) meneylisihi perawi yang lebih tinggi kredibilitasnya dari dia.” Definisi ini dibawakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah.[5]

Imam Ibnu Shalah berkata : “Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syadz yang munkar (teringkari).”[6]

Lawan dari syadz adalah mahfudz yang artinya: “Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau hal-hal lain yang membuat riwayatnya dimenangkan, dimana riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat perawi yang kuat”. Hadits Mahfudh adalah kebalikan dari hadits Syadz.

Hadits Syadz dapat terjadi pada sanad maupun matan.

Contoh-Contoh Hadits Syadz

1. Contoh Syadz yang Terjadi dalam Sanad

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah; dari jalur Ibnu ‘Uyainah dari Amr bin Dinar dari Ausajah dari Ibnu ‘Abbas,”Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang meninggal di masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ia tidak meninggalkan ahli waris kecuali bekas budaknya yang ia merdekakan. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan semua harta warisannya kepada bekas budaknya”.

Imam Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad mereka dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ausajah, dari Ibnu ‘Abbas,”Sesungguhnya seorang laki-laki meninggal…………”.

Hammad bin Yazid menyelisihi Ibnu ‘Uyainah, karena ia meriwayatkan hadits tersebut dari ‘Amr bin Dinar dari Ausajah tanpa menyebutkan Ibnu ‘Abbas.

Masing-masing dari Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Juraij, dan Hammad bin Yazid adalah perawi yang terpercaya. Namun Hammad bin Yazid menyelisihi Ibnu ‘Uyainah dan Ibnu Juraij, karena ia meriwayatkan hadits di atas secara [/I]mursal[/I] (tanpa menyebutkan shahabat Ibnu ‘Abbas). Sedangkan keduanya meriwayatkannya secara bersambung dengan menyebutkan perawi shahabat. Oleh karena keduanya lebih banyak jumlahnya, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu ‘Uyainah dinamakan Hadits Mahfudh. Sedangkan hadits Hammad bin Yazid dinamakan Hadits Syadz.

2. Contoh Syadz pada Matan

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi; dari hadits Abdul Wahid bin Ziyad, dari Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah secara marfu’ : ”Jika salah seorang di antara kalian selesai shalat sunnah fajar, maka hendaklah ia berbaring di atas badannya yang kanan”.

Imam Al-Baihaqi berkata,”Abdul Wahid menyelisihi banyak perawi dalam hadits ini. Karena mereka meriwayatkan hadits tersebut dari perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, bukan dari sabda beliau. Berarti Abdul-Wahid menyendiri dengan lafadh tersebut dari para perawi yang terpercaya dari teman-teman Al-A’masy”. Maka hadits yang diriwayatkan dari jalur Abdul-Wahid ( = ia adalah seorang perawi yang terpercaya) adalah hadits Syadz. Sedangkan yang diriwayatkandari para perawi terpercaya yang lain dinamakan hadits Mahfudh.

Hukum Hadits Syadz dan Mahfudh

Hadits Syadz termasuk dari hadits-hadits yang tertolak. Sedangkan hadits Mahfudh termasuk hadits-hadits yang diterima.[7]

Faedah: hadits syadz masuk kedalam kategori hadits yang cacatnya tersembunyi, yang tidak akan diketahui kecuali dengan mengumpulkan dan mengkompromikan jalan-jalan periwayatan hadits tersebut.

Syarat Ketiga: Selamat dari ‘illah. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh nadzim rahimahullah "وَلَمْ يُعَلّ"  (selamat dari ‘illah).

Makna ‘illah adalah: Sebab tersembunyi yang mempengaruhi keabsahan suatu hadits, padahal secara dhohirnya seolah-olah selamat.

‘Illah (cacat) dalam suatu hadits dibagi menjadi dua macam:

a). ‘Illah yang parah yang mempengaruhi keabsahan suatu hadits. Inilah yang menjadi tema bahasan nadzim rahimahullah.

b). ‘Illah yang tidak parah. Contohnya adanya perbedaan redaksi dalam dua riwayat hadits, namun keduanya masih bisa dikompromikan.[8]

Cara mengetahui apakah suatu hadis memiliki cacat  (‘illah) ataukah tidak adalah dengan mengumpulkan semua jalur sanad hadis dan riwayatnya, mengkajinya secara mendalam, dan melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar (analisis) terhadap kedudukan para rawi dari segi hafalan, keakurasian dan kebenarannya. Al-Khathib Al-Baghdadi mengatakan, “Cara mengetahui illah hadis adalah dengan mengumpulkan semua jalur periwayatan, melihat perbedaan rawinya, mengadakan i’tibar terhadap kedudukan mereka dari segi hafalan, dan posisi mereka dalam hal kebenaran dan keakurasian. Ali Al-Madini mengatakan, Bab; apabila tidak tekumpul jalur periwayatan maka tidak akan tampak kesalahannya. Illah kadangkadang

terjadi pada sanad dan kadangkadang terjadi pada matan. Contohnya; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah bin Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Harb alMala’I, dari alA’masy dari Anas, ia berkata,

 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لَمْ يَرْفَعْ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُوَ مِنَ الأَرْضِ


Apabila Rasulullah saw hendak membuang air maka beliau tidak membuka

(mengangkat) pakaiannya sehingga berada di tempat yang tersembunyi.

Dikeluarkan oleh atTirmidzi (14), Abu Isa arRamli di dalam Zawaid ‘ala Sunan Abu Dawud (Sunan;1/50).

 

Sanad hadis ini secara lahir adalah sahih, rijalnya tsiqah, hanya saja al- A’masy tidak pernah mendengarkan hadis secara langsung dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Ibnul Madini mengatakan, “Al-A’masy tidak pernah mendengar hadis dari Anas bin Malik, ia hanya pernah melihatnya di Mekkah, ketika salat ada di belakang Maqam”.[9]

 

Syarat Keempat: Perawinya ‘Adl. Sebagaimana diisyaratkan oleh nadzim rahimahullah "يَرْوِيْهِ عَدْلٌ"  (perawinya adalah seorang yang ‘adl).

 

Makna dari ‘adl adalah: Seorang yang memiliki kebaikan yang mengantarkannya untuk senantiasa menjalankan ketaqwaan dan menjaga muru’ahnya (wibawa), serta menjauhi perbuatan-perbuatan jelek seperti: kesyirikan, kefasiqan dan kebid’ahan.[10]

Sebagian lagi ada yang mendefinisikan: Yaitu perawi yang muslim[11], baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan, dan hal-hal yang merusak muru’ah.[12]

 

Bagaimanakah Cara Mengetahui bahwa Perawi Tersebut Adalah seorang yang ‘Adl?

 

Diketahui nya seorang perawi yang ‘adl dengan beberapa hal diantaranya:

a). Tersebarnya pujian para imam dan ahli hadits tentang dirinya. Ini adalah diantara metode utama untuk mengetahui bahwa perawi tersebut adalah seorang yang ‘adl.

b). Adanya rekomendasi dari salah satu imam Jarh Wat Ta’dil atau para imam ahli hadits bahwa dia adalah seorang perawi yang ‘adl.

c). Adanya penelitian dari salah seorang imam terhadap perawi tertentu dalam kondisinya, sehingga setelah itu dengan dugaan besar seorang imam tersebut mengetahui bahwa perawi tersebut adalah seorang yang ‘adl. Demikian yang dijelaskan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi.[13]

d). Diantara jalan untuk mengetahui ‘adalah (sifat ‘adl) seorang perawi yaitu dengan melihat buku catatan riwayat haditsnya untuk megetahui kredibilitas perawi tersebut. Hal ini sebagaimana terdapat pada jajaran para ulama sekaliber Yahya bin Yahya, Mis’ar, imam Malik dan yang selain mereka.[14]

e). Kemasyhuran seorang perawi dengan perhatiannya yang besar terhadap ilmu syar’i dan dikenal sebagai perawi yang senang melakukan rihlah (perjalanan untuk menuntut ilmu ke berbagai negeri). Selama perawi tersebut tidak memiliki cacat dalam periwayatan menurut penelitian para imam ahli hadits.[15]

Syarat Kelima: Perawinya Seorang Dhabt. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh nadzim rahimahullah dalam bait sya’irnya "يَرْوِيْهِ...ضَابِطٌ" (perawinya adalah seorang yang dhabt).

Definisi dhabt secara etimologi adalah: الإِتْقَان وَالتَّثَبُّتُ  (memiliki kemantapan hafalan dan teliti).

Sedangkan makna dhobt secara istilah adalah: yaitu kemampuan menyampaikan hadis kepada murid-muridnya sebagaimana yang ia terima dari gurunya, baik dari hapalan atau dari catatannya. [16]

 Dari sini dhabt dibagi dua:

  • Dhabt Shadr: yaitu kemampuan menghapal dengan baik riwayat yang dia dengar dari gurunya hingga ia mampu menghadirkannya kapan saja ia kehendaki.

  • Dhabt Kitab: yaitu kehati-hatiaannya dalam menjaga dan merevisi catatan riwayat-riwayatnya hingga tidak terjadi sesuatu yang dapat merubahnya dari sejak ia meneriwa riwayat itu hingga menyampaikannya.[17]


 

Dari diatas, dapat disimpulkan bahwa syarat hadis shahih adalah lima:

  1. Sanadnya bersambung

  2. Para perawinya adil

  3. Para perawinya dhabith

  4. Tidak Syadz

  5. Tidak terdapat illah.


Tiga syarat yang disebutkan pertama adalah syarat yang harus ada (syuruth wujudiyyah), dan dua syarat yang disebutkan terakhir adalah syarat yang harus tidak ada (syuruth intifaiyyah)

Contoh hadits shahih yang terpenuhi lima syarat diatas:

  • Dikeluarkan oleh imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya: 4/18 (kitabul Jihad Was Sair: Bab. Doa’ perlindungan dari sifat penakut)

  • حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ، وَالجُبْنِ وَالهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ»


Berkata imam Bukhari: Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir berkata: aku mendengar dari ayahku, ia berkata: aku mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata: Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:


“Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, rasa takut, kepikunan, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kubur.”



  Pada hadits diatas telah terpenuhi syarat hadits shahih, yaitu:



1- Sampainya mata rantai perawinya (sanad) kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam.


2- Bersambungnya sanad hadits tersebut dari awal sampai akhir. Anas bin Malik adalah seorang shahabat yang tentu mendengar langsung dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, Sulaiman bin Tharkhan –bapaknya Mu’tamir- pun juga mendengarkan langsung dari Anas bin Malik, Mu’tamir juga mendengar langsung dari bapaknya, demikian juga Musaddad (guru imam Bukhari) langsung mendengar dari Mu’tamir, demikian juga imam Bukhari mendengar langsung dari Musaddad.


3- terpenuhinya syarat ‘adl dan dhabt dalam seluruh perawi yang meriwayatkan hadits tersebut dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu sampai kepada yang mengeluarkan hadits yaitu imam Bukhari rahimahullah. Rinciannya adalah sebagai berikut:


* Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-: Seorang shahabat, dan seluruh shahabat periwayatannya adil dan diterima radhiyallahu’anhum ajma’in.


* Sulaiman bin Tharkhan –bapaknya Mu’tamir -: dia adalah seorang yang tsiqah (terpercaya periwayatannya) lagi ahli ibadah.


* Al-Mu’tamar: adalah seorang perawi yang tsiqah (terpercaya) dalam periwayatannya.


 * Al-Musaddad bin Masrahad: seorang perawi yng tsiqah lagi kokoh hafalannya.


* Al-Bukhari penulis kitab -Ash-Shahih – nama beliau Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari: adalah seorang yang kokoh hafalannya laksana gunung serta amirul mu’minin ( penghulunya) para ulama hadits.


4- demikian juga hadits tersebut bukanlah hadits yang syadz.


5- Serta tidak ada ‘illah (cacat) di dalamnya.


  Maka hadits diatas adalah termasuk diantara sederetan hadits-hadits yang terpenuhi syarat shahih di dalamnya. Oleh karena itu imam Al-Bukhari memasukkan hadits tersebut kedalam kitab Shahihnya.[18]




HADITS HASAN


 


Berkata Nadzim (Al-Baiquni) rahimahullah:



وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوْفُ طُرْقًا وَغَدَتْ          رِجَالُهُ لا كَالصَّحِيْحِ اشْتَهَرَتْ


Dan hasan adalah yang terkenal jalur-jalurnya dan kodisi


Para rijal (perawi)nya terkenal namun tidak seperti hadis shahih


 

Yang kedua dari macam-macam hadis adalah istilah hasan. Secara bahasa, hasan adalah sesuatu yang disukai oleh hati.

Adapun secara istilah, sebagaimana yang disebutkan penulis, hadits hasan adalah hadis yang jalur-jalurnya terkenal; para rijal (perawinya)  adalah perawi yang masyhur namun masih dibawah derajat hadits shahih.

Dari penjelasan Al-Baiquni rahimahullah diatas, seolah-olah beliau mensyaratkan hadits hasan menjadi sua syarat:

Syarat Pertama: Jalan-jalan periwayatannya jelas.

Syarat Kedua: Para rijal perawinya masyhur namun tidak semasyhur para perawi hadits-hadits shahih.

Definisi yang beliua bawakan tentang hadits hasan mirip dengan definisi yang dibawakan oleh imam Al-Khattabi dalam kitab beliau Ma’alimus Sunan (1/11). Disana juga masih banyak definisi lain yang dipaparkan oleh para ulama tentang hadits hasan.[19]

Namun definisi yang paling kongkrit sebagaimana disebutkan oleh para ulama tentang hadits hasan adalah:

(( مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقلِ عَدْلٍ خَفِيف الضَّبْطِ وَلَا يَكُوْنُ شَاذّا وَلَا مُعَلَّلاً))


“Hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan seorang perawi yang ‘adl, namun kurang sempurna dari segi dhabt-nya, serta tidak ada syadz dan ‘illah (cacat)nya.”

Definisi inilah yang dibawakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, yang mana beliau berkata:

" فَإِنْ خَفَّ الضَّبْطُ ؛ فَالْحَسَنُ لِذَاتِهِ"


“Apabila (seorang perawi) kurang sempurna dari segi dhabt-nya, maka haditsnya adalah hasan lidzatihi.”[20]

Oleh karena itu Al-Hafidz Ibnu Hajar memandang bahwa 5 syarat yang ada pada hadits shahih adalah sama dengan yang ada pada hadits hasan hanya saja perbedaan terletak pada dhobt-nya seorang perawi. Apabila riwayat shahih maka dhobt-nya sempurna, adapun riwayat hadits hasan ada kekurangan dari segi dhobt-nya.

Definisi yang dibawakan oleh Al-Hafidz di atas juga disepakati oleh Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-Bani rahimahullah, yang mana beliau berkata,

" وَهَذا التَّعْرِيْفُ على إِيْجَازِهِ أَصَحُّ مَا قِيلَ فِي الحَدِيثِ الحَسَنِ لذَاتِهِ، وهُوَالذِيْ تَوَفّرَتْ فِيهِ شرُوطُ الحديث المتَقَدَّمةِ إلا أنَّهُ خَفَّ ضَبْطُ أحَدِ رُواتِهِ"


“Definisi (yang dibawakan oleh imam Ibnu Hajar) tentang hadits Hasan lidzatihi tersebut adalah definisi yang paling shahih walaupun ringkas. Yaitu hadits yang di dalamnya terpenuhi syarat-syarat hadits shahih, hanya saja ada kekurangan dalam dhabt-nya seorang perawi.”[21]

Para ulama mengistilahkan para perawi yang kurang sempurna dhabt-nya (perawi hasan) dengan beberapa istilah antara lain:

  • صَدُوْقٌ  (perawi yang jujur)

  • وَلاَ بأسَ بِهِ/ وَلَيسَ بِهِ بأسٌ (perawi yang tidak ada masalah padanya)

  • ثِقّةٌ يُخْتِئُ (perawi yang terpercaya tetapi terkadang salah)

  • صَدُوْقٌ لَهُ أوهَمٌ (perawi yang terpercaya akan tetapi memiliki kelemahan dalam hafalannya)


Contoh hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnul Qaththan dalam sebuah tambahan yang beliau bawakan dalam Sunan Ibnu Majah (no. 2744) yang mana jalan periwayatannya sebagai berikut:

عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «كُفْرٌ بِامْرِئٍ ادِّعَاءُ نَسَبٍ لَا يَعْرِفُهُ، أَوْ جَحْدُهُ، وَإِنْ دَقَّ»


Dari Yahya bin Sa’id, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya: bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Telah kufur seseorang yang dia mengkalaim suatu nasab yang dia tidak mengetahuinya, atau mengingkarinya, walaupun itu dalam hal yang remeh.”



   Di dalam hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama ‘Amr bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash.

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar tentangnya: (( صَدُوْقٌ)) “Dia adalah perawi yang jujur (hasan).”[22] Dari sini bisa disimpulkan bahwa hadits tersebut adalah hadits hasan karena keberadaan ‘Amr bin Syu’aib, yang mana dia adalah perawi yang kurang dari segi dhobt-nya akan tetapi ia adalah perawi yang jujur.

Bisakah Hadits Hasan Naik Derajatnya Menjadi Shahih?

  Hadits hasan bisa naik derajatnya menjadi shahih lighirihi apabila terdapat riwayat lain yang sama kuatnya (sama-sama hasan) atau ada penguat lain dari riwayat yang lebih kuat (shahih), sehingga dengan seluruh jalan-jalan periwayatannya akan naik menjadi shahih lighoirihi. Hal itu dikarenakan hadits shahih tidak hanya datang dari satu riwayat saja tetapi terkadang datang juga dari riwayat yang lain. Dan menghukumi suatu riwayat hadits tidaklah cukup hanya dengan melihat satu riwayat saja.[23]








[1]  Fathul Mughits: 1/14, Al-Jawahir As-Sulaimaniyah: hal. 32.




[2]  Ithafun Nabil: 1/106-109. Soal no. 17, karya Asy-Syaikh Abul Hasan hafidzahullah.




[3]  Kaedah ini sewaktu-waktu bisa berubah, hal tersebut tergantung dengan kondisi imam yang menetapkan tersebut apakah dia pakar ataukah tidak dalam bidang hadits.




[4]  Diringkas dari Al-Jawahir As-Sulaimaniyah: hal. 36-40.




[5]  An-Nuzhah: hal. 98.




[6]  Al-Muqaddimah: hal. 86.




[7]  Ulumul-Hadits halaman 68-72; Al-Ba’itsul-Hatsits halaman 56; Tadribur-Rawi halaman 533; dan Taisir Musthalahul-Hadits halaman 117.




[8]  Al-Jawahir: hal. 47.




[9]  Taisir ‘Ulumil Hadits: hal. 281. Karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim hafidzahullah.




[10]  An-Nuzhah: hal. 83.




[11]  Syarat Islam ditekankan mana perawi sedang menyampaikan suatu hadits, adapun tatkala mendengar suatu hadits maka tidak disyaratkan Islam. Bisa jadi seorang perawi mendengar hadits shahih sedangkan ketika itu dia masih dalam kondisi kafir. Demikian penjelasan imam Adz-Dzahabi dalam Al-Muqidzah: hal. 61.




[12]  At-Taqyid Wal-Idhah: hal. 136.




[13]  Al-Kifayah: hal. 141.




[14]  Syifaul ‘Alil: hal. 379-380. Karya Asy-syaikh Abul Hasan hafidzahullah.




[15]  Fathul Mughits: 2/20-21, Ithafun Nabil: 1/173-175, soal no. 52, Miftah Daris Sa’adah: 1/495-496 karya imam Ibnul Qayyim. Cet. Dar Ibnu ‘Affan, Taudhihul Afkar: 2/131.




[16] At-Taqrirat al-Saniyyah, Syarh al-Mandzumah al-Baiquniyyah, Hasan al-Masyath.




[17]  Taisir ulumul Hadits: hal. 15. Karya Amr Abdul Mun’im Salim hafidzahullah.




[18]  Taisir Ulumul Hadits: hal. 16-17.




[19]  Diantaranya oleh imam At-Tirmidzi (Jami’ At-Tirmidzi: 5/758) dan imam Ibnus Shalah (At-Taqyid Wal-Idhah:  hal. 46-47).




[20]  An-Nuzhah: hal. 91.




[21]  Nuzhatun Nadzar: hal 91, disertai dengan ta’liq (komentar) syaikh Al-Albani rahimahullah.




[22]  At-Taqrib: 2/72, lihat juga Taisir Ululumul Hadits: hal. 32.




[23]  Taisir Musthalahul Hadits: hal. 50, Taisir Ulumul Hadits: hal. 33.


Artikel Terbaru

Popular Posts