Minggu, 17 Maret 2013


HADITS DHO’IF


 

Berkata Nadzaim (Al-Baiquni) rahimahullah:

 

 

وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ          فَهْوَ الضَّعِيْفُ وَهْوَ أَقْسَامًا كَثُرْ


Dan setiap hadis yang derajatnya lebih rendah dari hadis hasan


Maka ia adalah dha’if, dan ia memiliki macam-macam yang banyak


 

Kemudian penulis masuk pada pembahasan hadis yang ketiga; yaitu hadis dhaif. Beliau memberikan definisi terhadap hadits dho’if tersebut kemudian beliau mengisyaratkan bahwa hadits dho’if memiliki macam-macam yang banyak.

Definisi Hadits Dho’if Menurut Nadzim (Al-Baiquni)

Penulis mendefinisikan hadis dha’if sebagai; hadis yang derajatnya lebih rendah dari hadis hasan, yang tentu saja terlebih lagi dari hadis shahih. Hal ini sebagaimana terlihat pada perkataan beliau وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ    . Definisi yang beliau bawakan tersebut sama dengan definisi yang dibawakan oleh Al-‘Iraqi di dalam Al-Fiyah-nya:

أما الضعيف فهْوَ ما لم يبلغِ   مرتبة الحسن.........


“Adapun hadits dho’if adalah hadits yang tidak samapai kepada derajat hadits hasan....”[1]

Demikian juga definisi yang sama tentang hadits hasan diatas juga dibawakan oleh imam Ibnu Daqieq Al-‘Ied rahimahullah yang mana beliau berkata tentang sefinisi hadits hasan:  " ما نقص من درجة الحسن" (Yaitu hadits yang tidak samapai pada derajat hasan).[2] Diikuti juga oleh imam As-Suyuthi rahimahullah yang mana beliau berkata: ما قصر عن رتبة الحسن؛ فهو الضعيف  (Hadits yang berada di bawah derajat hasan adalah hadits dho’if).[3]

Namun diantara sekian definisi tentang hadits dho’if, definisi yang paling utama –wallahu’alam- adalah definisi yang dibawakan oleh imam Adz-Dzahabi rahimahullah, yang mana beliau berkata tentang definisi hadits dho’if:

الضعيف: ما نقص من درجة الحسن قليلا


“Hadits dho’if ialah: hadits yang tidak mencapai derajat hasan sedikit.”[4]

Adanya penambahan sedikit pada definisi Adz-Dzahabi dalam rangka mengeluarkan jenis hadits yang dho’if (lemah) sekali.

 Kedhaifan suatu hadis kembali kepada dua sebab utama:

  1. Keterjatuhan dalam sanad. Hadis dhaif yang disebabkan hal ini adalah: mursal, munqathi, mu’dhal dan mu’allaq, serta mudallas dan mursal khafi.

  2. Kecacatan dalam perawi. Hadis dhaif yang disebabkan hal ini diantaranya adalah: mu’allal, mudhtharib, munkar, syadz, mudraj, maqlub, matruk, dll.[5]


 

 

 

Macam-macam Hadits Dho’if


  Hadits dho’if berdasarkan klasifikasi kedho’ifannya bisa dibagi menjadi dua macam:

Pertama: Suatu hadits yang kedho’ifannya (kelemahannya) tidak terlalu parah, yang mana apabila ada riwayat lain yang semisal dengannya atau diatasnya, maka derajatnya akan naik menjadi hasan lighoirihi. Hal ini bisa ditemui pada jenis perawi yang dho’if periwayatannya namun hadits mereka dicatat oleh para imam. Maka perawi semacam ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah (sandaran) ketika menyendiri. Demikian juga tidak bisa dijadikan sebagai sandaran ketika suatu hadits sanadnya terputus karena irsal atau tadlis.[6]

Kedua: Suatu hadits yang kedho’ifannya sangat parah, sehingga tidak bisa dikuatkan dengan riwayat lainnya. Hal itu terjadi manakala dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang tertuduh berdusta, pendusta atau perawi yang ditinggalkan periwayatannya baik disebabkan karena buruknya hafalannya atau sering kali melakukan kesalahan dalam periwayatan, atau bisa juga disebabkan perawi tersebut tidak diketahui dzatnya.

Contoh hadits yang sangat lemah ditinjau dari segi ‘adalah-nya ( sifat ‘Adl):

Dikeluarkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah di dalam kitab Iqtidha’ul ‘Ilmi Wal-‘Amal: no. 69 , dengan jalan-jalan periwayatan sebagai berikut:

أَبُو دَاوُدَ النَّخَعِيُّ، ثنا عَلِيُّ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْغَطَفَانِيُّ، عَنْ سُلَيْكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «إِذَا عَلِمَ الْعَالِمُ وَلَمْ يَعْمَلْ كَانَ كَالْمِصْبَاحِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ، وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ»


Dari Abu Dawud An-Nakha’i berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Ubaidillah Al-Ghatafani dari Sulaik berkata: aku mendengar Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang ‘alim mengetahui tentang suatu hal kemudian ia tidak mengamalkannya, maka permisalannya seperti lampu lentera yang menerangi orang lain, namun membakar dirinya sendiri.”


 Di dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama Abu Dawud An-Nakha’i, namanya adalah Sulaiman bin ‘Amr. Berikut komentar para imam tentang:


a). Berkata imam Ahmad tentangnya: “Dia (Abu Dawud An-Nakha’i) adalah orang yang suka memalsukan hadits.”


b). Berkata Yahya bin Ma’in: “Dia adalah termasuk seorang yang paling pendusta (dalam haditsnya).” Di sisi lain dia berkata: “Abu Dawud An-Nkha’i adalah seorang yang terkenal dalam memalsukan hadits.


c).  Berkata imam Bukhari: “Dia adalah perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), Qutaibah dan Ishaq menjulukinya sebagai pendusta.



Contoh hadits dho’if yang parah ditinjau dari kelemahan perawi dalam hal dhabt-nya:



  Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim di dalam Hilayatul Auliya’: (8/252). Dengan jalan-jalan periwayatan sebagai berikut:


عَبْدُ اللهِ بْنُ خُبَيْقٍ، ثنا يُوسُفُ بْنُ أَسْبَاطٍ، عَنِ الْعَرْزَمِيَّ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكْرَهُ الْكَيَّ وَالطَّعَامَ الْحَارَّ , وَيَقُولُ: «عَلَيْكُمْ بِالْبَارِدِ فَإِنَّهُ ذُو بَرَكَةٍ أَلَا وَإِنَّ الْحَارَّ لَا بَرَكَةَ فِيهِ »


Dari Abdullah bin Al-Khubaiq: telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Asbath, dari Muhammad bin Ubaidullah Al-‘Arzami, dari Shafwan bin Sulaim, dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membenci Kay dan makanan yang panas, kemudian beliau bersabda: “Makanlah oleh kalian makanan yang sudah dingin, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung barakah. Dan ketahuilah bahwa (makanan) yang panas tidak ada barakah di dalamnya.”

Dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ubaidullah Al-‘Arzami dia adalah seorang yang ditinggalkan haditsnya dikarenakan ia adalah seorang yang lemah hafalannya. Dia adalah seorang yang shalih, akan tetapi buku catatan haditsnya telah hilang, oleh sebab itu kemudian ia menceritakan hadits dari hafalannya, namun ia menceritakan suatu hadits yang tidak sesuai dengan apa yang dibawakan oleh para perawi yang tsiqat (kredibel), oleh karena itu para ulama pun meninggalkan haditsnya.[7]

Hadits Hasan Li Ghoirihi

Yaitu apabila ada hadits yang tidak terlalu dho’if bertemu dengan hadits lain yang sama kemudian terangkatlah hadits tersebut menjadi hadits hasan ligoirihi dan bisa dijadikan sebagai hujjah.

Contoh: dikeluarkan oleh Al-Bazzar di dalam Musnad-nya sebagaimana terdapat di dalam kitab Majma’ Az-Zawa’id (10/116), dikeluarkan oleh Ibnu Syahin di dalam Fadha’il Syahri Ramadhan (hal.12) dari dua jalan:

Jalan periwayatan pertama: dari Salamah bin Wardan dari Anas bin Malik rdhiyallahu’anhu berkata: “Suatu ketika Nabi shallallahu’alaihi wasallam naik keminbar dan mengatakan ‘Aamiin’ kemudian beliau naik ketingkat berikutnya dan mengatakan ‘Aamiin’...dst sebagaimana terdapat dalam keutamaan-keutamaan bulan Ramadhan.

   Ket: Salamah bin Wardan adalah seorang perawi yang dho’if ditilik dari segi hafalan haditsnya, dia meriwayatkan dari Anas bin Malik hadits-hadits yang periwayatannya tidak mencocoki periwayatan para perawi yang tsiqaat (terpercaya). Hanya saja kelemahan yang ada padanya adalah kelemahan yang bisa ditolelir tidak parah.

Hadits diatas memiliki jalan periwayatan kedua sebagai penguat yaitu riwayat Tsabit Al-Bunani, yang mana ia meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Sebagaimana telah dikeluarkan oleh Ibnu Syahin (4). Namun di dalam periwayatannya ada kelemahan namun tidak parah. Pada sanad yang menghubungkan kepada Tsabit terdapat seorang perawi yang bernama Mu’ammil bin Isma’il, dia adalah seorang yang dho’if (lemah) pada hafalannya.

Berdasarkan dua riwayat diatas maka hadits tersebut naik menjadi hadits hasan lighoirihi. [8]

Bolehkah Beramal Dengan Hadits Dho’if?

Asy Syaikh Dr. AbdulKarim bin Abdullah Al Khudhair –hafidzahullahu ta’ala- (Anggota Haiah Kibar Ulama dan Komite Tetap untuk Fatwa KSA) ditanya :

“Apa hukum berdalil dan beramal dengan hadits dhoif?”

Beliau menjawab :

Segala puji hanya bagi Allah Azza wa Jalla, Adapun hukum beramal dengan hadits dhoif maka perlu perincian sebagai berikut :

1. Beramal dengan hadits dhoif dalam masalah aqidah hukumnya tidak boleh berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama Islam).

2. Beramal dengan hadits dhoif dalam masalah hukum-hukum fiqh; jumhur ulama berpendapat tidak membolehkannya.

3. Beramal dengannya dalam masalah fadhail (keutamaan amal), tafsir, dan sirah Nabi; jumhur ulama berpendapat bolehnya berdalil dengan hadits dhoif pada masalah-masalah ini dengan beberapa syarat dan batasan :

- Sisi dhoif (cacat), haditsnya tidak terlalu lemah.

- Hadits dhoif tersebut memiliki dasar hukum dalam syariat.

- Ketika beramal dengannya, tidak boleh meyakini bahwa hadits itu berasal dari Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam- akan tetapi ia hendaknya mengamalkannya hanya sebagai sikap kehati-hatian.

Imam Nawawi dan Mula ‘Aly Qory –rahimahumallah- telah menukilkan tentang ijma’nya para ulama atas bolehnya beramal dengan hadits dhoif dalam fadhoil ‘amal, akan tetapi ini tidak benar karena sebagian para ulama menyelisihi hal tersebut diantara mereka adalah Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnul ‘Araby, Asy-Syaukani, dan Al Albaniy –rahimahumullah- dan pendapat inilah (tidak bolehnya beramal dengan hadis dhoif dalam fadhoil ‘amal) yang tersirat dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyim –rahomahumallah- serta pendapat ini juga telah diisyaratkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim –rahimahumallah-. Oleh karena itu berdasarkan pendapat ini maka tidak boleh beramal dengan hadits dhoif dalam semua permasalahan agama tanpa terkecuali, dan boleh disebutkan namun hanya sebagai pelajaran. Ibnul Qoyyim juga mengisyaratkan bahwa hadits dhoif mungkin bisa dijadikan sebagai dalil untuk menguatkan salah satu dari dua pendapat yang sama-sama kuat. Namun pendapat yang benar adalah bahwa Hadis dhoif tidak boleh diamalkan/dijadikan dalil selama tidak adanya keyakinan akan adanya hadits lain yang menguatkannya sehingga dapat mencapai derajat hadits hasan lighoirihi. Wabillahi At Taufiq.[9]
Bersambung insya Allah.......







[1]  At-Tabshirah Wat Tadzkirah syarah Alfiyah: 1/111.




[2]  Al-Iqtirah: hal. 201.




[3]  Al-Bahrul Ladzi Zakhor Fi Syarhi Alfiyatil Atsar: 3/1283.




[4]  Al-Muqidzah: hal. 33.




[5]  Lihat Nukhbah al-Fikar dengan Syarhnya Nuzhatu An-Nadhzar, Al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 97.




[6]  Tentang dua istilah diatas akan datang penjelasanya bi idznillah.




[7]  Taisir Ulumul Hadits: hal. 36-37.




[8]  Taisir Ulumul Hadits: hal. 38-39.



0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts