Senin, 30 April 2012

Apa hukumnya merukunkan suami istri menggunakan sihir?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab, “Hal tersebut diharamkan dan tidaklah diperbolehkan. Sihir yang bertujuan demikian dinamakan ‘athf. Adapun sihir yang bisa memisahkan antara suami dan istri (atau dua orang yang saling mencintai), yang dinamakan sharf, juga diharamkan. Bahkan, hukumnya bisa kafir dan syirik. Allah Ta'ala berfirman:
“Tidaklah mereka berdua mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu maka janganlah engkau kafir.’ Maka mereka mempelajari dari keduanya itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan istrinya. Dan mereka (tukang sihir itu) tidak dapat memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun selain dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang dapat memberi mudarat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Dan sungguh mereka telah meyakini bahwa barangsiapa menukar Kitabullah dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat….” (al-Baqarah: 102) (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin, 2/177—178, fatwa no. 254)
Beliau rahimahullah  juga ditanya tentang macam-macam sihir. Maka beliau  menjawab, “Sihir terbagi dua.
1. Sihir yang berupa ikatan dan jampi-jampi
Sihir ini adalah bacaan dan mantra-mantra yang diucapkan oleh tukang sihir untuk menyenangkan setan dan meminta bantuan kepadanya dengan tujuan menimpakan bahaya/kejelekan kepada orang yang hendak disihir. Allah Ta'ala berfirman:
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia….” (al-Baqarah: 102)
2. Obat-obatan dan ramuan-ramuan yang dapat memberi pengaruh kepada orang yang disihir, memengaruhi akalnya, keinginan, dan kecondongannya.
Inilah yang dinamakan ‘athf dan sharf. Tukang sihir ini menjadikan seseorang mencintai istrinya atau wanita lain hingga ia seperti binatang ternak yang bisa digiring oleh si wanita sekehendaknya. Adapun sharf adalah sebaliknya, membuat seseorang membenci istrinya. Obat-obatan tersebut memberi pengaruh pada tubuh orang yang disihir dengan melemahkannya sedikit demi sedikit hingga ia binasa. Sihir ini juga memengaruhi pandangannya. Dikhayalkan pada dirinya urusan-urusan yang menyelisihi hakikatnya.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail, 2/178, fatwa no. 255)
Bolehkah seorang perawat muslimah bekerja di bagian kewanitaan pada salah satu rumah sakit hingga ia bisa merawat pasien-pasien wanita. Di tempat kerjanya ini, ia memakai pakaian yang syar‘i namun tidak bisa mengenakan jilbab (pakaian luar yang longgar/ lapang dan menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai telapak kaki) dikarenakan dalam pelaksanaan tugas/ pekerjaannya tidak memungkinkan baginya mengenakan jilbab tersebut. Namun tidak ada laki-laki yang mondar-mandir di ruang kerjanya kecuali hanya para pelayan (tukang sapu dan semisalnya) dan apoteker. Pada waktu lain, ia diminta untuk tugas jaga –shift malam– sehingga sepanjang malam ia berada di rumah sakit dan sangat mungkin laki-laki masuk ke tempatnya sementara tidak ada mahram yang mendampinginya. Lalu apa yang harus dilakukan perawat itu? Sebelumnya perlu diketahui suami si perawat mampu memberikan belanja kepadanya tanpa ia harus bekerja.

Jawab:
Asy-Syaikh Al-’Allamah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimaullah memberikan fatwa atas pertanyaan di atas, beliau berkata:
“Apabila kita mengingat hukum yang ada, maka kita ketahui bahwa asalnya seorang wanita muslimah itu harus berdiam/ tinggal di dalam rumahnya dan tidak boleh keluar rumah kecuali bila memang ada keperluan. Di samping itu, disampaikan pada kami dari pertanyaan yang ada bahwa suami si wanita (perawat tersebut) mampu menafkahinya. Maka dengan begitu kami memandang, wanita itu tidak boleh bekerja di luar rumahnya. Bila ia memang tetap berkeinginan bekerja di bidang medis untuk merawat/ mengobati pasien wanita secara khusus, ia bisa membuka praktek di rumah sehingga tidak perlu keluar untuk bekerja di rumah sakit. Karena dengan bekerjanya si wanita di rumah sakit berarti ia menghadapkan dirinya pada ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hijab/ tabir penghalang) baik yang kecil maupun yang besar seperti yang disebutkan dalam pertanyaan. Sehingga ia terjatuh ke dalam pelanggaran syariat, sedikit ataupun banyak, sementara ia sebenarnya bisa menghindarinya.
Adapun pertanyaan yang menyebutkan bahwa si wanita dengan profesinya sebagai perawat di rumah sakit, ia tidak bisa mengenakan jilbab karena demikian tuntutan pekerjaannya, akan tetapi masih bisa mengenakan pakaian yang menutupi auratnya maka aku nyatakan bahwa hal itu bukanlah alasan. Kecuali bila kita gambarkan bahwa jilbab itu adalah (model) satu potong pakaian yang dikenakan wanita untuk menutupi tubuhnya dari atas kepala sampai ke telapak kaki dan kita anggap model jilbab memang harus demikian, itu merupakan perkara ta’abbudiyyah. Yakni dibebani para wanita untuk senantiasa mengenakan hijab/pakaian dengan model tersebut. Bila kita tetapkan jilbab itu demikian, maka perbuatan si wanita jelas teranggap sebagai penyelisihan lain yang dilakukannya karena ia tidak mengenakan jilbab tersebut dengan alasan pekerjaan. Ia meng-gantinya dengan pakaian model lain yang bisa menutupi tubuhnya. Namun perlu diketahui, jilbab itu ditinjau dari sisi jenis dan model/bentuknya. Dan sebenarnya bukannya model/bentuk jilbab yang dituju, tapi model itu hanyalah satu perantara untuk menutup aurat wanita. Dengan begitu boleh bagi seorang wanita memakai pakaian apa yang diinginkannya namun dalam batasan syarat-syarat yang ada seba-gaimana yang telah aku sebutkan dalam kitab Hijabul Mar`ah Al-Muslimah. Seandainya pakaian yang dikenakannya itu bukanlah jilbab secara bahasa yakni tidak terdiri dari satu potong pakaian (yang lebar/ lapang, yang bisa menutupi dari atas kepala sampai telapak kaki) maka hendaklah ia mengenakan pakaian yang terdiri dari tiga potong. Akan tetapi yang penting dari semua itu, pakaian pengganti jilbab tersebut dapat menggantikan fungsi jilbab. Bila seperti itu keadaannya maka tidak ada masalah bagi perawat tersebut dan tidak pula yang lainnya untuk tidak mengenakan jilbab namun menggantinya dengan pakaian lain yang bisa menggantikan fungsi jilbab secara sempurna.
Kesimpulannya, wanita keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya si wanita ke rumah sakit yang di dalamnya berbaur laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Seandainya di sana ada rumah sakit khusus wanita, maka yang jadi direkturnya semestinya wanita, pelayan/ pekerjanya juga wanita, demikian pula para pasien (berikut pera-watnya). Seharus-nya memang di negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang demikian di mana para wanita secara khusus yang mengurusnya, baik dokter, direktur, pelayan/ pekerjanya, dan semisalnya (semuanya wanita). Adapun bila rumah sakitnya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, rumah sakit yang ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya hendaknya bertakwa kepada Allah dan hendaklah ia tetap tinggal di rumahnya.
(Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 474-475)
Sering kita mendengar di Negara kita ini seorang yang sudah meninggal dunia disebut dengan ‘Al-Marhum’ (yang dirahmati). Bolehkah hal tersebut ataukah terlarang?! Berikut ini rincian jawabannya:

Pertama: Apabila maksud dari perkataan tersebut adalah sebagai bentuk kabar, maka hukumnya tidak boleh, sebab dia tidak tahu apakah si mayit benar-benar mendapatkan rahmat tersebut ataukah tidak, yang mana tidak boleh bagi seseorang untuk memberikan persaksian tentang sesuatu yang dia tidak ketahui.

Kedua: Apabila masudnya adalah doa dan harapan semoga Allah merahmatinya, maka itu boleh, kerena kata ini bisa bermakna do’a.

Jadi hukumnya kembali kepada niat orang yang mengucapkannya, hanya saja yang kita dapati kebanyakan orang yang mengucapkan hal tersebut maksudnya adalah do’a dan harapan saja, sehingga hukumnya adalah boleh.

Perincian ini disebutkan oleh syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa 17/451-452 dan syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany sebagaimana dikutip oleh murid beliau, syaikh Masyhur Hasan Salman dalam Ta’liq kitab Dzul Qarnain Wa Saddu Shin karya Muhammad Raghib At-Tabbakh hal. 128)

Sabtu, 28 April 2012

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya:

Apa hukum tepuk tangan bagi laki-laki di acara seminar dan berbagai macam pertandingan?

Maka beliau menjawab: “Tepuk tangan untuk laki-laki ada tiga kategori:

Pertama: Tepuk tangan yang dilakukan sebagi ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik di dekat ka’bah. Tepuk tangan jenis ini jelas hukumnya haram Allah berfirman,

“Shalat mereka di sekitar baitullah itu tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (Al-Anfal: 35)

Kedua: Tepuk tangan yang biasa dijadikan sebagai hiburan. Tepuk tangan jenis ini terlarang, boleh jadi hukumnya haram, atau minimal hukumnya adalah makruh.

Ketiga: tepuk tangan yang di jadikan sebagai penyemangat. Artinya ada kebiasaan yang terjadi masyarakat bahwa orang yang mendapat dukungan dengan tepuk tangan ia akan menjadi semangat. Tepuk tangan jenis ini hukumnya tidaklah mengapa karena hukum asal perkara yang bukan ibadah adalah mubah dan boleh.

Betapa gembiranya seorang siswa yang mendapatkan aplaus ketika memberikan jawaban dengan benar di kelas. Yang saya maksudkan adalah siawa sekolah dasar, sedangkan bagi kalian para mahasiswa, tepuk tangan tidaklah penting bagi kalian. Betapa senangnya siswa yang mendapatkan aplaus tersebut. Boleh jadi ia akan melompat-lompat karena perasaan girang. Apakah hal semacam ini kita larang tanpa dalil?!

Adapun hadits Nabi tentang, ‘tepuk tangan itu untuk perempuan sedangkan bacaan tasbih itu untuk laki-laki’,[1] hadits ini berlakua dalam shalat (bukan dalam semua kedaam). (Washaya WaTaujihat Li Thalabil ‘Ilmy, karya Prof. Dr. Sulaiman bin Abdullah bin Hamud Abu Khoil: hal. 65. Cet. Dar Ibnul Haitsam Kairo, cet pertama, 1426 H)








[1]  HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.


Minggu, 22 April 2012

Berikut ini adalah rangkaian rekaman kajian muhadharah bersama syaikh muhammad Sa'id Al-Adeni hafidahullah ta'ala,yang diselenggarakan di Yayasan Ihyaussunnah Bontang Kalimantan Timur dari tanggal 3-22 april 2012. Beliau adalah murid Syaikh Muqbil dan Syaikh Abul Hasan As-Sulaimany dan saat ini adalah piimpinan Darul Hadits di propinsi Ib Yaman Kegiatan iniatas kerjasama Yayasan Ihyaussunnah Bontang dan Kajian An-Nashihah. Kepada seluruh donatur, panitia,dan semua pihak yang turut membantu terselenggaranya daurah ini, semoga Allah melipatgandakan pahala kepada antum semua. Amin.

Untuk download, silahkan klik link berikut:

  1. Daurah hari 1 Konsep Bermuamalah dengan Pemerintah

  2. Daurah hari 2 Himmah dalam Menuntut Ilmu

  3. Daurah hari 3 Tujuh Golongan Yang Mendapat Naungan Allah

  4. Daurah hari 4 Bahaya Sifat Hasad

  5. Kajian Muslimah / Ummahat Tokoh Wanita Yang Diabadikan Dalam Al-Quran 

  6. Kajian Muslimah / Ummahat Perbandingan Antara Wanita Jaman Jahiliyah dengan Setelah Datangnya Islam

  7. Kajian Muslimah / Ummahat Kesalaha-Kesalahan Yang Dilakukan Oleh Para Wanita

  8. Kajian Muslimah / Ummahat Kemungkaran-kemungkaran Dalam Walimah

  9. Muhadharah tentang Kesalahan-Kesalahan Sholat Bagian Pertama

  10. Muhadharah tentang Kesalahan-Kesalahan Sholat Bagian Kedua

  11. Muhadharah tentang Hikmah dalam Berdakwah

  12. Muhadharah tentang Kesalahan-Kesalahan Dalam Aqidah

  13. Muhadharah tentang Kaidah Antara Maslahat dan Madharat Hari Pertama

  14. Muhadharah tentang Kaidah Antara Maslahat dan Madharat Hari Kedua

  15. Muhadharah tentang Solusi Atau jalan keluar dari Fitnah

  16. Muhadharah tentang Perkara Kebiasaan Jahiliyah Hari Pertama

  17. Muhadharah tentang Perkara Kebiasaan Jahiliyah Hari Kedua

  18. Muhadharah tentang Perkara Kebiasaan Jahiliyah Tanya Jawab

  19. Tanya Jawab dengan Jama'ah Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq

  20. Khutbah Jum'at

.

Kamis, 19 April 2012

WAHAI PARA ISTRI JANGANLAH ENGKAU DURHAKA KEPADA SUAMI

Merupakan satu anugerah dari Allah, ketika seorang wanita dipertemukan dengan pasangan hidupnya dalam satu jalinan pernikahan yang suci. Hal ini sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Rum: 21)

Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidaklah semudah membalik kedua telapak tangan, karena dibutuhkan ilmu dan ketakwaan untuk menjalaninya. Seorang suami butuh bekal ilmu agar ia tahu bagaimana membina rumah tangganya sesuai dengan tuntunan syar’i. Istripun demikian, ia harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana kedudukan seorang suami dalam syariat ini. Masing-masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan demi kebaikan mahligai rumah tangga.

Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya, sampai-sampai bila diperkenankan oleh Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.

Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Ketika ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu.” Mendengar ucapan Mu’adz ini, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ َأنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ الله عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ

Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (HR. Ahmad 4/381. Dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Ash-Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa Al-Ghalil no. 1998)

Namun disayangkan, di kalangan para istri banyak yang melupakan atau tidak tahu haknya kepada suaminya, hingga kita dapatkan mereka sering mengeluhkan suaminya, melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak ingat akan keutamaannya. Yang lebih disayangkan, ucapan dan penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka. Padahal perbuatan seperti ini menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan adzab yang pedih.

Perbuatan tidak tahu syukur ini merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seselesainya beliau dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana):
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: " يَكْفُرْنَ العَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ "

 “Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur .” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)

Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan: Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengkan hak suami terhadap istri dengan hak Allah, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah. Karena itulah diberikan istilah kufur terhadap perbuatannya akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengisahkan:
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِيْنُ وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوْسُوْنَ غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ

Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, sementara orang kaya lagi terpandang masih tertahan (untuk dihisab) namun penghuni neraka telah diperintah untuk masuk ke dalam neraka , ternyata mayoritas yang masuk ke dalam neraka adalah kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5196 dan Muslim no. 2736)

Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita yang cerdas: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.” Wanita itu bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang agama?”. “Adapun kurangnya akal wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian seorang lelaki. Sementara kurangnya agama wanita ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan Ramadhan selama beberapa malam (yakni saat ditimpa haidh).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)

Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar (penghuni neraka) maka mereka menjadi jumlah yang minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nyatakan hal ini dalam sabdanya:

إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة النِّسَاءُ

Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.” (HR. Muslim no. 2738)

Sungguh, bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami, sementara suaminya adalah orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepadanya, maka ia pun tidak akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala, Dzat yang terus mencurahkan kenikmatan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikannya kenikmatan pada setiap hamba.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللهَ

Siapa yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada Allah.” (HR. Abu Dawud no. 4177 dan At-Tirmidzi no. 2020, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Muslim, dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/338)

Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.

Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaannya suka mengingkari kenikmatan yang diberikan kepadanya dan enggan untuk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi kebiasaannya pula mengkufuri nikmat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur kepada-Nya.

Sisi kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur (berterima kasih) terhadap kebaikan manusia dan mengingkari kebaikan mereka, karena berkaitannya dua perkara ini.” (‘Aunul Ma’bud, 13/114)

Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: “(Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian) bisa jadi karena mensyukuri Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikannya nikmat-nikmat Allah kepadanya. Maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini, ia tidak menunaikan kesyukuran atas kenikmatan-Nya. Atau bisa pula maknanya, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan kenikmatan kepadanya, padahal ia tahu sifat manusia itu sangat senang mendapatkan pujian, ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang telah diberikan, maka orang seperti ini akan lebih berani meremehkan sikap syukur kepada Allah, yang sebenarnya sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran .” (Tuhfatul Ahwadzi, 6/74).

Sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab Allah untuk mencurahkan seluruh kemampuannya dalam menunaikan hak-hak suami, karena suaminya adalah jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebaliknya membawa dirinya ke jurang neraka. Al-Hushain bin Mihshan radliallahu anhu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena satu keperluan dan setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya:
" أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: " كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ " قَالَتْ: مَا آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ، قَالَ: " فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ "

Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341. Berkata penulis Jami’ Ahkamin Nisa: hadits ini hasan, 3/430)

Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikannya. Ingatlah, suamimu hanya sementara waktu menemanimu di dunia, kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul dengan para bidadari surga yang murka kala engkau menyakitinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan hal ini dalam sabdanya:

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ, فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ, يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata hurun `in (bidadari-bidadari surga) yang menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakitinya qatalakillah , karena dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah, hampir-hampir dia akan berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah no. 204. Berkata penulis Bahjatun Nazhirin (syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali): Sanad hadits ini shahih, 1/372)

Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.

Senin, 16 April 2012

SEMANGAT TINGGI DALAM MENUNTUT ILMU.


Segala puji adalah milik Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, kepada keluarganya  dan para shabatnya seluruhnya.

Berkata seorang penyair:

Wahai seseorang yang ingin menumpang sesungguhnya kendaraan ini akan berjalan dengan cepat

Sementara kita masih duduk-duduk, apasebenarnya yang sedang anda kerjakan?!

Apakah engkau akan ridho’ ditinggalkan oleh mereka

Masihkah seseorang dibuai angan-angan Sementara kebinasaan

Menghadang dirinya maka menangislah seorang yang hendak menangis

Apakah waktunya akan ia sia-siakan dengan main-main?!

Setiap manusia memiilki tujuan dan cita-cita, oleh karena itu benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi shallallahu’laihi wasallam,

أَصْدَقُ الْأَسْمَاءِ الْحَارِثُ، وَهَمَّامٌ


“Sejujur-jujurnya nama adalah Harits dan Hammam (yang memilki tekad yang tinggi).” Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb didalam Al-Majaami’ dari Abdul Wahhab bin Bukht dan diriwayatkan oleh Al-bukhari didalam Al-Adabul Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Allamah Al-Albani. Yang demikian itu dikarenakan setiap manusia punya tekad dan cita-cita, namun ada diantara mereka yang cita-citanya dintara singgasana dan ada diantara mereka yang cita-citanya hanya berkisar pada tempat tidur.

Imam Ibnul Jauzi menyebutkan didalam kitab Shifatush Shafwah: 2/229: Berkata Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, “Aku banyak mendengar bapakku (imam Ahmad) mengatakan , ‘Mudah-mudahan Allah merahmati Abul Haitsam dan mengampuninya.’ Maka aku katakan, ‘siapakah itu Abul Haitsam?’ maka ia menjawab, ‘Tatkala aku keluar dihadapkan menuju algojo tukang cambuk dan aku membentangkan tanganku untuk  dicambuk tiba-tiba aku bertemu dengan anak muda yang menarik bajuku dari arah belakangku kemudian ia mengtakan, ‘Apakah engkau mengetahuiku?’ aku menjawab, ‘Tidak’. Kemudian ia mengatakan, Aku adalah Abul Haitsam Al-‘Iyaar seorang perampok yang tercatat ditempat amirul mu’minin sebagai seorang yang suka memukul dengan cemeti sebanyak 18.000 kali terhadap orang yang berbeda, sementara aku sabar untuk melakukan hal tersebut yaitu ketaatan dijalan setan, maka bersabarlah engkau diatas ketaan kepada Allah demi agama ini’.”

Dan merupakan nikmat Allah yang besar atas hambanya manakala ia diberi taufiq agar memiliki tekad yang tinggi, namaun apakah tekad yang tinggi itu?

Berkata imam Ibnul Qayyim rahimahullah, “Sesungguhnya tekad seorang hamba apabila selalu bergantung kepada Allah Ta’ala dengan jujur dan ikhlas, maka itulah tekad yang tinggi.” (Madarijus Saalikiin: 3/3)

Maka ini adalah taufiq dari Allah Azza Wa Jalla. Allah berfirman,

وَاذْكُرْ عِبادَنا إِبْراهِيمَ وَإِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصارِ  إِنَّا أَخْلَصْناهُمْ بِخالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ


“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang Tinggi.Sesungguhnya kami Telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (Shad: 45-46)

Berkata Mujahid,  إِنَّا أَخْلَصْناهُمْ بِخالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ ‘Yaitu tidak  ada bagi mereka keinginan utama melainkan kehidupan akhirat’.’’

Berikut ini adalah hadits-hadita yang menjelaskan tentang tekad yang tinggi, maka pegang teguhlah baik-baik:-

  1. Dari Al-Husain bin Ali radhiyallahu’anhu ma berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُورِ، وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا


“Sesunggunya Allah mencintai perkara-perkara yang agung dan mulia serta membenci hal-hal yang rendah.” (HR. Ath-Thabrani dan selainnya. Dan dihasankan oleh Syaikh Al-Bani rahimahullah)

  1. Dari Kulaib radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


يُحِبُّ اللهُ لِلْعَامِلِ إِذَا عَمِلَ أَنْ يُحْسِنَ


“Sesungguhnya Allah mencintai seorang yang beramal dan ia memperbagus dalam amalannya.” (HR. Al-Baihaqi dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

  1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ


“Ada dua nikmat yang mana manusia banyak tertipu padanya yaitu kesahatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari)

  1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا


“Bersegeralah dalam beramal sebelum datangnya fitnah seperti potongan malam yang hitam, pada pagi harinya seorang dalam kedaan beriman dan pada saat sore harinya seorang dalam kedaan kafir, kemudian pada sore harinya seorang dalam keadaan beriman dan pada pagi harinya ia dalam keadaan kafir ia menjual agamanya dengan materi dunia yang sedikit.” (HR. Muslim)

  1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ


“Seorang mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang mu’min yang lemah, namun masing-masing memilki kebaikan, bersemanagatlah kepada apa yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah janganlah engkau merasa lemah. Apabila menimpa padamu sesuatu hal, maka janganlah engkau mengucapkan, ‘seandainya aku melakukan hal ini niscaya akan begini dan begini’ akan tetapi ucapkanlah, ‘Sesunguhnya itu adalah kehendak Allah dan apa yang yang ia kehendaki pastilah terjadi.” (HR. Muslim)

  1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, Dahulu kami duduk disisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam...kemudian Nabi shallallahu’alaihi wasallam meletakkan tangannya pada Salman, kemudian beliau bersabda,


لَوْ كَانَ الإِيمَانُ بِالثُّرَيَّا لَتَنَاوَلَهُ رِجَالٌ مِنْ هَؤُلَاءِ


“Kalau seandainya keimanan ada pada bintang itu pastilah akan didapatkan oleh orang ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan didalam riwayat Muslim, “Kalau seandainya keimanan itu ada pada bintang itu pastilah akan dicari oleh seorang dari Persia ini.”

  1. Dari Sulaiman berkata, Rasullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


 

لَيْسَ شَيْءٌ خَيْرًا مِنْ أَلْفٍ مِثْلِهِ مِنَ الْإِنْسَانِ


“Tidak ada seseatu yang seribu kali lebih baik darinya dari pada manusia.” (HR. At-Thabrani dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Bani)

  1. Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu’anhu berkata, Rasululllah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


عِنْدَ اللهِ خَزَائِنُ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ، مَفَاتِيحُهَا الرِّجَالُ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَهُ مِفْتَاحًا لِلْخَيْرِ، وَمِغْلَاقًا لِلشَّرِّ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَهُ مِفْتَاحًا لِلشَّرِّ، وَمِغْلَاقًا لِلْخَيْرِ


 “Disisi Allah lah perbendaharaan yang baik dan buruk, sedangkan kunci-kuncinya adalah manusia, maka beruntunglah bagi seorang yang Allah jadikan padanya kunci kebaikan dan penghalang keburukan dan calakalah bagi seorang yang jadikan padanya kunci keburukan dan penghalang terhadap kebaikan.”  (HR. Thabrani dan dishahihkan oleh Suaikh Al-Albani)

  1. Dan didalam sebauah hadits,


لِكُلِّ قَرْنٍ سَابِقٌ


“Setiap generasi ada pendahulunya.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)

  1. Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


كَمَا لَا يُجْتَنَى مِنَ الشَّوْكِ الْعِنَبُ لَا يَنْزِلُ الْفُجَّارُ مَنَازِلَ الْأَبْرَارِ، وَهُمَا طَرِيقَانِ فَأَيُّهُمَا أَخَذْتُمْ أَدَّتْكُمْ إِلَيْهِ


 “Sebagaimana duri tidak akan menghasilkan anggur, demikian juga orang-orang yang jahat tidak dapat menandingi kedudukan orang-orang yang beruntung. Sedangkan keduanya adalah jalan yang ditempuh (manusia), maka mana saja diantara keduanya yang kamu ambil itulah yang engkau dapatkan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dan dishahihkan oleh syaikh Al-AlBani)

  1. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا وَاحِدًا، هَمَّ آخِرَتِهِ، كَفَاهُ اللَّهُ هَمَّ دُنْيَاهُ، وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ أَوْدِيَتِهَا هَلَكَ


 “Barang siapa yang menjadikan cita-citanya hanya pada satu cita-cita -yaitu akhirat- maka Allah akan mencukupkan seluruh cita-citanya, namun barang siapa yang banyak angan-angannya dari keinginan duniawi maka Allah tidak akan mempedulikan dilembah yang mana dia akan binasa.” (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

  1. Dari Anas radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


من أراد أن يعلم ماله عند الله فلينظر ما لله عنده


“Barang siapa yang ingin mengetahui kedudukannya disisi Allah, maka hendaklah ia perhatikanlah kedudukan Allah disisinya.” (HR. Ad-Daruquthni dan dihasankan oleh syaikh Al-Albani)

  1. Dari Abu Sa’id radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,


إِنَّ أَهْلَ الدَّرَجَاتِ الْعُلَى يَرَاهُمْ مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنْهُمْ كَمَا يُرَى الْكَوْكَبُ الدُّرِّيُّ فِي أُفُقِ السَّمَاءِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ مِنْهُمْ وَأَنْعِمَا


“Sesunguhnya orang-orang yang berada pada derajat yang tinggi (disorga), maka orang-orang yang ada dibawah mereka akan melihat mereka seperti engkau melihat bintang-bintang yang ada di ufuk langit. Dan sesungguhnya Abu Bakr dan Umar termasuk dari mereka dan keduanya mendapatkan nikmat.”

Keduanya mendapatkan derajat yang tinggi diakhirat karena besarnya semangat dan tekad keduanya (dalam beramal).

SEMANGAT YANG TINGGI DALAM MENUNTUT ILMU SYAR’I

Hal yang paling utama adalah engkau mengarahkan tekad dan semangat yang tinggi untuk menuntut ilmu syar’i. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar didalam Muqaddimah Shahih Bukhari:-

“Amma ba’du: sesungguhnya hal yang paling utama untuk engkau curahkan semangatmu sepanjang hari adalah menyibukkan diri dengan ilmu syar’i yang bersumber dari sebaik-baik manusia. Dan seorang yang berakal tidak akan ragu bahwa sumber dari (ilmu tersebut) adalah Kitabullah yang memberikan petunjuk dan sunnah Nabi-Nya yang terpilih.”

Berkata imam Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah, “Renungkanlah sebuah keajaiban, yang mana segala hal yang berharga pastilah tidak akan didapat keculi dalam waktu yang lama dan adanya kepayahan dalam mendapatkannya. Sesengguhnya ilmu yang itu merupakan sesuatu yang paling berharga, tidak akan bisa didapat kecuali dengan suatu kepayahan, begadang malam, mengulang-ulangnya, serta meninggalkan kesenangan dan kelezatan, hiangga berkata sebagian ulama, “Selama bertahun-tahun aku menginginkan untuk makan Harisah[1] akan tetapi aku tidak mampu, karena penjualnya berjualan ketika kami sedang mengikuti pelajaran.....”

Diriwayatkan oleh imam Muslim didalam shahihnya dari Yahya bin Abi katsir berkata, “Ilmu tidak akan diperoleh dengan jasad yang berleha-leha.”

Ibnu Hisyam An-Nahwi menasehatkan para penuntut ilmu agar selalu bersabar dalam menghadapi kesulitan yang menghadang ketika menuntut ilmu dengan perkataannya,

Barang siapa yang sabar dalam menuntut ilmu dia akan sukes mendapatkannya


Sebagaimana seorang yang ingin melamar wanita cantik ia akan bersabar dalam usahanya


Barang siapa yang tidak mau menundukkan dirinya untuk mencari sesuatu yang tinggi


Maka dia akan menjalani hidup sepanjang masa diatas kehinaan


POTRET TENTANG KEGIGIHAN PARA SALAFDALAM MENUNTUT ILMU

  • Dari amirul mu’minin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkata, “Dahulu aku dan tetanggaku dari Anshar –yaitu Aus bin Khauli Al-Anshari- di Bani Umayyah bin Zaid di salah satu tempat Bani Umayyah-  salah satu tempat didataran tinggi di Madinah, dan dahulu kami bergantian ketika turun (mengikuti majelis) Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, sehari dia yang turun dan satu hari aku yang turun. Apabila aku yang turu maka aku akan membawa berita kepadanya tentang wahyu yang turun padahari tersebut atau yang selainnya, apabila giliran dia yang turun maka ia melakukan hal yang sama sepertiku.”

  • Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “ Setelah sepeninggal Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam aku pernah berkata kepada kepada salah seorang dari Anshar, ‘Marilah kita belajar dari para shahabat karena mumpung jumlah mereka sekarang masih banyak’! maka orang Anshar tersebut mengatakan, ‘Alangkah anehnya kamu ini wahai Ibnu Abbas apakah kamu mengira ilmumu nanti akan dibtuhkan oleh manusia sedangkan ditengah-tengah mereka masih banyak sahabat-sahabat yang lain?’ berkata Ibnu Abbas, ‘Maka aku tinggalkan orang ini dan aku mendatangi para shahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam untuk belajar kepada mereka. Suatu ketika sampai kepadaku suatu hadits dari salah seorang diantara mereka dan aku mendatangi pintu rumahnya dalam kedaan ia sedang tidur siang, maka aku gunakan selandangku untuk duduk didepan pintu rumahnya, (aku terus menunggu) hingga aku terkena terpaan angin yang membawa debu. Maka kemudian keluarlah dia dan melihatku kemudian mengatakan, ‘Wahai anak paman Rasulullah apa yang membuat anda datang? Mengapa engkau tidak mengutus orang saja agar aku datang kepadamu?’ maka aku berkata, ‘Seharusnya akulah yang mendatangimu’, maka kemudian aku bertanya kepadanya tentang suatu hadits. Kemudian orang Anshar tadi masih hidup dan ia melihatku dalam kedaan aku dikelilingi oleh para manusia yang bertanya kepadaku tentang (permasalahan agama) kemudian ia mengatakan, ‘sungguh pemuda ini lebih pandai dari pada diriku’.” Maka tatkala dibukanya berbagai macam negeri menyebarlah keilmuan Ibnu Abbas ke berbagai belahan kota baik dinegeri Syam, Irak, maupun daerah disekitar tepian sungai Nil, Dajlah, Dan Furat. Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, “Tatkala Islam berhasil menaklukkan berbagai negeri, maka masuia pun banyak yang berbondong-bondong menuju dunia namun aku datang menuju Umar (untuk mengambil ilmu darinya).” Ibnu Abbas juga berkata, “Saya pernah menfatangi pintu Ubay bin Ka’ab (untuk bertanya tentang suatu hadits), sedangkan ia dalam kedaan tidur, maka akupun tidur didepan pintu rumahnya. Seandainya dia tahu hal tersebut pastilah ia akan membangunkanku dari tempatku karena kedudukanku dihadapan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, akan tetapi aku tidak mau mengganggu (tidurnya).”

  • Berkata Asy-Syafi’i rahimahullah, “Aku telah menghafal Al-Qur’an ketika berumur tujuh tahun dan aku menghafal kitab Al-Muwattha’ ketika berumur sepuluh tahun. Maka tatkala aku telah menyelasikan hafalan Al-Qur’an akupun masuk masjid untuk duduk dimajelis para ulama, aku mendengar suatu hadits atau suatu faedah kemudian aku pun menghafalnya. Sedangkan ibuku tidak punya uang pun untuk membeli kertas, maka tatkala aku melihat tulang yang bisa untuk ditulis padanya aku pun mengambilnya untuk aku tulis padanya. Tatkala tulisannya sudah penuh aku pun menaruh tulang tersebut pada suatu wadah kuno milik kami.” Beliau juga berkata, “Aku adalah seorang yang tidak punya, sedangkan aku mencari ilmu Syar’i semenjak masih belia, maka tatkala aku memasuki usia kurang dari tiga belas tahun aku pun pergi ke tempat perkantoran untuk meminta kertas-kertas bekas agar aku gunakan untuk menulis.”

  • Muhammad bin Salam, ia adalah syaikhnya imam Bukhari. Dikisahkan tentangnya bahwa suatu ketika ia pernah duduk di majelis imla’, yaitu majelis yang mana ada didalamnya seorang syaikh mendiktekan suatu hadits kemudian penanya yang ia gunakan untuk menulis tiba-tiba patah. Kemudian ia memerintahkan seseorang untuk mengumumkan, ‘siapakah yang mau menjual penanya seharga satu dinar’, maka orang-orangpun menawarkan pena-penanya kepadanya.

  • Berkata imam Ahmad, “Aku pernah pagi-pagi sekali mempersiapkan diri untuk belajar hadits dan ibukulah yang mempersiapkan pakaianku, hingga dikumandangkannya adzan atau pada pagi hari.” Kemudian ia berkata, “Seandainya aku memiliki 50 dirham, maka aku akan pergi (balajar) kepada Jarir bin Abdil Hamid.”

  • Berkata Abu Zur’ah, “Ahmad bin Hanbal menghafal satu juta hadits. Maka ada yang bertanya kepadanya, ‘Dari mana engkau tahu itu?’ maka ia menjawab, ‘aku bejar darinya dan mengambil hadita darinya’.”

  • Berkata Abu Thahir As-Silafi, “Saya berdomisili 60 tahun di Iskandariyah, dan saya tidak pernah melihat menaranya kecuali dari arah jendela ini.” Kemudian ia memberi isyarat kepada kamar yang ia duduk didalamnya.


Maka Ibnu Nashir mensifati Al-Hafidz Abut Thahir As-Silafi dengan perkataannya, “Ia adalah seorang yang memilki semangat yang berkobar didalam mencari ilmu.”

  • Utsman Al-Baqillaani adalah sosok yang selalu berdzikir kepada Allah Ta’ala, suatu ketika ia berkata, “ketika saya sedang berbuka puasa, maka ruhku seolah-olah keluar dari jasadku karena aku tersibukkan untuk makan dari berdzikir kepada Allah Ta’ala.”

  • Berkata ‘Ammar bin Rajaa’, aku mendengar Ubaid bin Ya’isy berkata, “Aku bermukim selama tiga puluh tahun, namun aku tidak pernah sekalipun makan dengan tanganku pada saat malam hari. Saudarikulah yang menyuapiku sedangkan saya tetap menulis hadist.”

  • Berkata Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah, “Tatkala aku baru memulai mencari ilmu maka aku berkata, ‘Wahai Rabku sesungguhnya aku butuh penghidupan’. Maka tatkala aku sudah mempelajari ilmu syar’i tersebut dan aku meluangkan waktuku untuknya, maka berketa setelahnya, ‘Allah-lah yang akan mencukupi permintaanku’.” Beliau bertekad untuk mencari ilmu dan ibunyalah yang mencukupi kebutuhannya. Ibunya berkata kepadanya, ‘Wahai anakku! Tuntutlah ilmu dan akulah yang akan mencukupi kebutuhanmu’. Sufyan Ats-Tsauri juga mengatakan, “Seyogyanya setiap orang tua menekankan anaknya untuk mempelajari hadits, karena itu adalah merupakan tanggung jawabnya.”  Ia juga berkata, “Senantiasa kali selalu menuntut ilmu selama masih ada yang mengajarkannya kepada kami.”

  • Abdurrah bin Abi Hatim pernah ditanya tentang kenapa ia banyak meriwayatkan hadits dari bapaknya (imam Abu Hatim) dan banyak mendapat maklumat dari dirinya? Maka ia menjawab, ‘Terkadang ia (ayahku) sedang makan dan aku pun membacakan hadits dihadapannya, terkadang ia dalam keadaan berjalan dan aku membacakan hadits dihadapannya, aku bacakan hadits sedangkan dia sedang berada di tempat buang hajat, dan aku membacakan hadits sedangkan ia sedang masuk kedalam rumah untuk suatu keperluan.”

  • Berkata Abdurrahman bin Abi Hatim tentang dirinya, “Dahulu kami pernah tinggal di Mesir selama 7 bulan tanpa pernah merasakan kuah (daging) sekalipun, dikarenakan pada malam hari kami belajar dihadapan para syaikh kami, sedangkan dimalam hari kami menyalin dan mengulang kembali pelajaran kami. Pada suatu hari aku bersama temanku mendatangi seorang syaikh, namun orang-orang mengatakan, ‘Ia sedang sakit’, kemudian aku melihat seekor ikan yang manakjubkan kami maka kami pun membelinya. Tatkala kami telah tiba ditempat kami tibalah waktu pelajaran dari syaikh berikutnya (yang akan mengajar) maka kami pun berangkat untuk belajar. Setelah tiga hari berikutnya ikannya masih ada dan hampir-hampir akan membusuk, maka kami pun memakannya mentah-mentah dan kami tidak sempat untuk memasaknya’, kemudian berkata imam Abdurrahman bin Abi Hatim mengatakan, “Sesungguhnya ilmu tidak dapat diraih dengan badan yang santai.”

  • Berkata As-Sakhawi tentang syaikhnya Ibnu Hajar rahimahullah:- “Momen yang paling berkesan tentang dirinya adalah ketika ia sedang melakukan perjalanan ke Syam, maka ia telah membaca kitab Mu’jam Ath-Thabrani Ash-Shaghir dalam satu majelis sekitar seribu limaratus hadits.”

  • Berkata Sa’id bin Musayyib , “Aku pernah berjalan sepanjang siang dan malam hanya untuk mencari satu hadits.”

  • Berkata Abul ‘Aliyah Rafi’bin Mihran Ar-Riyahi, “Adahulu kami pernah mendengar riwayat hadits dari shabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang ketika itu kami berada di Bashrah, maka kami tidak mau hanya sekedar mendengarnya saja sampai kami menempuh perjalan ke Madinah agar kami (mendengar) hadits tersebut langsung dari mimik-mimik mereka.”

  • Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir ketika menjelaskan biografi imam Bukhari rahimahullah, “Ia telah melakukan perjalan untuk (mencari hadits) dari berbagai macam syaikh diberbagai negeri yang ia singgahi. Dan ia menulis (hadits) lebih dari seribu syaikh. Berkata Al-Gharbari, “Ada sekitar tujuh puluh ribu orang bersamaku mendengar (hadits) shahih dari Al-Bukhari , namun kemudian tidak tersisa seorang pun melainkan hanya aku semata.”

  • Berkata Bakr bin Hamdan, “Aku mendengar Ibnu Kharasy berkata: ‘Aku sampai meminum air kencingku karena mencari (hadist) selama lima kali’.”


Hal itu terjadi karena ia memalui padang pasir dan lembah-lembah kemudian ia ditimpa kehausan yang amat sangat di perjalanannya.

  • Berkata Ibnul Jauzi, “Sungguh dahulu aku merasakan kenikmatan dalam menuntut ilmu, yang mana bagiku itu lebih manis dari pada madu karena (kemuliaan) apa yang aku cari dan aku harapkan.”

  • Berkata An-Nawawi ketika mengkisahkan tentang awal periodenya dalam mencari ilmu, “Aku tinggal selama dua tahun dan aku belum pernah sekalipun meletakkan lambungku ke tanah.”

  • Inilah Ibnu Katsir tatkala ia menulis kitab Jami’ul Masanid beliau benar-benar mencurahkan jiwa raganya dengan gigih, hingga ia mengalami kepayahan yang luar biasa. Hingga jadilah karya tulis yang tiada duanya di bidangnya ia berhasil menyelasaikannya kecuali sebagian kecil hadits-hadits musnad dari Abu Hurairah, beliau wafat sebelum menyelesaikan karya tulisnya tersebut walaupun harus ditebus dengan kehilangan penglihatan (buta). Ia (Ibnu Katsir) berkata kepada Adz-Dzahaby, “Senantiasa aku menulisnya walaupun sampai malam hari, sedangkan lentera yang digunakan redup cahayanya hingga hilanglah penglihatanku. Mudah-mudahan Allah menggatikannya dengan seseorang yang akan menyempurnakan (tulisan ini).

  • Berkata As-Sam’ani tentang Ibnu Fathimah, “Ia adalah seorang yang banyak haditsnya, bagus tingkah lakunya, teman bermajelis yang baik, aku belum pernah melihat seorang yang lebih dermawan dalam pemberian darinya, aku banyak mendengar (hadits) darinya dan ia menuliskannya kepaku beberapa bagian. Dan merupakan sesuatu yang ajaib padanya, bahwa tangannya terputus ketika ia berada di Kirman karena sebuah penyakit, maka suatu ketika ia mengambil pena dan meletakkan kertas dibawahnya kemudian ia menyentuh pena itu dengan kedua telapak tangannya, ia menulis dengan tulisan kaligrafi yang bagus lagi cepat, setiap hari ia menulis sebanyak lima lembar tulisan kaligrafi besar.

  • Dikisahkan bahwa orang-orang menyebutkan dihadapan Asy-Sya’bi tentang hadits yang belum pernah ia dengar, maka kemudian ia mengatakan, “Duhai alangkah menyedihkan” kemudian ia berkata, “Dahulu aku pernah mengingat-ingat haidits hingga aku jatuh sakit.”

  • Dikatakan kepada Asy-Sya’bi, dari manakah semua ilmu yang engkau dapatkan? Maka ia menjawab, “Dengan tidak bersantai ria, menempuh perjalanan ke berbagai negeri, bersabar seperti sabarnya keledai, dan bersegera seperti bersegeranya burung gagak.”


Sebagai nasehat terakhir: Ketahuilah wahai seorang yang ingin menempuh jalan ini, ketahuilah bahwa taufiq itu hanyalah milik Allah kepada-Nya-lah kita menyembah dan kita memohon pertolongan, maka barang siapa tidak diberikan oleh Allah cahaya atasnya dia tidak akan mendapatkan cahaya. Pintu kemuliaan senantiasa terbuka bagi siapa saja saja yang menginginkannya.

Apabila engkau merasa takjub dengan perangai seseorang

Maka jadilah engkau seperti dia maka engkau akan mendapati apa yang engkau idam-idamkan darinya.

Tidaklah seorang yang memiliki kemuliaan

Apabila engkau mendatanginya malainkan ada rintangan yang menghalangimu .

Hanya kepada Allah semata Kami memohon kepada Allah agar ditinggikan tekad kami, mengampuni kami, memberikan petunjuk kepada kami, dan menjadikan kami sebagai orang-orang yang memberikan petunjuk, maka hanya Allah-lah yang maha mampu atas segala sesuatu, Dia-lah pencukup kami dan sebaik-baik pemberi pertolongan.

Washallallahu wasallama  ‘ala nabiyyina Muhammad wa’ala alihi washahbihi wasallam

 

 








[1] Makanan yang terbuat dari biji gandum yang ditumbuk


Senin, 02 April 2012

Tempat dan Waktu

BONTANG : Masjid Abu Bakr Ash Shiddiq, Pisangan Bontang

• Kajian rutin          : Setiap hari Ba'da Maghrib ( tgl 03 s/d 19 April 2012 )
• Kajian ummahat    : Setiap Selasa, Rabu, Kamis  ( jam 09.30 – 11.00 WITA )

Dauroh I
Sabtu, 07 April 2012, Pukul : 08.30 – 12.00 WITA
Tekad Tinggi Dalam Menuntut Ilmu


Dauroh II
Ahad, 08 April 2012, Pukul : 08.30 – 12.00 WITA
Konsep Bermuamalah Dengan Pemerintah


Dauroh III
Sabtu, 14 April 2012, Pukul : 08.30 – 12.00 WITA
Tujuh Golongan Yang Dinaungi Alloh Di Hari Kiamat


Dauroh IV
Ahad, 15 April 2012, Pukul : 08.30 – 12.00 WITA
Bahaya Hasad


BALIKPAPAN : Masjid Istiqomah

Dauroh I
Sabtu, 21 April 2012, Pukul : 08.30 – 12.00 WITA
Mengambil Ibroh Atas Wafatnya Rosululloh

Dauroh II
Ahad, 22 April 2012, Pukul : 08.30 – 12.00 WITA
Pokok – Pokok Ekonomi Islam


Penerjemah : Ust. Abu Ya'la dan Ust. Ainurreza Lc


Contact person
1. Bpk Rosiin ( 08125526103 / 085752817103 )
2. Ust. Abu Ya'la ( 087810100942 / 082110375445 )
3. Akhi Wahyudi Setiawan ( 085249721532 )
4. Bpk Afrizal ( 081347347259 ), untuk Balikpapan


Acara ini terselenggara atas kerjasama Yayasan Pendidikan Ihyaussunnah Bontang dengan Forum Kajian An - Nasihah Bontang

Syaikh Muhammad Sa'id adalah murid Syaikh Muqbil dan Syaikh Abul Hasan As-Sulaimany beliau adalah pimpinan Darul Hadits di propinsi Ib Yaman.

Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin pernah ditanya:

Ada beragam boneka diantaranya yang terbuat dari kapas yang ada kepalanya, dua tangan, dan dua kaki. Ada juga yang sempurna menyerupai manusia. Ada yang bisa berbicara, menangis atau berjalan. Lalu apa hukumnya membuat dan membeli boneka semacam itu untuk anak-anak perempuan untuk pengajaran sekaligus hiburan?

Maka dijawab oleh beliau:

“Boneka yang tidak detail bentuknya menyerupai manusia atau makhluq hidup (secara sempurna) namun hanya berbentuk anggota tubuh dan kepala yang tidak begitu jelas maka tidak diragukan akan kebolehannya dan ini termasuk jenis boneka yang dimainkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu’anha.

Adapun bila boneka itu berbentuk detail, mirip sekali dengan bentuk manusia sehingga kita seolah-olah melihat sosok manusia, apalagi bila dapat bergerak atau bersuara, maka ada kereguan dalam jiwa saya untuk membolehkannya. Karena boneka itu menterupai makhluq Allah subhanahu wata’ala secara sempurna. Sedangkan secara dzahir, boneka yang digunakan oleh ‘Aisyah, tidaklah demikian modelnya. Dengan demikian menghindarinya lebih utama. Namun saya juga tidak bisa memastikan keharamannya, karena memandang bahwa anak-anak kecil itu diberikan rukhshoh (dispensasi) yang tidak diberikan kepada orang dewasa dalam hal ini. Disebabkan anak-anak memang tabi’atnya suka main-main dan hiburan, mereka tidaklah dibebani dengan satu macam ibadah pun sehingga kita tidak bisa berkomentar bahwa waktu si anak terbuang percuma dengan main-main. Jika seorang ingin berhati-hati dalam hal ini, hendaknya ia melepas kepala boneka tersebut atau melelehkannya diatas api hingga lumer, kemudian menekannya hingga hilang bentuk wajah boneka tersebut. (Majmu’ Fatawa Wa Rasaa’il fadhilatush Syaikh Ibnu Utsaimin, no.329, 2/227-228)

Artikel Terbaru

Popular Posts