Jumat, 26 Juli 2013



 

Setiap orang tua tentu memiliki harapan yang sama, yaitu keinginan agar anak-anak mereka menjadi anak yang shalih dan shalihah.


  Hanya saja perlu dicamkan baik-baik bahwa harapan seperti itu tidaklah hanya dicapai dengan angan-angan atau hayalan-hayalan mimpi. Akan tetapi keshalihan seorang anak itu bergantung pada keshalihan kedua orang tua.


 Oleh karena itu wahai para orang tua! Mulailah dari diri anda sendiri, anda membangun keimanan dan ketakwaan dihadapan Allah Ta’ala, agar dikemudin hari kebaikan tersebut akan tertular kepada anak-anak anda.


  Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut,


وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعافاً خافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً


 “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa’: 9)


  Di dalam ayat ini terdapat isyarat berupa peringatan kepada orang tua yang khawatir masa depan anak keturunannya, agar dia bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi seluruh larangannya agar kelak Allah menjaga anak keturunannya diatas keshalihan.


  Berkata Asy-Syaibani, “Dahulu kami tatkala berada di kota Konstantinopel bersama dengan pasukan Maslamah bin Abdul Malik, ketika itu kami sedang duduk-duduk bersama sekelompok ulama diantaranya Ibnu Ad-Dailami, maka mereka saling mengingatkan tentang apa yang terjadi berupa huru-hara hari kiamat. Maka aku katakan kepadanya (Ibnu Ad-Dailami), ‘Wahai Abu Bisyr, aku senang bila aku tidak memiliki anak.’ Maka ia menjawab, “Mengapa demikian! Tidak ada satu keturunan pun yang Allah takdirkan untuk keluar dari seseorang melainkan pasti akan keluar, baik dia suka atau pun tidak suka, hanya saja bila engkau ingin agar mereka menjadi baik maka bertakwalah engkau kepada Allah dengan berbuat baik kepada orang lain.” Kemudian ia membaca ayat diatas (An-Nisa’: 9).[1]


  Sejalan dengan makna diatas apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam,


مَنْ أَحْسَنَ الصَّدَقَةَ جَازَ عَلَى الصِّرَاطِ وَمَنْ قَضَى حَاجَةَ أَرْمَلَةٍ أَخْلَفَ  اللَّهُ فِي تَرِكَتِهِ


“Barang siapa memperbagus sedekah ia akan dibolehkan melewati shirath (jembatan), barang siapa mencukupi kebutuhan para janda tua maka Allah akan menjaga anak keturunannya.”[2]


 Perhatikanlah kisah berikut yang menunjukan akan keberkahan sebuah anak dalam keluarga!


  Dikisahkan bahwa Muqatil bin Sulaiman pernah menemui Al-Manshur pada saat ia dibai’at menjadi khalifah, maka Al-Manshur berkata kepadanya, “Berilah aku sebuah nasehat.” Maka Muqatil menjawab, “Nasehat dari hal yang aku lihat atau yang aku dengar?” ia menjawab, “Dengan apa yang engkau lihat.” Maka Muqatil berkata, “Wahai amirul mukminin, Umar bin Abdul Aziz memiliki 11 anak, ia meninggal hanya menyisakan uang 18 dinar, biaya mengkafaninya sebanyak 5 dinar, biaya penguburannya 4 dinar, kemudian sisanya diberikan kepada ahli warisnya...adapun Hisyam bin Abdul Malik memiliki juga 11 anak, dan ia meninggalkan warisan satu juta dinar untuk masaing-masing anaknya. Demi Allah wahai amirul mukminin, sungguh aku melihat dengan mata kepala saya sendiri salah seorang anak Umar bin Abdul Aziz berinfak sebanyak seratus kuda untuk persiapan jigad di jalan Allah, diwaktu yang sama pula saya  melihat salah satu anak Hisyam sedang disibukkan dengan perdangan bisnisnya di pasar!!”[3]


 Keluarga yang Baik ibarat Ladang yang Menghasilkan Panenan yang Baik


Orang tua yang shalih akan menghasilkan anak-anak yang shalih dan shalihah. Namun jika tidak, yang terjadi adalah sebaliknya. Dikisahkan bahwa ada seorang tertangkap karena melakukan pencurian, maka tatkala hakim memutuskan dia untuk dipotong tangannya, sang pencuri ini berucap, ‘Potonglah tangan ibuku, karena dahulu tatkala aku masih kecil, aku pernah mencuri yelur, namun justeru ibuku gembira dan tersenyum dengan perbuatan yang aku lakukan’!!


  Dari sepenggal kisah diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa benih dan tanah yang baik akan menghasilkan tanaman dan panenan yang bagus namun jika sebaliknya maka akan menghasilkan tanaman dan panenan yang jelek. Hak seorang bapak adalah memilih benih yang baik dan menanamnya pada tanah yang bagus, hal itu dikarenakan seorang bapak harus memilih istri yang shalihah agar kelak anak-anaknya pun shalih dan shalihah. Allah Ta’ala berfirman,


وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَباتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لا يَخْرُجُ إِلاَّ نَكِداً


“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana.” (Al-A’raf: 58)


  Dikisahkan ada seorang yang bernama Al-Mubarak beliau adalah bapak dari seorang ulama besar yang bernama Abdullah bin Al-Mubarak. Dikisahkan bahwa Al-Mubarak dahulunya adalah seorang budak yang telah dimerdekakan oleh tuannya, kemudian ia menjadi pegawai pada sebuah perkebunan. Pada suatu ketika keluarlah pemiliki kebun bersama teman-temannya kekebunnya, kemudian ia berkata kepada Al-Mubarak, “Berian kepadaku satu buah delima yang manis.” Maka Mubarak membawa bebarapa buah yang dipetik, namun seluruhnya pahit. Kemudian pemilik kebun berkata kepadanya, “Apakah kamu tidak bisa membedakan antara yang manis dan pahit?” kemudian Mubarak mengatakan, “Engkau belum memberikan izin kepadaku untuk mencicipi buah tersebut.” Maka pemilik kebun berkata, “Kamu sudah menjaga kebun ini selama setahun masa belum pernah mencicipinya sama sekali.” Pemilik kebun mengira bahwa Mubarak telah berdusta. Maka kemudian sang majikan pun bertanya kepada tetangganya, dan dikhabarkan kepadanya bahwa Mubarak sama sekali belum pernah mencicipi buah delima di kebunnya sama sekali. Kemudian sang pemilik kebun berkata kepada Mubarak, “Wahai Mubarak, aku hanya memiliki satu orang puteri, kepada siapakah aku hendak menikahkannya?” maka Al-Mubarak menjawab, “Orang-orang Yahudi menikahkan karena harta, orang-orang Nasrani karena keelokan, orang-orang Arab menikahkan kerena kedudukan dan martabat, sedangkan kaum muslimin menikahkan puterinya dengan orang lain karena ketakwaannya. Lalu kelompok manakah yang akan engkau pilih? Nikahkanlah puterimi dengan seorang yang bertakwa.” Maka sang pemilik tanah berkata, “Adakah sekarang orang yang lebih takwa dari pada dirimu?” kemudian Mubarak dinikahkan dengan puterinya.


  Kemudian hasil dari pernikahan yang mulia ini lahirlah seorang anak yang bernama Abdullah bin Al-Mubarak. Seorang ulama besar amirul mikminin fil hadits (penghulunya para ahli hadits), seorang mujahid, imam dalam kezuhudan, keilmian, dan sedekah.


  Contoh yang lainnya adalah bapak dari imam Bukhari yang bernama Isma’il, ia pernah berkata sebelum meninggal, “Demi Allah, saya tidaklah mengetahui adanya barang haram yang masuk kerumahku satu hari pun baik berupa dinar, dirham   atau pun yang lainnya”...oleh karena itu terlahirlah dari dia seorang putera yang merupakan imam besar, yang mana  kitabnya adalah kitab yang paing shahih setelah Al-Qur’an yaitu Muhammad bin Isma’il Al-Bukari atau dikenal dengan imam Bukhari.[4]


  Kisah Dua Orang Tua Yang Shalih


   Tentu kita ingat sebuah kisah disebutkan di dalam surat Al-Kahfi. Dikisahkan bahwa Nabi Musa bersama khidir ‘alaihimassalam melewati sebuah perkampungan. Keduanya pun meminta penduduk kampung untuk menjamu mereka berdua, namun penduduk menolak. Selanjutnya Nabi Musa dan Khidir ‘alaihimassalam melihat sebuah bangunan yang hampir roboh. Tiba-tiba nabi Khidir memperbaiki dinding tersebut hingga baik kembali. Maka nabi Musa berkata, “Jika engkau berkehendak, tentu engkau bisa mengambil upah atasnya.” Maka jawaban Nabi Khidir atas pertanyaan itu adalah:


وَأَمَّا الْجِدارُ فَكانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُما وَكانَ أَبُوهُما صالِحاً فَأَرادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغا أَشُدَّهُما وَيَسْتَخْرِجا كَنزَهُما رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ


“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (Al-Kahfi: 82)


  Demikianlah keshalihan dari orang tua akan mendatangkan rahmat bagi anak keturunannya.


  Berkata imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Firman Allah Ta’ala “sedang ayahnya adalah seorang yang saleh” terdapat faedah di dalamnya bahwa seorang yang shalih akan terjaga anak keturunannya, termasuk juga ia akan merasakan barakah dari ibadah (anak keturunan mereka) di dunia dan akherat, mendapatkan syafa’at mereka, dan mengangkat derajat mereka sampai pada derajat yang tertinggi di surga, hingga dia akan merasa bahagia dengan anak keturunannya. Hal ini telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an juga di dalam As-Sunnah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Dua anak ini terjaga karena keshalihan bapak mereka, padahal tidak disebutkan apakah kedua anak tersebut shalih atau tidak. Sedangkan bapak mereka yang shalih adalah bapak ketujuh mereka.[5]


  Berkata Al-Hasan Al-Basri rahimahullah,


مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوتُ إِلَّا حَفِظَهُ اللَّهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ.


 


  “Tidaklah seorang mukmin meninggal dunia, kecuali Allah akan jaga anaknya dan anak-anak keturunannya setelahnya.”


  Berkata Ibnul Munkadir,


إنَّ اللَّهَ لَيَحْفَظُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ وَلَدَهُ وَوَلَدَ وَلَدِهِ وَالدُّوَيْرَاتِ الَّتِي حَوْلَهُ فَمَا يَزَالُونَ فِي حِفْظٍ مِنَ اللَّهِ وَسِتْرٍ


 “Allah akan menjaga dari diri seorang yang shalih anaknya, anak dari anaknya dan para keturunannya. Mereka selalu dalam penjagaan Allah dan ditutupi kesalahan kesalahannya.”[6]


 Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu,


إن المعروف ليجزي به ولد الوالد


“Sesungguhnya perbuatan baik akan memberikan balasan baik terhadap anak cucu.”[7]


 Berkata Al-Hafidz Ibnul Jauzi, “Tatkala aku bertekad ingin memperoleh kemuliaan dengan menikah serta menginginkan anak, maka aku pun beramal dengan menghatamkan Al-Qur’an seluruhnya, kemudian aku berdo’a kepada Allah Ta’ala agar Dia berkenan menganugerahkan kepadaku sepuluh anak, maka kemudian aku pun mendapatkan sepuluh anak.”[8]


  Salah seorang ulama yang bernama Abul Ma’ali Al-Juwaini adalah seorang yang biasa bekerja dan memberikan nafkah kepada istri dan anaknya yang masih menyusu dengan nafkah yang halal. Dia selalu berpesan kepada istrinya agar jangan sampai ada seorang pun menyusui anaknya. Kemudian suatu ketika masuklah seorang pembantu kemudian dia menyusui anaknya beberapa isapan!! Maka tatkala Abul Ma’alai mengetahui hal tersebut, dia pun memasukkan jarinya kedalam mulut anaknya, hingga keluarlah air susu yang masuk kemulutnya tersebut. Lebih ringan bagi saya kalau dia (anaknya) meninggal dari pada dia rusak (agamanya) disebabkan meminum susu yang bukan dari ibunya!! Perhatiakanlah di sini bagaimana satu suapan saja dari sesuatu yang tidak halal bisa merusak pelakunya.


  Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah melarang salah seorang cucunya yaitu Al-Hasan tatkala hendak memakan kurma sedekah. Beliau bersabda,


«كِخْ كِخْ» لِيَطْرَحَهَا، ثُمَّ قَالَ: «أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ»


 “Kikh, kikh (buanglah-bunaglah) kemudian beliau bersabda, Tahukah engkau bahwa kita tidak boleh memakan harta sedekah!!”[9]


 Berkata salah seorang ulama tabi’in yang bernama Sa’id bin Al-Musayyib,


لأزيدنّ في صلاتي من أجلك.....


 “Sungguh aku akan menambah malan sholat (sunnah) ku untuk kemaslahatanmu...” Maka anaknya berkata, “Mengapa demikian wahai ayahku?” Sa’id menjawab, “Aku berharap diriku akan terjaga disebabkan kebaikanmu.”[10]


  Perhatikanlah kisah yang diutarakan oleh imam Ahmad berikut,


حفَّظتني أمي القرآن وعمري عشر سنوات، وكانت توقظني قبل صلاة الفجر بوقت ليس بالقصير،وتحمي لي الماء؛ لأن الجو كان باردًا في بغداد، وتُلبسُني اللباس، ثم نصليأنا وإياها من قيام الليل ما شاء الله ، ثم ننطلق إلى المسجد وهي مغطاة بحجابها؛ لأن الطريق كانتبعيدة مظلمة موحشة لنصلي الفجر في المسجد، وتبقى معه حتى منتصف النهار لتعلمه القرآن والفقه. يقول: فلما بلغت السادسةعشرة قالت: يا بني سافِرْ في طلب الحديث؛ فإن طلب الحديث هجرة في سبيلالله. فأعدت له بعض متاع السفر من أرغفة الشعير ومن صُرَّة ملح، ثم قالت: إن الله إذا استُودِع شيئًا حفظه، فأستودعكالله الذي لا تضيع ودائعه


  “Aku hafal Al-Qur’an karena didikan ibuku semenjak aku berumur 10 tahun, ibuku membangunkanku beberapa lama sebelum shalat subuh, kemudian ia memanaskan air untukku; hal itu dikarenakan udara di Baghdad ketika itu dingin, kemudian ia memakaikan baju untukku, disusul kemudian aku dan dia mengerjakan shalat malam secara bersama-sama. Kemudian kami sama-sama pergi kemasjid dalam keadaan ibuku berhijab; jalan menuju masjid ketika itu jauh, gelap, dan menghawatirkan.”                 –kemudian tetap menemani imam Ahmad sampai pertengahan siang untuk mempelajari Al-Qur’an dan Fiqih-. Berkata imam Ahmad, “Maka tatkala aku berumur enam belas tahun, berkata ibuku kepadaku, “Wahai anakku, pergilah engkau untuk mencari hadits; karena sesungguhnya mencari hadits adalah jihad di jalan Allah.” Kemudian ibuku menyediakan untukku beberapa perbekalan safar seperti roti-roti yang sudah kering dan wadah garam. Kemudian ia berkata kepadaku, “Sesungguhnya Allah apabila dititipi sesuatu, maka Dia akan menjaganya, maka sesungguhnya aku menitipkanmu kepada Allah, yang mana Dia tidak akan menyia-nyiakan titipan itu.”[11]


  Lihatlah bagaimana setelah itu imam Ahmad menjadi imam besar dan rujukan di dalam masalah agama, hingga beliau digelari sebagai imam ahlus sunnah. Dari didikan siapakah itu?! Tidak lain dari seorang ibu yang shalihah. Hidup dalam kondisi yatim bukanlah alasan untuk berpangku tangan dan pasrah, itulah yang sudah dibuktikan oleh ibu imam Ahmad dalam mendidiknya.


  Berkata imam Adz-Dzahabi di dalam pujiannya kepada imam Ahmad,


ووالله لقدبلغ في الفقه خاصة رتبة الليث، ومالك، والشافعي، وأبي يوسف، وفي الزهدوالورع رتبة الفضيل، وإبراهيم بن أدهم، وفي الحفظ رتبة شعبة، ويحيىالقطان، وابن المديني، ولكن الجاهل لا يعلم رتبة نفسه، فكيف يعرف رتبة غيره؟


 “Sungguh demi Allah, dalam masalah Fiqih dia (imam Ahmad) selefel dengan Al-laits, Malik, Asy-Syafi’i, dan Abu Yusuf. Dalam hal kezuhudan dan wara’ beliau selefel dengan Al-Fudhail dan Ibrahim bin Adham. Dalam masalah hafalan beliau selefel dengan Syu’bah, Yahya bin Al-Qaththan, dan Ibnul Madini. Hanya saja orang bodoh itu dia tidak tahu kedudukan dirinya, apalagi mengetahui kedudukan orang lain.”


 Benarlah apa yang diucapkan oleh seorang penyair:


فليس اليتيم من مات أبواه ... وخلفاه في الحياة ذليلا


إنما اليتيـم من تـراه له... أما تخلت أو أبا مشغولا


“Seorang yatim yang sebenarnya bukanlah seorang yang ditinggal mati oleh bapaknya, kemudian dia mengalami kehinaan setelahnya


 Akan tetapi seorang yatim yang sebenarnya adalah seorang yang masih memiliki orang tua, akan tetapi ia tidak mendapatkan perhatian seorang bapak karena kesibukannya.”[12]










[1] Al-Murabbi An-Najih: hal, 17-18. Dr. Kholid Sa’ad An-Najjar. Cet Dar Al-Kautsar.





[2]  Tafsir Al-Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Tafsir surat An-Nisa: 2/1717.





[3]  Ni’amun Bila syukr: Kholid Abu Syadi: hal. 10. Cet Dar Ar-Rayah.





[4]  Al-Murabbi An-Najih: hal, 19-20.





[5] Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Kahfi hal, 234 secara ringkas. Lihat Al-Mirabbi An-Najih: hal, 21.





[6]  Jami’ Ulum Wal Hikam: hal, 250. Cet, Maktabah Fayyad Al-Qahirah. Tahqiq Hamdi Ad-Damradasy Muhammad.





[7]  Diriwayatkan oleh Al-Khara’ity di dalam Makarimul Akhlak, lihat kitab Muntaqa-nya: hal, 37.





[8]  Husnul Ukhwah: no, 94.





[9]  HR. Bukhari: no, 1386.





[10]  Al-Murabbi An-Najih: hal, 22.





[11] Sumber: http://www.iszlam.hu/index.php?option=com_content&view=article&id=105:2011-01-01-14-42-51&catid=52:2010-12-27-16-50-48&Itemid=77





[12]  Ibid.




Selasa, 23 Juli 2013

Dzikir adalah salah satu ibadah yang agung, karena dzikir adalah perwujudan nyata akan rasa syukur kepada Allah Ta’ala, yang mana Allah sebut setelah kenikmatan dirubahnya arah qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Allah berfirman,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)

  Allah juga berfirman memberikan pujian kepada orang-orang yang banyak berdzikir kepada-Nya,

وَالذَّاكِراتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)

  Dari sini dapat kita ketahui dengan pasti bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah melaksanakan tugas menjelaskan ibadah dengan sempurna. Dan mustahil ada kekurangan dalm penjelasan beliau shallallahu’alaihi wasallam tentang ibadah ini, baik kekurangan yang berkaitan dengan macam, waktu, atau metode pelaksanaannya.

  Beliau telah menjelaskan tentang tata cara dzikir secara lengkap, baik berkaitan dengan lafadznya, waktunya, atau tempatnya. Kumpulan dzikir dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah ditulis dan dikumpulkan menjadi sebuah kitab oleh para ulama, diantaranya kitab Al-Adzkar karya imam An-Nawawi, Hisnul Muslim dll.

  Apa-apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam berupa wirid-wirid syar’i mencukupi dan tidak ada alasan bagi kita untuk mengamalkan wirid-wirid yang tidak syar’i atau tidak sah penyandarannya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Simak sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam berikut,

عن الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِذَا أَخَذْتَ مَضْجَعَكَ، فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ، ثُمَّ قُلْ: اللهُمَّ إِنِّي أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ، وَاجْعَلْهُنَّ مِنْ آخِرِ كَلَامِكَ، فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ، مُتَّ وَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ قَالَ: فَرَدَّدْتُهُنَّ لِأَسْتَذْكِرَهُنَّ فَقُلْتُ: آمَنْتُ بِرَسُولِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ، قَالَ: " قُلْ: آمَنْتُ بِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ

 Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Bila engkau akan berbaring tidur, hendaknya engkau berwudhu’ layaknya engkau berwudhu’ untuk shalat. Kemudian berbaranglah diatas sisi kananmu, lalu katakanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan wajahku untuk-Mu, dan menyerahkan urusanku kepada-Mu. Dengan rasa mengharap (kerahmatan-Mu) dan takut (akan siksa-Mu) aku menyandarkan punggungku kepada-Mu. Tiada tempat perlindungan dan penyelamatan (dari siksa-Mu) melainkan kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan Nabi-Mu yang telah Engkau utus.’ Dan jadikanlah bacaan (doa’) ini sebagai akhir perkataanmu, karena bila engkau mati pada malam itu, niscaya Engkau mati dalam keadaan menetapi fitrah (agama Islam).” Al-Bara’ bin ‘Azib berkata, “Maka aku mengulang-ulang bacaan ini untuk menghafalnya dan mengatakan: aku beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus.” Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Katakan: Aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.” (HR. Bukhari: no. 5952 dan Muslim: no. 2710)

  Al-Bara’ bin ‘Azib salah mengucapkan do’a ini dihadapan Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Yang seharusnya ia mengucapkan: “Aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus,” ia ucapkan, “Aku beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus.” Perbedaannya hanya kata Nabi dan kata Rasul, padahal yang dimaksud dari keduanya adalah sama, yaitu Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Walau demikian Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak membiarkan kesalahan ini terjadi, sehingga Nabi shallallahu’alaihi wasallam menegur sahabat Al-Bara’ agar membenarkan ucapannya. Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa berdzikir kepada Allah Ta’ala adalah salah satu ibadah, dan setiap ibadah diatur dalam sebuah kaedah penting yaitu,

أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ

“Hukum asal setiap ibadah adalah tauqif (harus ada tuntunannya dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam).”

  Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ، فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ: {أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ} [الشورى: 21] .

وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ، فَلَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ: {قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلالا} [يونس: 59] .

“Hukum asal pada setiap ibadah adalah tauqif (harus ada tuntunannya dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam), sehingga tidak boleh dibuat ajaran melankan apa yang diajarkan oleh Allah Ta’ala. Kalau tidak demikian, niscaya kita akan termasuk kedalam firman Allah, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura’: 21)

  Sedangkan hukum asal dari adat istiadat adalah diperbolehkan, sehingga tidak boleh ada yang dilarang melainkan suatu hal yang telah diharamkan oleh Allah Ta’ala. Kalau tidak demikian niscaya kita masuk kedalam firman Allah, “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal." (Yunus: 59)” (Majmu’ Fatawa: 29/17. Cet. Mujamma’ Malik Fahd, th. 1995)

  Bila Nabi shallallahu’alaihi wasallam menegur kesalahan Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu mengucapkan satu kata dalam dzikir yang beliau ajarkan, maka bagaimana halnya seandainya yang dilakukan oleh Al-Bara’ adalah dzikir hasil rekayasa sendiri?

  Berkata Al-Hafidz Ibnu hajar Asy-Syafi’i rahimahullah,

وَأَوْلَى مَا قِيلَ فِي الْحِكْمَةِ فِي رَدِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَنْ قَالَ الرَّسُولَ بَدَلَ النَّبِيِّ أَنَّ أَلْفَاظَ الْأَذْكَارِ تَوْقِيفِيَّةٌ وَلَهَا خَصَائِصُ وَأَسْرَارٌ لَا يَدْخُلُهَا الْقِيَاسُ فَتَجِبُ الْمُحَافَظَةُ عَلَى اللَّفْظِ الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ

  “Pendapat yang paling tepat tentang hikmahnya Nabi shallallahu’alaihi wasallam membetulkan kesalahan orang yang mengatakan Rasul sebagai ganti kata Nabi adalah bahwa bacaan-bacaan dzikir itu adalah bersifat tauqifiyah (harus ada tuntunannya), dan bacaan-bacaan dzikir itu memiliki keistimewaan dan rahasia-rahasia yang tidak dapat diketahui dengan cara qiyas, sehingga wajib kita memelihara lafdz dzikir sebagaimana diriwayatkan.” (Fathul Bari: 11/112. Cet. Dar Al-Ma’rifah Beirut)

Wallahu a’lam


Jumat, 19 Juli 2013



Fatawa Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah

  Tanya: Apakah riwayat yang mengatakan bahwa Nabi ‘Isa diserupakan dengan seorang lelaki yang hendak melaporkan beliau, apakah benar atau tidak?

Jawab: Yang masyhur (dalam riwayat) bahwa beliau disamarkan –kepada orang-rang Yahudi- dengan seorang pemuda dari kalangan Hawariyyun, yaitu para pengikut Nabi ‘Isa. Ibnu Katsir[1] menyebutkan ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,
وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ

  “Padahal mereka tidaklah membunuhnya dan tidak (pula) menyalipnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan oleh Isa bagi mereka..” (An-Nisa: 157)

Sesungguhnya orang Yahudi berusaha untuk membunuhnya atas perintah raja mereka. Lau, raja itu mengirim para prajuritnya untuk mencari beliau. Ketika beliau merasa terancam oleh mereka, beliau berkata dihadapan para shahabatnya, “Siapakah diantara kalian yang mau diserupakan dengan diriku dan dia akan menemaniku di surga?” lalu, salah seorang diantara mereka menawarkan dirinya untuk itu. Beliau pun berkata, “Ya, kamu!” Allah lalu menyerupakannya dengan Nabi Isa, hingga ia solah-olah sama persis dengannya. Nabi isa ‘alaihis salam pun kemudian diangkat ke langit. Ketika beliau telah diangkat, para prajurit itu muncul. Tatkala mereka melihat pemuda yang mirip dengan Isa itu, mereka segera menangkap dan menyalipnya.

Kisah ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh Ibnu Abi Hatim. Kemudian Ibnu Jarir [2]juga menyebutkannya dari Wahb bin Munabbih, bahwa orang yang disamarkan kepada Yahudi adalah Shimon, salah seorang pengikut Nabi ‘Isa. Suatu ketika orang-orang Yahudi menangkap oemuda itu, dan berkata, “Ini adalah pengikut ‘Isa”, tetapi ia menyanggahnya. Lalu , Shimon berkata kepada mereka, “Apa upahku, jika aku bisa menunjukan Al-Masih kepada kalian?” mereka lalu memberinya 30 dirham. Pemuda itu mengambilnya dan menunjukan kepada Al-Masih. Namun, sebelumnya pemuda itu telah disamarkan kepada mereka. Lalu, mereka pun menangkap dan mengikat pemuda itu dengan tali. Mereka menyeret dan meludahinya, serta melemparkan duri-duri kepadanya, hingga mereka sampai pada sebatang kayu yang mereka hendak gunakan untuk menyalip Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Allah pun mengangkat beliau, dan mereka akhirnya menyalip orang yang diserupakan dengan beliau. Sebagian orang Nashrani mengatakan bahwa pemuda itu adalah Yudas Iskariot atau Yahudza Iskharyuti, dialah yang disamarkan kepada mereka, lalu mereka menyalibnya. Dia pun berteriak, “Sungguh aku ini bukan rekan kalian, aku adalah orang yang menunjukan kalian padanya (Isa).”[3] Wallahu a’lam.

Dikutib dari: Fatawa Wa Ahkam Fi Nabiyillah ‘Isa ‘alaihissalam.








[1]  Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisa’: 1/93.




[2]   Tafsir Ibnu Jarir, yang terkenal dengan nama Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an: 4/253.




[3]  Ibid: 4/253.




“Barang siapa yang tidak menjauhi ucapan yang tidak bermanfaat atau perbuatan yang tidak bermanfaat, maka Allah sekali-kali tidak butuh dengan amalan (puasanya) meninggalkan makan dan minum.”

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

  “Barang siapa yang tidak menjauhi ucapan yang tidak bermanfaat atau perbuatan yang tidak bermanfaat, maka Allah sekali-kali tidak butuh dengan amalan (puasanya) meninggalkan makan dan minum.”[1]

Diantara hikmah pensyari’atan puasa adalah untuk melatih dan mendidik jiwa, lesan dan anggota badan seseorang agar berada diatas takwa dan akhlak yang mulia. Oleh karena itu sucinya hati akan berdampak positif pada suci lisan dari perkataan yang menimbulkan dosa, demikian juga akan bersambung setelah dengan kebaikan nagota badan.

Oleh karena itu sibukkanlah diri kita dengan amalan-amalan yang positif di bulan Ramadhan ini baik berupa: puasa Ramadhan, tilawah Al-Qur’an, qiyamullail,dzikir, dll. Diwaktu yang sama juga kita jauhkan diri kita dari amalan-amalan dan ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat bahkan mendatangkan dosa misal: dusta, bersumpah palsu, ghibah, namimah (mengadu domba), mencela, menghinakan kehormatan muslim yang lain, dst.

Perlu untuk kita ketahui baik-baik bahwa lidah adalah aktor utama terjerumusnya seseorang kedalam kebinasaan, dijauhkan dari surga, dan terjerumus kedalam neraka; juga beberapa dosa-dosa lainnya yang membinasakan seperti: bersumpah palsudan perbuatan yang mengantarkan kepadanya, ghibah, namimah, mencela, dan berbuat kefasikan, yang mana perbuatan tersebut haruslah dijauhi tatkala seseorang sedang berpuasa Ramadhan.

Sesungguhnya petaka yang ditimbulakan dari lisan amatlah parah dan berbahaya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,
أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ قُلْتُ بَلَى يَا نَبِيَّ اللَّهِ ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ : كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا ، فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

  “Maukah aku kabarkan kepadamu tentang pokok dari itu semua?” Maka Mu’adz menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Jagalah olehmu benda ini (lisan).” Maka aku (Muadz) berkata, “Wahai Nabiyullah, apakah kita akan mendapatkan siksa akibat dari apa yang kami ucapkan?” maka beliau bersabda, Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla menyayangi ibumu, wahai Mu’adz! bukanlah manusia terjungkir di neraka di atas wajah mereka -atau beliau bersabda: di atas hidung mereka- melainkan dengan sebab lisan mereka.”[2]

Berkata imam Ibnu Rajab rahimahullah,
والمراد بحصائد الألسنة: جزاء الكلام المحرم وعقوباته ، فإن الإنسان يزرع بقوله وعمله الحسنات والسيئات ثم يحصد يوم القيامة ما زرع، فمن زرع خيراً من قولٍ أو عمل حصد الكرامة، ومن زرع شراً من قولٍ أو عملٍ حصد غداً الندامة ، وظاهر حديث معاذ يدلُّ على أن أكثر ما يدخل به الناس النار النطقُ بألسنتهم ، فإن معصية النطق يدخل فيها الشركُ وهو أعظم الذنوب عند الله عز وجل ، ويدخل فيها القول على الله بغير علم وهو قرين الشرك ، ويدخل فيه شهادة الزور التي عدَلت الإشراك بالله عز وجل  ، ويدخل فيها السحر والقذف، وغير ذلك من الكبائر والصغائر كالكذب والغيبة والنميمة وسائر المعاصي الفعلية لا يخلو غالباً من قول يقترن بها يكون معيناً عليها

  “Yang dimaksud dengan ulah lisan pada hadits ini adalah: akibat dari ucapan haram yang diucapkan oleh seseorang, sesungguhnya seorang (di dunia ini) ibarat bercocok tanam dengan amalan dan perkataan yang baik atau dengan kejelekan kemudian ia akan memanennya di akherat. Barang siapa menanam kebaikan baik berupa ucapan atau perbuatan dia akan memanen kebaikan tersebut, namun barang siapa menanam keburukan baik berupa ucapan atau perbuatan maka ia kelak akan memanen penyesalan. Dari dzahir hadits Mu’adz ini ditarik kesimpulan bahwa kebanyakan perkara yang memasukkan seseorang kedalam neraka adalah akibat ucapan lisannya. Diantara bentuk maksiat yang terdapat dalam ucapan lisan antara lain: kesyirikan, masuk juga di dalamnya bersaksi dengan persaksian palsu yang disebutkan beriringan setelah syirik, sihir, menuduh tanpa bukti dan selainnya baik dari dosa-dosa besar maupun dosa-dosa kecil seperti: dusta, ghibah, namimah, dan seluruh perbuatan maksiat yang mana kebnayakan sumbernya berasal dari lesan.”[3]

Adapun persaksian palsu atau perkataan dusta, maka Allah sebutkan penyebutannya setelah dosa syirik. Allah berfirman,
{فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ} [الحج:30]

   “Dan jauhilah (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.”(Al-Hajj: 30)

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَدَلَتْ شَهَادَةُ الزُّورِ إِشْرَاكًا بِاللَّهِ ثَلَاثًا ثُمَّ قَرَأَ : {فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ}


   “Wahai para manusia, kesaksian palsu itu sebanding dengan syirik kepada Allah kemudian beliau membaca firman Allah,   “Dan jauhilah (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.”[4]



Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ

Inginkah kalian kuberitahukan mengenai dosa besar yang paling besar?” Beliau menyatakannya tiga kali. Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulullah”. Maka beliau bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orangtua”. Lalu beliau duduk padahal sebelumnya dalam keadaan bersandar, kemudian melanjutkan sabdanya: “Ketahuilah, juga ucapan dusta.” Dia (Abu Bakrah) berkata, “Beliau terus saja mengatakannya berulang-ulang hingga kami mengatakan, “Sekiranya beliau diam”.[5]

  Adapun larangan ghibah terdapat di dalam firman Allah Ta’ala,
{وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ }[الحجرات: 12]

  “Dan janganlah diantara kamu saling menggunjing sebagian lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik.” (Al-Hujurat: 12)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله أعلم .قال:الْغِيبَة ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُول ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتّه

“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian beliau shallahu’alaihi wasallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata apa pada saudaraku?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.”[6]

Adapun tentang larangan mengadu domba, maka Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
وَ لَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِيْنٍ هَمَّازٍ مَّشَّاءٍ بِنَمِيمٍ

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah (namimah).” (Al-Qolam: 10-11)

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ

  “Tidak akan masuk surga seorang yang suka mengadu domba.”[7]

Demikian juga dusta adalah pokok utama yang akan mengantarkan seseorang menuju perbuatan-perbuata dosa dan nista. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ

  sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada Neraka.”[8]

Allah Ta’ala juga berfirman menhelaskan tentang perintah untuk berucap dengan kejujuran,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ } [التوبة: 119]

 “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dan jadilah kalian termasuk orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 119)

Intinya di sini, wajib atas lisan untuk berpuasa dari segala macam kejelekan-kejelekan di atas, hal itu dalam rangka menyempurnakan keimannya, agar terjaga agamanya, dan agar seorang di masukkan kedalam surga dan dijauhkan dari api neraka. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

  “Seorang muslim itu adalah seorang yang mampu memberikan keselamatan kepada kaum muslimin yang lainnya dari (ulah) lisan dan tangannya.”[9]

Beliau bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

  “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau diam.”[10]

Beliau bersabda,
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّة

  “Barang siapa bisa menjamin untukku (dalam menjaga) antara apa yang ada diantara kedua jenggotnya dan kedua kakinya, maka aku akan jamin baginya masuk surga.”[11]

Yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah lisan dan kemaluan.

Rasulullah juga bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

  “Sungguh seorang hamba berucap dengan suatu ucapan yang amat jelas dalam mengucapkannya hal itu bisa menyebabkannya terjerumus kedalam neraka yang jaraknya lebih jauh dari pada arah barat dan timur.”[12]

Hati-hatilah kita jangan sampai kita tergolong orang-orang yang bangkrut pada hari kiamat akibat kita tidak memperhatikan ucapan yang keluar dari lisan kita.
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ ؟ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ , فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا ؛ فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut ( pailit ) itu ?” Maka mereka (para sahabat ) menjawab : “orang yang pailit di antara kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menerangkan : “orang yang pailit dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakatnya, namun dia datang dan (dahulu di dunianya) dia telah mencela si ini, menuduh (berzina) si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu dan telah memukul orang lain ( dengan tidak hak ), maka si ini diberikan kepadanya kebaikan orang yang membawa banyak pahala ini, dan si itu diberikan sedemikian juga, maka apabila kebaikannya sudah habis sebelum dia melunasi segala dosanya ( kepada orang lain ), maka kesalahan orang yang didzalimi di dunia itu dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke api neraka.”[13]
*****










[1]  HR. Bukhari: no. 1903.




[2]  HR. Tirmidzi: no, 2616. Dan beliau berkata: hadits hasan shahih.




[3]  Jami’ Ulum Wal Hikam: hal. 147.




[4]  HR. Ahmad: no. 16943 dan At-Tirmidzi: no. 2299. Hadits ini di dho’ifkan oleh syaikh Al-Albani di dalam Dho’iful Jami’: no. 6387.




[5]  HR. Al-Bukhari no. 78 dan Muslim no. 5975.




[6]  HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab.




[7]   HR. Bukhari: no. 6056 dan Muslim: no. 105.




[8]  HR. Bukhari: no. 6094 dan Muslim: no. 2607.




[9]  HR. Bukhari: no. 10 dan Muslim: no. 41.




[10]  HR. Bukhari: no. 6018 dan Muslim: no. 47.




[11]  HR. Bukhari: no. 6474.




[12]  HR. Bukhari: no. 6477 dan Muslim: no. 2988.




[13]  HR. Muslim: no. 2581.



Artikel Terbaru

Popular Posts