Selasa, 23 Juli 2013

Dzikir adalah salah satu ibadah yang agung, karena dzikir adalah perwujudan nyata akan rasa syukur kepada Allah Ta’ala, yang mana Allah sebut setelah kenikmatan dirubahnya arah qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Allah berfirman,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)

  Allah juga berfirman memberikan pujian kepada orang-orang yang banyak berdzikir kepada-Nya,

وَالذَّاكِراتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)

  Dari sini dapat kita ketahui dengan pasti bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah melaksanakan tugas menjelaskan ibadah dengan sempurna. Dan mustahil ada kekurangan dalm penjelasan beliau shallallahu’alaihi wasallam tentang ibadah ini, baik kekurangan yang berkaitan dengan macam, waktu, atau metode pelaksanaannya.

  Beliau telah menjelaskan tentang tata cara dzikir secara lengkap, baik berkaitan dengan lafadznya, waktunya, atau tempatnya. Kumpulan dzikir dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah ditulis dan dikumpulkan menjadi sebuah kitab oleh para ulama, diantaranya kitab Al-Adzkar karya imam An-Nawawi, Hisnul Muslim dll.

  Apa-apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam berupa wirid-wirid syar’i mencukupi dan tidak ada alasan bagi kita untuk mengamalkan wirid-wirid yang tidak syar’i atau tidak sah penyandarannya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Simak sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam berikut,

عن الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِذَا أَخَذْتَ مَضْجَعَكَ، فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ، ثُمَّ قُلْ: اللهُمَّ إِنِّي أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ، وَاجْعَلْهُنَّ مِنْ آخِرِ كَلَامِكَ، فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ، مُتَّ وَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ قَالَ: فَرَدَّدْتُهُنَّ لِأَسْتَذْكِرَهُنَّ فَقُلْتُ: آمَنْتُ بِرَسُولِكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ، قَالَ: " قُلْ: آمَنْتُ بِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ

 Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Bila engkau akan berbaring tidur, hendaknya engkau berwudhu’ layaknya engkau berwudhu’ untuk shalat. Kemudian berbaranglah diatas sisi kananmu, lalu katakanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan wajahku untuk-Mu, dan menyerahkan urusanku kepada-Mu. Dengan rasa mengharap (kerahmatan-Mu) dan takut (akan siksa-Mu) aku menyandarkan punggungku kepada-Mu. Tiada tempat perlindungan dan penyelamatan (dari siksa-Mu) melainkan kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan Nabi-Mu yang telah Engkau utus.’ Dan jadikanlah bacaan (doa’) ini sebagai akhir perkataanmu, karena bila engkau mati pada malam itu, niscaya Engkau mati dalam keadaan menetapi fitrah (agama Islam).” Al-Bara’ bin ‘Azib berkata, “Maka aku mengulang-ulang bacaan ini untuk menghafalnya dan mengatakan: aku beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus.” Lalu Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Katakan: Aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus.” (HR. Bukhari: no. 5952 dan Muslim: no. 2710)

  Al-Bara’ bin ‘Azib salah mengucapkan do’a ini dihadapan Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Yang seharusnya ia mengucapkan: “Aku beriman kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus,” ia ucapkan, “Aku beriman kepada Rasul-Mu yang telah Engkau utus.” Perbedaannya hanya kata Nabi dan kata Rasul, padahal yang dimaksud dari keduanya adalah sama, yaitu Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Walau demikian Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak membiarkan kesalahan ini terjadi, sehingga Nabi shallallahu’alaihi wasallam menegur sahabat Al-Bara’ agar membenarkan ucapannya. Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa berdzikir kepada Allah Ta’ala adalah salah satu ibadah, dan setiap ibadah diatur dalam sebuah kaedah penting yaitu,

أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ

“Hukum asal setiap ibadah adalah tauqif (harus ada tuntunannya dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam).”

  Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

أَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ، فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ: {أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ} [الشورى: 21] .

وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ، فَلَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ: {قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلالا} [يونس: 59] .

“Hukum asal pada setiap ibadah adalah tauqif (harus ada tuntunannya dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam), sehingga tidak boleh dibuat ajaran melankan apa yang diajarkan oleh Allah Ta’ala. Kalau tidak demikian, niscaya kita akan termasuk kedalam firman Allah, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura’: 21)

  Sedangkan hukum asal dari adat istiadat adalah diperbolehkan, sehingga tidak boleh ada yang dilarang melainkan suatu hal yang telah diharamkan oleh Allah Ta’ala. Kalau tidak demikian niscaya kita masuk kedalam firman Allah, “Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal." (Yunus: 59)” (Majmu’ Fatawa: 29/17. Cet. Mujamma’ Malik Fahd, th. 1995)

  Bila Nabi shallallahu’alaihi wasallam menegur kesalahan Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu mengucapkan satu kata dalam dzikir yang beliau ajarkan, maka bagaimana halnya seandainya yang dilakukan oleh Al-Bara’ adalah dzikir hasil rekayasa sendiri?

  Berkata Al-Hafidz Ibnu hajar Asy-Syafi’i rahimahullah,

وَأَوْلَى مَا قِيلَ فِي الْحِكْمَةِ فِي رَدِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَنْ قَالَ الرَّسُولَ بَدَلَ النَّبِيِّ أَنَّ أَلْفَاظَ الْأَذْكَارِ تَوْقِيفِيَّةٌ وَلَهَا خَصَائِصُ وَأَسْرَارٌ لَا يَدْخُلُهَا الْقِيَاسُ فَتَجِبُ الْمُحَافَظَةُ عَلَى اللَّفْظِ الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ

  “Pendapat yang paling tepat tentang hikmahnya Nabi shallallahu’alaihi wasallam membetulkan kesalahan orang yang mengatakan Rasul sebagai ganti kata Nabi adalah bahwa bacaan-bacaan dzikir itu adalah bersifat tauqifiyah (harus ada tuntunannya), dan bacaan-bacaan dzikir itu memiliki keistimewaan dan rahasia-rahasia yang tidak dapat diketahui dengan cara qiyas, sehingga wajib kita memelihara lafdz dzikir sebagaimana diriwayatkan.” (Fathul Bari: 11/112. Cet. Dar Al-Ma’rifah Beirut)

Wallahu a’lam


0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts