Jumat, 26 Juli 2013



 

Setiap orang tua tentu memiliki harapan yang sama, yaitu keinginan agar anak-anak mereka menjadi anak yang shalih dan shalihah.


  Hanya saja perlu dicamkan baik-baik bahwa harapan seperti itu tidaklah hanya dicapai dengan angan-angan atau hayalan-hayalan mimpi. Akan tetapi keshalihan seorang anak itu bergantung pada keshalihan kedua orang tua.


 Oleh karena itu wahai para orang tua! Mulailah dari diri anda sendiri, anda membangun keimanan dan ketakwaan dihadapan Allah Ta’ala, agar dikemudin hari kebaikan tersebut akan tertular kepada anak-anak anda.


  Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut,


وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعافاً خافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً


 “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa’: 9)


  Di dalam ayat ini terdapat isyarat berupa peringatan kepada orang tua yang khawatir masa depan anak keturunannya, agar dia bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi seluruh larangannya agar kelak Allah menjaga anak keturunannya diatas keshalihan.


  Berkata Asy-Syaibani, “Dahulu kami tatkala berada di kota Konstantinopel bersama dengan pasukan Maslamah bin Abdul Malik, ketika itu kami sedang duduk-duduk bersama sekelompok ulama diantaranya Ibnu Ad-Dailami, maka mereka saling mengingatkan tentang apa yang terjadi berupa huru-hara hari kiamat. Maka aku katakan kepadanya (Ibnu Ad-Dailami), ‘Wahai Abu Bisyr, aku senang bila aku tidak memiliki anak.’ Maka ia menjawab, “Mengapa demikian! Tidak ada satu keturunan pun yang Allah takdirkan untuk keluar dari seseorang melainkan pasti akan keluar, baik dia suka atau pun tidak suka, hanya saja bila engkau ingin agar mereka menjadi baik maka bertakwalah engkau kepada Allah dengan berbuat baik kepada orang lain.” Kemudian ia membaca ayat diatas (An-Nisa’: 9).[1]


  Sejalan dengan makna diatas apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam,


مَنْ أَحْسَنَ الصَّدَقَةَ جَازَ عَلَى الصِّرَاطِ وَمَنْ قَضَى حَاجَةَ أَرْمَلَةٍ أَخْلَفَ  اللَّهُ فِي تَرِكَتِهِ


“Barang siapa memperbagus sedekah ia akan dibolehkan melewati shirath (jembatan), barang siapa mencukupi kebutuhan para janda tua maka Allah akan menjaga anak keturunannya.”[2]


 Perhatikanlah kisah berikut yang menunjukan akan keberkahan sebuah anak dalam keluarga!


  Dikisahkan bahwa Muqatil bin Sulaiman pernah menemui Al-Manshur pada saat ia dibai’at menjadi khalifah, maka Al-Manshur berkata kepadanya, “Berilah aku sebuah nasehat.” Maka Muqatil menjawab, “Nasehat dari hal yang aku lihat atau yang aku dengar?” ia menjawab, “Dengan apa yang engkau lihat.” Maka Muqatil berkata, “Wahai amirul mukminin, Umar bin Abdul Aziz memiliki 11 anak, ia meninggal hanya menyisakan uang 18 dinar, biaya mengkafaninya sebanyak 5 dinar, biaya penguburannya 4 dinar, kemudian sisanya diberikan kepada ahli warisnya...adapun Hisyam bin Abdul Malik memiliki juga 11 anak, dan ia meninggalkan warisan satu juta dinar untuk masaing-masing anaknya. Demi Allah wahai amirul mukminin, sungguh aku melihat dengan mata kepala saya sendiri salah seorang anak Umar bin Abdul Aziz berinfak sebanyak seratus kuda untuk persiapan jigad di jalan Allah, diwaktu yang sama pula saya  melihat salah satu anak Hisyam sedang disibukkan dengan perdangan bisnisnya di pasar!!”[3]


 Keluarga yang Baik ibarat Ladang yang Menghasilkan Panenan yang Baik


Orang tua yang shalih akan menghasilkan anak-anak yang shalih dan shalihah. Namun jika tidak, yang terjadi adalah sebaliknya. Dikisahkan bahwa ada seorang tertangkap karena melakukan pencurian, maka tatkala hakim memutuskan dia untuk dipotong tangannya, sang pencuri ini berucap, ‘Potonglah tangan ibuku, karena dahulu tatkala aku masih kecil, aku pernah mencuri yelur, namun justeru ibuku gembira dan tersenyum dengan perbuatan yang aku lakukan’!!


  Dari sepenggal kisah diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa benih dan tanah yang baik akan menghasilkan tanaman dan panenan yang bagus namun jika sebaliknya maka akan menghasilkan tanaman dan panenan yang jelek. Hak seorang bapak adalah memilih benih yang baik dan menanamnya pada tanah yang bagus, hal itu dikarenakan seorang bapak harus memilih istri yang shalihah agar kelak anak-anaknya pun shalih dan shalihah. Allah Ta’ala berfirman,


وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَباتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لا يَخْرُجُ إِلاَّ نَكِداً


“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana.” (Al-A’raf: 58)


  Dikisahkan ada seorang yang bernama Al-Mubarak beliau adalah bapak dari seorang ulama besar yang bernama Abdullah bin Al-Mubarak. Dikisahkan bahwa Al-Mubarak dahulunya adalah seorang budak yang telah dimerdekakan oleh tuannya, kemudian ia menjadi pegawai pada sebuah perkebunan. Pada suatu ketika keluarlah pemiliki kebun bersama teman-temannya kekebunnya, kemudian ia berkata kepada Al-Mubarak, “Berian kepadaku satu buah delima yang manis.” Maka Mubarak membawa bebarapa buah yang dipetik, namun seluruhnya pahit. Kemudian pemilik kebun berkata kepadanya, “Apakah kamu tidak bisa membedakan antara yang manis dan pahit?” kemudian Mubarak mengatakan, “Engkau belum memberikan izin kepadaku untuk mencicipi buah tersebut.” Maka pemilik kebun berkata, “Kamu sudah menjaga kebun ini selama setahun masa belum pernah mencicipinya sama sekali.” Pemilik kebun mengira bahwa Mubarak telah berdusta. Maka kemudian sang majikan pun bertanya kepada tetangganya, dan dikhabarkan kepadanya bahwa Mubarak sama sekali belum pernah mencicipi buah delima di kebunnya sama sekali. Kemudian sang pemilik kebun berkata kepada Mubarak, “Wahai Mubarak, aku hanya memiliki satu orang puteri, kepada siapakah aku hendak menikahkannya?” maka Al-Mubarak menjawab, “Orang-orang Yahudi menikahkan karena harta, orang-orang Nasrani karena keelokan, orang-orang Arab menikahkan kerena kedudukan dan martabat, sedangkan kaum muslimin menikahkan puterinya dengan orang lain karena ketakwaannya. Lalu kelompok manakah yang akan engkau pilih? Nikahkanlah puterimi dengan seorang yang bertakwa.” Maka sang pemilik tanah berkata, “Adakah sekarang orang yang lebih takwa dari pada dirimu?” kemudian Mubarak dinikahkan dengan puterinya.


  Kemudian hasil dari pernikahan yang mulia ini lahirlah seorang anak yang bernama Abdullah bin Al-Mubarak. Seorang ulama besar amirul mikminin fil hadits (penghulunya para ahli hadits), seorang mujahid, imam dalam kezuhudan, keilmian, dan sedekah.


  Contoh yang lainnya adalah bapak dari imam Bukhari yang bernama Isma’il, ia pernah berkata sebelum meninggal, “Demi Allah, saya tidaklah mengetahui adanya barang haram yang masuk kerumahku satu hari pun baik berupa dinar, dirham   atau pun yang lainnya”...oleh karena itu terlahirlah dari dia seorang putera yang merupakan imam besar, yang mana  kitabnya adalah kitab yang paing shahih setelah Al-Qur’an yaitu Muhammad bin Isma’il Al-Bukari atau dikenal dengan imam Bukhari.[4]


  Kisah Dua Orang Tua Yang Shalih


   Tentu kita ingat sebuah kisah disebutkan di dalam surat Al-Kahfi. Dikisahkan bahwa Nabi Musa bersama khidir ‘alaihimassalam melewati sebuah perkampungan. Keduanya pun meminta penduduk kampung untuk menjamu mereka berdua, namun penduduk menolak. Selanjutnya Nabi Musa dan Khidir ‘alaihimassalam melihat sebuah bangunan yang hampir roboh. Tiba-tiba nabi Khidir memperbaiki dinding tersebut hingga baik kembali. Maka nabi Musa berkata, “Jika engkau berkehendak, tentu engkau bisa mengambil upah atasnya.” Maka jawaban Nabi Khidir atas pertanyaan itu adalah:


وَأَمَّا الْجِدارُ فَكانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُما وَكانَ أَبُوهُما صالِحاً فَأَرادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغا أَشُدَّهُما وَيَسْتَخْرِجا كَنزَهُما رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ


“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (Al-Kahfi: 82)


  Demikianlah keshalihan dari orang tua akan mendatangkan rahmat bagi anak keturunannya.


  Berkata imam Ibnu Katsir rahimahullah, “Firman Allah Ta’ala “sedang ayahnya adalah seorang yang saleh” terdapat faedah di dalamnya bahwa seorang yang shalih akan terjaga anak keturunannya, termasuk juga ia akan merasakan barakah dari ibadah (anak keturunan mereka) di dunia dan akherat, mendapatkan syafa’at mereka, dan mengangkat derajat mereka sampai pada derajat yang tertinggi di surga, hingga dia akan merasa bahagia dengan anak keturunannya. Hal ini telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an juga di dalam As-Sunnah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Dua anak ini terjaga karena keshalihan bapak mereka, padahal tidak disebutkan apakah kedua anak tersebut shalih atau tidak. Sedangkan bapak mereka yang shalih adalah bapak ketujuh mereka.[5]


  Berkata Al-Hasan Al-Basri rahimahullah,


مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوتُ إِلَّا حَفِظَهُ اللَّهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ.


 


  “Tidaklah seorang mukmin meninggal dunia, kecuali Allah akan jaga anaknya dan anak-anak keturunannya setelahnya.”


  Berkata Ibnul Munkadir,


إنَّ اللَّهَ لَيَحْفَظُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ وَلَدَهُ وَوَلَدَ وَلَدِهِ وَالدُّوَيْرَاتِ الَّتِي حَوْلَهُ فَمَا يَزَالُونَ فِي حِفْظٍ مِنَ اللَّهِ وَسِتْرٍ


 “Allah akan menjaga dari diri seorang yang shalih anaknya, anak dari anaknya dan para keturunannya. Mereka selalu dalam penjagaan Allah dan ditutupi kesalahan kesalahannya.”[6]


 Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu,


إن المعروف ليجزي به ولد الوالد


“Sesungguhnya perbuatan baik akan memberikan balasan baik terhadap anak cucu.”[7]


 Berkata Al-Hafidz Ibnul Jauzi, “Tatkala aku bertekad ingin memperoleh kemuliaan dengan menikah serta menginginkan anak, maka aku pun beramal dengan menghatamkan Al-Qur’an seluruhnya, kemudian aku berdo’a kepada Allah Ta’ala agar Dia berkenan menganugerahkan kepadaku sepuluh anak, maka kemudian aku pun mendapatkan sepuluh anak.”[8]


  Salah seorang ulama yang bernama Abul Ma’ali Al-Juwaini adalah seorang yang biasa bekerja dan memberikan nafkah kepada istri dan anaknya yang masih menyusu dengan nafkah yang halal. Dia selalu berpesan kepada istrinya agar jangan sampai ada seorang pun menyusui anaknya. Kemudian suatu ketika masuklah seorang pembantu kemudian dia menyusui anaknya beberapa isapan!! Maka tatkala Abul Ma’alai mengetahui hal tersebut, dia pun memasukkan jarinya kedalam mulut anaknya, hingga keluarlah air susu yang masuk kemulutnya tersebut. Lebih ringan bagi saya kalau dia (anaknya) meninggal dari pada dia rusak (agamanya) disebabkan meminum susu yang bukan dari ibunya!! Perhatiakanlah di sini bagaimana satu suapan saja dari sesuatu yang tidak halal bisa merusak pelakunya.


  Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah melarang salah seorang cucunya yaitu Al-Hasan tatkala hendak memakan kurma sedekah. Beliau bersabda,


«كِخْ كِخْ» لِيَطْرَحَهَا، ثُمَّ قَالَ: «أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ»


 “Kikh, kikh (buanglah-bunaglah) kemudian beliau bersabda, Tahukah engkau bahwa kita tidak boleh memakan harta sedekah!!”[9]


 Berkata salah seorang ulama tabi’in yang bernama Sa’id bin Al-Musayyib,


لأزيدنّ في صلاتي من أجلك.....


 “Sungguh aku akan menambah malan sholat (sunnah) ku untuk kemaslahatanmu...” Maka anaknya berkata, “Mengapa demikian wahai ayahku?” Sa’id menjawab, “Aku berharap diriku akan terjaga disebabkan kebaikanmu.”[10]


  Perhatikanlah kisah yang diutarakan oleh imam Ahmad berikut,


حفَّظتني أمي القرآن وعمري عشر سنوات، وكانت توقظني قبل صلاة الفجر بوقت ليس بالقصير،وتحمي لي الماء؛ لأن الجو كان باردًا في بغداد، وتُلبسُني اللباس، ثم نصليأنا وإياها من قيام الليل ما شاء الله ، ثم ننطلق إلى المسجد وهي مغطاة بحجابها؛ لأن الطريق كانتبعيدة مظلمة موحشة لنصلي الفجر في المسجد، وتبقى معه حتى منتصف النهار لتعلمه القرآن والفقه. يقول: فلما بلغت السادسةعشرة قالت: يا بني سافِرْ في طلب الحديث؛ فإن طلب الحديث هجرة في سبيلالله. فأعدت له بعض متاع السفر من أرغفة الشعير ومن صُرَّة ملح، ثم قالت: إن الله إذا استُودِع شيئًا حفظه، فأستودعكالله الذي لا تضيع ودائعه


  “Aku hafal Al-Qur’an karena didikan ibuku semenjak aku berumur 10 tahun, ibuku membangunkanku beberapa lama sebelum shalat subuh, kemudian ia memanaskan air untukku; hal itu dikarenakan udara di Baghdad ketika itu dingin, kemudian ia memakaikan baju untukku, disusul kemudian aku dan dia mengerjakan shalat malam secara bersama-sama. Kemudian kami sama-sama pergi kemasjid dalam keadaan ibuku berhijab; jalan menuju masjid ketika itu jauh, gelap, dan menghawatirkan.”                 –kemudian tetap menemani imam Ahmad sampai pertengahan siang untuk mempelajari Al-Qur’an dan Fiqih-. Berkata imam Ahmad, “Maka tatkala aku berumur enam belas tahun, berkata ibuku kepadaku, “Wahai anakku, pergilah engkau untuk mencari hadits; karena sesungguhnya mencari hadits adalah jihad di jalan Allah.” Kemudian ibuku menyediakan untukku beberapa perbekalan safar seperti roti-roti yang sudah kering dan wadah garam. Kemudian ia berkata kepadaku, “Sesungguhnya Allah apabila dititipi sesuatu, maka Dia akan menjaganya, maka sesungguhnya aku menitipkanmu kepada Allah, yang mana Dia tidak akan menyia-nyiakan titipan itu.”[11]


  Lihatlah bagaimana setelah itu imam Ahmad menjadi imam besar dan rujukan di dalam masalah agama, hingga beliau digelari sebagai imam ahlus sunnah. Dari didikan siapakah itu?! Tidak lain dari seorang ibu yang shalihah. Hidup dalam kondisi yatim bukanlah alasan untuk berpangku tangan dan pasrah, itulah yang sudah dibuktikan oleh ibu imam Ahmad dalam mendidiknya.


  Berkata imam Adz-Dzahabi di dalam pujiannya kepada imam Ahmad,


ووالله لقدبلغ في الفقه خاصة رتبة الليث، ومالك، والشافعي، وأبي يوسف، وفي الزهدوالورع رتبة الفضيل، وإبراهيم بن أدهم، وفي الحفظ رتبة شعبة، ويحيىالقطان، وابن المديني، ولكن الجاهل لا يعلم رتبة نفسه، فكيف يعرف رتبة غيره؟


 “Sungguh demi Allah, dalam masalah Fiqih dia (imam Ahmad) selefel dengan Al-laits, Malik, Asy-Syafi’i, dan Abu Yusuf. Dalam hal kezuhudan dan wara’ beliau selefel dengan Al-Fudhail dan Ibrahim bin Adham. Dalam masalah hafalan beliau selefel dengan Syu’bah, Yahya bin Al-Qaththan, dan Ibnul Madini. Hanya saja orang bodoh itu dia tidak tahu kedudukan dirinya, apalagi mengetahui kedudukan orang lain.”


 Benarlah apa yang diucapkan oleh seorang penyair:


فليس اليتيم من مات أبواه ... وخلفاه في الحياة ذليلا


إنما اليتيـم من تـراه له... أما تخلت أو أبا مشغولا


“Seorang yatim yang sebenarnya bukanlah seorang yang ditinggal mati oleh bapaknya, kemudian dia mengalami kehinaan setelahnya


 Akan tetapi seorang yatim yang sebenarnya adalah seorang yang masih memiliki orang tua, akan tetapi ia tidak mendapatkan perhatian seorang bapak karena kesibukannya.”[12]










[1] Al-Murabbi An-Najih: hal, 17-18. Dr. Kholid Sa’ad An-Najjar. Cet Dar Al-Kautsar.





[2]  Tafsir Al-Qurthubi Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Tafsir surat An-Nisa: 2/1717.





[3]  Ni’amun Bila syukr: Kholid Abu Syadi: hal. 10. Cet Dar Ar-Rayah.





[4]  Al-Murabbi An-Najih: hal, 19-20.





[5] Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Kahfi hal, 234 secara ringkas. Lihat Al-Mirabbi An-Najih: hal, 21.





[6]  Jami’ Ulum Wal Hikam: hal, 250. Cet, Maktabah Fayyad Al-Qahirah. Tahqiq Hamdi Ad-Damradasy Muhammad.





[7]  Diriwayatkan oleh Al-Khara’ity di dalam Makarimul Akhlak, lihat kitab Muntaqa-nya: hal, 37.





[8]  Husnul Ukhwah: no, 94.





[9]  HR. Bukhari: no, 1386.





[10]  Al-Murabbi An-Najih: hal, 22.





[11] Sumber: http://www.iszlam.hu/index.php?option=com_content&view=article&id=105:2011-01-01-14-42-51&catid=52:2010-12-27-16-50-48&Itemid=77





[12]  Ibid.




0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts