Rabu, 29 Agustus 2012

حَيْثُمَا كُنْتَ : di mana saja engkau berada

Yaitu bertaqwal-lah di bumi Allah mana pun, baik di tengah keramaian atau kesendirian, di  rumah, pasar, jalan, masjid,  di kampungmu atau di negeri lain, dan semua tempat di muka bumi ini, karena di mana saja kamu berada Allah ‘Azza wa Jalla selalu mengawasimu.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

 وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ


                “ ..dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al Hadid (57): 4)

Ayat ini tidak berarti Allah Ta’ala secara zat ada di setiap tempat kita berada, dan tidak boleh mengartikan demikian. Maksudnya adalah Allah Ta’ala senantiasa menyaksikan dan mengawasi manusia.  Imam Ibnu Jarir Ath Thabari Rahimahullah menjelaskan:

وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم، ومتقلبكم ومثواكم، وهو على عرشه فوق سمواته السبع


                “Dia menyaksikan kalian, wahai Manusia, dimana saja kalian berada Dia mengetahui kalian, mengetahui perbuatan kalian, lalu lalang kalian, dan di tempat tinggal kalian,dan Dia di atas ‘ArsyNya, di langit yang tujuh.” (Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Al Quran, 23/196)

            Imam Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:

أي وحدك أو في جمع فإن كانوا أهل بغي أو فجور فعليك بخويصة نفسك أو المراد في أي زمان ومكان كنت فيه رآك الناس أم لا فإن الله مطلع عليك واتقوا الله إن الله كان عليكم رقيبا


            Yaitu kamu sendirian atau dalam keramaian, walau mereka adalah ahli maksiat dan kejahatan, maka wajib atasmu menjaga dirimu secara khusus. Atau maksudnya pada tempat mana pun dan  waktu kapan pun  yang kamu di dalamnya dilihat manusia atau tidak, sesungguhnya Allah mengawasimu, dan bertaqwa-lah kepada Allah karena Allah senantiasa mengawasi kamu. (Faidhul Qadir, 1/156. Cet. 1.  1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut)

Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah:

حيثما كنت : في أي مكان كنت فيه حيث يراك الناس ، وحيث لا يرونك


            Di mana saja  kamu berada: yaitu di tempat mana saja kamu berada, di mana manusia melihatmu dan tidak melihatmu. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 18)

            Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim Rahimahullah juga menjelaskan:

وإذا كنت في أي مكان فاتقِِ الله حيثما كنت، لماذا؟ لأن الله مطلع عليك أينما توجهت، وأنت إنما تتعامل مع الله، ولذا خرج أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى الأمصار ودعَوا إلى الله، ولما كتب بعض السلف إلى إخوانه في الشام: هلم إلى الأرض المقدسة، قال: إن الأرض لا تقدس أهلها؛ ولكن يقدسهم العمل.


( اتقِ الله حيثما كنت ): وأيضاً (كيفما كنت) أي: على أية حالة تكون فيها مع الناس يجب أن يكون معيارك تقوى الله


            Jika  kamu berada di berbagai tempat, maka bertaqwa-lah kepada Allah, kenapa? karena Dia mengawasimu ke mana pun kau menghadap, dan sesungguhnya kamu sedang ta’aamul (bergaul-berinteraksi) dengan Allah, oleh karena itu para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar   menuju berbagai negeri untuk menyerukan manusia kepada Allah.  Ketika sebagian salaf berkata kepada saudara-saudaranya di Syam: “marilah ke negeri yang suci.” Dia menjawab: “Sesungguhnya bumi tidaklah mensucikan penduduknya, tetapi amal-lah yang mensucikan mereka.”

(Bertaqwa-lah kamu di mana saja berada) juga bermakna (bagaimana  pun keadaanmu) yaitu bagaimana pun keadaan kamu   bersama manusia di dalamnya, wajib menjadikan taqwa kepada Allah sebagai mi’yar (kriteria) bagi dirimu. (Syaikh ‘Athiyah Salim, Syarh Al Hadits Al Arbain, Syarah No. 18)

            Jadi, perintah taqwa adalah perintah yang berlaku dalam berbagai dimensi, baik waktu, tempat, dan keadaan manusianya. Bahkan itu merupakan keadaan iman yang paling utama.

Dari  ‘Ubadah bin Ash Shaamit Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أفضل الإيمان أن تعلم أن الله معك حيثما كنت


            Iman yang paling utama adalah kamu mengetahui bahwa Allah bersamamu di mana saja kamu berada. (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 8796, juga dalam Musnad Asy Syamiyyin No. 1416, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 6/124. Imam Al Haitsami mengatakan: “Utsman bin Katsir meriwayatkannya secara menyendiri, dan saya tidak melihat ada  yang men-tsiqahkannya, mau pun yang mencelanya.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/60. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat  Dhaiful Jami’ No. 1002)

 

Selanjutnya:

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا: dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskannya

Apakah perbuatan buruk yang dimaksud? Dan apa pula perbuatan baik itu? Syaikh Ismail Al Anshari menjelaskan;

السيئة : وهي ترك بعض الواجبات ، أو ارتكاب بعض المحظورات .الحسنة : التوبه منها . أو الإتيان بحسنة أخرى .


            Keburukan adalah meninggalkan sebagian kewajiban atau menjalankan sebagian perbuatan terlarang. Kebaikan adalah bertobat dari keburukan, atau melanjutkan dengan perbuatan baik lainnya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, No. 18)

Oleh karenanya, tidak dapat dikatakan keburukan jika ada yang  tidak mengerjakan sunah atau melakukan perbuatan yang mubah. Di sisi lain, keburukan akan tetap ada kecuali pelakunya bertobat atau melakukan berbagai kebaikan untuk menghapuskan keburukan yang telah lalu.

Bertobat yang bagaimanakah yang dapat menghapuskan dosa? Saya akan kutip dari Imam An Nawawi Rahimahullah sebagai berikut:

قال العلماء: التوبة واجبةٌ من كل ذنبٍ، فإن كانت المعصية بين العبد وبين الله تعالى لا تتعلق بحق آدميٍ؛ فلها ثلاثة شروطٍ: أحدها: أن يقلع عن المعصية.


والثاني: أن يندم على فعلها.


والثالث: أن يعزم أن لا يعود إليها أبداً. فإن فقد أحد الثلاثة لم تصح توبته. وإن كانت المعصية تتعلق بآدميٍ فشروطها أربعةٌ: هذه الثلاثة، وأن يبرأ من حق صاحبها؛ فإن كانت مالاً أو نحوه رده إليه، وإن كانت حد قذفٍ ونحوه مكنه منه أو طلب عفوه، وإن كانت غيبةً استحله منها.


 

“Berkata para ulama: “Tobat adalah wajib dari semua dosa, jika maksiatnya adalah antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala, yang tidak terkait dengan manusia, maka syarat tobatnya ada tiga:

1.       Meninggalkan maksiat tersebut

2.       Membenci/menyesali perbuatan tersebut

3.       Berjanji tidak mengulanginya selamanya.

 

Jika salah satu saja tidak ada, maka tobatnya tidak sah. Dan, jika maksiatnya adalah terkait dengan manusia, maka syaratnya ada empat; yaitu yang tiga di atas, dan yang keempat adalah: menyelesaikan urusannya kepada orang yang berhak. Jika  kesalahannya dalam bentuk harta maka dia harus mengembalikannya. Jika dia melemparkan tuduhan, maka dia meminta maaf kepada yang dituduh. Jika dia melakukan ghibah, maka dia meminta untuk dihalalkan (dimaafkan). (Riyadhush Shalihin, Hal. 33-34.  Cet. 3. 1998M-1419H.  Muasasah Ar Risalah, Beirut- Libanon)

Kebaikan bagaimanakah yang dapat menghapuskan dosa? Yaitu berbagai macam kebaikan yang telah disebutkan oleh syariat dapat menghapuskannya,  dengan  pelaksanaan dan niat yang benar.  Misalnya  puasa ramadhan, shalat jumat, shalat lima waktu, istighfar, berbagai  dzikir yang ma’tsur (yang nabi ajarkan), bersedekah,, dan memperbanyak shalat sunnah.[1][1] Semuanya disebutkan dalam hadits-hadits shahih sebagai penghapus dari kesalahan dan dosa kita.

Syaikh Ismail Al Anshari menambahkan:

تمحها : تمح عقابها من صحف الملائكة وأثرها السيء في القلب .


            Menghapuskannya: yaitu menghapuskan hukumannya dari catatan malaikat dan menghapuskan pengaruh buruknya di dalam hati. (At Tuhfah, Ibid)

Selanjutnya:

وَخَالِقِ النَّاسَ :  dan berakhlaklah dengan manusia

Yaitu bergaul, berinteraksi, dan bermuamalah dengan manusia mana pun, terlebih lagi umat Islam.

Syaikh Abul ‘Ala Muhamamd Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri mengatakan:

أي خالطهم وعاملهم


            Yaitu membaurlah dengan mereka dan bergaul/berurusan dengan mereka. (Tuhfah Al Ahwadzi, 6/123. Cet. 3, 1963M-1383H. Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)

            Bergaul dan membaur dengan manusia, dan bertahan terhadap fitnah (kerusakan) yang ada pada mereka,  adalah lebih utama dibanding ‘uzlah (memisahjkan diri).

Imam An Nawawi menjelaskan:

اعْلم أنَّ الاختلاط بالنَّاسِ عَلَى الوجهِ الَّذِي ذَكَرْتُهُ هُوَ المختارُ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وسائر الأنبياء صلواتُ اللهِ وسلامه عَلَيْهِمْ ، وكذلك الخُلفاءُ الرَّاشدون ، ومن بعدَهُم مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ ، ومن بَعدَهُم من عُلَماءِ المُسلمين وأَخْيَارِهم ، وَهُوَ مَذْهَبُ أكثَرِ التَّابِعينَ وَمَنْ بَعدَهُمْ ، وبه قَالَ الشافعيُّ وأحمدُ وأكثَرُ الفقهاءِ  رضي اللهُ عنهم أجمعين. قَالَ اللهُ تَعَالَى: { وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى } [ المائدة : 20 ] والآيات في معنى مَا ذكرته كثيرة معلومة .


                Ketahuilah, bahwa membaur dengan manusia dengan cara seperti yang telah saya sebutkan, adalah sika pilihan yang di atasnya Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada, juga semua para Nabi Shalawatullah wa salamuhu ‘Alaihim, demikian juga para khulafa’ur rasyidin, dan yang setelah mereka dari kalangan sahabat dan tabi’in, dan yang setelah mereka dari kelompok ulama Islam dan manusia-manusia terbaik mereka, dan inilah madzhab mayoritas tabi’in dan manusia  setelah mereka. Inilah pendapat Asy Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas fuqaha Radhiallahu ‘Anhum ajma’in. Allah Ta’ala berifirman: “Saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan.” (QS. Al Maidah (5): 20). Dan ayat-ayat yang semakna sebagaimana yang telah saya sebutkan banyak jumlahnya dan terkenal. (Lihat Riyadhushshalihin Hal. 210. Cet. 3. 1998M – 1419H. Muasasah Ar Risalah. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arna’uth)

Disamping itu, dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

و خير الناس أنفعهم للناس


                “Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR.  Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 1234,  Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 5787, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 43065. Syaikh Al Albani menyatakan: Hasan shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 426. Darul Ma’arif. Dihasankan pula dalam Shahih Kunuz As Sunnah An Nabawiyah, Bab Khiyarukum No. 4, disusun oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq)

            Maka, bagaimana mungkin menjadi manusia bermanfaat jika tidak berinteraksi dengan manusia lainnya?

            Selanjutnya:

بِخُلُقٍ حَسَنٍ : dengan akhlak yang baik

Yaitu dengan akhlak yang mulia, dan yang menjadi standarnya adalah Al Quran dan As Sunnah.

Ta’rif (definisi) Akhlak

Secara bahasa (lughatan): Akhlaq adalah jamak dari Al khuluq, yang berarti:

وهو الدِّين والطبْع والسجية


                “Yaitu ad din (agama), tabiat, dan perangai.” (Ibnu Manzhur Al Mishri, Lisanul ‘Arab, 10/85)

وقالَ ابنُ الأعْرابِيِّ : الخُلُقُ : المُرُوءةُ


          “Berkata Ibnul Arabi: Al Khuluq artinya muru’ah (kepribadian/citra diri yang baik).” (Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq Al Hasani,  Tajjul ‘Arusy, Hal. 6292)

Sedangkan, makna secara istilah (ishtilahan), adalah:

وحقيقته أَنه لِصورة الإِنسان الباطنة وهي نفْسه وأَوصافها ومعانيها المختصةُ بِها بمنزلة الخَلْق لصورته الظاهرة وأَوصافها ومعانيها ولهما أَوصاف حسَنة وقبيحة والثوابُ والعقاب يتعلّقان بأَوصاف الصورة الباطنة أَكثر مما يتعلقان بأَوصاف الصورة الظاهرة


“Hakikatnya (akhlak) adalah gambaran batin manusia, yakni jiwanya, sifat-sifatnya, dan makna-maknanya yang spesifik, yang dengannya terlihat  kedudukan makhluk, lantaran gambarannya secara zahir, baik sifat-sifatnya dan makna-maknanya, dan keduanya memeliki sifat yang baik atau buruk, mendapat pahala dan sanksi, yang kaitan keduanya dengan sifat-sifat yang tergambar secara batin adalah lebih banyak, dibanding apa-apa yang yang terkait dengan gambaran zahirnya.” (Ibid, lihat juga Tajjul ‘Arusy, Hal. 6292)  

Sementara itu, Hujjatul Islam Imam Al Ghazali, mendefinisikan akhlak yang baik sebagai berikut:

وإنما الأخلاق الجميلة يراد بها العلم والعقل والعفة والشجاعة والتقوى والكرم وسائر خلال الخير، وشيء من هذه الصفات لا يدرك بالحواس الخمس بل يدرك بنور البصيرة الباطنة


                “Sesungguhnya, yang dimaksudkan dengan akhlak yang indah adalah ilmu, akal, ‘iffah (rasa malu berbuat dosa), keberanian, taqwa, kemuliaan, dan semua perkara yang baik, dan semua sifat-sifat ini tidak hanya ditampilkan oleh panca indera yang lima, tetapi juga oleh cahaya mata hati dan batin.” (Ihya ‘Ulumuddin, 3/393)

                Sedangkan Ibnu Maskawaih berkata tentang akhlak:

الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية ولا روية


          “Akhlak adalah kondisi bagi jiwa yang mengajak segala perbuatan kepadanya dengan tanpa dipikirkan, dan tanpa ditimbang-timbang.” (Ibnu Maskawaih, Tahdzibul Akhlaq, hal. 10)

                Demikian makna akhlak yang diterangkan para ulama dan ahli bahasa. Semua pembicaraan tentang akhlak bermuara pada kondisi jiwa manusia yang ditampakkan oleh perbuatan mereka, yang didasarkan oleh pemahaman agama, Al Quran, dan ketaqwaan.

II. Kata Akhlak dalam Al Quran

                Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ


                “Dan seseungguhnya engkau (Muhammad), benar-benar berbudi pekerti  agung.” (QS. Al Qalam (68): 4)

Berkata Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari Rahimahullah:

وإنك يا محمد لعلى أدب عظيم، وذلك أدب القرآن الذي أدّبه الله به، وهو الإسلام وشرائعه.



                “Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, benar-benar di atas adab (etika) yang mulia, itulah adab Al Quran yang dengannya Allah telah mendidiknya, yakni (adab) Islam dan syariat-syariatnya.” (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 23/528)

                Ucapan Imam Ibnu Jarir ini merupakan rangkuman dari berbagai tafsir tentang makna ‘Khuluqun ‘Azhim’, yang dimaknai oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Adh Dhahak, dan Ibnu Zaid, di mana mereka mengartikannya dengan makna ‘agama mulia’, yakni Islam. Sedangkan ‘Athiyah memaknainya dengan ‘Adabul Qur’an, (etika al Quran)’ (Ibid, 23/529-530)

                Sementara itu, Aisyah Radhiallahu ‘Anha memaknai ayat ‘sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung’  adalah Al Quran. Sebagaimana riwayat berikut:

 عن سعد بن هشام بن عامر ، في قول الله عز وجل ( وإنك لعلى خلق عظيم  ) قال : سألت عائشة رضي الله عنها : يا أم المؤمنين ، أنبئيني عن خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقالت : « أتقرأ القرآن ؟ » فقلت : نعم ، فقالت : « إن خلق رسول الله صلى الله عليه وسلم القرآن »


          Dari Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir, tentang firmanNya ‘Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung’, dia berkata: ‘Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Wahai Ummul Mu’minin, kabarkan kepada saya tentang akhlaq Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Beliau menjawab: “Apakah engkau membaca Al Quran?” Aku menjawab: “Tentu.” Dia berkata: “Sesungguhnya Akhlaq Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al Quran.” (HR. Muslim No. 746, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4413, 4588, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 425, Al Hakim,  dalam Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 3842, katanya: shahih sesuai syarat syaikhan (Bukhari dan Muslim), dan disepakati Imam Adz Dzahabi)

III. Kata Akhlaq dalam As Sunnah

Selanjutnya adalah beberapa hadits yang memuat kata ‘akhlaq’ dan pengertiannya menurut para pensyarah.

Hadits Pertama

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ


 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab:   “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)   

                Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri tentang makna husnul khuluq:

أَيْ مَعَ الْخَلْقِ ، وَأَدْنَاهُ تَرْكُ أَذَاهُمْ وَأَعْلَاهُ الْإِحْسَانُ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْهِ مِنْهُمْ


“Yaitu akhlak terhadap makhluk, dia mendekatkan diri dan menjauhkan dari sikap menyakiti mereka, dan lebih tinggi kebaikannya kepada siapa-siapa yang telah berbuat buruk kepadanya dari mereka.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 6/142)

Dalam kitab yang sama:

قَالَ الطِّيبِيُّ قَوْلُهُ : تَقْوَى اللَّهِ إِشَارَةٌ إِلَى حُسْنِ الْمُعَامَلَةِ مَعَ الْخَالِقِ بِأَنْ يَأْتِيَ جَمِيعَ مَا أَمَرَهُ بِهِ وَيَنْتَهِيَ عَنْ مَا نَهَى عَنْهُ وَحُسْنُ الْخَلْقِ إِشَارَةٌ إِلَى حُسْنِ الْمُعَامَلَةِ مَعَ الْخَلْقِ وَهَاتَانِ الْخَصْلَتَانِ مُوجِبَتَانِ لِدُخُولِ الْجَنَّةِ وَنَقِيضُهُمَا لِدُخُولِ النَّارِ فَأَوْقَعَ الْفَمَ وَالْفَرْجَ مُقَابِلًا لَهُمَا .


                Ath Thayyibi berkata: “Sabda beliau,’ Taqwa kepada Allah’ merupakan isyarat terhadap baiknya pergaulan dengan Sang Pencipta, yakni dengan cara menjalankan semua yang diperintahkanNya  dan menjauhi dari dari apa-apa yang dilarangNya. “Akhlak yang baik’ merupakan isyarat terhadap baiknya pergaulan dengan sesama makhluk. Dua perangai ini akan mengantarkan kepada surga, sedangkan  yang bertentangan dengan keduanya akan masuk ke neraka. Apa yang biasa dilakukan Mulut dan kemaluan, merupakan lawan dari kedua perangai itu. (Ibid)

Sementara Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Imam Abdullah bin Mubarak tentang makna Husnul Khuluq (akhlaq yang baik):

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ وَصَفَ حُسْنَ الْخُلُقِ فَقَالَ هُوَ بَسْطُ الْوَجْهِ وَبَذْلُ الْمَعْرُوفِ وَكَفُّ الْأَذَى


Dari Abdullah bin Mubarak, bahwa dia menyifati akhlak yang baik adalah wajah yang ceria, suka memberikan hal-hal yang baik, dan menahan tangannya dari menyakiti manusia. (Lihat Sunan At Tirmidzi No. 2005)

Hadits Kedua

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ شَيْءٍ يُوضَعُ فِي الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُق


Dari Abu Darda, dia berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada sesuatu yang diletakkan di atas timbangan, yang  beratnya melebihi berat akhlak yang baik.” (HR. At Tirmidzi No. 2003, katanya: hadits ini gharib.  Abu Daud No. 4799. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 876, Al Irwa No. 941, dan Shahihul Jami’ No. 5726)

Imam Abu Thayyib Rahimahullah berkata tentang maksud hadits di atas:

أَيْ مِنْ ثَوَابه وَصَحِيفَته أَوْ مِنْ عَيْنه الْمُجَسَّد


“Yaitu pahala akhlak yang baik, catatannya dan nilai akhlak baik itu sendiri.” (Imam Abu Thayyid Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud,  13/108. Cet. 2. Darul Kutub Al ‘ilmiyah, Beirut - Libanon)

Hadits Ketiga

عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ


                Dari An Nawas bin Sam’an al Anshari, dia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang Al Birr (kebaikan) dan Dosa, beliau bersabda: Al Birr adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa-apa yang membuat dadamu tidak nyaman, dan engkau membencinya jika manusia melihatnya.” (HR. Muslim No. 2553)

                Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari hadits ini:

قَالَ الْعُلَمَاء : الْبِرّ يَكُون بِمَعْنَى الصِّلَة ، وَبِمَعْنَى اللُّطْف وَالْمَبَرَّة وَحُسْن الصُّحْبَة وَالْعِشْرَة ، وَبِمَعْنَى الطَّاعَة ، وَهَذِهِ الْأُمُور هِيَ مَجَامِع الْخُلُق


          “Berkata para ulama: Al Birr dimaknai dengan Ash Shilah (hubungan), dan bermakna kelembutan, kebaikan, persahabatan yang baik, dan pergaulan yang baik, dan juga bermakna ketaatan. Semuanya ini terhimpun pada kata Akhlak.” (Al Minhaj Syarh   Shahih Muslim,  8/343)

IV. Macam-Macam Akhlak

1.       Akhlak kepada Allah Ta’ala

-          MenjadikanNya satu-satunya ma’bud (sembahan) yang haq dan murni. (QS. 1: 5) dan (QS. 98:5)

-          Taat kepadaNya secara mutlak. (QS. 4:65)

-          Tidak menyekutukanNya dengan apa pun. (QS. 4: 116)

-          MenjadikanNya sebagai tempat minta pertolongan. (QS. 1:5)

-          Memberikan hak rububiyah, uluhiyah, asmaul husna dan sifatul ’ulya, hanya kepadaNya. (QS. 1;2), (QS. 114: 3)

-          Tidak menyerupakanNya dengan apa pun (QS. 42: 11)

-          Menetapkan apa-apa yang ditetapkanNya, mengingkari apa-apa yang diingkariNya, mengharamkan apa-apa yang diharamkanNya, dan menghalalkan apa-apa yang dihalalkanNya. (QS. 5: 48-49)

-          MenjadikanNya sebagai satu-satunya pembuat syariat. (QS. 6: 57)

-          Berserah diri kepadaNya (QS. 20:72)

 

2.       Akhlak kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

 

-          Mengakui dan mengimani bahwa Beliau adalah hamba Allah dan RasulNya. (QS. 18:110)

-          Meyakini bahwa Beliau adalah Rasul dan NabiNya yang terakhir, dan risalahnya pun juga risalah terakhir. (QS. 30:40)

-          Taat kepadanya secara mutlak. (QS. 4:65)

-          Menjadikannya sebagai teladan yang baik dalam kehidupan, beragama, keluarga, sosial, dan lain-lain. (QS. 30:21)

-          Meyakini bahwa syafa’at darinya hanya terjadi dengan idzin Allah ta’ala. (QS. 10:3), (QS. 20:109)

-          Bershalawat padanya. (QS. 30:56)

-          Menerima keputusannya secara lapang. (QS. 4: 59)

-          Mencintai keluarganya (ahli baitnya). (HR. At Tirmidzi,  No. 3789, katanya: hasan)

-          Mencintai para sahabatnya dan mengakui bahwa mereka adalah umat terbaik dan semuanya adil. (QS. 3: 110)

-           Mencintai yang dicintainya dan membenci yang dibencinya.

3.       Akhlak kepada manusia

-          Berbakti kepada kedua orang tua (QS. 6:151) (QS.46:17)

-          Menyambung silaturrahim (QS. 4:1) (QS. 2:27)

-          Tolong menolong dalam kebaikan, bukan dalam kejahatan. (QS. 5:2)

-          Tawadhu’ (QS.7:199)

-          Tidak mencela. (HR. Bukhari)

-          Lemah lembut dan berkasih sayang  kepada sesama muslim dan tegas terhadap orang kafir. (QS. 5:54) (QS. 48: 29)

-          Sabar, menepati janji, dan jujur. (QS. 2:177)

-          Pemaaf (QS. 2:109)

-          Adil (QS. 3: 18)

-          Dermawan (QS. 2: 245)

-          Memuliakan tamu (QS. 11:69)

-          Dan lain-lain.

 

Wallahu A’lam













[1][1] Memperbanyak shalat sunah dapat menyempurnakan wajib yang dahulu pernah kita lakukan. Baik kita lakukan ada kesalahan, atau pernah meninggalkannya pada masa-masa belum mengerti agama.  Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:


أنظروا هل لعبدي من تطوع؟ فإن كان له تطوع قال: أتموا لعبدي فريضته من تطوعه


(Allah berfirman): Lihatlah apakah hambaKu memiliki shalat sunnah? jika dia memiliki shalat sunnah, lalu Dia berfirman lagi: "sempurnakanlah bagi hambaKu itu shalat wajibnya dengan shalat sunahnya itu." (HR. Abu Daud No. 864, Shahih. Lihat Shahihul Jami' No. 2571)


Matan Hadits:

 عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بِنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ) رواه الترمذي وقال: حديث حسن. وفي بعض النسخ: حسنٌ صحيح.


 

Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Bertaqwa-lah kepada Allah di mana saja engkau berada, dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskannya, dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”

Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan dia berkata: hadits hasan. Pada sebagian naskah: hasan shahih.

Takhrij Hadits:

-          Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 1987, dari Abu Dzar dan Muadz bin Jabal

-          Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 21354, 21403, dari Abu Dzar, dan No. 21988, dari Muadz bin Jabal. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan.

-          Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8023, dari Muadz bin Jabal, dan No. 8026, dari Abu Dzar

-          Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 1913, dari Abu Dzar, dan No. 5246, dari Muadz bin Jabal

-          Imam Ad Darimi dalam Sunannya No, 2791, dari Abu dzar

-          Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak ‘Ala Ash Shahihain No. 187, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya. Penshahihan Ini disepakati oleh Imam Adz Dzahabi

-          Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 296, 287, dari Muadz bin Jabal. Juga dalam Al Mu’jam Ash Shaghir No. 530, dari Muadz bin Jabal

-          Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 4022, dari Abu Dzar

-          Imam Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 4/378

-          Imam Ibnu ‘Asakir (61/314), dari Anas bin Malik

 

Syaikh Al Albani juga menghasankan dalam beberapa kitabnya, baik yang riwayat Abu Dzar,  Muadz, dan Anas. (Shahihul Jami’ No. 97, Misykah Al Mashabih No. 5083, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2655, 3160)

 

Kandungan Hadits Secara Global

Hadits ini memuat banyak pelajaran bagi pembentukan keshalihan pribadi dan masyarakat, di antaranya:

  1. Perintah untuk tetap dalam keadaan taqwa kepada Allah Ta’ala di mana pun dan kapan pun. Perintah taqwa sangat banyak tersebar dalam Al Quran dan As Sunnah, baik perintah taqwa secara umum atau perintah taqwa dikaitkan dengan suatu hal secara khusus. Baik dengan bentuk kata ittaquullah (bertaqwal-lah kalian kepada Allah) atau ittaqillah (bertaqwa-lah kamu kepada Allah).

  2. Melakukan kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang alamiah terjadi pada diri manusia. Tidak ada manusia yang selalu buruk, jelek, dan jahat, sebagaimana syetan. Dan, tidak ada manusia yang selalu rajin ibadah, benar, baik, dan taat,  sebagaimana malaikat. Justru karena ada kedua hal itu letak manusiawinya manusia. Oleh karena itu, sangat berlebihan dan naïf jika ada manusia yang menuntut orang lain untuk  selalu benar dan tidak boleh salah sama sekali, karena itu adalah pembebanan yang manusia mana pun tidak akan mampu.


Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ


Setiap anak Adam memiliki kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang berbuat salah adalah yang bertobat. (HR. At Tirmidzi No. 2499, Ibnu Majah No. 4251, Ahmad No. 13049. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4515. Imam Al Munawi dan Imam Al Hakim mengatakan: shahih, sedangkan Imam Adz Dzahabi mngatakan: fiihi layyin - ada kelemahan.  Lihat Tuhfah Al Ahwadzi, 7/202)

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga senantiasa memohon ampunan (istighfar) dan bertobat kepada Allah Ta’ala antara 70 sampai 100 kali  dalam sehari.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً


Demi Allah, sungguh saya beristighfar kepada Allah dan bertobat kepadaNya dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari No. 6307, At Tirmidzi No. 3259, Ahmad No. 7793,  Ibnu Hibban No. 925, Ad Dailami No. 7024, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 639)

Dalam riwayat lain, dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah,  bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beristighfar dan bertobat kepada Allah Ta’ala sebanyak 100 kali dalam sehari. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 621,  An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 10268,  Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 1286, Ahmad No. 9807, dll)

  1. Perintah untuk mengiringi perbuatan jelek yang mengandung dosa dengan perbuatan baik yang mengandung pahala. Hal itu bertujuan agar perbuatan baik dapat menghapus perbuatan jelek.


Hal ini sesuai dengan ayat:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ


Sesungguhnya kebaikan-kebaikan dapat menghapuskan keburukan-keburukan. (QS. Huud (11): 114)

Yaitu menghapuskan dosa dan bekas dari kejelekan tersebut. Tersebut dalam Tafsir Al Muyassar:

إنَّ فِعْلَ الخيرات يكفِّر الذنوب السالفة ويمحو آثارها


                Sesungguhnya melakukan kebaikan-kebaikan dapat menghilangkan dosa-dosa terdahulu dan menghapuskan bekas-bekasnya. (Tafsir Al Muyassar, 4/91)

                Kebaikan yang dimaksud adalah  banyak macamnya seperti shalat yang lima waktu, dzikir,  shaum,     sedekah, shalat tathawwu’, dan sebagainya. Ada pun dosa yang terhapus adalah  bukan yang termasuk Al Kabaa-ir (dosa-dosa besar). Sebab dosa besar hanya bisa dihilangkan dengan tobat nasuha kepada Allah Ta’ala. (Insya Allah akan dibahas pada bagiannya nanti)

  1. Perintah untuk bergaul dengan manusia secara umum dengan akhlak yang baik. Baik itu dengan muslim atau non muslim. Baik dengan  ahli maksiat atau ahli taat, dengan cara yang tidak sama sesuai kadar maksiat mereka. Untuk bergaul dengan ahli bid’ah dan para pembawa ajaran sesat, ada fiqih tersendiri dalam berinteraksi dengan mereka.


Paduan antara taqwa kepada Allah Ta’ala dan akhlak yang baik, adalah penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam surga.

 

 

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ


 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab:   “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)

Makna Kata dan Kalimat

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بنِ جُنَادَةَ : dari Abu Dzar Jundub bin Junadah

Beliau adalah Jundub bin Junadah bin Sufyan bin  ‘Ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin ‘Abdu Manat bin bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Al Ilyas bin Mudhar. (Usadul Ghabah, Hal. 190)

Para ahli telah berbeda pendapat tentang nama asli Abu Dzar dengan perbedaan yang banyak. Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:

أبو ذر الغفاري. اختلف في اسمه اختلافاً كثيراً، فقيل: جندَب بن جنادة، وهو أَكثر وأَصح ما قيل فيه. وقيل: برير بن عبد الله، وبُرَير بن جنادة، وبريرة بن عِشرِقة، وقيل: جندَب بن عبد الله، وقيل: جندب بن سَكن. والمشهور جُندَب بن جنادة بن قيس بن عمرو بن مليل بن صَعَير بن حَرَامِ بن غِفَار. وقيل: جندَب بن جنادة بن سفيان ابن عبيد بن حَرَام بن غفار بن مليل بن ضَمرة بن بكر بن عبد مناة بن كنانة بن خزيمة بن مدرِكَةَ الغفاري. وأمه رملة بنت الوقيعة. من بني غِفَار أَيضاً


                Abu Dzar Al Ghifari. Banyak perbedaan pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan: Jundub bin Junadah, itulah yang paling banyak dan paling benar dalam hal ini. Ada yang mengatakan: Barir bin Abdullah, Burair bin Junadah, Barirah bin ‘Isyriqah. Ada juga yang mengatakan: Jundab bin Abdullah. Dikatakan pula: Jundub bin Sakan. Yang terkenal adalah Jundab bin Junadah bin Qais bin ‘Amru bin Malil bin Sha’air bin Haram bin Ghifar. Ada yang mengatakan: Jundab bin Junadah bin Sufyan bin ‘ubaid bin Haram bin Ghifar bin Malil bin Dhamrah bin Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah Al Ghifari. Ibunya adalah Ramlah binti Al Waqi’ah, juga dari Bani Ghifar. (Ibid, Hal. 1169)  Ada pula yang menyebutnya Yazid bin Junadah.

Beliau adalah seorang yang tinggi dan besar, jenggotrnya lebat.

Di antara keutamaan Abu Dzar adalah beliau termasuk generasi awal Islam, ada yang menyebutnya sebagai orang keempat, ada juga yang menyebut orang kelima yang masuk Islam. Tentang kisah keislaman Beliau, Imam Al Bukhari telah menceritakannya dalam riwayat yang sangat panjang dalam Shahih Al Bukhari, pada Kitab Al Manaqib Bab Islamu Abi Dzar Al Ghifari Radhiallahu ’Anhu No hadits. 3861. Juga Imam Muslim dalam Shahihnya, pada Kitab Fadhail Ash Shahabah Bab Min Fadhail Abi Dzar  Radhiallahu ‘Anhu No hadits. 2473, 2474.

Ketika beliau masuk Islam, Beliau langsung kembali ke kaumnya untuk mendakwahi mereka seperti yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan. Beliau ikut hijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengiringinya, dan berjihad bersamanya di Badar, Uhud, dan Khandaq. Namun menurut Abu Daud dia tertinggal saat perang Badar.

Imam Adz Dzahabi menceritakan bahwa Abu Dzar seorang pemimpinnya para zahid (orang yang zuhud),  jujur, berilmu dan mengamalkan ilmunya, tidak takut celaan orang yang mencelanya dalam menjalankan ajaran Allah Ta’ala, dan ikut menyaksikan penaklukan Baitul Maqdis pada zaman Umar.

Ali Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

وعى أَبو ذر علماً عجز الناس عنه، ثم أَوكى عليه فلم يخرِج منه شيئاً


            Abu Dzar telah mengumpulkan ilmu yang membuat manusia merasa lemah darinya, kemudian dia mengikatnya lalu dia tidak melepaskannya sedikit pun.  (Ibid, Hal. 1170)

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

أَبُو ذَرٍّ يَمْشِي فِي الْأَرْضِ بِزُهْدِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام




Abu Dzar berjalan di muka bumi dengan kezuhudan Isa bin Maryam ‘Alaihissalam. (Sunan At Tirmidzi No. 3802, Usadul Ghabah, Hal. 190, Jami’ Al Ushul No. 6593)

Yahya bin Aktsam bermimpin dalam tidurnya, bahwa Abu Dzar telah diampuni Allah Ta’ala dan dimasukkan ke dalam surga.

Dia wafat tahun 32 H. As Siraj mengatakan dalam Tarikh-nya, bahwa Abu Dzar wafat setelah usai menunaikan haji, pada hari Jumat, di Ar Rabdzah. Keponakannya menceritakan bahwa saat itu usiannya 83 tahun.  Ibnu Mas’ud termasuk yang menyolatkannya.  

Tentang wafatnya Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu,  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa akan ada seorang di antara sahabat yang wafat sendirian di padang pasir, yang mayatnya akan ditemukan oleh rombongan orang beriman yang lewat. Ternyata Beliau wafat seorang diri di padang pasir, dan ditemukan oleh rombongan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Sehingga Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu menangis melihat kondisi sulit yang dihadapi Abu Dzar, baik hidup dan wafatnya. Ia teringat dengan ucapan Nabi ketika perang Tabuk tentang Abu Dzar:

يرحم الله أبا ذر، يمشي وحده ويموت وحده ويحشر وحده


                Semoga Allah merahmati Abu Dzar, dia berjalan seorang diri, dia akan mati seorang diri, dan dibangkitkan juga seorang diri.

Semoga Allah Ta’ala merahmati Abu Dzar dan memasukannya ke dalam surga firdaus yang tinggi dan mulia. Amiin.

(Selengkapnya lihat Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma, 1/810. Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, hal. 190-191, dan hal.  1169-1170. Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 2/46-78)

Selanjutnya:

وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بِنِ جَبَلٍ : dan Abu Abdurrahman Muadz bin Jabal

Beliau adalah Muadz bin Jabal bin Amru bin Aus bin ‘Aaidz bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Amru bin Adi bin Sa’ad bin Ali bin Saaridah bin Asad bin Tazid bin  Jusyum bin Al Khazraj Al Anshari.

Sebagian ulama menyebutnya sebagai orang Bani Salamah. Ibnu Ishaq mengatakan bahwa dia disandarkan kepada Bani Salamah karena Ibunya bersaudara dengan Sahl bin Muhammad bin Al Jad bin Al Qais. Sahl dan ibunya adalah dari Bani Salamah. Dia paling banyak menghancurkan berhala Bani Salamah. Sementara Al Kalbi mengatakan bahwa Muadz adalah Bani Adi sebagaimana terlihat dari namanya.

Dia digelari Abu Abdirrahman. Dia termasuk 70 orang yang ikut Bai’at ‘Aqabah dari kalangan Anshar. Beliau juga ikut perang Badar pada usia 21 tahun, juga Uhud, dan Khandaq,  semuanya dilakukannya bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia masuk Islam saat usianya 18 tahun. Setelah perang tabuk, beliau diutus oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke Yaman sebagai Qadhi dan pemimpin kaum muslimin di sana. Beliau di sana hingga wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kembali ke Madinah pada masa Khalifah Abu Bakar.

Al Waqidi dan lainnya menyebutkan bahwa Muadz bin Jabal, berperawakan tinggi, rambutnya bagus, matanya lebar, dan giginya putih bersinar, dan belum punya anak. Dia adalah termasuk laki-laki yang paling tampan (min ajmalir rijaal). Ka’ab bin Malik mengatakan, bahwa Muadz adalah pemuda yang tampan dan dermawan.

Namun Abu Umar mengatakan , bahwa telah disebutkan tentang Muadz, Beliau memiliki anak bernama Abdurrahman yang ikut berperang bersamanya  di Yarmuk. Dan, tidak ada perselisihan pendapat bahwa beliau  diberikan nama kun-yah (gelar) dengan sebutan Abu Abdirrahman. Di Madinah, beliau dipersaudarakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Ja’far bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu. Beliau meriwayatkan 157 hadit dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, memiliki banyak keutamaan, baik yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat lainnya.

Di antaranya, dari Abdullah bin Amru Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

خذوا القرآن من أربعة : من ابن مسعود وأبي بن كعب ومعاذ بن جبل وسالم مولى أبي حذيفة


                Ambil-lah Al Quran dari empat orang: dari Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, dan Salim pelayan Abu Hudzaifah. (HR. At Tirmidzi No. 3810, katanya: hasan shahih. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 6242, katanya: shahih. Semisal ini juga diriwayatkan oleh Al Bukhari No. 3758)

                Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ


                Umatku yang paling penyayang terhadap umatku adalah Abu Bakar, yang paling ketat terhadap perintah Allah adalah Umar, yang paling benar rasa malunya adalah ‘Utsman, yang paling tahu halal dan haram adalah Muadz bin Jabal, yang paling tahu faraidh (ilmu waris) adalah Zaid bin Tsabit, dan yang paling bagus bacaannya adalah Ubai, dan setiap umat ada orang kepercayaan, dan kepercayaannya umat ini adalah Abu ‘Ubaidah bin Al Jarrah. (HR. At Tirmidzi No. 3790, katanya: hasan gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 895)

Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhu mengatakan:

كان معاذ بن جبل من أحسن الناس وجها وأحسنه خلقا وأسمحه كفا فأدان دينا كثيرا


                Muadz bin Jabal adalah manusia yang paling bagus wajahnya, paling bagus akhlaknya, dan paling lapang tangannya (dermawan), dia telah memberikan hutang yang banyak.  (Usadul Ghabah, 1/1021)

Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu adalah sosok yang amat dicintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Muadz bercerita, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang tangannya dan berkata:

يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ   


“Wahai Muadz, Demi Allah saya benar-benar mencintaimu, Demi Allah saya benar-benar mencintaimu.” Beliau bersabda: “Saya wasiatkan kepadamu, wahai Muadz, janganlah kamu tinggalkan ucapanmu pada setiap akhir shalat: Allahumma A’inni ‘ala dzikrika wasy syukrika wa husni ‘ibadatik – Ya Allah tolonglah aku dalam berdzikir kepadaMu dan bersyukur kepadaMu, dan  kebaikan ibadah kepadaMu.” (HR. Abu Daud No.  1522, Ahmad No. 22119, Al Bazzar No. 2661,  Ibnu Hibban No. 2020, 2021,  An Nasa’i No. 1303,  Ibnu Khuzaimah No. 751, dll. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Tahqiq Musnad Ahmad No. 22119, dan Syaikh Al Albani dalam   Shahihul Jami’ No. 7969 )

Beliau wafat di Syam ketika mewabah Tha’un, saat itu berusia 34 tahun atau lebih, pada tahun 17 H atau setelahnya. Ada yang menyebut Beliau wafat saat usia 28 tahun, 32 tahun. Said bin Al Musayyib mengatakan 33 atau 34 tahun.

Abdullah bin Qurth mengatakan: saya menyaksikan wafatnya Muadz bin Jabal, saat itu dia berusia seperti Isa ‘Alaihissalam yaitu 33 atau 34 tahun.

                (Selengkapnya lihat Imam Ibnul Atsir, Usadul Ghabah, Hal. 1020- 1022. Imam  Khairuddin Az Zarkili,  Al I’lam, 7/259. Imam An Nawawi, Tahdzibul Asma, No. 582.  Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Ishabah, No. 8043. Darul Jil, Beirut. Imam Adz Dzahabi, As Siyar, 1/443. No. 86. Imam Ibnu Abdil Bar, Al Isti’ab, 1/439-441. Mawqi’ Al Warraq)

Selanjutnya:

رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : semoga Allah meridhai keduanya

Yaitu semoga Allah Ta’ala meridhai Abu Dzar Al Ghifari dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal.

عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Beliau bersabda

 

اتَّقِ اللهَ : bertaqwa-lah kamu

Perintah taqwa amat banyak dalam Al Quran, baik dalam bentuk kata ittaquullah (bertaqwa-lah kepada Allah), atau wa mayyattaqillaha (barang siapa yang bertaqwa kepada Allah), atau kalimat la’allakum tattaqun (agar  kamu bertaqwa) telah tersebar di banyak ayat. Di antaranya:

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, (QS. Al Baqarah (2); 21)

Ayat lain:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa." (QS. Al Baqarah (2): 63)

Ayat lain:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.  (QS. Al Baqarah (2): 179)

Ayat lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al Baqarah (2): 183)

Ayat lain:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al An’am 96): 153)

Ayat lain:

وَإِذْ نَتَقْنَا الْجَبَلَ فَوْقَهُمْ كَأَنَّهُ ظُلَّةٌ وَظَنُّوا أَنَّهُ وَاقِعٌ بِهِمْ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka): "Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al A’raf (7): 171)

Ayat lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al Baqarah (2): 278)

Ayat lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.  (QS. Ali ‘Imran (3); 102)

Ayat lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.  (QS. Al Maidah (5): 35)

Dan masih banyak ayat lainnya.

 

Apakah taqwa itu? Telah banyak definisi yang disampaikan ulama. Di antaranya:

  1. Definisi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, ketika beliau menafsirkan ayat ittaqullaha haqqa tuqaatih (bertaqwa-lah kalian dengan sebenar-benarnya taqwa)


أن يُطاع فلا يُعْصَى، وأن يُذْكَر فلا يُنْسَى، وأن يُشْكَر فلا يُكْفَر


                Yaitu taat dan tidak ingkar, ingat dan tidak lupa, bersyukur dan tidak kufur. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/86-87. Dar Ath Thayyibah. Lihat juga Imam Al Baidhawi, Anwarut Tanzil, 1/373. Mawqi’ At Tafasir)

                Imam Ibnu katsir mengatakan ucapan tersebut shahih mauquf dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. (Ibid)

                Definisi ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan Qatadah. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 1/250. Mawqi’ At Tafasir)

  1. Definisi dari Imam Al Baidhawi Rahimahullah


وهو استفراغ الوسع في القيام بالواجب والاجتناب عن المحارم


                Taqwa adalah mengerahkan potensi dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang diharamkan. (Anwarut Tanzil, 1/373. Tafsir Al Muyassar, 3/361, 4/340, 10/51)

                Sama dengan ini, Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah mengatakan:

اتق الله : بامتثال أمره واجتناب نهيه ، والوقوف عند حده .


                Bertaqwa-lah kepada Allah: dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, dan berhenti pada batasanNya. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 18)

                Berhenti pada batasannya artinya tidak melangggar syariatNya. Definisi yang kedua ini adalah definisi yang paling sering kita dengar.

  1. Imam Abul Hasan Al Mawardi menyampaikan empat kelompok yang mendefinisikan makna taqwa. Pertama, adalah seperti yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud di atas. Lalu tiga kelompok lainnya:


والثاني : هو اتقاء جميع المعاصي ، وهو قول بعض المتصوفين . والثالث : هو أن يعترفواْ بالحق في الأمن والخوف . والرابع : هو أن يُطَاع ، ولا يُتَّقى في ترك طاعته أحدٌ سواه


                Kedua, yaitu menghindari semua maksiat, ini adalah pendapat sebagian ahli tasawwuf. Ketiga,  mengenali kebenaran baik dalam keadaan aman atau takut. Keempat, yaitu mentaati dan tidak takut kepada siapa pun dalam meninggalkan ketaatan kepadaNya kecuali takut kepadaNya.  (Imam Abul Hasan Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 1/250)

 

  1. Definisi lainnya adalah taqwa bermakna takut (Al Khauf). (Lihat Tafsir Al Muyassar, 1/291, 1/401, 2/209, 10/93. Lihat juga Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/716)


 

                Jadi, dari berbagai definisi ini kita simpulkan bahwa taqwa itu sikap menjalankan segala macam ketaatan dan perintah Allah Ta’ala, tidak membangkang, selalu ingat kepadaNya dan tidak lupa, serta menjauhi larangan-laranganNya,  tidak melanggar syariatNya, takut kepada azab dan siksaNya, memegang teguh kebenaran baik dalam keadaan aman dan takut, bersyukur kepada semua nikmat Allah Ta’ala dan tidak mengkufurinya.

 

Nataaij At Taqwa (hasil-hasil dari taqwa)

 

                Perintah taqwa bukanlah perintah kosong tanpa makna dan maksud. Allah ‘Azza wa Jalla telah menggambarkan tentang manfaat dan hasil yang akan diberikanNya bagi para muttaqin baik di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, pengetahuan terhadapnya an nataaij at taqwa adalah hal yang penting untuk memacu diri kita agar menjadi insan yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala.

 

Berikut ini hasil-hasil yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada orang-orang bertaqwa:

 

  1.  Pembeda (Al Furqan)


 

Orang yang bertaqwa kepada Allah, akan Allah Ta’ala berikan kepadanya  Al Furqan, yaitu kemampuan membedakan antara haq dan batil, antara halal dan haram, lalu dia berjalan di atas kemampaunnya itu. Walau  dia bukan tergolong ahlul ilmi (ulama).

 

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ


 

Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan  hapuskan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al Anfal (8): 29)

 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah mengatakan tentang ayat ini:

الفرقان: وهو العلم والهدى الذي يفرق به صاحبه بين الهدى والضلال، والحق والباطل، والحلال والحرام، وأهل السعادة من أهل الشقاوة.


 Al Furqaan: dia adalah ilmu dan petunjuk yang dengannya pemiliknya dapat memisahkan antara petunjuk dan kesesatan, haq dan batil, halal dan haram, orang yang bahagia dan sengsara. (Syaikh Abdurrahman As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir  Kalam Al Manan, Hal. 319. Cet. 1, 2000M-1420H.  Muasasah Ar Risalah)

  1. Dihapuskannya Keburukan dan diampunkan dosa (Takfirus Sayyi’aat wal ghufran)


Ini hasil yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada orang-orang bertaqwa, sesuai ayat di atas:

وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ .


… Dan kami akan  hapuskan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu…  (QS. Al Anfal (8): 29).

Juga ayat lain:

 وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ


 .. dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya .. (QS. Ath Thalaq (65): 5)

  1. Diberikan pahala yang besar (Ajrun ‘Azhim) yaitu surga


Lanjutan dari surat Ath Thalaq ayat 5 di atas adalah;

وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا


                … dan akan diberikan pahala yang besar baginya. (QS. Ath Thalaq (65): 5)

Yaitu balasan di akhirat berupa surgaNya dan abadi di dalamnya.

Al Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari Rahimahullah menjelaskan:

ويجزل له الثواب على عمله ذلك وتقواه، ومن إعظامه له الأجر عليه أن يدُخله جنته، فيخلده فيها.


 

Dia (Allah) melimpahkan baginya pahala atas pebuatannya   dan ketaqwaannya itu, dan di antara besarnya balasan baginya adalah dia dimasukkan ke dalam surgaNya dan Dia kekalkan di dalamnya. (Imam Ibnu Jarir, Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Al Quran, 23/456. Cet. 1, 2000M-1420H.   Muasasah Ar Risalah. Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)

  1. Keberkahan dalam hidup (Al Barakaat)


Allah Ta’ala menyebutkannya dalam ayat:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ


Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A’raf (7): 96)

Imam Al Baidhawi Rahimahullah menjelaskan:

لوسعنا عليهم الخير ويسرناه لهم من كل جانب وقيل المراد المطر والنبات


Benar-benar akan Kami lapangkan kepada mereka kebaikan, dan Kami  berikan kemudahan bagi mereka di segala sisi.  Ada yang menyebutkan maksudnya adalah: hujan dan tumbuh-tumbuhan.  (Imam Al Baidhawi, Anwar At Tanzil, 2/294. Mawqi’ At Tafasir)

  1. Jalan keluar (Al Makhraj)


Allah ta’ala menyebutkannya dalam ayatNya:

 وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا


Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (QS. Ath Thalaq (65): 2)

Banyak tafsir tentang makna “jalan keluar” dalam ayat ini, namun tafsir yang paling luas dan mencakup semuanya adalah apa yang dikatakan oleh  Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma  berikut:

ومن يتق الله يُنجِه من كل كرب في الدنيا والآخرة


Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, Dia akan menyelamatkannya dari segala beban di dunia dan akhirat. (Imam Ibnul Jauzi, Zaadul Masiir, 6/40. Mawqi’ At Tafasir. Imam Al Mawardi, An Nukat wal ‘Uyun, 4/286. Mawqi’ At Tafasir)

 Juga ada penjelasan dari Imam Abu Hasan An Naisaburi Rahimahullah yang cukup bagus:

من الشدَّة إلى الرَّخاء ، ومن الحرام إلى الحلال ، ومن النَّار إلى الجنَّة ، يعني : من صبر على الضِّيق ، واتَّقى الحرام جعل الله له مخرجاً من الضِّيق .


(jalan keluar) dari kesukaran menuju kelapangan, dari haram menuju halal, dari neraka menuju surga, yakni bagi orang yang bersabar atas himpitan hidup, dan dia menjauh dari hal yang haram, maka Allah akan jadikan untuknya jalan keluar dari kesempitannya itu. (Imam An Naisaburi, Al Wajiiz fi Tafsir Al Kitab Al ‘Aziz, Hal. 1013. Mawqi’ At Tafasir)

 

  1. Rezeki (Ar Rizqu)


Ayat lanjutan dari ayat di atas adalah:

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ


                Dan memberikannya rezeki dari arah yang tidak disangka olehnya …. (QS. Ath Thalaq (65): 3)

Secara khusus, sebenarnya ayat-ayat ini menceritakan tentang perceraian dan rujuknya suami-isteri, sebagai bimbingan kepada mereka bagaimana cerai yang sesuai sunnah, seperti cerai ketika suci sebelum digauli, cerai ketika hamil, dan hendaknya disaksikan dua saksi yang adil. Cerai ketika haid adalah cerai terlarang, bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai cerai bid’ah.

Oleh karena itu, terkait dengan masalah perceraian,   sebagian ulama memaknai “rezeki” dalam ayat ini adalah wanita lain yang akan diperistri lagi, jika dia menjalankan perceraian dengan isterinya dengan cara yang baik.

Imam Abu Hayyan Rahimahullah menyebutkan dalam Al Bahr:

وقال الضحاك : من حيث لا يحتسب امرأة أخرى


                Berkata Adh Dhahak: (rezeki) dari arah yang dia tidak sangka, yaitu wanita lainnya. (Imam Abu Hayyan, Al Bahr Al Muhith, 10/298. Mawqi’ At Tafasir)

                Tentunya dalam konteks yang lebih luas dan makna yang lebih umum, makna rezeki tidak terbatas seperti itu. Wallahu A’lam

 

  1. Kemudahan (Al Yusru)


Allah Ta’ala menyebutkan dalam ayatNya:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا


Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. Ath Thalaq (65): 4)

Yaitu Allah Ta’ala alan mudahkan baginya untuk kembali rujuk kepada isterinya.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:

أي : من يتقه في امتثال أوامره ، واجتناب نواهيه يسهل عليه أمره في الدنيا والآخرة . وقال الضحاك : من يتق الله ، فليطلق للسنة يجعل له من أمره يسراً في الرجعة . وقال مقاتل : من يتق الله في اجتناب معاصيه يجعل له من أمره يسراً في توفيقه للطاعة


 

Yaitu: barangsiapa yang bertaqwa kepadaNya dalam menjalan perintahNya dan menjauhi laranganNya, akan dimudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Adh Dhahak berkata: barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka hendaknya dia  bercerai sesuai sunah,  itu akan menjadikan urusan rujuknya menjadi mudah. Sedangkan Muqatil mengatakan: barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dalam menjauhi maksiat kepadaNya, akan dijadikan mudah urusan  baginya untuk membimbingnya kepada ketaatan.  (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 7/241-242. Mawqi’ At Tafasir)

Demikianlah hasil-hasilk yang akan Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada hamba-hambaNya yang bertaqwa. Wallahu A’lam

bersambung ………… (Insya Allah)

Senin, 27 Agustus 2012

Berkata Syaikh Abul Hasan Hafidzahullah:
وشرعية الجمعيات أو المؤسسات أو الهيئات الخيرية، أمر لا يُنكره أحد، ما دامت هذه الجمعيات تعمل لنصرة الحق ودعمه وتأييده، بشرط أن يَسلم أهلها من التحزب المقيت، ومن فتنة المال، الأمر الذي يسيء للدعوة في كل مكان، وأما إذا كانت هذه الأعمال الخيرية شعاراً فقط، ومن ورائها مقالات مخالفة، ورمي لبعض العلماء بالإرجاء أو التجهم أو الجهل بواقع الأمة وجرّ المسلمين إلى الفتنة مع حكامهم، وتبدأ الفتنة بالتكفير، وتنتهي بالاغتيال والاستحلال والتفجير، أو اتخاذ بيعات تفرق صفوف المسلمين، فهذا ونحوه ليس من عمل الهيئات الخيرية، وليس لمثل ذلك مَدَّ المحسنون وأهل الخير أيديهم لهذه الجمعيات، والمسألة ليست مسألة شعارات، فإن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم لما سمع من قال: يالَلْمهاجرين، وقال آخر: يالَلأنصار فقال:"أبدعوى الجاهلية وأنا بين أظهركم، دعوها فإنها منتنة" مع أن الغلامين رفعا شعار المهاجرين والأنصار، ولا شك في فضلهما، فليراجع امرؤ نفسه، وليتق الله ربه (يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ ) [الطارق:9].



"Dan disyari’atkannya perkumpulan-perkumpulan, yayasan-yayasan, atau organisasi-organisasi sosial merupakan perkara yang tidak seorang pun mengingkarinya selama perkumpulan-perkumpulan ini berusaha untuk membela, menolong, dan menguatkan kebenaran. Yaitu dengan syarat, anggotanya selamat dari sifat tahazzub yang tercela dan fitnah harta – suatu perkara yang menjelekkan dakwah di setiap tempat. Adapun jika amal-amal kebaikan ini hanya sekedar syi’ar semata, dan di balik itu terdapat perkataan-perkataan yang menyelisihi (kebenaran); menuduh sebagian ulama berpemahaman irjaa’, Jahmiyyah, atau bodoh terdapat realitas umat; menyeret kaum muslimin kepada fitnah terhadap penguasa mereka; memulai fitnah dengan takfir dan mengakhirinya dengan pembunuhan, penghalalan (darah), dan peledakan/pemboman; atau mengambil baiat-baiat yang mencerai-beraikan persatuan kaum muslimin; maka hal ini dan yang semisalnya bukanlah pekerjaan organisasi-organisasi sosial. Dan tidak selayaknya para muhsinin mengulurkan bantuannya kepada yayasan-yayasan semacam ini. Permasalahannya bukanlah sekedar permasalahan syi’ar semata, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar orang yang mengatakan : ‘Wahai orang-orang Muhaajiriin’, dan yang lain berkata : ‘Wahai orang-orang Anshaar’, beliau bersabda : ‘Apakah dengan seruan-seruan Jaahiliyyah (kalian menyeru), sedangkan aku masih ada di tengah kalian. Tinggalkanlah ia, karena busuk baunya’. Padahal dua orang anak tadi mengangkat syi’ar orang-orang Muhaajirin dan Anshaar yang tidak diragukan lagi tentang keutamaannya[1]. Hendaklah seseorang kembali melihat perkara dirinya sendiri, dan takut kepada Rabbnya : ‘Pada hari dinampakkan segala rahasia’ (QS. Ath-Thaariq : 9)”.

[selesai – dinukil oleh Abul-Jauzaa’ dari buku As-Siraajul-Wahhaaj karya Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, yang telah mendapat rekomendasi dari Asy-Syaikh Ibnu Baaz, Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Alusy-Syaikh, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin, Asy-Syaikh Ibnu Jibriin, Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy, Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy, dan Asy-Syaikh Usaamah Al-Quusiy].[2]

Penjelasan singkat di atas sangat jelas. Adapun sikap sebagian ikhwah yang menuduh orang yang tergabung dalam satu organisasi, yayasan, atau perkumpulan sebagai hizbiy karena fanatik dengan fatwa ulama tertentu, maka ini bukan sikap bijaksana. Organisasi, yayasan, atau perkumpulan dilarang oleh syari’at bukanlah karena semata-mata dzatnya, akan tetapi muqayyad terhadap sifat-sifat yang ada di dalamnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.








[1]      Lantas bagaimana dengan orang-orang yang mengangkat syi’ar-syi’ar fanatisme golongan yang tentu saja tidak akan menyamai keutamaan Muhaajiriin dan Anshaar (apalagi melebihinya) ?

[2]      Adapun kritikan bahwa rekomendasi yang ditampilkan di muqaddimah kitab As-Siraajul-Wahhaaj adalah tidak benar, maka inilah yang tidak benar. Asy-Syaikh Abul-Hasan menulis satu risalah tersendiri yang berjudul :

قطع اللجاج بالرد على من طعن في السراج الوهاج

Silakan diunduh di : http://sulaymani.net/fails/rdood/lgag.doc.

Kamis, 23 Agustus 2012

ISLAM MEMPERHATIKAN HAK-HAK ORANG-ORANG YANG LEMAH



Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya telah menciptakan manusia berbeda-beda status sosialnya. Ada yang menjadi pemimpin dan ada yang dipimpin.

Ada yang ditakdirkan kaya, ada pula yang miskin. Bahkan ada yang menjadi budak sahaya dan ada yang merdeka. Semuanya dijadikan sebagai ujian bagi hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabb kalian Maha Melihat.” (Al-Furqan: 20)

Juga firman-Nya:

نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)

Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan orang lain. Orang kaya tidak akan terpenuhi kebutuhannya dengan baik tanpa bantuan orang miskin. Pemerintah tidak akan bisa mewujudkan berbagai program secara sempurna bila tidak mendapat dukungan dari rakyat. Oleh karenanya, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara pemerintah dengan rakyatnya, sudah semestinya dikubur. Dengan ini akan terwujud kehidupan yang dinamis, di mana masing-masing tahu peranannya agar tercapai kemaslahatan bersama.

Kemuliaan dengan Ketakwaan

Bila kita mau melihat masyarakat yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para sahabat, maka kita dapatkan mereka berasal dari negeri yang berbeda-beda dan status sosial yang tidak sama. Ada yang dari Persia, Romawi, Habasyah, dan orang-orang Arab. Ada yang dari keluarga terpandang seperti dari kabilah Quraisy, ada pula yang dari budak sahaya. Ada yang kaya-raya seperti ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, ada pula yang miskin seperti Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Keanekaragaman tidak menjadi soal manakala prinsip dalam beragama itu sama. Mereka berbaur satu sama lain untuk bersama-sama memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kecintaan mereka terhadap saudara-saudaranya yang seiman melebihi kecintaan mereka terhadap karib kerabatnya yang tidak beriman. Bahkan mereka berlepas diri dan menyatakan kebencian kepada keluarganya yang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kalian.” (Al-Hujurat: 13)

Timbangan kemuliaan di sisi Allah, Dzat Yang Mencipta, Mengatur alam semesta dan Yang berhak diibadahi adalah ketakwaan. Maka, barangsiapa yang bertakwa dengan mengerjakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dialah yang mulia meskipun menurut pandangan sebagian manusia dia adalah orang yang rendah.

Tatkala sahabat Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu mencela seseorang karena ibunya bukan berasal dari bangsa Arab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dengan mengatakan:

إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ

“Sesungguhnya engkau adalah seorang yang pada dirimu masih tersisa perangai jahiliah.” (HR. Al-Bukhari no. 6050)

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu sadar akan kesalahannya, sehingga setelah itu dia sangat menjaga sampai-sampai dia dan budaknya memakai pakaian yang sama. Orang yang tidak tahu tidak akan bisa membedakan mana tuannya dan mana budaknya.

Ketakwaan telah mengangkat sahabat Bilal radhiyallahu ‘anhu yang dahulunya budak sahaya sehingga menjadi salah satu muadzin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan tatkala kota Makkah ditaklukkan pada tahun ke-8 hijriyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk naik ke atas Ka’bah mengumandangkan adzan. Suatu hal yang mencengangkan para pembesar Quraisy kala itu. (Zadul Ma’ad, 3/361)

Jangan Menzalimi Orang yang Lemah

Kezaliman dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun adalah kejahatan yang pelakunya berhak mendapat hukuman di dunia ini sebelum di akhirat kelak. Sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُهُ لَهُ فِي الْأَخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ

Tiada suatu dosa yang lebih pantas Allah Subhanahu wa Ta’ala segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, di samping azab yang Allah sediakan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan memutuskan hubungan silaturahim.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 5704)

Berbuat zalim kepada siapapun akan membawa petaka yang tiada hentinya. Terlebih bila yang dizalimi adalah orang-orang lemah, seperti wanita, anak-anak, budak sahaya, orang-orang miskin, rakyat jelata, dan semisalnya. Ketidakberdayaan mereka tidak bisa dianggap remeh, karena Islam telah menjamin hak mereka. Jangan sampai ada orang yang berpikir ingin menzalimi mereka. Karena Allah Dzat yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan tak terkalahkan, akan membalaskan bagi mereka dan membinasakan orang-orang yang berbuat aniaya. Kalau begitu, siapa gerangan yang mampu melawan Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Tiada seorang pun, meskipun dia orang yang kuat dan banyak tentaranya.

Lihatlah kesudahan Fir’aun dan bala tentaranya yang menzalimi Bani Israil dengan membunuh anak-anak yang tidak berdosa, memberlakukan kerja paksa dan setumpuk kezaliman lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tenggelamkan Fir’aun dan tentaranya di lautan. Mana kerajaan yang penuh kemewahan?! Mana bala tentara yang banyak dan berlapis-lapis?! Semuanya sirna dan binasa. Semuanya kecil di hadapan Allah Dzat yang Maha Adil dan Maha Kaya lagi Maha Perkasa. Adakah kiranya orang yang mau mengambil pelajaran darinya?!

Beberapa Sifat Orang Lemah

1. Orang-orang lemah pada umumnya lebih mau menerima kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ketimbang orang yang kaya, kuat, dan berkuasa. Coba perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya’.” (Saba’:34)

2. Orang yang lemah, karena keikhlasan dan doa mereka, maka pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala datang. Demikian pula rezeki dari-Nya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونِ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ

“Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezeki kecuali dengan sebab orang yang lemah di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari)

Oleh karena itu, orang-orang lemah dari kaum mukminin adalah sumber kebaikan bagi umat. Meski lemah fisik dan hartanya, namun mereka adalah orang yang kuat keimanan dan kepercayaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu, bila mereka berdoa dengan tulus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka akan dikabulkan permintaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberi rezeki kepada umat dengan sebab mereka. (lihat Bahjatun Nazhirin, 1/355)

3. Orang lemah dari kaum muslimin adalah mayoritas penghuni surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينَ

“Aku berdiri di pintu surga, ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin.” (Muttafaqun ‘alaih)

Orang Lemah yang harus Diperhatikan Haknya

Di antara orang-orang lemah yang harus diperhatikan haknya adalah sebagai berikut:

1. Anak yatim

Yaitu anak yang ditinggal mati oleh ayahnya dan dia belum baligh. Di saat seorang anak sangat membutuhkan belaian kasih sayang orangtuanya, ternyata ia harus mengalami kenyataan yang pahit, bapaknya meninggalkannya untuk selamanya. Maka siapa saja yang siap menggantikan orangtuanya dengan memberikan belaian kasih sayang dan nafkah yang dibutuhkan, maka dia akan masuk surga, dekat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ

“Saya dengan orang yang mengurusi anak yatim di surga seperti keduanya ini.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya dan jari tengahnya dengan merenggangkan di antara keduanya. (HR. Al-Bukhari)

Demikian balasan mulia bagi orang yang menyantuni anak yatim. Namun sebaliknya, orang yang tidak menyayangi anak yatim dan menelantarkannya, atau bahkan memakan harta anak yatim, dia diancam dengan azab yang pedih.

2 & 3. Janda dan orang miskin

Wanita yang ditinggal mati suaminya pada umumnya sangat membutuhkan uluran tangan. Bagaimana tidak? Kini orang yang biasa mencarikan nafkah untuknya telah tiada. Beban kehidupan semakin bertambah. Hal seperti ini tentunya mengetuk hati orang yang mempunyai kelebihan rezeki untuk menyisihkan sebagian harta untuknya. Demikian pula orang miskin yang tidak mempunyai sesuatu untuk mencukupi kebutuhan dirinya beserta anak dan istrinya. Orang miskin terkadang mempunyai pekerjaan dan penghasilan, namun hasilnya belum bisa mencukupi kebutuhan pokoknya. Suatu kondisi yang juga memprihatinkan, yang membutuhkan pemecahan sesegera mungkin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْـمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللهِ

“Orang yang bekerja untuk (mencukupi) para janda dan orang miskin seperti seseorang yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Untuk meraih predikat “mujahid” (pejuang) di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak selalu dengan berperang di medan laga. Bahkan celah yang ada di tengah umat ini manakala seorang berusaha untuk menutupnya, tentunya itu merupakan sebuah perjuangan yang tidak ringan. Bila kita membiarkan para janda merana dan orang miskin terlunta, bukan tidak mungkin mereka akan dimurtadkan dari agama ini.

4. Anak

Anak merupakan buah hati seorang dan penerus generasi di masa mendatang. Kiranya suatu kezaliman besar manakala seseorang tidak memenuhi hak mereka. Hak anak tidak hanya pada pemberian nafkah berupa makanan, pakaian, dan semisalnya. Bahkan ada hak yang seringkali diabaikan, yaitu hak pendidikan agama yang memadai. Tunaikanlah hak-hak anak. Berilah mereka kasih sayang yang cukup dan berlaku adillah kepada mereka. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ada seorang sahabat memberikan suatu pemberian kepada seorang anaknya namun anak yang lain tidak diberi, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah dan mengatakan:

اتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ

Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anak kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

5. Kaum wanita

Ketika haji wada’ yang dihadiri oleh puluhan ribu manusia dari berbagai daerah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pesan terakhir sebelum wafatnya. Di antara pesan-pesan tersebut adalah keharusan untuk berbuat baik kepada kaum wanita. Para wanita dalam Islam memiliki posisi penting yang tidak bisa diabaikan. Mereka membantu laki-laki dalam tercapainya kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Maka, sudah barang tentu kita harus memberikan hak mereka tanpa menguranginya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ

Ya Allah, aku menimpakan dosa terhadap orang yang menyia-nyiakan hak dua orang yang lemah, yaitu anak yatim dan wanita.” (An-Nawawi dalam kitabnya Riyadush Shalihin no. 275: “Diriwayatkan oleh An-Nasa’i t dengan isnad yang bagus.”)

Orang yang terbaik adalah yang terbaik terhadap istrinya dan orang yang jelek adalah yang berbuat jelek terhadap para wanita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mempergauli wanita dengan baik sebagaimana firman-Nya:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan pergaulilah mereka dengan baik.” (An-Nisa’: 19)

6. Rakyat jelata

Merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan hak-hak rakyat, dengan menebarkan perasaan aman dan nyaman, menjunjung tinggi keadilan, serta menindak orang-orang yang jahat. Kekuasaan merupakan amanah untuk mewujudkan kemaslahatan dalam perkara agama dan dunia. Sehingga manakala pemerintah menyia-nyiakan hak rakyatnya dan tidak peduli terhadap tugasnya, maka kesengsaraan dan azab telah menunggu mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Tiada seorang hamba yang diserahkan kepadanya kepemimpinan terhadap rakyat lalu dia mati di hari kematiannya dalam keadaan berkhianat kepada rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Keadilan akan terwujud dengan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta meneladani kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya g. Dengan keadilan akan tegak urusan manusia dan akan tersebar di tengah-tengah mereka ruh kecintaan terhadap sesama.

secara penuh tanpa terzalimi sedikitpun. Tinta sejarah telah mencatat keberhasilan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya g dalam memimpin manusia.

Salah satu contoh kepemimpinan ideal adalah apa yang disebutkan oleh Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pada pidato politiknya yang singkat saat dibai’at sebagai khalifah:

Wahai manusia, aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian padahal aku bukan orang yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, bila kebijakanku nanti baik maka dukunglah aku. Namun jika melenceng maka tegur dan luruskan aku.

Kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah (terzalimi) dari kalian di sisiku (yakni di mata pemerintah) adalah orang yang kuat sampai aku berikan haknya, insya Allah. Orang yang kuat (tapi zalim) di sisiku adalah orang yang lemah sehingga aku mengambil darinya hak orang yang terzalimi, insya Allah. Tiada suatu kaum yang meninggalkan jihad fi sabilillah melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Tidaklah kekejian menyebar pada suatu kaum kecuali Allah k akan meratakan azab atas mereka. Taatilah aku selagi aku (kebijakanku) menaati Allah k dan Rasul-Nya. Namun bila aku menyelisihi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya maka kalian tidak wajib taat kepadaku (dalam kemaksiatan itu).” (Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun wad Daulah Al-Umawiyyah, hal. 13)

Demikianlah prinsip keadilan yang dijunjung tinggi oleh Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Tentunya hal itu bukan sekadar retorika namun benar-benar diwujudkan dengan usaha nyata.

Demikian di antara hak-hak yang harus dijalankan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjuki masing-masing kita untuk mampu menjalankan hak-hak tersebut. Sehingga perasaan aman dan nyaman serta ruh kecintaan benar-benar menebar dalam kehidupan ini. Wallahu a’lam.

 
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُوْنَ

Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah oleh kalian sesungguhnya kamipun menunggu (pula)’.” (Al-An’am: 158)

Penjelasan Makna Ayat

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata:

“Pada hari datangnya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Rabbmu, yang merupakan kejadian yang luar biasa, yang dengannya diketahui bahwa kehancuran telah demikian dekat, dan kiamat tidak lama lagi. Maka tidak bermanfaat keimanan dari satu jiwa yang sebelumnya tidak beriman atau yang belum membuahkan kebaikan dalam keimanannya, yakni apabila telah dijumpai sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak bermanfaat keimanan seorang yang kafir apabila dia hendak beriman. Tidak pula bermanfaat bagi seorang mukmin yang kurang beramal untuk semakin bertambah keimanannya setelah itu. Namun yang bermanfaat bagi dia adalah keimanan yang dia miliki sebelum itu serta kebaikan yang dia miliki yang diharapkan (bermanfaat) sebelum datangnya sebagian dari tanda-tanda tersebut. Dan hikmah dari semua itu jelas, di mana keimanan yang mendatangkan manfaat adalah keimanan terhadap perkara yang ghaib, dan merupakan pilihan dari seorang hamba (untuk beriman). Adapun bila tanda-tanda kekuasaan tersebut telah nampak, maka telah menjadi perkara yang disaksikan (bukan ghaib), sehingga keimanan tidak lagi berfaedah. Sebab, hal tersebut menyerupai keimanan yang terpaksa. Seperti keimanan orang yang tenggelam, yang terbakar, dan orang-orang semisalnya yang apabila telah melihat kematian, dia pun berusaha melepaskan apa yang dahulu dia yakini. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِيْنَ. فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيْمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّةَ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُوْنَ

“Maka tatkala mereka melihat adzab Kami, mereka berkata: ‘Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku atas hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu, binasalah orang-orang kafir.” (Ghafir: 84-85)

Dan banyak hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan bahwa yang dimaksud dengan sebagian dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah terbitnya matahari dari tempat terbenamnya. Dan di saat manusia melihatnya, maka mereka pun beriman. Namun keimanan mereka tidaklah bermanfaat dan telah tertutup pintu taubat atas mereka. Tatkala ini merupakan janji yang dinanti terhadap orang-orang yang mendustakan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka beserta para pengikutnya menantikan kehancuran dan musibah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan: ‘Katakanlah: tunggulah (munculnya salah satu dari tanda tersebut), sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang menunggunya,’ sehingga kalian akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih berhak mendapatkan keselamatan.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)

Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Para ulama berkata: ‘Tidak bermanfaatnya keimanan seseorang di kala terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, karena telah masuk ke dalam hati mereka perasaan takut yang melenyapkan setiap syahwat hawa nafsunya dan melemahkan setiap kekuatan dari kekuatan tubuhnya. Sehingga, manusia seluruhnya beriman karena mereka yakin akan dekatnya hari kiamat. Seperti keadaan orang yang mendekati kematian, yang memutuskannya dari berbagai dorongan melakukan perbuatan maksiat serta melemahkan tubuh-tubuh mereka. Barangsiapa bertaubat dalam keadaan seperti ini tidaklah diterima taubatnya, seperti tidak diterimanya taubat orang yang mendekati kematian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai ke tenggorokan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 1903)

Yaitu, selama ruhnya belum sampai ke ujung tenggorokan. Waktu itu merupakan saat di mana seseorang melihat secara langsung tempatnya di dalam surga atau neraka. Maka orang yang menyaksikan terbitnya matahari dari tempat terbenamnya juga seperti itu (keadaannya). Oleh karenanya, sepantasnyalah setiap orang yang telah menyaksikan peristiwa tersebut atau yang memiliki hukum yang sama dengan yang menyaksikannya, taubatnya tertolak selama hidupnya. Sebab ilmunya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta janji-janji-Nya telah menjadi sesuatu yang terpaksa.” (Tafsir Al-Qurthubi)

Ibnu Katsir rahimahullahu juga mengatakan: “Jika seorang kafir menampakkan keimanannya pada saat itu, maka tidak diterima darinya. Adapun bila dia seorang mukmin sebelum hari itu, jika dia baik dalam beramal, maka dia dalam kebaikan yang besar. Namun jika dia mengotori (imannya), lalu dia bertaubat saat itu, maka tidak diterima taubatnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Tertutupnya Pintu Taubat

Ayat yang mulia ini menjelaskan tentang akan munculnya suatu waktu di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lagi menerima taubat orang-orang yang hendak bertaubat di masa itu. Yaitu di kala terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, yang menandakan akan berakhirnya zaman dan bangkitnya hari kiamat. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan tentang penafsiran sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa yang dimaksud adalah tanda-tanda hari kiamat yang besar tersebut, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ إِذَا خَرَجْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا؛ طُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَالدَّجَّالُ، وَدَابَّةُ اْلأَرْضِ

“Ada tiga perkara yang jika telah muncul maka tidak bermanfaat keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum munculnya atau dalam keimanannya tidak membuahkan kebaikan; Terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, (munculnya) Dajjal, dan (keluarnya) daabbah (binatang melata yang berdialog dengan manusia dan memberitakan kepada mereka akan dekatnya hari kiamat).” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Az-Zaman Al-Ladzi la Yuqbalu fihi Al-Iman, 1/158)

Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا، فَإِذَا طَلَعَتْ وَرَآهَا النَّاسُ آمَنَ مَنْ عَلَيْهَا فَذَاكَ حِيْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا

“Tidak tegak hari kiamat hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya. Apabila telah terbit demikian, dan manusia telah melihatnya maka merekapun beriman. Dan itu merupakan hari yang tidak bermanfaat keimanan bagi satu jiwa, yang dia tidak beriman sebelumnya atau tidak menghasilkan kebaikan pada keimanannya.” (HR. Al-Bukhari no. 4359 dan Muslim, 1/157)

Diriwayatkan juga dari Shafwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan:

أَنَّ اللهَ جَعَلَ بِالْمَغْرِبِ بَابًا عَرْضُهُ مَسِيْرَةُ سَبْعِيْنَ عَامًا لِلتَّوْبَةِ، لاَ يُغْلَقُ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ مِنْ قِبَلِهِ وَذَلِكَ قَوْلُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: {يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا} اْلآيَةَ

“Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat sebuah pintu taubat di sebelah barat yang luasnya sejarak perjalanan 70 tahun, yang tidak akan ditutup selama matahari belum terbit dari tempat tersebut. Dan itulah maksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا

‘Tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman…’.”(HR. At-Tirmidzi no. 3536, dan beliau menshahihkannya serta dihasankan Al-Albani rahimahullahu)

Al-Imam Muslim rahimahullahu juga meriwayatkan dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia berkata: ‘Aku telah mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu hadits yang tidak aku lupakan. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya tanda hari kiamat yang paling pertama keluar adalah terbitnya matahari dari tempat terbenamnya’.”

Juga diriwayatkan dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada suatu hari: “Tahukah kalian ke mana perginya matahari ini?” Mereka (para sahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau mengatakan: “Sesungguhnya dia pergi ke tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu dia merendahkan diri sambil sujud. Senantiasa dia dalam keadaan demikian hingga dikatakan kepadanya: ‘Terbitlah dari tempat yang engkau kehendaki.’ Dia pun terbit dari tempat biasanya terbit. Lalu dia terus berjalan, dalam keadaan manusia tidak terkejut sedikit pun akan hal itu. Sampai dia kembali berhenti lalu merendahkan diri sambil sujud di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy. Dan manusia tidak terkejut sedikit pun dari hal itu. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Terbitlah dari tempat terbenammu!’ Lalu terbitlah dia dari tempat terbenamnya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian hari apa itu?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau menjawab: “Itu adalah hari yang tidak bermanfaat keimanan bagi satu jiwa yang tidak beriman sebelumnya atau keimanan yang padanya tidak menghasilkan kebaikan.” (HR. Muslim, 1/159)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Ini merupakan riwayat-riwayat yang saling menguatkan yang sepakat menunjukkan bahwa jika matahari terbit dari tempat terbenamnya, tertutuplah pintu taubat dan tidak terbuka lagi. Dan hal tersebut tidak dikhususkan pada saat hari terbitnya (dari tempat terbenamnya saja), namun terus berlanjut hingga hari kiamat.” (Fathul Bari, 11/354)

Pengingkaran Ahlul Bid’ah tentang Kejadian Ini

Seluruh riwayat ini menunjukkan bahwa kejadian ini pasti akan terjadi di akhir zaman. Dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali dari kalangan ahlul bid’ah, seperti Khawarij dan Mu’tazilah.

Al-Qurthubi rahimahullahu berkata dalam Tafsir-nya setelah beliau menyebutkan hadits-hadits tentang tanda-tanda hari kiamat tersebut: “Ini semua telah didustakan oleh kaum Khawarij dan Mu’tazilah.” Lalu beliau menyebut atsar ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya rajam itu benar, maka janganlah kalian tertipu. Dan hujjah yang menunjukkan hal tersebut bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegakkan rajam, dan Abu Bakr pun telah merajam, dan sesungguhnya kami pun telah melaksanakan rajam setelah mereka berdua. Dan akan muncul satu kaum dari kalangan umat ini yang akan mendustakan rajam, mendustakan Dajjal, mendustakan terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, mendustakan adanya siksa kubur, mendustakan syafaat, mendustakan kaum yang keluar dari neraka setelah mereka hangus terbakar.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 7/13364, Ahmad, 1/23. Namun dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama ‘Ali bin Zaid bin Jud’an, dia lemah karena hafalannya yang buruk)

Ibnu Abdil Barr rahimahullahu juga berkata dalam kitabnya At-Tamhid (23/98) setelah menyebutkan atsar ini: “Seluruh Khawarij dan Mu’tazilah mendustakan enam perkara ini. Sedangkan Ahlus Sunnah membenarkannya dan merekalah al-jamaah serta hujjah membantah orang-orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah.”

Pengingkaran Rasyid Ridha tentang Sujudnya Matahari di Bawah ‘Arsy

Di antara orang-orang yang mengingkari perkara ini adalah Muhammad Rasyid Ridha. Dalam tafsirnya Al-Manar dia berkata setelah menyebutkan hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tentang sujudnya matahari di bawah ‘Arsy: “Hadits ini diriwayatkan oleh dua Syaikh (Al-Bukhari dan Muslim) dari berbagai jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik, dari Abu Dzar. Dan dia –walaupun di-tsiqah-kan oleh segolongan orang– adalah mudallis. Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: ‘Dia tidak bertemu Abu Dzar.’ Seperti yang dikatakan Ad-Daruquthni rahimahullahu: ‘Dia tidak mendengar dari Hafshah dan Aisyah, dan tidak menjumpai zaman keduanya.’ Dan seperti yang disebutkan oleh Ibnul Madini rahimahullahu: ‘Dia tidak mendengar dari ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Hal itu disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib. Dan telah diriwayatkan selain riwayat ini dari para sahabat dengan cara ‘an’anah1, sehingga ada kemungkinan yang memberitakan kepadanya dari mereka adalah orang yang tidak terpercaya. Maka, jika pada sebagian riwayat Shahihain dan kitab-kitab Sunan berpenyakit seperti ini, ditambah lagi ada kemungkinan dimasuki kisah Israiliyat dan kekeliruan penukilan secara makna, lalu bagaimana lagi dengan riwayat-riwayat yang ditinggalkan oleh dua Syaikh (Al-Bukhari dan Muslim) dan yang ditinggalkan oleh periwayat kitab-kitab Sunan?”

Inilah perkataannya. (Tafsir Al-Manar, 8/211-212. Lihat kitab Asyrath As-Sa’ah, karya Yusuf bin Abdillah Al-Wabil hal. 394)

Dan ini merupakan perkataan yang batil, yang dijadikan senjata oleh ahlul bid’ah untuk menolak hadits-hadits yang shahih yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menolak apa yang telah menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Adapun jawaban terhadap syubhat Rasyid Ridha adalah sebagai berikut:

Pertama: dalam hadits tersebut tidak terdapat riwayat Ibrahim bin Yazid At-Taimi dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Namun yang benar adalah riwayat Ibrahim bin Yazid At-Taimi dari ayahnya dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Dan ayahnya bernama Yazid bin Syarik At-Taimi Al-Kufi. Beliau meriwayatkan hadits secara langsung dari para shahabat, di antaranya: ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Ibnu Mas’ud dan yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Beliau adalah seorang perawi yang tsiqah.

Kedua: dalam riwayat tersebut, Ibrahim bin Yazid telah menyebutkan secara jelas bahwa beliau mendengarkan hadits secara langsung dari ayahnya tanpa perantara. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim, dia mengatakan: “Dari Ibrahim bin Yazid At-Taimi bahwa dia mendengar –sebagaimana yang aku ketahui– dari ayahnya, dari Abu Dzar.” Maka hilanglah persangkaan tuduhan tadlis dalam riwayat tersebut.

Oleh karena itu, para ulama Ahlus Sunnah terus menerima hadits ini tanpa ada penolakan dari mereka. Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullahu berkata ketika menjelaskan hadits Abu Dzar tersebut: “Pada perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Tempat menetapnya di bawah Arsy’, kita tidak mengingkari bahwa matahari memiliki tempat menetap di bawah ‘Arsy, dari sisi yang kita tidak mampu menjangkaunya, tidak bisa kita saksikan. Dan sesungguhnya bila kita dikabarkan tentang perkara ghaib, maka kita tidak mendustakannya dan tidak menanyakan bagaimana, sebab ilmu kita tidak mampu menjangkaunya.”

An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Adapun tentang sujudnya matahari, itu adalah sebuah jangkauan ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah ciptakan padanya.” (lihat Asyrath As-Sa’ah, karya Yusuf Al-Wabil hal. 385)

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita sekalian dari penyimpangan yang menyesatkan. Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Maksudnya adalah periwayatan dengan lafadz ‘an, yang berarti dari. Yakni dia tidak menjelaskan apakah dia mendengar langsung dari gurunya atau tidak.

Artikel Terbaru

Popular Posts