Jumat, 03 Agustus 2012

Sementara  (sebagian) intelektual memandang bahwa terserapnya filsafat Yunani ke dalam khazanah ilmiah Islam merupakan babak aufklarung (zaman pencerahan di Eropa dari dominasi gereja dan kemandekan berpikir) dalam pemikiran Islam. Namun, ternyata akibat yang ditimbulkan tidak secerah namanya, malah sebaliknya, umat terjerat ke dalam jaring-jaring filsafat yang merusak. Lahirlah kelompok rasionalis yang mengharubiru pemikiran mereka. Berikut (ini) nukilan seputar masalah tersebut yang diambil dari kitab Muaqif Ahlu Sunnah min al-Manahij al-Mukhalifah Lahum, karya Syaikh Utsman Ali Hasan, alih bahasa Abdul Aziz bin Salim al Atsari.

DEFINISI ILMU KALAM

Menurut mereka, ilmu Logika itu ada dua: lahir dan batin. Lahir adalah kata-kata, kalimat dan pembetulannya dengan ilmu nahwu dalam prosa dan ilmu arudh dalam syair. Sedang batin adalah olah akal dan pikir. Secara terminologi adalah aturan yang menjaga akal dari kesalahan atau kekeliruan berpikir. Mereka beranggapan bahwa sarana fikir ini telah tersedia melimpah di akal. Lantaran  itu, aplikasi ilmu ini lebih awal ketimbang kodifikasinya. Adapun jasa Aristoteles dalam ilmu ini tidak lebih dari sekedar dialektika, sistematika masalah dan fasal-fasalnya. Sama seperti posisi Sibawaih dan Kholil bin Ahmad (dalam ilmu nahwu, -pen).

Materi ilmu logika berikisar pada dua masalah pokok: tashowwur (deskripsi) yaitu menggambarkan sesuatu tanpa harus menetapkan wujud dan tiadanya. Cara menuju ke sana adalah dengan menetapkan definisi, yakni suatu ungkapan yang menunjukkan hakekat sesuatu. Yang termasuk garapannya ini adalah kata-kata, dilalah (indikasi kata-kata tersebut, -pen) dan semacamnya.

Kedua: Tashdiqot (pembenaran) yakni menetapkan hukum bagi hakekat sesuatu yang telah dideskripsikan tadi. Cara yang ditempuh adalah analogi. Termasuk bab ini adalah hukum dan macam-macamnya, seluk beluk analogi dan macam-macamnya, hukum analogi dan semacamnya. Ilmu logika adalah ilmu yang membahas sesuatu yang tak berwujud. Tujuan ilmu ini adalah membenturkan suatu pemikiran dengan pemikiran itu sendiri, terlepas dari kontradiksi, dan inilah tujuan dari dialektika Yunani.

MASUKNYA KE DALAM NEGARA ISLAM

Pendapat yang masyhur mengatakan ilmu ini masuk ke negara Islam pada zaman Dinasti Abbasiyah. Karena menyatu dengan filsafat dan bahasa Yunani. Adalah Yahya bin Khalid bin Barmark, seorang menteri Harun ar-Rosyid, meminta buku-buku Yunani kepada Kaisar Romawi. Orang-orang Nasrani tidak mengacuhkan buku-buku tersebut, khawatir terfitnah. Oleh karena itu, sang kaisar mengirimkannya (ke Baghdad) dengan harapan terbebas dari kejelekean buku-buku tersebut dan tersebarnya kejelekan itu di tengah kaum muslimin. Sehingga seorang  pendeta mengatakan: “Tidaklah ilmu ini masuk ke suatu negara kecuali akan merusak negara tersebut, dan membahayakan para ulama’nya.” Langkah Barmarki ini disetujui oleh semua orang zindiq (kafir) dan para filsuf.

PERCAMPURAN DENGAN ILMU SYAR’I

Menurut para peneliti bahwa kaum muslimin telah terkontaminasi dengan ilmu ini terutama dalam ilmu ushul fiqih. Sebabnya mereka memandang ada kesamaan antara ilmu ushul fiqih dengan ilmu logika. Lantaran tujuan akhir keduanya adalah mengetahui jalan menuju kebenaran. Namun, pendapat yang benar bahwa ilmu ushul fiqih ini awal kemunculannya adalah sejak zaman sahabat. Mereka telah memperbincangkan kias )analogi), ilat (sebab-sebab hukum), khas, ‘am dan sebagainya. Tetapi pembicaraan mereka belum melebar karena dekatnya dengan masa kenabian dan nash-nash syar’i masih melimpah, sedang peristiwa baru jarang terjadi. Demikian pula pada zaman tabi’in dan sesudahnya. Mereka tidak pernah membicarakan ilmu ini. Tidak dipungkiri bahwa ilmu logika telah ada ketika itu, namun yang dipungkiri adalah tercampurnya ilmu ini dengan ilmu syar’i.

Sampai masa Imam Syafi’i, beliau membuat kodifikasi ilmu ushul fiqih, mensistemasikan masalah, dan menambah keterangan, tetapi dalil-dalilnya diambil dari al-Qur’an dan Sunnah. Itulah kitab ar-Risalah, kitabnya sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmu logika tersebut, bahkan beliau sangat mencelanya. Kata beliau: “Manusia tidak akan menjadi bodoh dan berselisih kecuali mereka mencampakkan bahasa Arab dan cenderung kepada logika Aristoteles.” As-Suyuthi mengomentari: “tidaklah al-Qur’an diturunkan dan as-Sunnah datang kecuali dengan istilah orang Arab,  dan dengan madzhab mereka dalam berdialog, ceramah, berhujjah dan beristidlal, bukan menurut istilah Yunani, karena setiap bangsa itu memiliki bahasa dan istilah sendiri-sendiri.” (Shunul Mantiq, hal. 15). Barulah setelah kelompok ahlu kalam Mu’tazilah dan Asya’iroh- menuasai pemikiran, berubahlah metode penyusun kitab ushul fiqih. Mereka memakai metode ilmu kalam dan memasukkan begitu banyak pembahasan ilmu kalam. Namun demikian, ilmu fiqih belum terimbas bahaya ilmu logika.

Percampuran secara sempurna antara ilmu logika dengan ilmu ushul fiqih terjadi pada zaman Abu Hamid al-Ghozali. Karena beliau memandang wajib belajar ilmu tersebut. Bahkan merupakan syarat dalam mencapai keilmuan. Baliau menganggap ilmu logika adalah poros dan mizan ilmu. Oleh karena itu beliau mengarang banyak kitab: Mi’yarul Ilmi, Mahku Nadhari, al-Qishthasul Mustaqim, dan Maqashidul Falasifah. Dalam muqoddimah kitabnya al-Mustashfa, beliau mengatakan: “Barangsiapa tidak menguasai ilmu logika, maka ilmunya sama sekali tidak bisa dipercaya.” Ucapan al-Ghozali ini telah menggugah orang-orang muta’akhirin, yaitu para penulis kitab ushul fiqih dan selainnya.

Bersegeralah mereka mempelajari ilmu logika, sehingga syarat ijtihad terpenuhi, jadilah mereka orang yang mahir menulis dan berfatwa. Ibnu Taimiyah berkata: “Dikarenakan apa yang terjadi pada al-Ghozali di masa hidupnya, maka banyak sekali para peneliti yang memasukkan ilmu Yunani ini ke dalam keilmuan mereka. Sampai-sampai orang-orang yang meneliti jalan mereka mempunyai anggapan bahwa tidak ada jalan lain kecuali jalan ini…. mereka tidak mengetahui bahwa orang-orang yang mulia, para intelektual muslim dan selain mereka mencela ilmu ini. Bahkan mereka telah banyak menelurkan berbagai tulisan.” (ar-Raddu ‘alal Mantiqiyyin, hal. 198)

Pada akhirnya, al-Ghozali sendiri di umur senjanya mencela ilmu logika dan penganutnya, dia menerangkan bahwa jalan mereka tidak akan mencapai keyakinan, terutama yang berkaitan dengan ketuhanan. Dia banyak sekali mencela melebihi celaannya kepada orang-orang mutakalimin. Dia juga menerangkan bahwa jalan yang mereka tempuh memiliki kandungan kebodohan dan kekufuran yang memang layak untuk dicela. Beliau meninggal ketika sibuk mempelajari kitab shahih Bukhari dan Muslim. (al-Munqidzu minal Dholal hal. 63-64, ar-Raddu ‘alal Mantiqiyyin, 195-198)

Faktor lain yang menjadikan ilmu logika dan filsafat berkembang di kalangan orang-orang belakangan adalah didirikannya Darul Hikmah (semacam institut) oleh Nashiruddin at-Thusi pada masa pendudukan Tartar. Dia memberi pesangon tiga dirham setiap hari bagi orang (yang) menyibukkan diri dengan ilmu filsafat di Darul Hikmah. Dia juga mendirikan Daru Thibb (sekolah kedokteran) dan memberi pesangon dua dirham bagi yang ikut mempelajari ilmu kedoteran. Juga Daru Hadits dan orang yang menyibukkan dengan ilmu hadits diberi pesangon setengah dirham setiap hari. Sejak itu ilmu filsafat berkembang padahal sebelumnya yang mempelajari hanya segelintir orang. (Lihat al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir, 13/268).

SEBAB-SEBAB PENOLAKAN KAUM MUSLIMIN TERHADAP ILMU LOGIKA

1)      Karena generasi pertama dari para sahabat dan tabi’in tidak pernah membicarakannya. Bisa jadi karena ilmu ini belum ada pada zaman mereka atau sudah ada namun mereka menyingkirkannya. Sebab syariat Islam itu sama sekali tidak dipelajari dari ilmu orang non muslim, meskipun metodenya benar. Lalu bagaimana jika metodenya rusak atau mengandung kerusakan, bahkan mengandung kekufuran?

2)      Ilmu logika tumbuh di lingkungan filsafat, pemeluknya adalah orang-orang musyrik dan kafir. Bahkan kekufuran dan kesyirikan orang Arab lebih baik dibanding kekufuran dan kesyirikan mereka. Ibnu Taimiyah berkata: “Bagi mayoritas orang, kesesatan mereka dalam masalah ketuhanan nampak jelas. Oleh karena itu, semua ulama kaum muslimin mengkafirkannya.” (ar-Raddu ‘alal Mantiqiyyin, hal. 200). Sebab itu pula kaum muslimin tidak mengambil ilmu logika Aristoteles karena tercampur dengan filsafat yang sangat berseberangan dengan akidah yang benar. (Lihat Muqodimah Ibnu Kholdun, 483).

3)      Kekhawatiran terpedayanya sebagian muslimin, karena meliha sebagian anasir ilmu ini adalah benar, lantas menganggap semuanya benar. Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan dibenarkan dengan adanya bukti-bukti. Al-Ghozali berkata: “Kadangkala ada orang yang berprasangka baik terhadap ilmu logika ini dan menganggapnya jelas, lantas menyangka bahwa apa-apa yang dicomot dari kekufuran dikuatkan oleh bukti-bukti tadi. Segera saja dia tercebur dalam kekufuran sebelum sampai kepada ilmu-ilmu ketuhanan.” (al-Munqidz, hal. 83). Ibnu Taimiyah berkata pula: “Saya pernah menyangka bahwa anasir ilmu ini benar, karena kebanyakannya memang benar. Tetapi kemudian jelas bagiku bahwa sebagiannya salah, dan jelas pula bagiku bahwa ilmu dasar ketuhanan dan ilmu logika yang mereka tuturkan kepadaku berasal dari ushul mereka yang rusak dalam masalah ketuhanan. (ar-Raddu ‘alal Mantiqiyyin, hal. 3 dan 4).

4)      Kadangkala bukti-bukti filsafat untuk mengantarkan manusia kepada keyakinan. Yaitu ketika diaplikasikan dalam masalah ketuhanan. Al-Ghozali berkata: “Dalam ilmu ini, mereka mempunyai sisi gelap yaitu mereka mengumpulkan syarat-syarat guna mendukung bukti-bukti, yang diyakini secara pasti bahwa itu akan memberikan keyakinan. Namun ketika sampai pada tujuan-tujuan syari’at, mereka tidak mampu memenuhi syarat tersebut, bahkan mereka benar-benar menyepelekannya. (al-Munqidz, hal. 93)

5)      Ilmu ini mewariskan perpecahan dan perselisihan, sebab orang-orang yang menyibukkan dan tenggelam dalam ilmu ini selalu demikian. Hampir-hampir tidak didapati ada dua orang bersepakat dalam satu masalah saja, bahkan dalam masalah yang mereka sendiri menamakannya keyakinan. Telah disebutkan di muka perkataan, “Tidaklah ilmu ini masuk ke suatu negara kecuali akan merusak negara tersebut, dan membahayakan para ulama’nya.”

RASIO MENOLAK ILMU INI

1)      Ilmu logika adalah ilmu yang kering tidak ada relevansinya dengan realita. Ilmu ini membahas tentang alam semesta (makro), namun alam ini tidak berwujud, dia hanya berada di alam pikiran. Ilmu ini menyepelekan untuk membahas hal-hal parsial dan sesuatu yang sudah nyata.

2)      Ibnu Taimiyah mengatakan: “Kita tidak mendapati ada penduduk bumi ini yang mendalami suatu ilmu , baik ilmu agama atau selainnya lalu menjadi seorang imam dalam ilmu itu gara-gara mengutamakan ilmu logika. Para dokter, insinyur dan selainnya, mereka mengaplikasikan ilmu mereka namun tidak sedikitpun dicampuri ilmu logika. Dalam khazanah Islam telah banyak ditulis buku-buku dalam ilmu nahwu, arudh, fiqih, ushul fiqih dan selainnya, namun para imam dalam ilmu-ilmu ini tidak pernah dulunya berkecimpung dalam ilmu logika. Bahkan mayoritas mereka menjadi imam sebelum ilmu logika dikenal.” (Naqdul Manthiq, hal. 168)

3)      Upaya menjadikan ilmu ini sebagai muqodimah dari semua ilmu baik aqliyah (akal), manthiqiyah (logika) bahkan ilmu syar’i dan dijadikan sebagai syarat untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut adalah omong kosong, bahkan logika yang semata-mata penalaran telah berlalu masanya, dan sangat bisa jadi dia mencocoki pemikiran Yunani pada rentang sejarah yang terbatas. (Lihat at-Tafkir al-Manthiqi lil ‘Abdi).

4)      Metode mereka menghasilkan kerusakan yang besar, ditengok dari sisi tujuan dan sarana. Dari sisi tujuan: ilmu ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan susah payah padahal hasilnya  adalah kebaikan yang sangat sedikit. Persis seperti ungkapan: “Seperti daging jelek di atas gunung, susah dijangkau dan tidak pula bagus sehingga dapat dibawa pulang.” (Muslim 2448). Dari sisi sarana; karena iilmu ini terlalu banyak muqodimah (prolog), rentang waktu mempelajarinya lama, banyak dimuati ungkapan-ungkapan yang aneh dan metode yang sulit, faedah tidak diperoleh namun hanya menyia-nyiakan waktu, pikiran capai, banyak hayalan dan klaim adanya penelitian dengan kedustaan.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 2/22)

BANTAHAN

Ada dua sisi bantahan:

Pertama, Penukilan dari mayoritas kaum muslimin.

Semua kelompok muslimin menolak ilmu logika, mereka mengharamkan menengok dan menyibukkan diri dengan ilmu ini. Memang tidak pernah dinukil dari mereka bantahan terperinci atau pernah dinukil tetapi sampai ke tangan para peneliti. Penjelasannya sebagai berikut:

1)      Tidak pernah dinukil dari para sahabat bahwa mereka membicarakan ilmu ini. Imam as-Suyuthi menjelaskan bahwa ilmu ini belum ada pada masa mereka, namun muncul pada abad kedua. Para sahabat dan tabi’in ketika itu mencela sikap berlebih-lebihan dalam agama, seandainya mereka mengetahui ilmu ini niscaya mereka akan mengkategorikan sebagai sikap memberatkan diri. Oleh karena itu, as-Suyuthi berpendapat haram apabila dianalogikan dengan ilmu kalam.

2)      Perkataan yang dinukil dari para ulama fiqih, dimana mereka mencela ilmu ini dan dikategorikan sebagai perkara baru (bid’ah) dan penyebab perpecahan dan perselisihan. Di antaranya:
Abu Hanifah ketika ditanya tentang jiwa beliau, mengatakan: “Ini adalah ungkapan filsafat. Kalian wajib memegangi atsar dan jalan para salaf, jauhi setiap perkara baru,karena perkara baru itu adalah bid’ah.”
As-Syafi’i mengatakan: “Manusia tidak akan menjadi bodoh dan berselisih kecuali mereka mencampakkan bahasa Arab dan cenderung kepada logika Aristoteles.”

3)      Para imam pakar bahasa Arab menolak ilmu ini, seperti Imam Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Adabul Katib dan Ibnu Atsir dalam kitab al-Matsalul Tsair. Ulama lainnya adalah Abu Sa’id as-Sirofi seorang pakar nahwu. Beliau mendebat Abu Basyr Matta bin Yunus seorang filsuf Nasrani di hadapan  orang banyak termasuk para ulama. Masalah yang didebat adalah dijadikannya ilmu logika sebagai patokan ilmu-ilmu yang lain dan sebagai mizan hakekat sesuatu. Beliau mendebat dengan bukti yang gamblang, dalil-dalil yang jelas sehingga orang-orang kagum kepada beliau.

4)      Pengingkaran kalangan ahlu sunnah yang terpopuler adalah dikarangnya banyak kitab yang mencela ilmu ini. Namun dari kalangan mereka sendiri ternyata juga mencelanya terutama ulama mereka angkatan awal dengan menuangkan dalam tulisan seperti ad-Daqo’iq karya al-Baqilani, al-Ara’wad Diyanat karya Ibnu Nukhbati seorang syi’ah, juga al-Juba’i, al-Qodhi Abdul Jabbar dan Abu Hasyim dari kalangan mu’tazilah juga ikut mencelanya.

Kedua, kritikan secara terperinci.

Kritikan yang komprehensif terhadap ilmu ini dan seluk-beluknya diwakili oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam berbagai karangan beliau, seperti ar-Raddu ‘alal Manthiqiyyin dan Naqdhul Manthiq. Doktor al-Abdu berkata: “Kritikan Ibnu Taimiyah ini merupakan kritikan paling awal terhadap logika Aristoteles yang dikenal dunia pemikiran, dimana dia mengkritik dengan sangat sistematis dan cukup berlandaskan pada akal semata…” (at-Tafkir al-Manthiqi hal. 43)

Namun beliau tidak sekedar meluluhlantakkan ilmu ini tetapi menyodorkan alternatif lain yaitu pemikiran Islami. Inilah yang diadopsi oleh orang-orang Barat yang kemudian dikenal dengan metode eksperimen.

HUKUM MENYIBUKKAN DIRI DENGAN ILMU LOGIKA

Suatu masalah terkadang tidak mudah untuk langsung divonis benar dan salahnya, lantaran antara yang benar dan yang salah sudah menyatu. Maka memvonis sebagai baik atau rusak, diterima atau ditolak, dibolehkan atau tidak, wajib atau haram hanyalah tergantung kepada unsur mana yang lebih dominan, yang baik atau yang jelek, yang benar atau yang salah. Bila baik lebih dominan dihukumi baik, demikian sebaliknya.

Ilmu logika, meskipun mengandung sisi kebenaran, terutama yang berkaitan dengan deskripsi nyata, namun tidak berarti serta merta dibolehkan menggelutinya. Karena ternyata kebatilan ilmu ini lebih dominan ketimbang kebenarannya. Ibnu Taimiyah berkata: “Jika memang ada kebenaran yang terkandung di dalamnya, maka setiap penulis juga harus mengatakan demikian, tetapi terkandung pula kebatilan yang apabila semua ilmu ditimbang dengannya maka ilmu logika akan merusaknya.” (ar-Raddu ‘alal Mantiqiyyin, hal. 180).

Mensikapi ilmu ini, manusia terbagi menjadi tiga kelompok:

Pertama: Mewajibkan untuk mempelajarinya, tokoh kelompok ini biasa disebut filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farobi, Ibnu Sina dan lainnya. Menurut mereka, tidak ada perbedaan antara ilmu logika dan Islam. Mereka mengatakan, “Ilmu ini diperlukan untuk membela akidah Islam setelah lama terkontaminasi dengan filsafat.”

Pengaruh mereka di tengah umat tidak signifikan (berarti), sebab mereka sudah dikenal memiliki pemikiran zindiq dan ilhad (kufur). Sampai muncul al-Ghozali dan mengarang buku dalam masalah ini sehingga banyak orang terpedaya karenanya dengan memasukkan ilmu ini dalam kitab-kitab ushul mereka.

Kedua: Membolehkan bagi orang yang mumpuni. Kelompok ini diwakili oleh Abdul Wahhab as-Subki, dimana dia membolehkan mempelajari ilmu ini bagi orang yang sudah memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan hadits secara sempurna, dan mumpuni dalam ilmu cabang-cabang fiqih sehingga disebut faqih. Siapa yang sudah mencapai kemampuan tersebut dipersilakan mempelajarinya, tetapi tidak boleh dicampur dengan ilmu Islam, karena pasti akan terjadi madharat (kerusakan).

Saya katakan (Utsman Ali Hasan): “Lalu apa manfaat mempelajarinya? Mengapa harus menceburkan diri ke dalam bahaya ini? Kalian telah tahu bahwa ilmu ini sedikit sekali manfaatnya kalau tidak boleh dikatakan nihil, dan hasil akhirnya tidak bisa dijamin kebaikannya.

Ketiga: mengharamkan. Inilah pendapat yang benar dan pendapat mayoritas salaf, ahli hadits dan para ulama peneliti generasi awal. Ibnu Taimiyah berkata: “Ulama kaum muslimin dan para imam agama senantiasa mencela ilmu ini dan para penganutnya, mereka melarangnya dan melarang berinteraksi dengan penganutnya, sampai aku  lihat fatwa tertulis dari sekelompok ulama Syafi’iyyah, Hanafiyyah dan selain mereka mengharamkannya dan menetapkan hukuman bagi orang yang menggelutinya.” (Naqdhul Manthiq hal. 156).

Ibnu Sholah juga memfatwakan demikian, katanya: “Adapun ilmu logika adalah pintu filsafat dan pintu kejelekan, menggeluti dan mengajarkannya tidak dibolehkan oleh Rasulullah, tidak ada seorang pun dari para sahabat, tabi’in, ulama mujtahid, saalaf shalih dan ulama terkemuka yang menjadi panutan umat membolehkannya.” (Fatawa Ibnu Sholah, hal. 34-35).

Setelah kita mengetahui hal ini, pantaskah dikatakan “Dibolehkan mempelajarinya bagi orang yang sudah mumpuni dalam ilmu syar’i, apalagi sampai membolehkan tanpa syarat, terlebih lagi mewajibkan bagi setiap orang atau sebagiannya? Jelas ini kedustaan yang nyata. Namun ada pendapat yang mengatakan dibolehkan memaparkan ilmu ini guna menjelaskan kejelekannya, menyatakan kerusakannya, kosongnya dari manfaat, dianalogikan dengan penjelasan hadits palsu.

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts