Senin, 06 Agustus 2012

HADITS-HADITS LEMAH SEPUTAR RAMADHAN

Bulan Ramadhan adalah bulan agung yang memiliki banyak keutamaan. Segenap umat Islam menyambutnya dengan antusias dengan berbagai macam ibadah. Hanya saja, tidak sedikit umat Islam yang terjebak pada rutinitas ibadah yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam agama. Oleh karena tu, Nampak perlu bagi kami untuk mengumpulkan berbagai hadits (semampu kami) yang sering digunakan untuk dasar beribadah dan untuk menghidupkan Ramadhan, baik yang dha’if (lemah, tidak authentic, invalid), dan shahih. Dengan harapan umat Islam bisa beribadah dan mengamalkan agamanya menurut dasar yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Memang, sebagian ulama ada yang membolehkan menggunakan hadits dha’if dalam rangka menggalakkan amal shalih (Fadha’ilul A’mal) seperti Imam Ahmad, Imam Yahya bin al Qaththan, Imam Abdurrahman bin al Mahdi, Imam an Nawawi, Imam As Suyuthi, dan lain-lain, itu pun dengan syarat tidak terlalu dha’if, tidak bertentangan dengan kaidah umum agama Islam, dan tidak boleh dianggap amalan tersebut adalah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Namun, tidak sedikit ulama yang menentang menggunakan hadits dha’if untuk semua masalah agama, baik aqidah, fiqih ibadah dan mu’amalah, dan fadha’ilul a’mal. Seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibnu Hazm, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, umumnya ulama madzhab hambali kontemporer, dan lain-lain. Bagi mereka, selama masih ada hadits shahih maka hendaknya kita menggunakan yang shahih saja, sebab itulah yang benar-benar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ibarat membaca Koran, tentunya kita lebih percaya dengan berita yang kuat kebenarannya (shahih), dibanding berita yang jelas-jelas ketidakbenarannya (Dha’if/lemah).
Secara ringkas, hadits dinilai dha’if (lemah) jika, pertama, sanad (jalur periwayatannya) terputus (munqathi’), tidak bersambung satu periwayat ke periwayat lainnya, baik tidak bertemu atau tidak mendengar langsung. Kedua, para perawinya (biasa disebut rijalul hadits) adalah orang yang lemah (dha’if) hafalannya, tidak jujur alias pembohong, ahli maksiat (fasiq), pemalsu hadits atau tertuduh pemalsu hadits, riwayatnya bertentangan dengan rijal lain yang lebih terpercaya darinya, atau majhul (tidak diketahui identitasnya).
Jika satu saja dari dua hal di atas terjadi pada sebuah hadits, maka itu bisa membuat hadits tersebut tidak dapat dipercaya. Apa lagi jika kedua-duanya terjadi.
Apa yang saya lakukan ini merupakan nasihat untuk diri sendiri dan segenap pembaca yang mulia, agar senantiasa berpegang kepada As Sunnah Ash Shahihah, dalam menjalankan ajaran agama serta tidak tertipu dengan hadits-hadits lemah dan palsu yang banyak beredar di masyarakat, buku-buku, dan disebarkan oleh para penceramah yang belum memahami seluk beluk kerumitan ulumul hadits (ilmu-ilmu hadits).
******
Hadits-Hadits Dha’if seputar Puasa dan Ramadhan
Hadits Pertama: Doa, “Allahumma barik lana fi rajaba wa sya’ban wa balighna fi Ramadhan.”
Hadits ini sangat terkenal, sering terdapat dalam spanduk dan majalah-majalah Islam menjelang datangnya Ramadhan.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ
Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika masuk bulan Rajab, dia berkata: “Allahumma Barik lanaa fii Rajaba wa Sya’ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.” (Ya Allah Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban wa Berkahilah kami di bulan Ramadhan). (HR. Ahmad, No. 2346. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4086, dengan teks agak berbeda yakni, “Wa Balighnaa fii Ramadhan.” Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 3654)
Dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ruqad dan Ziyad an Numairi.
Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Munkarul hadits.” (haditsnya munkar) (Imam al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz Dzahabi sendiri mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan tentang Ziyad an Numairi beliau berkata: “Ziyad dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)
Imam Abu Daud berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i dalam kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.” Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.” Abu Ahmad Al Hakim mengatakan: “haditsnya tidak kokoh.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 3, Hal. 305)
Imam al Haitsami berkata tentang Ziyad an Numairi: “Dia dha’if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).” (Majma’ az Zawaid, Juz. 10, Hal. 388. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa penduduk Bashrah meriwayatkan dari Ziyad hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in meninggalkan hadits-haditsnya, dan tidak menjadikannya sebagai hujjah (dalil). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata tentang dia: “Tidak ada apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1, Hal. 306)
Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil, Juz. 3, Hal. 536)
Syaikh Al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Misykah al Mashabih, Juz. 1, Hal. 306, No. 1369. Lihat juga Dhaiful jami’ No. 4395), begitu pula Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnaduhu dhaif (isnadnya dhaif). (Lihat Musnad Ahmad No. 2346. Muasasah Ar Risalah)
Catatan:
Jika doa ini dibaca dengan tanpa menyandarkan kepada Rasulullah, tidak menganggapnya sebagai ucapan nabi, hanya ‘meminjam’ redaksinya, maka tidak mengapa. Sebab, berdoa walau dengan susunan kalimat sendiri memang diperbolehkan. Tetapi, sebagusnya tidak membudayakannya, sebab pada akhirnya manusia menyangka sebagai hadits yang valid dari nabi. Wallahu A’lam
Wallahu A’lam
Hadits Kedua: khutbah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang berbagai keutamaan bulan Ramadhan
عن سلمان قال : خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في آخر يوم من شعبان فقال : « أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر مبارك ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، وقيام ليله تطوعا ، من تقرب فيه بخصلة من الخير ، كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، وهو شهر الصبر ، والصبر ثوابه الجنة ، وشهر المواساة ، وشهر يزداد فيه رزق المؤمن ، من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه وعتق رقبته من النار ، وكان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء » ، قالوا : ليس كلنا نجد ما يفطر الصائم ، فقال : « يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على تمرة ، أو شربة ماء ، أو مذقة لبن ، وهو شهر أوله رحمة ، وأوسطه مغفرة ، وآخره عتق من النار ، من خفف عن مملوكه غفر الله له ، وأعتقه من النار ، واستكثروا فيه من أربع خصال (1) : خصلتين (2) ترضون بهما ربكم ، وخصلتين لا غنى بكم عنهما ، فأما الخصلتان اللتان ترضون بهما ربكم : فشهادة أن لا إله إلا الله ، وتستغفرونه ، وأما اللتان لا غنى بكم عنهما : فتسألون الله الجنة ، وتعوذون به من النار ، ومن أشبع فيه صائما سقاه الله من حوضي شربة لا يظمأ حتى يدخل الجنة »
Dari Salman, dia berkata: “Rasulullah khutbah di depan kita pada akhir bulan Sya’ban, katanya: “Wahai manusia, telah menaungi kalian bulan agung, bulan penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasanya fardhu, shalat malamnya adalah sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri kepadaNya dengan kebaikan, maka ia bagaikan menjalankan kewajiban pada selain bulan tersebut. Barangsiapa yang menjalankan kewajiban ia laksana menjalankan tujuh puluh kewajiban pada selain bulan itu. Dia adalah bulan kesabaran, dan kesabaran ganjarannya adalah surga. Bulan kesantunan, dan bulan ditambahkannya rezeki bagi orang mu’min. Barangsiapa yang memberi buka orang yang berpuasa maka ia mendapat ampunan dari dosa-dosanya dan pembebasan dari api neraka dan baginya pahala sebagaimana pahala orang yang diberinya buka tanpa mengurangi pahala mereka.” Para sahabat bertanya: “Tidak semua kami mampu memberi makan berbuka puasa.” Rasulullah menjawab: “Allah memberikan pahala kepada siapa saja yang memberi makan berupa korma, air putih, atau susu yang dicampur dengan air. Bulan itu, awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah maghfirah, dan akhirnya adalah dibebaskan dari api neraka. Barang siapa meringankan budaknya maka dia akan diampuni dan dibebaskan dari api neraka. Perbanyaklah empat hal; dua hal sangat diridhai Tuhan kalian, dua hal lain kalian tidak akan merasa cukup dengannya. Ada pun dua hal yang Tuhan sangat ridha adalah mengucapkan syahadat Laa Ilaha Illallah dan istighfar kepadaNya. Sedangkan dua hal yang kalian tidak akan merasa cukup adalah permintaan kalian terhadap surga kepada Allah, dan kalian minta perlindungan kepadaNya dari neraka. Barangsiapa yang mengenyangkan orang puasa maka Allah akan mengenyangkannya dengan sekali minum di telaga yang tidak akan merasa haus selamanya, hingga ia masuk ke surga.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Juz.7, Hal. 115, No hadits. 1780)

Hadits ini sangat terkenal dan sering dibaca ketika bulan Ramadhan. Padahal hadits ini munkar. Di dalam sanadnya ada perawi bernama Ali bin Zaid bin Jud’an.

Imam Sufyan bin Uyainah mendha’ifkannya. Begitu pula Imam Ahmad bin Hambal. Sedangkan Imam Musa bin Isma’il mengatakan bahwa dia tidak terjaga hafalannya. Sementara Imam Hammad bin Zaid mengatakan bahwa dia meriwayatkan hadits-hadits yang terbalik. Sedangkan Yazid bin Zari’ mengatakan bahwa Ali bin Zaid bin Jud’an adalah seorang rafidhi (syi’ah). Imam Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa dia tidak kuat hafalannya dan bukan apa-apa. Sementara Imam Ahmad al ‘Ijili mengatakan bahwa dia tasyayyu’ (condong ke syi’ah) dan tidak kuat hafalannya. Imam Bukhari dan Imam Abu Hatim ar Razi mengatakan: dia tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Imam Ibnu Khuzaimah sendiri mengatakan bahwa Ali bin Zaid bin Jud’an ini tidak bisa dijadikan hujjah karena buruk hafalannya. (Lihat semua dalam kitab Mizanul I’tidal, Imam Adz Dzahabi, Juz. 3 hal. 127)

Dalam Kitab Al Jarh wat Ta’dil disebutkan bahwa Imam Yahya bin Ma’in mengatakan Ali bin Zaid bin Jud’an tidaklah bisa dijadikan hujjah. Imam Abu Zur’ah mengatakan bahwa dia tidak kuat hafalannya. (Imam Abu Hatim ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, Juz. 6 Hal. 187)

Al ‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albany Rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini munkar. (As Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 2 Hal. 370, No hadits. 871).

Demikian. Wallahu A”lam

Hadits ketiga: Ucapan, “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.”
Ini hadits, walau tidak secara langsung berhubungan dengan puasa atau Ramadhan, namun amat sering dibaca ketika bulan Ramadhan. Hadits itu berbunyi:
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبرقالوا: وما الجهاد الأكبر؟ قال: جهاد القلب.

“Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihad paling besar itu?” Beliau bersabda: “Jihad hati.”
Berkata Imam Zainuddin Al ‘Iraqi:
أخرجه البيهقي في الزهد من حديث جابر وقال : هذا إسناد فيه ضعف .

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” (Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya’, No. 2567)
Begitu pula disebutkan dalam Tadzkirah Al Maudhu’at, bahwa hadits ini dhaif. ( Al ‘Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi Al Fatani, Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 191)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Tasdidul Qaus bahwa ini adalah ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah seorang tabi’in, sebagaimana dikatakan Imam An Nasa’i dalam Al Kuna. (Imam As Suyuthi, Ad Durar Muntatsirah fil Ahadits Musytahirah, Hal. 11. Mawqi’ Al Warraq. Imam Al Ajluni, Kasyful Khafa, No. 1362. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan komentar terhadap hadits itu sebagai berikut:
فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِأَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَانُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا }
“Tidak ada dasarnya, dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun ahli ma’rifah (ulama) sebagai ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Dan, jihad melawan orang kafir termasuk amal yang paling agung, bahkan dia adalah tathawwu’ (anjuran) yang paling utama bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad) tanpa memiliki udzur (alasan yang benar), dibanding orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya. Allah mengutamakan satu derajat bagi orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk saja. Kepada masing-masing mereka Allah menjajnjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An Nisa: 95). (Majmu’ Fatawa, 2/487. Mawqi’ Al Islam)
Imam Al ‘Iraqi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd, namun setelah dicek ke kitab Zuhd Al Kabir-nya Imam Al Baihaqi, ternyata tidak ada hadits dengan redaksi seperti di atas (Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Tetapi yang ada adalah:

قدمتم خير مقدم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : مجاهدة العبد هواه

“Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihda besar itu?” Beliau bersabda: “Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya.” (HR. Al Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No. 384, hadits dari Jabir bin Abdullah. Al Baihaqi mengatakan: sanadnya Dhaif . Imam Khathib Baghdadi, Tarikh Baghdad, 6/171. Lihat Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal, No. 11260)

Hadits ini juga dhaif, bahkan dengan kedhaifan yang parah. Lantaran dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang dhaif. Yakni ‘Isa bin Ibrahim, Yahya bin Ya’la, dan Laits bin Abi Sulaim.

Tentang ‘Isa bin Ibrahim ini, dia adalah ‘Isa bin Ibrahim bin Siyar, disebut juga Ibnu Dinar Asy Sya’iri Abu Ishaq, disebut juga Abu Umar, ada juga yang mengatakan Abu Yahya Al Bashri, lebih dikenal dengan Al Barki. (Tahdzibut Tahdzib, 8/183). Disebutkan tentang dia : shaduq lahu awham (jujur tetapi ada keraguan). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/768. Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 3/310). Abu Hatim mengatakan: shaduq (jujur). An Nasa’i mengatakan: tidak apa-apa. (Mizanul I’tidal, 3/310)

Sementara Yahya bin Ya’la, dia adalah Yahya bin Ya’la Al Aslami Al Qathuwani Al Kufi. Imam Ibnu Ma’in ditanya tentang dia, katanya: bukan apa-apa. Al Bukhari mengatakan: mudhtharibul hadits (haditsnya guncang). Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits laisa bil qawwi (haditsnya lemah dan tidak kuat). Ibnu Abi mengatakan, dia adalah orang Kufah dan Syi’ah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzbut Tahdzib, 11/266. Lihat juga Mizanul I’tidal, 4/415)

Ada pun tentang Laits bin Abi Sulaim, Imam Ahmad berkata tentangnya: “sangat lemah dan banyak kesalahan.” Yahya bin Ma’in mengatakan: dhaif. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/232). Sufyan bin ‘Uyainah mendhaifkannya, sedangkan Abu Zur’ah ditanya tentang Laits ini, katanya: “haditsnya lemah dan tidak bisa berhujjah dengan haditsnya.” (Tahdzibut Tahdzib, 8/418)

Maka, jelaslah sudah kelemahan hadits ini, dengan kelemahan yang sangat. Dan, Syaikh Al Albani mengatakannya sebagai hadits munkar. (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 2460).

Wallahu A’lam

Catatan:

Walau hadits-hadits di atas lemah, bahkan tidak ada dasarnya. Islam mengakui bahwa jihad terhadap hawa nafsu memang ada. Dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

المجاهد من جاهد نفسه
“Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap hawa nafsunya.” (HR. At Tirmidzi No. 1621, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 1258)

Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih No. 3823. As Silsilah Ash Shahihah No. 549. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1258)

Perlu diketahui, kelemahan hadits-hadits tentang jihad melawan hawa nafsu yang kita bahas lalu (bahkan tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad melawan hawa nafsu. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

وَلَا رَيْبَ أَنَّ مُجَاهَدَةَ النَّفْسِ مَأْمُورٌ بِهَا وَكَذَلِكَ قَهْرُ الْهَوَى وَالشَّهْوَةِ كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللَّهِ وَالْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ } لَكِنْ الْمُسْلِمَ الْمُتَّبِعَ لِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ هُوَ الْمُحَرِّمُ مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَلَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ وَلَا يُسْرِفُ فِي تَنَاوُلِهِ ؛ بَلْ يَتَنَاوَلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ طَعَامٍ أَوْ لِبَاسٍ أَوْ نِكَاحٍ وَيَقْتَصِدُ فِي ذَلِكَ وَيَقْتَصِدُ فِي الْعِبَادَةِ ؛ فَلَا يُحَمِّلُ نَفْسَهُ مَا لَا تُطِيقُ .

“Tidak diragukan bahwa berjihad mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu pula menguasai hawa nafsu dan syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda:
“Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang pintar adalah orang mampu menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah kematiannya, dan orang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan kepada Allah.”
Tetapi seorang muslim hanya mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang Allah dan RasulNya haramkan, dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak berlebihan dalam menikmatinya, tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja baik berupa makanan, nikah, dia sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula dalam hal ibadah, dia tidak membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia mampu.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 3/302)
Bahkan seorang ulama mujahid, perawi hadits terpercaya, Imam Abdullah bin Mubarak mengomentari ayat:
وَجَاهِدُوا فِي اللّهِ حَقّ جِهَادِه
“Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.”
Beliau berkata:
هُوَ مُجَاهَدَةُ النّفْسِ وَالْهَوَى
“Itu adalah berjihad terhadap jiwa dan hawa nafsu.” (Imam Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, 3/8. Muasasah Ar Risalah).
Imam Ibnul Qayyim sendiri telah membahas panjang masalah ini, dan dia membuat maratibul jihad (urutan jihad) bahwa jihad ada empat urutan, yakni jihad terhadap hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang kafir dan jihad melawan orang munafik. Jihad terhadap hawa nafsu juga terbagi atas empat, yakni: Pertama, jihad untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua, jihad mengamalkan ilmu tersebut. Ketiga, jihad mendakwahkan dan mengajarkan ilmu tersebut agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu. Keempat, jihad bersabar ketika mendakwahkannya atas segala bentuk kesulitan dan peneritaan yang akan menimpanya. (Ibid, 3/9) selesai.
Ada pun riwayat yang shahih tentang jihad yang paling afdhal adalah sebagai berikut, dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Jihad paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2265, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 10716, dalam lafaz Ahmad tertulis: “Kalimatul haq ..(perkataan yang benar). Ibnu Majah No. 4011)

Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih, No. 3705. As Silsilah Ash Shahihah, No. 491. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344)

Sedangkan jihad paling utama bagi wanita adalah haji yang mabrur. Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
“Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad?” Nabi bersabda: “Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur.” (HR. Bukhari No. 1448, 1762, 2632, 2720,

0 komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru

Popular Posts